Kasus: pelecehan seksual

  • Korban Lain Agus Buntung Muncul, Ada 3 Anak Masih di Bawah Umur, Agus: Dicari-cari Kesalahan Saya

    Korban Lain Agus Buntung Muncul, Ada 3 Anak Masih di Bawah Umur, Agus: Dicari-cari Kesalahan Saya

    TRIBUNJATIM.COM – Korban dugaan pelecehan I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung (21) disebut tak hanya satu.

    Pria disabilitas yang menjadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual terhadap mahasiswi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini kembali dilaporkan polisi.

    Terbaru, Agus Buntung kini dilaporkan atas dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.

    Mengetahui ini, Agus Buntung pun sempat membantahnya.

    Melansir dari Kompas.com, Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Joko Jumadi mengungkapkan, ada tiga laporan kekerasan terhadap anak di bawah umur yang diduga dilakukan oleh Agus Buntung.

    “Peristiwanya terjadi di tahun 2022, ada juga di tahun 2024,” ungkap Joko pada Senin (2/12/2024).

    Joko menganggap, adanya laporan korban lain harus diketahui masyarakat.

    Menurutnya, hal tersebut salah satu bentuk melindungi korban tetapi tidak mengabaikan hak-hak korban.

    Para korban mengalami peristiwa serupa dengan modus yang sama. Di antara korban tersebut pernah dipacari Agus Buntung.

    Joko memastikan, nama korban dan keberadaannya sudah terverifikasi.

    “Sekarang kita fokus apakah dia bisa menjadi saksi, masuk BAP atau tidak. Walaupun tidak, bagaimana hak mereka dipenuhi sebagai korban,” ujar Joko.

    Bantahan Agus

    Melansir dari TribunBogor, atas tuduhan baru terhadapnya, Agus Buntung semakin syok.

    Ditegaskan oleh Agus, ia tidak mungkin berani dan mampu melecehkan banyak wanita.

    “Saya berani bilang tidak (tidak ada tujuh korban perkosaan). Kenapa seketika baru ada kejadian ini, semua langsung kayak gitu melaporkan yang tidak-tidak. Kalau memang ada anu dari awal dia sudah (laporkan) saya. Seketika ada kasus ini, dicari-cari kesalahan (saya),” tegas Agus Buntung.

    “Tidak ada ancaman, ancaman seperti apa itu yang saya pengin tahu,” tantang Agus.

    Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat mengatakan, kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan Agus Buntung kepada mahasiswi di Mataram sudah masuk ke kejaksaan.

    “Tinggal menunggu kelengkapan dari jaksa, kalau jaksa oke, segera P21,” katanya.

    Perihal korban lain, Syarif mengatakan akan mendalami terlebih dahulu. Jika para korban melapor, pihaknya akan menindaklanjuti laporan yang masuk.

    “Paling tidak sebagai petunjuk kita ada korban lain,” ujarnya.

    Syarif mengatakan, perkara ini bukan merupakan pemerkosaan yang dianggap melakukan kekerasan fisik, tetapi laporan peristiwa pelecehan seksual.

    “UU yang diterapkan adalah Pasal 6C Undang-Undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), bukan UU pemerkosaan atau KUHP Pasal 385. Ini yang perlu kami luruskan terkait pemberitaan,” kata Syarif.

    Syarif menegaskan, penyidik Polda NTB menangani kasus ini bukan untuk mencari-cari kesalahan orang.

    Polda NTB menangani kasus ini karena adanya laporan pengaduan dari seorang korban perempuan yang datang ke Polda NTB.

    Laporan dugaan pelecehan seksual diterima Polda NTB pada tanggal 7 Oktober 2024.

    “Kami selaku penyidik Direktorat Reskrimum Polda NTB Subdit PPA menindaklanjuti. Proses ini berjalan bukan serta-merta langsung kita tetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka,” kata Syarif.

    Syarif menjelaskan, proses yang dilakukan merupakan proses jangka panjang dan sudah melewati tahapan-tahapan. Baik  proses penyelidikan, mengumpulkan bukti-bukti, maupun meminta keterangan ahli.

    “Di mana dalam proses penyelidikan ditemukan fakta-fakta dan bukti-bukti, kita tetapkanlah Agus sebagai tersangka,” kata Syarif.

