Kasus: pembunuhan

  • Menyusuri Jejak Raibnya Wanita Alawit Suriah: Penculikan atau Kebencian Agama?

    Menyusuri Jejak Raibnya Wanita Alawit Suriah: Penculikan atau Kebencian Agama?

    Damaskus

    Raga kurus kering, wajah penuh bekas luka, rambut dicukur, alis pun hilang, Nora* menatap lelah ke arah kamera. Di pangkuannya, ia menggendong seorang bayi yang sempat dipisahkan secara paksa darinya.

    Foto pertama setelah pembebasannya cepat menyebar di media sosial—lambang trauma yang mengguncang banyak warga Suriah saat ini: Perempuan dari komunitas Alawit–atau yang disebut juga Alawi- menjadi incaran penculik brutal. Nora kini berusaha menghapus jejaknya sebaik mungkin dan meninggalkan negeri.

    (Ed.; Alawi — bentuk kata sifat atau dipakai untuk menyebut keyakinan, ajaran atau mazhabnya. Sementara Alawit — bentuk kata benda jamak yang lebih sering dipakai untuk menyebut orang-orang dari komunitas tersebut, misalnya “perempuan Alawit” atau “orang Alawit”)

    Tiada hari tanpa dihina dan digebuki

    Selama hampir sebulan Nora terkurung di sebuah ruang bawah tanah, di mana menurut pengakuannya, ia mengalami penyiksaan psikologis dan fisik.

    Sang ibu muda bersama bayi berusia sebelas bulan itu sedang dalam perjalanan menuju pusat bantuan dekat kota pesisir Jablah ketika dihentikan oleh para pria bertopeng dengan kendaraan berplat Idlib.

    Mereka bertanya dari mana asalnya. Saat Nora menyebut dirinya beretnis Alawit, perempuan itu langsung diseret dengan kasar ke dalam mobil. Bahkan mata Nora diikat agar tak bisa melihat saat penculikan terjadi, tuturnya.

    “Aku dihina setiap hari dan dipukuli begitu keras hingga beberapa kali kehilangan kesadaran,” katanya dalam wawancara dengan DW. Selama masa tahanan, bayinya direnggut paksa, dan ia dipaksa menandatangani dokumen—sebuah surat nikah. “Aku menolak. Aku sudah menikah. Setelah itu, penyiksaan menjadi semakin brutal,” ujar Nora.

    Kini Nora hidup di luar negeri, dalam perlindungan, dan sedang menjalani pengobatan karena masalah kesehatan organ kandungan yang serius.

    Penghinaan yang sistematis

    Kisah Nora bukanlah kasus tunggal. Kantor berita Reuters dan sejumlah media Arab maupun internasional melaporkan penculikan dan pemerasan perempuan Alawit.

    Sejak awal tahun, lebih dari 40 perempuan dilaporkan hilang di Suriah, ujar aktivis HAM Bassel Younus kepada DW. Dari Swedia, ia mendokumentasikan pelanggaran HAM secara sistematis melalui jaringan di Suriah.

    “Kebanyakan besar korban penculikan—seperti Nora—adalah dari komunitas Alawit,” ujar Younus.

    Maka target utama adalah perempuan dari minoritas agama yang sama dengan diktator terguling Bashar al Assad, yang dianggap “murtad” oleh kaum Islam radikal.

    Laporan serangan brutal terhadap Alawit yang diduga mendukung Assad oleh kelompok radikal Sunni meningkat drastis pasca kejatuhan Assad. Terutama dalam beberapa bulan terakhir, kaum Alawit di Suriah berada di bawah tekanan berat, bahkan ancaman nyawa.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Pada Maret terjadi serangan berdarah terhadap komunitas Alawit dengan korban ratusan jiwa. Berbagai media melaporkan, sebagian pasukan perampok itu memiliki hubungan dengan kementerian dalam negeri Suriah.

    Presiden interim Suriah Ahmed al-Sharaa membentuk komisi penyelidikan, tetapi hasilnya belum dirilis. Namun ketakutan akan kekerasan merambah ke minoritas lain, termasuk umat Kristiani, yang sudah merasakan derita serupa.

    Perempuan Alawit bukan korban penculikan acak, tegas aktivis Younus. “Mereka dijadikan simbol penaklukan satu komunitas utuh.” Dalam penjara, Nora menceritakan kerap dihina dengan panggilan “babi” dan “kafir”.

    PBB pun sudah menangani laporan penculikan ini. Komisi investigasi independen PBB untuk Suriah mengatakan kepada DW bahwa laporan kasus yang didokumentasikan akan segera dirilis.

    Pada akhir Juni, komisi itu mengonfirmasi minimal enam penculikan perempuan Alawit di Suriah. Ketua komisi tersebut Paulo Sergio Pinheiro juga menyebut adanya “indikasi kredibel” kasus lainnya. Pemerintah transisi Suriah telah memulai penyelidikan beberapa kasus tersebut. Namun kementerian dalam negeri Suriah enggan memberikan jawaban kepada DW.

    Tuntutan uang dari luar negeri

    DW selama beberapa minggu melakukan investigasi dan berbicara dengan lebih dari selusin keluarga dan perempuan yang terdampak. Aktivis HAM dan lembaga pengawas memberikan data tambahan. Namun banyak keluarga enggan muncul ke publik karena takut, malu, atau tidak pasti.

    Sami*, pemuda desa dekat Kota Tartus di barat Suriah, adalah salah satu yang berani bicara ke media. Ia bercerita bahwa saudara perempuannya yang berusia 28 tahun, Iman*, menghilang tanpa jejak setelah pergi ke kota. Tidak lama kemudian, keluarga menerima telepon dari nomor asing. Suara anonim mengancam: “Lupakan Iman. Dia tidak akan pernah kembali.”