    Polda NTB sudah berupaya memperhatikan disabilitas, baik sebagai korban maupun pelaku, dengan pendampingan dari Komisi Disabilitas Daerah (KDD).

    “Kita membuat MOU dengan pemerintah setempat dan stakeholder di mana Polda NTB memperhatikan disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” kata Syarif.

    Diketahui, Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) menetapkan Agus Buntung alias AG (21), pemuda penyandang disabilitas asal Mataram, NTB, sebagai tersangka dugaan kasus kekerasan seksual terhadap korban M (23), seorang mahasiswi.

    Kejadian berawal saat korban dan tersangka bertemu tidak sengaja di Teras Udayana. Korban bertemu dan berkenalan di sana serta bercerita.

    Korban mengungkapkan perasaannya yang dilalui, dan si pelaku mendengarkan sehingga ada pembicaraan di sana.

    “Hingga ada kata-kata atau kalimat, ‘kalau tidak mengikuti permintaan saya, saya akan bongkar aib kamu.’ Inilah rangkaian hingga terjadilah perbuatan pelecehan seksual itu,” kata Syarif.

    Syarif menjelaskan, dugaan kekerasan seksual ini terjadi di sebuah homestay di Kota Mataram pada 7 Oktober 2024 sekitar pukul 12.00 WITA.

    Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

  • Kasus Pelecehan Seksual di NTB, Terduga Pelaku Penyandang Disabilitas Dapat Pendampingan Khusus

    Kasus Pelecehan Seksual di NTB, Terduga Pelaku Penyandang Disabilitas Dapat Pendampingan Khusus

    Mataram, Beritasatu.com – Kasus pelecehan seksual di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang melibatkan seorang penyandang disabilitas, IWAS alias Agus, menjadi perhatian publik. Dalam beberapa waktu terakhir, kasus ini viral dan memicu berbagai spekulasi.

    Direktur Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, meluruskan kesalahpahaman yang beredar. Ia menegaskan kasus ini bukan pemerkosaan, melainkan pelecehan seksual secara fisik sebagaimana diatur dalam Pasal 6c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

    “Kasus ini tergolong pelecehan seksual secara fisik, bukan kekerasan fisik lengkap seperti yang dibayangkan banyak pihak,” jelas Kombes Syarif pada Senin (2/12).

    Kasus ini berawal dari laporan seorang perempuan ke Polda NTB. Proses hukum melalui tahapan penyelidikan, pengumpulan bukti, dan pemeriksaan mendalam sebelum menetapkan tersangka. Visum menunjukkan adanya tanda kekerasan benda tumpul pada korban, yang menjadi alat bukti kuat.

    “Polda NTB tidak mencari kesalahan, melainkan menjalankan proses hukum berdasarkan laporan korban dengan mempertimbangkan aspek hukum dan kemanusiaan,” tambahnya.

    Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Mataram, Joko Jumadi, mengungkapkan pendampingan terhadap Agus dilakukan sejak awal laporan diterima. Hal ini sesuai dengan PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Layak bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum.

    “Begitu terlapor diketahui sebagai penyandang disabilitas, Polda NTB segera berkoordinasi dengan kami,” ujar Joko.

    Agus didampingi tim advokat dari LBH Fakultas Hukum untuk memastikan proses hukum berjalan adil. Hingga kini, Agus ditempatkan dalam tahanan rumah mengingat kondisinya.

    Dalam perkembangan kasus, ditemukan dua korban lain dengan modus serupa. Bahkan, laporan masyarakat menyebut adanya tiga korban lain, termasuk anak-anak. Saat ini, penyelidikan lebih lanjut sedang berlangsung.

    “Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama di mata hukum. Kami mengimbau masyarakat untuk mempercayakan proses hukum kepada pihak berwenang dan menghindari spekulasi,” tutup Joko.

  • Beda Ortu dan Polisi soal Pemuda Tanpa Tangan Diduga Perkosa Mahasiswi

    Beda Ortu dan Polisi soal Pemuda Tanpa Tangan Diduga Perkosa Mahasiswi

    Mataram

    Pria penyandang disabilitas Tunadaksa berinisial IWAS (21) menjadi sebagai tersangka kasus pemerkosaan terhadap mahasiswi inisial MA di Mataram, Nusa Tengga Barat. Polisi dan orang tua IWAS punya versi masing-masing soal kronologi kasus itu.

    GAA, ibu dari IWAS, mengatakan awalnya MA menjemput IWAS dan meminta agar ditemani ke kampus. Namun, dia berujar, MA justru membawa IWAS ke homestay di Mataram.

    “Anak saya dibonceng oleh wanita itu ke homestay, dibuka bajunya dan celananya. Malah kebalik, harusnya dia yang diperkosa jadi korban,” ujar GAA kepada detikBali, Minggu (1/12/2024).

    “Yang bayar homestay MA. Dari mana unsur pemerkosaannya? Anak saya tidak punya tangan,” imbuhnya.

    GAA masih yakin anak bungsu dari dua bersaudara itu tidak bersalah. Dia berharap polisi meninjau kembali penetapan IWAS sebagai tersangka.

    IWAS, dia berujar, sudah menjadi penyandang disabilitas sejak lahir. Menurut GAA, hingga kini IWAS masih terus ditemani saat beraktivitas. Termasuk saat mandi maupun buang air.

    “Berdasarkan fakta-fakta yang telah didapatkan dari proses penyidikan, IWAS merupakan penyandang disabilitas secara fisik (tidak mempunyai kedua tangan). Tapi tidak ada hambatan untuk melakukan pelecehan seksual fisik terhadap korban,” kata Syarif, Sabtu (30/11/2024).

    (idh/imk)

  • Polisi Ungkap Sisi Kelam AI, untuk Penipuan hingga Pelecehan Seksual

    Polisi Ungkap Sisi Kelam AI, untuk Penipuan hingga Pelecehan Seksual

    Jakarta, CNN Indonesia

    Kepolisian Inggris memperingatkan kecerdasan buatan (AI) semakin sering digunakan untuk berbagai kejahatan seperti penipuan, pelecehan seksual, hingga eksploitasi anak.

    Alex Murray, Kepala Polisi Nasional bidang AI, mengungkapkan aksesibilitas teknologi yang semakin mudah menjadi faktor utama peningkatan penggunanya oleh pelaku kriminal.

    “Kita tahu dari sejarah kepolisian bahwa penjahat itu kreatif dan akan menggunakan apa pun untuk melakukan kejahatan. Mereka sekarang menggunakan AI untuk melakukan kejahatan,” kata Murray, mengutip The Guardian, Minggu (24/11).

    Ia menambahkan, kejahatan ini bisa terjadi dalam skala internasional maupun di tingkat individu.

    Salah satu kejahatan AI yang berkembang pesat adalah penggunaan teknologi deepfake untuk melakukan penipuan berskala besar. Murray mengungkapkan contoh kasus penipuan menggunakan video deepfake untuk menyamar sebagai eksekutif perusahaan.

    Dalam kasus ini, seorang karyawan perusahaan multinasional tertipu untuk mentransfer dana sebesar HK$200 juta atau sekitar Rp409 miliar. Pelaku saat menjalankan aksinya berbicara dalam konferensi video dengan menyamar sebagai kepala keuangan perusahaan menggunakan AI.

    Kasus serupa dilaporkan terjadi di berbagai negara, dengan insiden pertama yang diketahui melibatkan perusahaan energi Inggris pada 2019. Menurut Murray, meskipun jenis kejahatan ini jarang terjadi, dampaknya sangat besar dan ia telah mengetahui puluhan kasus semacam ini.

    Eksploitasi anak dan pelecehan seksual

    Penggunaan AI yang paling mengkhawatirkan adalah untuk menciptakan konten pelecehan anak. Teknologi generatif AI memungkinkan pelaku membuat ribuan gambar dan video pelecehan seksual anak secara sintetik, yang semuanya ilegal.

    Murray menyoroti kasus Hugh Nelson (27), seorang pria dari Bolton yang dihukum 18 tahun penjara setelah menawarkan layanan pembuatan gambar pelecehan anak berbasis AI kepada jaringan pedofil daring.

    Selain itu, AI juga dimanfaatkan dalam praktik “sextortion,” yaitu pemerasan dengan ancaman menyebarkan gambar tidak senonoh korban. Pelaku sering memanipulasi foto yang diambil dari media sosial untuk membuat gambar telanjang menggunakan teknologi “nudify.”

    “Kita berbicara tentang ribuan dan ribuan dan ribuan gambar,” kata Murray.