    Sami melaporkan ke polisi, tapi awalnya mereka menyepelekan dan mengatakan sebagian besar perempuan yang hilang sebenarnya kabur dengan kekasih rahasia. Namun beberapa hari kemudian penculik menghubungi kembali, kali ini menuntut tebusan dengan jumlah lima digit. Keluarga meminjam uang dan mengirimnya lewat sistem Hawala, yang menyulitkan pelacakan, ke Turki.

    Dokumen yang dimiliki DW menunjukkan penerima adalah pengungsi Suriah di Turki. Kasus lain juga terverifikasi dengan pola pembayaran serupa. Namun bagi Sami, tebusan itu sia-sia. Setelah uang ditransfer, kontak terputus dan hingga kini jejak Iman tak berbekas.

    Setali tiga uang dengan nasib Yazidi?

    Maya*, 21 tahun, juga dari dekat Tartus, diculik bersama adik di bawah umur. Saat mereka hendak berbelanja pada Maret, mereka dihentikan pria bersenjata bertopeng. “Mereka tanya kami Alawit atau Sunni. Saat jawab ‘Alawit’, kami diseret ke bus tanpa plat nomor,” ceritanya ke DW.

    Dengan mata tertutup, mereka diangkut berjam-jam melewati wilayah tak dikenal, dihina sebagai “orang kafir” dan “sisa-sisa rezim Assad.”

    Penculik menuduh mereka ikut bertanggung jawab atas kematian ratusan milisi kelompok pemerintahan transisi Islam. Maya dan adiknya akhirnya ditahan di sebuah ruang bawah tanah. “Kami takut dijual,” katanya.

    Di media sosial dan beberapa laporan sudah muncul spekulasi bahwa nasib perempuan Alawit mungkin serupa dengan Yazidi yang pada 2014 diperbudak kelompok teroris “Negara Islam” (ISIS).

    Pemerintah transisi Suriah memang mengintegrasikan kelompok radikal Islam yang komandan-komandannya pernah dituduh terlibat perdagangan manusia, seperti Jenderal Ahmad Ihsan Fayyad al-Hayes yang dituding AS terlibat perdagangan perempuan Yazidi.

    Ketua organisasi HAM “Syrians for Truth & Justice”, Bassam Alahmad, mengatakan dalam wawancara dengan DW: “Hingga kini belum ada bukti perempuan Alawit secara sistematis diperbudak seperti Yazidi dulu.”

    Namun mengkhawatirkan bahwa agama jadi alasan utama dalam penculikan dan pembunuhan. “Perempuan Alawit diserang karena agama mereka—itu alasan serupa yang menimpa perempuan Yazidi,” ungkapnya lebih lanjut.

    Selain itu, menurut Alahmad, komunitas Alawit dianggap bertanggung jawab atas kejahatan rezim Assad. “Itulah inti masalahnya.”

    Maya dan adiknya akhirnya dibebaskan. Kenapa, tak jelas. Setelah dua bulan, mereka diserahkan kembali ke keluarga dalam keadaan tertutup, ketakutan, dan trauma. Mereka selamat. Namun perempuan lain tetap hilang.

    *Nama diganti demi melindungi narasumber.

    Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa iJerman
    Diadaptasi oleh: Ayu Purwaningsih
    Editor: Yuniman Farid

    Lihat juga Video ‘Bom Bunuh Diri ISIS Meledak di Gereja Suriah, 20 Orang Tewas’:

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Sosok Melanie Putri, Wanita Bookingan Ipda Haris yang Dicium Brigadir Nurhadi hingga Berujung Pembunuhan

    Sosok Melanie Putri, Wanita Bookingan Ipda Haris yang Dicium Brigadir Nurhadi hingga Berujung Pembunuhan

    GELORA.CO –  Sebelum tewas di kolam renang, Brigadir Nurhadi disebut sempat mencium wanita bernama Melanie Putri.

    Melanie Putri adalah wanita sewaan Ipda Haris Chandra, tersangka kasus pembunuhan Brigadir Nurhadi.

    Dalam kasus pembunuhan Brigadir Nurhadi, polisi telah menetapkan 3 tersangka.

    Mereka adalah Kompol Yogi, Misri yang merupakan wanita sewaan Kompol Yogi, dan Ipda Haris Chandra.

    Misri Puspita Sari (23), salah satu tersangka menyebut Brigadir Nurhadi sempat mencium Melanie Putri.

    Peristiwa ini terjadi ketika mereka sedang pesta di Villa Privat Gili Trawangan.

    Dalam kehangatan pesta, mereka mengkonsumsi narkoba berjenis obat-obatan terlarang.

    Obat terlarang tersebut disediakan oleh Mantan Kasat Reskrim Polresta Mataram Kompol I Made Yogi Purusa Utama atau Kompol Yogi.

    Selain itu juga ada obat penenang yang dibeli oleh Misri di Bali.

    Misri membeli obat tersebut setelah mendapat kiriman dari Kompol Made Yogi sebanyak Rp 2 Juta.

    Terungkap dari pengakuan Misri, sebelum tewas di kolam berenang, dalam kondisi mabuk mereka berlima berendam di kolam berenang. 

    Saat semua mengalami kondisi kurang sadar, Misri melihat Brigadir Nurhadi mendekati sampai menciumi Melanie Putri di atas kolam. 

    Hal ini diungkapkan oleh kuasa hukum Misri, Yan Mangandar Putra.

    “Misri menegur Nurhadi dengan mengatakan ‘Jangan begitu, itu cewek abangmu’,” ujar Yan.

    Tak berselang lama, Haris dan Melanie Putri kembali ke kamar mereka (di hotel sebelah).

    “Yogi ke kamar tidur-tiduran, sedangkan Misri duduk di sekitar kolam,” ujar Yan.

    Usai itu, Misri melihat Ipda Haris Chandra bolak balik ke Vila dari hotel sampai tiga kali.

    “Kemudian pukul 19.58 WITA, katanya di CCTV hotel terlihat Haris masuk vila yang ketiga kali,” ujar Yan.