    “Semua gambar, baik sintetis maupun tidak, melanggar hukum, dan orang-orang menggunakan AI generatif untuk membuat gambar anak-anak yang melakukan hal-hal yang paling mengerikan.” tambahnya

    Kejahatan siber dan radikalisasi

    AI juga digunakan untuk kejahatan siber, seperti menyuruh AI untuk menemukan celah keamanan dalam perangkat lunak atau kode tertentu.

    “Sebagian besar kejahatan AI saat ini berkisar pada gambar pelecehan anak dan penipuan, tetapi ada banyak potensi ancaman,” ujar Murray.

    Ancaman radikalisasi melalui AI juga menjadi perhatian, terutama setelah seorang pria yang mencoba menyerang Ratu Elizabeth II dengan crossbow pada 2021 mengaku mendapatkan dorongan dari chatbot berbasis AI.

    Peninjau independen legislasi terorisme Inggris, Jonathan Hall, mengungkapkan bahwa chatbot bisa digunakan untuk menyebarkan propaganda, memfasilitasi perencanaan serangan, atau bahkan menciptakan figur radikal. Hall mengilustrasikan betapa mudahnya ia membuat chatbot Osama bin Laden menggunakan platform AI komersial.

    “Meskipun kita tidak tahu persis bagaimana AI generatif akan dieksploitasi oleh teroris, kita memerlukan pemahaman bersama tentang AI generatif dan keyakinan untuk bertindak, dan tentu saja bukan reaksi yang mengatakan: ‘Ini terlalu sulit.’,” Hall memperingatkan dalam pidatonya di Lancaster House bulan lalu.

    Murray menekankan bahwa pesatnya perkembangan AI generatif, baik dalam pembuatan teks maupun gambar, memperbesar risiko penyalahgunaan teknologi ini di masa depan.

    “Orang-orang yang menggunakan perangkat lunak semacam ini saat ini masih tergolong orang-orang yang terbatas, tetapi akan menjadi sangat mudah digunakan. Kemudahan masuk, realisme, dan ketersediaan adalah tiga vektor yang mungkin akan meningkat,” tutur Murray.

    Ia memperingatkan bahwa polisi harus bertindak cepat untuk menghadapi ancaman ini. “Antara sekarang hingga 2029, kita akan melihat peningkatan signifikan dalam berbagai jenis kejahatan ini, dan kami ingin mencegahnya,” tambahnya.

    Cara Agar Tak Jadi Korban Pornografi Deepfake (Foto: CNN Indonesia/Agder Maulana) (wnu/dmi)

    [Gambas:Video CNN]

  • Pemuda Tunadaksa Tanpa Dua Tangan di NTB Jadi Tersangka Pemerkosaan, Kok Bisa?

    Pemuda Tunadaksa Tanpa Dua Tangan di NTB Jadi Tersangka Pemerkosaan, Kok Bisa?

    Mataram: Kasus pemerkosaan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini membuat banyak pihak terheran-heran. IWAS alias Agus (21), seorang pemuda penyandang disabilitas tunadaksa tanpa kedua tangan, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan memerkosa seorang mahasiswi berinisial MA.

    “Ya sudah menjadi tersangka. Dalam perkara ini, satu orang korban,” kata Kepala Subdirektorat Renakta Polda NTB, AKBP Ni Made Pujewati, Sabtu 30 November 2024.

    Direktur Reskrimum Polda NTB Kombes Syarif Hidayat mengungkap kronologi kasus ini. Berdasarkan penyidikan, Agus mengajak korban ke sebuah homestay di Mataram pada 7 Oktober 2024. 

    Baca juga: Deretan Kasus Sean ‘Diddy’ Combs: Pelecehan hingga Kekerasan Seksual di Bawah Umur

    Di sana, pemuda tanpa tangan ini diduga memanfaatkan kemampuan luar biasa kakinya untuk membuka pakaian korban dan melakukan kekerasan seksual.

    “Fakta-fakta yang telah didapatkan dari proses penyidikan bahwa IWAS merupakan penyandang disabilitas secara fisik (tidak mempunyai kedua tangan). Tapi tidak ada hambatan untuk melakukan pelecehan seksual fisik terhadap korban,” jelas Syarif.

    Agus dikenal mampu melakukan berbagai aktivitas harian menggunakan kakinya, seperti makan, menutup pintu, hingga mengendarai sepeda motor khusus. Hal ini disebut membuktikan bahwa disabilitas fisik tidak menjadi penghambat dalam melakukan tindak pidana ini.