    Nah itulah detik-detik krusial.

    “Klien saya tidak bisa mengingat jelas kejadian setelah pukul 19.55 WITA. Dia sempat bangunkan Yogi, kemudian masuk ke kamar mandi cukup lama, lebih dari 20 menit.”

    “Kejadian sesaat sebelum masuk kamar mandi dan kejadian sesaat setelah keluar dari kamar mandi, dia benar-benar enggak bisa ingat,” ujar Yan.

    Sosok Ipda Haris Chandra

    Ipda Haris Chandra adalah anggota Propam Nusa Tenggara Barat (NTB).

    Ia kini resmi ditahan dan telah dipecat dari Polda NTB imbas dugaan kasus pembunuhan Brigadir Muhammad Nurhadi.

    Haris ditahan 20 hari ke depan mulai 7 Juli hingga 26 Juli 2025.

    Ipda Haris Chandra adalah bawahan dari eks Kasubdit Paminal Divpropam Polda NTB Kompol I Made Yogi Purusa Utama yang juga menjadi tersangka kematian Brigadir Nurhadi.

    Dalam sidang komisi kode etik Polri (KKEP), Haris dan Yogi dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

    Haris terbukti melanggar pasa 11 ayat (2) huruf b dan pasal 13 huruf e dan f Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang kode etik profesi Polri.

    Selain itu, mereka juga dikenakan pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri.

    Ipda Haris telah mengajukan upaya banding atas pemecatannya, tetapi langkahnya tersebut ditolak oleh komisi banding Polda NTB.

    Ipda Haris Chandra dan Kompol Yogi telah ditempatkan di tahanan khusus.

    “Kita tempatkan secara terpisah, di tempat sel khusus lantai dua nomor empat dan lima,” kata Dirtahti Polda NTB AKBP Rifa’i, dikutip dari Tribun Lombok, Senin (7/7/2025).

    Tewasnya Brigadir Nurhadi bermula ketika ia diajak oleh Kompol Yogi dan Ipda Haris ke Gili Trawangan untuk berpesta di sebuah villa privat di Gili Trawangan, Lombok Utara, Rabu 16 April 2025 malam.

    Dua wanita yakni tersangka M dan saksi berinisial P diajak untuk pergi bersama.

    Nurhadi diduga mengonsumsi obat penenang riklona dan pil ekstasi atau inex.

    Setelah itu, ia disebut sempat mencoba merayu dan mendekati salah satu teman wanita tersangka.

    “Ada peristiwa almarhum (Brigadir Nurhadi) mencoba untuk merayu dan mendekati rekan wanita salah satu tersangka, itu ceritanya.”

    “Diduga merayu dan itu dibenarkan oleh saksi yang ada di TKP (tempat kejadian perkara),” kata Dirreskrimum Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat, dalam konferensi pers di Mapolda NTB, Jumat (4/7/2025).

    Brigadir Nurhadi ditemukan meninggal dunia di kolam renang.

    Kematian Brigadir Nurhadi dinilai janggal, mengingat kolam tempat tenggelamnya korban tergolong dangkal, hanya 1,2 meter untuk tubuh anggota polisi yang tingginya lebih dari 1,6 meter.

    Kejanggalan ditemukan keluarga Brigadir Nurhadi, dikarenakan terhadap jenazah korban ditemukan tanda-tanda bekas penganiayaan.

    Sekitar pukul 21.00 WITA, salah satu tersangka yang ada di dalam villa mengabari Brigadir Nurhadi sudah berada di kolam dan diangkat.

    Awalnya, Nurhadi dikabarkan meninggal akibat tenggelam di kolam yang ada di villa tersebut.

    Akan tetapi, setelah dilakukan autopsi, dokter forensik mengungkapkan tulang lidah Nurhadi patah yang disebabkan cekikan.

    Terdapat juga luka memar di bagian kepala depan dan belakang akibat benda tumpul. 

    “Jadi ada kekerasan pencekian yang utama yang menyebabkan yang bersangkutan tidak sadar atau pingsan sehingga berada di dalam air,” kata Dokter Forensik Unram dr Arfi Samsun. 

    Penyidik masih mendalami peran dari para tersangka ini termasuk sosok yang melakukan pencekikan.

    Sementara itu, hasil pemeriksaan poligraf atau pendeteksi kebohongan juga mengungkap seluruh jawaban dari para tersangka sebagian besar berbohong. 

  • Muat Konten Pornografi dan LGBT, 3 Film Gagal Lulus Sensor LSF, Termasuk “Kramat Tunggak”

    Muat Konten Pornografi dan LGBT, 3 Film Gagal Lulus Sensor LSF, Termasuk “Kramat Tunggak”

    Muat Konten Pornografi dan LGBT, 3 Film Gagal Lulus Sensor LSF, Termasuk “Kramat Tunggak”
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com

    Lembaga Sensor Film
    (LSF) Republik Indonesia mencatat sebanyak tiga film dinyatakan tidak mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) selama periode 2024 hingga pertengahan 2025.
    Ketiganya dinilai memuat unsur yang bertentangan dengan norma hukum dan budaya di Indonesia, seperti
    pornografi
    ,
    LGBT
    , kekerasan ekstrem, hingga tindakan kanibalisme.
    Ketua Subkomisi Publikasi LSF Nusantara, Husnul Khatim Mulkan, mengungkapkan bahwa dari tiga film tersebut, dua merupakan film impor dan satu merupakan film produksi dalam negeri berjudul “
    Kramat Tunggak
    .”
    “Dari tiga film yang tidak lolos sensor itu, dua filmnya impor (dari luar negeri), dan satu dari Indonesia,” ujar Husnul usai kegiatan Literasi Layanan Penyensoran Film dan Iklan Film di Hotel Horison Ultima, Semarang, Rabu (9/7/2025).
    Menurutnya, film pertama yang tidak lolos sensor mengangkat tema pasangan LGBT dan menampilkan konten pornografi secara berlebihan. Kandungan tersebut dinilai melanggar norma-norma yang berlaku di Indonesia.
    Film kedua disebut mengandung unsur sadisme dan kanibalisme, yakni menampilkan adegan pembunuhan berantai di mana pelaku kejahatan memakan daging korbannya. Selain itu, film ini juga memuat banyak adegan seksual eksplisit.
    “Kandungan sadismenya cukup tinggi, selain itu juga pornografinya yang cukup banyak,” jelas Husnul.
    Sementara film ketiga, yakni “Kramat Tunggak”, dinyatakan tidak sesuai dengan acuan tema dan dinilai mengandung unsur pornografi, sehingga turut dinyatakan tidak lulus sensor.
    “Tidak bisa untuk dilanjutkan karena memang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum maupun norma yang berlaku di Indonesia,” tegasnya.
    Husnul menjelaskan bahwa sesuai Permendikbud Nomor 14 Tahun 2019, film dan iklan film di Indonesia diberi klasifikasi usia: Semua Umur, 13+, 17+, dan 21+.
    LSF tetap memberikan ruang bagi film dengan konten dewasa, selama penyesuaian dilakukan dan konten tidak melanggar hukum atau kesusilaan.
    Ia mencontohkan, satu film bertema LGBT pernah lolos sensor setelah melalui revisi terhadap dialog dan diklasifikasikan hanya untuk penonton usia 21 tahun ke atas.
    Lebih jauh, LSF mendorong pelaku industri film melakukan sensor mandiri sebagai bentuk tanggung jawab sebelum mengajukan film untuk ditinjau. Dalam mendukung proses itu, LSF telah menyediakan layanan daring e-SIAS (Sistem Informasi Aplikasi Sensor).
    “Dengan aplikasi ini, semua proses sensor bisa dilakukan secara online. Surat tanda lulus sensor atau STLS paling lambat kami keluarkan dalam tiga hari,” ujar Husnul.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Misteri Diplomat Kemlu Tewas, Tinggalkan Jejak Sidik Jari di Lakban – Page 3

    Misteri Diplomat Kemlu Tewas, Tinggalkan Jejak Sidik Jari di Lakban – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Seorang pegawai Kementrian Luar Negeri (Kemlu) insial ADP (39) ditemukan meninggal dunia dalam kondisi wajah tertutup lakban di kamar indekosnya kawasan Gondangdia Kecil, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/7). Polisi saat ini tengah menyelidik jejak sidik jari pada lakban yang menutupi korban.

    “Kami menunggu hasil juga dari labfor Untuk pemeriksaan yang sisa lakbannya dan sidik jarinya segala macam yang tertempel gitu,” kata Kapolsek Menteng Kompol Rezha Rahandhi saat dikonfirmasi, Rabu (9/7).

    Polisi hingga kini belum mendapatkan kesimpulan apakah ADP merupakan korban pembunuhan, sebab proses penyelidikan hingga kini masih berlangsung. Proses olah TKP juga telah dilakukan penyidik kemarin.

    Reza mengatakan di kamar indekos korban dipasang pintu keamanan otomatis. Namun dicongkel oleh tetangga korban setelah mendapat izin dari pemilik kost.

    “Memang ada, karena itu sudah sepengetahuan pemilik kos dan istri korban untuk mengetahui korban di dalam itu gimana keadaannya. Makanya meminta izin untuk dibuka paksa,” ucapnya.

     

  • Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua pengacara serta seorang panitera terkait dugaan suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO di PN Jakarta Pusat.

    Kasus itu menambah daftar panjang kasus terkait mafia peradilan yang telah diungkap oleh penegak hukum. Sebelumnya, Kejagung juga berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiga hakim itu ditangkap atas dasar tuduhan menerima suap dalam proses penanganan perkara pembunuhan dengan terdakwa Gregorius Ronald Tanur.

    Tidak berhenti sampai di situ, penyidik berhasil mengembangkan informasi bahwa dalam perkara yang sama, terdapat upaya mempengaruhi proses hukum kasasi yang diajukan oleh Ronald Tanur. Benar saja, tidak lama berselang, pihak yang diduga sebagai makelar kasus akhirnya turut ditetapkan sebagai tersangka, yakni Zarof Ricar, mantan pejabat di Mahkamah Agung.

    Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengungkapkan, fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum. Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

    Bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Meski pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) maupun Panitia Kerja (Panja) untuk menyoroti hal ini, namun ternyata kartel hukum ini tidak hilang.

    ilustrasi

    “Sebenarnya sudah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka, profesional, dan terpercaya. Seluruh model dan format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan yang tinggi telah dicoba untuk digalakkan,” ujar Sudirta.

    Namun seolah permasalahan itu tidak akan pernah berhenti dan terus menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. Menurutnya, reformasi peradilan bukan hanya berbicara dari permasalahan suap di pengadilan yang diungkap Kejagung, tapi juga berbicara di seluruh tahap peradilan.

    “Ini berarti sistem peradilan pidana misalnya juga menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan, hingga putusan itu sendiri. Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi, seluruh tahap seolah memiliki tarif,” imbuhnya.

    Dalam praktek di lapangan, banyak modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan. Karena itu, reformasi peradilan tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut.

    Sudirta menjelaskan, permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukan hal baru karena terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal itu teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan, pertama adalah korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal.

    “Kita sering mendengar adanya penanganan terhadap hakim yang bermasalah, tapi tampaknya tidak juga memberikan dampak yang signifikan. Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya gesture belaka atau untuk meredam amarah publik,” tuturnya.

    Kedua, sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem karir yang seringkali tidak transparan dan banyak “titipan”. Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh, koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan “utang budi” tersebut.

    “Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “koneksi”. Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan,” tukas Sudirta.

    Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi.

    Selanjutnya adalah banyaknya intervensi dan minimnya pengawasan karena pengaruh dari luar (mafia) cukup tinggi. Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; yang bebas dan mandiri. Pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial (KY) maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan, bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan.

    Persoalan selanjutnya kata Sudirta, adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif. Modus operandi penyuapan terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan sebenarnya sudah teridentifikasi, namun tidak memiliki semacam denah (roadmap) untuk penanggulangannya.

    Hal yang paling dapat terlihat tentunya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan atau penegakan hukum. Ketidakpastian berdampak pada sistem ekonomi dan investasi serta pelindungan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian dapat terlihat adanya penyimpangan terhadap tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Hingga kini adagium seperti “keadilan hanya milik penguasa atau orang kaya” atau “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” akan selalu muncul.

    Penguatan Sistem Pengawasan Internal dan Eksternal Bisa Menekan Praktik Mafia Peradilan

    Sudirta mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan suap dan penyimpangan dalam sistem peradilan di Indonesia. Pertama, reformasi struktur peradilan dan penegakan hukum perlu dijamin. Kedua, penguatan fungsi pengawasan melalui sistem, pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Sistem peradilan pidana misalnya memiliki pengawasan hakim secara internal (Bawas MA), Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, hingga aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) ataupun penegakan hukum.

    “Perlu dipikirkan kembali bagaimana sistem dapat secara otomatis mengawasi akuntabilitas dan keakuratannya. Revisi Hukum Acara Pidana harus memungkinkan upaya untuk mengajukan keberatan terhadap beberapa tindakan atau upaya paksa yang telah diatur dalam undang-undang, secara obyektif dan transparan,” terangnya.

    Keempat, transparansi dari rekrutmen, pembinaan karir, uji kompetensi, dan peningkatan integritas harus dapat dijamin, diharapkan akan mendorong publik agar ikut mengawasi. Sistem pembinaan karir, mutasi, promosi, demosi, dan pengisian jabatan harus memiliki tolok ukur yang jelas, obyektif, dan kepastian atau ketegasan. Jaminan untuk pembinaan karir dan penempatan di wilayah harus dilakukan dengan sistem pengelolaan Sumber Daya Manusia yang sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya.

    Kelima, perhatian terhadap hakim dan kesejahteraan maupun fasilitas yang mendukung optimalisasi kerja dan profesionalitas. Saat ini, banyak hakim atau aparat yang mengalami kekurangan dari sisi kesejahteraan maupun dukungan sarana dan prasarana kerja. Penanganan terhadap pelanggaran etik maupun hukum harus dapat dilakukan secara terbuka atau membuka ruang publik untuk dapat mengadu dan mendapat tindak lanjut yang jelas.

    “Pemanfaatan teknologi informasi juga dapat dioptimalkan untuk pengawasan dan transparansi publik. Hal terkait adalah penggunaan whistleblowing system dapat saling melaporkan penyimpangan tentunya dengan penghargaan jika terbukti dan bermanfaat,” tambah Sudirta.

    Keenam, peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dalam pemantauan dan pengungkapan praktik mafia hukum dan peradilan. Selain edukasi terhadap seluruh aparat penegak hukum, hakim, dan termasuk advokat; dibutuhkan kejelasan sistem yang dapat memudahkan penanganan pelanggaran seperti hukum dan etik yang sangat berat dan dilakukan melalui SOP atau prosedur yang jelas dan obyektif.

    “Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan. Tanpa upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia,” tegas politikus dari PDI Perjuangan itu.

    Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya menilai, pengungkapan kasus mafia peradilan seperti pada penangkapan Zarof Ricar bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab modus yang dilakukan oleh Zarof serupa dengan yang dilakukan oleh jaringan mafia peradilan lainnya yang sebelumnya pernah diproses hukum oleh KPK, yakni Sekretaris MA, Nurhadi dan Hasbi Hasan. Sekalipun ketiganya bukan merupakan hakim atau pihak yang menangani perkara, namun dengan pengaruh besar yang dimiliki, mereka memperdagangkan pengaruh itu untuk menjadi perantara suap kepada hakim yang menangani perkara.

    “Modus ini juga setidaknya juga menjadi salah satu modus korupsi yang telah dipetakan oleh ICW sejak tahun 2003 silam. Artinya, modus korupsi di sektor peradilan tidak pernah berubah. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa, meski sudah pernah ada jaringan mafia peradilan yang diproses hukum, dan modus-modusnya sudah terpetakan, namun prakteknya masih ada hingga saat ini,” tuturnya.

    Menurut Diky, dua kemungkinan penyebab eksistensi mafia peradilan. Pertama, proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK atau penegak hukum lainnya tidak pernah menyasar hingga aktor-aktor intelektualnya. Kedua, tidak ada upaya signifikan yang dilakukan oleh MA untuk melakukan upaya reformasi yang berdampak signifikan untuk menutup ruang gerak bagi hakim, panitera, atau pegawai pengadilan untuk melakukan praktik-praktik bertindak sebagai makelar kasus.

    Kondisi ini tentu semakin menunjukkan bahwa moralitas para penegak hukum, khususnya hakim di lembaga peradilan, telah berada di titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Maka tidak berlebihan rasanya jika publik, yang notabene merupakan para pencari keadilan, mengharapkan bahwa pengungkapan Zarof Ricar dijadikan sebagai momentum bagi penegak hukum untuk mengungkap jaringan mafia peradilan yang lebih luas di Mahkamah Agung.

    Selain itu, penguatan kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman juga perlu diperkuat. Sebab, prakteknya saat ini, Komisi Yudisial hanya dapat memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan aduan mengenai pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim, dan kewenangan untuk memutusnya tetap di Mahkamah Agung.

    “Sebagai langkah menghindari adanya potensi konflik kepentingan, maka Komisi Yudisial perlu diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada hakim. Namun yang paling penting, agar simultan dengan strategi-strategi tersebut, perlu ada terobosan kebijakan dari Ketua MA untuk menjadi orkestrator dalam upaya mereformasi lembaganya guna mengembalikan kembali muruah lembaga peradilan,” tutup Diky.

  • Misteri Tewasnya Diplomat Kemlu: Kamar Kos Terkunci, Tubuh Diselimuti, Kepala Dilakban
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        9 Juli 2025

    Misteri Tewasnya Diplomat Kemlu: Kamar Kos Terkunci, Tubuh Diselimuti, Kepala Dilakban Megapolitan 9 Juli 2025

    Misteri Tewasnya Diplomat Kemlu: Kamar Kos Terkunci, Tubuh Diselimuti, Kepala Dilakban
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – ADP (39), diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), ditemukan tewas di kamar indekosnya di Jalan Gondangdia Kecil Nomor 22, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025) pagi.
    Penemuan jasad ADP berawal dari laporan warga pukul 08.30 WIB. Korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan. 
    “Saat ditemukan, korban dalam posisi terbaring di atas kasur dengan kepala tertutup lakban dan tubuh tertutup selimut,” jelas Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro, Selasa, (8/7/2025).
    ADP diketahui merupakan warga asal Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. 
    Polisi menemukan sejumlah hal mencurigakan terkait kasus tewasnya ADP yang hingga kini masih menjadi misteri. 
    Kapolsek Menteng, Kompol Rezha Rahandi menyebutkan, saat jasad ADP ditemukan, kondisi kamar indekos dalam keadaan terkunci dari dalam. Disebutkan pula bahwa tak ada tanda-tanda kekerasan di tubuh ADP. 
    “Tidak ada kerusakan sama sekali. Bahkan dari hasil visum luar tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan,” katanya.
    Selain itu, tak ada barang yang hilang dari kamar indekos. 
    Meski begitu, Rezha tak menampik adanya kemungkinan unsur pidana dalam kasus ini. Saat ini, polisi masih terus menyelidiki kasus ini. 
    “Belum dipastikan (pembunuhan), saya juga tidak bisa bilang bukan (pembunuhan). Karena tidak ada tanda-tanda kekerasan, tidak ada barang yang hilang. Kami masih selidiki,” ucap dia.
    Sebelum ditemukan tewas, ADP sempat dihubungi sang istri pada Senin (7/7/2025) malam. Komunikasi terakhir keduanya terjadi pada pukul 21.00 WIB. 
    “Terus jam 5 pagi mungkin istrinya mengingatkan shalat atau apalah, tapi enggak bisa-bisa (dihubungi) sampai jam 7 atau jam 8 pagi,” ujar Rezha.
    Karena tidak mendapat respons, sang istri menghubungi penjaga kos. Dari situ, penjaga kos kemudian melaporkan ke Ketua RW, sebelum kemudian menghubungi polisi.
    “Si penjaga kos ke RW, RW ke Bhabinkamtibmas, baru kita datang ke TKP,” kata Rezha.
    Rezha menjelaskan, rumah indekos tempat korban tinggal memiliki sistem keamanan berlapis, sehingga hanya bisa diakses oleh penghuni.
    “Iya kan di situ kan kosan keluarga ya, dan
    double
    pintu, bukan tiba-tiba orang lain masuk langsung nyelonong ke pintu kamar ya, enggak seperti itu,” ujar Rezha.
    Ia juga menyebut, selama hampir dua tahun tinggal di rumah indekos itu, ADP hanya pernah dikunjungi oleh istrinya.
    “Yang datang ke situ pun juga hanya istrinya saja, orang lain tidak pernah datang ke sana. Dan dikuatkan dari keterangan si penjaganya memang yang datang ke sini hanya istrinya saja,” ucapnya.
    Salah satu tetangga indekos, Birvan Ariza Siregarsetela (39), mengaku baru mengetahui ADP merupakan diplomat Kemenlu setelah kejadian ini. Ia menyebut ADP sebagai sosok tertutup.
    “Aku enggak tau dia Kemenlu. Aku kira yang (tetangga lain). Makanya aku bilang, yang aku taunya orang Kemenlu itu paling ujung, di sudut kanan,” ujar Birvan.
    Menurut Birvan, interaksinya dengan korban hanya sebatas saling menyapa singkat saat berpapasan.
    “Kalau ketemu, tiap pagi dia mengelap motor, mengelap mobil. Aku mengelap motor, cuma bilang, ‘halo bang’, gitu aja,” ucapnya.
    Beberapa waktu sebelumnya, ADP disebut sempat menjual mobil. Kabar yang beredar menyebut korban akan pindah ke luar negeri.
    “Bulan lima (Mei) atau bulan enam (Juni) itu dijual mobilnya. Aku dapat info dari Pak Sis, yang jaga kos,” ujar Birvan.
    “Lho, kenapa? ‘Mau pindah ke luar kota’, ke China atau ke mana? ‘Ke luar negeri, mau pindah ke luar negeri’,” lanjutnya menirukan percakapan dengan penjaga kos.
    Polisi pun telah mengevakuasi jasad korban ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat untuk dilakukan otopsi.
    Sejumlah barang bukti dan rekaman CCTV juga tengah dianalisis untuk mengungkap penyebab kematian.
    “Kita masih menunggu petunjuk otopsi dari RSCM ini,” tutup Rezha.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pria Blitar Bunuh Pacar Dipicu Masalah Cemburu, Korban Dianiaya hingga Tewas

    Pria Blitar Bunuh Pacar Dipicu Masalah Cemburu, Korban Dianiaya hingga Tewas

    Jakarta

    Polisi mengungkap motif Huda alias MCH (28) membunuh pacarnya, DO (20) dan membuang jasadnya di pinggir jalan Desa Popoh, Selopuro, Kabupaten Blitar. Huda diduga cemburu karena korban memiliki pacar baru.

    “Ini (pembunuhan) disebabkan adanya kecemburuan dari terduga pelaku. Karena si korban ini memiliki pacar baru, sehingga terduga pelaku naik pitam,” kata Wakapolres Blitar, Kompol Fadilah Langko Kasim Panara dilansir detikJatim, Rabu (9/7/2025).

    Mulanya, Huda mengajak korban menonton karnaval di Kabupaten Nganjuk, pada Minggu (6/7). Namun, keduanya terlibat cekcok saat diperjalanan dan memutuskan untuk kembali ke Kediri.

    Saat di perjalanan, Huda diduga menganiaya korban, termasuk di wilayah Kediri dan Kabupaten Blitar. Huda kembali menganiaya korban hingga lemas saat di kawasan hutan Maliran Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar.

    “Saat di Maliran itu, terduga pelaku juga mengikat korban yang sudah dalam keadaan lemas. Terduga pelaku juga berpikiran untuk membawa korban ini ke daerah selatan untuk mencari daerah hutan yang sepi. Sehingga tidak ada yang tau bahwa dia yang membuang korban tersebut,” jelasnya.

    Saat itu Huda memilih untuk meninggalkan korban yang sudah dalam keadaan tewas di pinggir jalan Desa Popoh. Huda lalu melarikan diri hingga akhirnya diringkus polisi.

    Jasad korban sendiri ditemukan di pinggir jalan Desa Popoh, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar, pada Senin (7/7). Jenazah ditemukan dalam kondisi wajah tertutup rumput.

    Baca selengkapnya di sini.

    (wnv/wnv)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Begini Kronologi Pembunuhan Notaris Wanita di Bekasi

    Begini Kronologi Pembunuhan Notaris Wanita di Bekasi

    Jakarta: Polisi mengungkap kronologi pembunuhan seorang notaris bernama Sidah Alatas (60), yang ditemukan tewas dalam kondisi terikat di aliran Sungai Citarum, Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis, 3 Juli 2025.

    Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Wira Satya Triputra, menjelaskan bahwa peristiwa itu diawali dari rencana pencurian kendaraan milik korban oleh dua pelaku, salah satunya adalah mantan sopir pribadi korban.

    Pelaku berinisial A alias W telah merencanakan aksi pencurian bersama rekannya AWK sejak dini hari tanggal 30 Juni. “Pada saat itu tersangka A alias W sudah mempersiapkan peralatan berupa sebuah gunting,” kata Wira kepada wartawan, Selasa, 8 Juli 2025.
    Pelaku ajak korban bertemu

    Menurut Wira, AWK yang mengenal korban karena pernah bekerja sebagai sopir, menghubungi korban dan mengajaknya bertemu di Stasiun Bojong Gede, Bekasi, pada siang hari.

    Korban menyetujui ajakan tersebut. Setelah bertemu, keduanya berkeliling menggunakan mobil milik korban hingga larut malam. Saat itu, korban berinisiatif mengantar AWK ke Stasiun Bogor untuk kembali ke kontrakannya di daerah Cibitung. Namun, setibanya di stasiun, kereta menuju Cibitung sudah tidak tersedia.
     

     

    Aksi pembunuhan di dalam mobil

    Keesokan harinya, korban kembali bersama kedua pelaku, A dan AWK, menggunakan mobil yang sama. Mereka disebut hendak menuju kantor notaris milik korban di wilayah Bojong Gede.

    Namun dalam perjalanan, pelaku A tiba-tiba mengeluarkan gunting dari tas selempangnya dan menusuk dada kanan korban. 

    “Setelah ditusuk, karena melihat korban masih bergerak atau masih hidup, tersangka A kemudian mencekik leher korban dengan menggunakan kedua tangan selama kurang lebih 15 menit,” terang Wira.
    Jasad dibuang ke sungai

    Usai kejadian, kedua pelaku membawa jasad korban ke daerah Cikarang dan meminta bantuan pelaku ketiga, berinisial H. Ketiganya kemudian membuang jasad korban ke Sungai Citarum pada Rabu, 2 Juli.

    “Tersangka A turun membuka bagasi mobil serta membawa keluar korban dengan posisi tersangka A mengangkat bagian tengah badan, tersangka AWK mengangkat bagian kepala korban, dan tersangka H mengangkat bagian kaki. Selanjutnya mereka melemparkan ke sungai,” tuturnya.

    Ketiga pelaku saat ini telah diamankan dan menjalani pemeriksaan intensif. Polisi masih mendalami kemungkinan motif lain serta keterlibatan pihak tambahan dalam kasus ini.

    Jakarta: Polisi mengungkap kronologi pembunuhan seorang notaris bernama Sidah Alatas (60), yang ditemukan tewas dalam kondisi terikat di aliran Sungai Citarum, Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis, 3 Juli 2025.
     
    Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Wira Satya Triputra, menjelaskan bahwa peristiwa itu diawali dari rencana pencurian kendaraan milik korban oleh dua pelaku, salah satunya adalah mantan sopir pribadi korban.
     
    Pelaku berinisial A alias W telah merencanakan aksi pencurian bersama rekannya AWK sejak dini hari tanggal 30 Juni. “Pada saat itu tersangka A alias W sudah mempersiapkan peralatan berupa sebuah gunting,” kata Wira kepada wartawan, Selasa, 8 Juli 2025.

    Pelaku ajak korban bertemu

    Menurut Wira, AWK yang mengenal korban karena pernah bekerja sebagai sopir, menghubungi korban dan mengajaknya bertemu di Stasiun Bojong Gede, Bekasi, pada siang hari.

    Korban menyetujui ajakan tersebut. Setelah bertemu, keduanya berkeliling menggunakan mobil milik korban hingga larut malam. Saat itu, korban berinisiatif mengantar AWK ke Stasiun Bogor untuk kembali ke kontrakannya di daerah Cibitung. Namun, setibanya di stasiun, kereta menuju Cibitung sudah tidak tersedia.
     

     

    Aksi pembunuhan di dalam mobil

    Keesokan harinya, korban kembali bersama kedua pelaku, A dan AWK, menggunakan mobil yang sama. Mereka disebut hendak menuju kantor notaris milik korban di wilayah Bojong Gede.
     
    Namun dalam perjalanan, pelaku A tiba-tiba mengeluarkan gunting dari tas selempangnya dan menusuk dada kanan korban. 
     
    “Setelah ditusuk, karena melihat korban masih bergerak atau masih hidup, tersangka A kemudian mencekik leher korban dengan menggunakan kedua tangan selama kurang lebih 15 menit,” terang Wira.

    Jasad dibuang ke sungai

    Usai kejadian, kedua pelaku membawa jasad korban ke daerah Cikarang dan meminta bantuan pelaku ketiga, berinisial H. Ketiganya kemudian membuang jasad korban ke Sungai Citarum pada Rabu, 2 Juli.
     
    “Tersangka A turun membuka bagasi mobil serta membawa keluar korban dengan posisi tersangka A mengangkat bagian tengah badan, tersangka AWK mengangkat bagian kepala korban, dan tersangka H mengangkat bagian kaki. Selanjutnya mereka melemparkan ke sungai,” tuturnya.
     
    Ketiga pelaku saat ini telah diamankan dan menjalani pemeriksaan intensif. Polisi masih mendalami kemungkinan motif lain serta keterlibatan pihak tambahan dalam kasus ini.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (PRI)

  • Diplomat Kemlu Ditemukan Tewas Mengenaskan di Indekos Menteng

    Diplomat Kemlu Ditemukan Tewas Mengenaskan di Indekos Menteng

    Bisnis.com, JAKARTA — Polisi telah menemukan Diplomat Kementerian Luar Negeri berinisial (ADP) tewas dalam kondisi muka terbungkus lakban di kamar indekos, Menteng, Jakarta pusat.

    Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro mengatakan penemuan jasad pegawai Kemenlu itu berdasarkan laporan warga sekitar 08.00 WIB.

    “Korban berinisial ADP, laki-laki, usia 39 tahun, pegawai Kemenlu asal Yogyakarta. Saat ditemukan, korban dalam posisi terbaring di atas kasur dengan kepala tertutup lakban dan tubuh tertutup selimut,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (8/7/2025).

    Dia menambahkan saat ini, jasad korban telah dievakuasi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk dilakukan otopsi.

    Di samping itu, Susatyo mengungkap bahwa pihaknya masih melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan memeriksa sejumlah saksi, rekaman CCTV, serta mengumpulkan barang bukti di lokasi.

    “Tim Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat bersama Ditreskrimum Polda Metro Jaya masih mendalami dan menganalisa seluruh keterangan saksi, CCTV, dan barang bukti lainnya untuk mengungkap penyebab kematian korban. Kami akan sampaikan perkembangan lebih lanjut,” pungkasnya.

    Di samping itu, Kapolsek Metro Meteng, Kompol Rezha Rahandhi menyatakan bahwa pada tubuh korban tidak ditemukan tanda kekerasan maupun barang yang hilang.

    Dengan demikian, kepolisian masih belum bisa menyimpulkan bahwa perkara ini merupakan pembunuhan atau tidak.

    “Belum tentu itu pembunuhan. Kita masih selidiki,” tutur Rezha.

  • Kemlu RI Benarkan Pria Tewas Terbungkus Lakban adalah Diplomatnya

    Kemlu RI Benarkan Pria Tewas Terbungkus Lakban adalah Diplomatnya

    Kemlu RI Benarkan Pria Tewas Terbungkus Lakban adalah Diplomatnya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kementerian Luar Negeri RI membenarkan kabar
    kematian diplomat
    Indonesia bernama inisial ADP di indekosnya di Jakarta Pusat pada Selasa (8/7/2025).
    ADP disebut merupakan salah satu diplomat dan staf di Kementerian Luar Negeri RI.
    “Betul, salah satu staf Kemenlu, Saudara (menyebut nama lengkap ADP) telah meninggal dunia di kediamannya di Gondangdia,” kata Juru Bicara
    Kemenlu RI
    , Rolliansyah Soemirat, dalam pesan singkat, hari ini.
    Pria yang akrab disapa Roy ini juga mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga ADP.
    ADP disebut meninggalkan seorang istri dan dua orang anak.
    Sikap Kemenlu RI saat ini adalah menyerahkan proses penanganan peristiwa yang diduga pembunuhan tersebut kepada pihak berwenang.
    “Dan akan terus memberikan dukungan yang diperlukan dalam proses yang berlangsung,” tandas Roy.
    Sebelumnya, polisi menyebut seorang pria ditemukan tewas di sebuah kamar kos di Jl Gondangdia Kecil Nomor 22, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025) pagi.
    Pria yang ditemukan tewas terbungkus lakban itu diduga berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).
    Kapolsek Menteng Komisaris Rezha Rahandhi mengatakan, informasi mengenai status korban sebagai PNS diperoleh dari sejumlah saksi di tempat kejadian perkara (TKP).
    “Tapi saya tidak bisa memastikan apakah korban merupakan diplomat atau bukan,” ujar Rezha saat dikonfirmasi wartawan, Selasa.

    Menurut Rezha, korban berinisial ADP (39), merupakan warga asal Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
    Saat ditemukan, korban berada di dalam kamar kos dalam kondisi tewas dengan bagian kepala dibungkus lakban.
    Meski begitu, pihak kepolisian belum dapat memastikan penyebab kematian korban.
    “Belum dipastikan (pembunuhan), saya juga tidak bisa bilang bukan. Karena tidak ada tanda-tanda kekerasan, tidak ada barang yang hilang. Kami masih selidiki,” ucap Rezha.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.