    Polisi juga mendapati bukti kuat dari visum korban, yang menunjukkan adanya kekerasan seksual. Hasil pemeriksaan psikologis korban menguatkan dugaan bahwa ia mengalami trauma mendalam setelah kejadian itu. 

    “Korban mengalami syok atau ketakutan yang timbul, yang mengira adanya kerja sama antara pelaku dengan penjaga homestay sehingga terpaksa menuruti kemauan pelaku,” ujar Syarif.

    Barang bukti berupa pakaian korban, seprai, serta uang Rp50 ribu diamankan polisi. Berdasarkan penyidikan, korban disebut terpaksa mengikuti kemauan pelaku karena rasa takut dan tekanan psikologis.
    Netizen heran
    Agus kini dijerat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan harus menghadapi proses hukum. Meski begitu, kasus ini memicu perbincangan publik termasuk di media sosial X, terutama soal bagaimana seorang penyandang disabilitas tunadaksa bisa melakukan tindak kejahatan seperti ini.

    “Disabilitas, Tpi tidak ada hambatan.
    Konsepnya gimana ini narasinya?,” demikian tulis pengguna akun X, Minggu 1 Desember 2024.

    “Beliau cara megangin korbannya gimana? Apakah di lilit seperti ular,” tulis akun lain.

    “Disabilitas, Tpi tidak ada hambatan.
    Konsepnya gimana ini narasinya?” tulis akun lain.

    Mataram: Kasus pemerkosaan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini membuat banyak pihak terheran-heran. IWAS alias Agus (21), seorang pemuda penyandang disabilitas tunadaksa tanpa kedua tangan, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan memerkosa seorang mahasiswi berinisial MA.
     
    “Ya sudah menjadi tersangka. Dalam perkara ini, satu orang korban,” kata Kepala Subdirektorat Renakta Polda NTB, AKBP Ni Made Pujewati, Sabtu 30 November 2024.
     
    Direktur Reskrimum Polda NTB Kombes Syarif Hidayat mengungkap kronologi kasus ini. Berdasarkan penyidikan, Agus mengajak korban ke sebuah homestay di Mataram pada 7 Oktober 2024. 
    Baca juga: Deretan Kasus Sean ‘Diddy’ Combs: Pelecehan hingga Kekerasan Seksual di Bawah Umur
     
    Di sana, pemuda tanpa tangan ini diduga memanfaatkan kemampuan luar biasa kakinya untuk membuka pakaian korban dan melakukan kekerasan seksual.
     
    “Fakta-fakta yang telah didapatkan dari proses penyidikan bahwa IWAS merupakan penyandang disabilitas secara fisik (tidak mempunyai kedua tangan). Tapi tidak ada hambatan untuk melakukan pelecehan seksual fisik terhadap korban,” jelas Syarif.
     
    Agus dikenal mampu melakukan berbagai aktivitas harian menggunakan kakinya, seperti makan, menutup pintu, hingga mengendarai sepeda motor khusus. Hal ini disebut membuktikan bahwa disabilitas fisik tidak menjadi penghambat dalam melakukan tindak pidana ini.
     
    Polisi juga mendapati bukti kuat dari visum korban, yang menunjukkan adanya kekerasan seksual. Hasil pemeriksaan psikologis korban menguatkan dugaan bahwa ia mengalami trauma mendalam setelah kejadian itu. 
     
    “Korban mengalami syok atau ketakutan yang timbul, yang mengira adanya kerja sama antara pelaku dengan penjaga homestay sehingga terpaksa menuruti kemauan pelaku,” ujar Syarif.
     
    Barang bukti berupa pakaian korban, seprai, serta uang Rp50 ribu diamankan polisi. Berdasarkan penyidikan, korban disebut terpaksa mengikuti kemauan pelaku karena rasa takut dan tekanan psikologis.
    Netizen heran
    Agus kini dijerat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan harus menghadapi proses hukum. Meski begitu, kasus ini memicu perbincangan publik termasuk di media sosial X, terutama soal bagaimana seorang penyandang disabilitas tunadaksa bisa melakukan tindak kejahatan seperti ini.

    “Disabilitas, Tpi tidak ada hambatan.
    Konsepnya gimana ini narasinya?,” demikian tulis pengguna akun X, Minggu 1 Desember 2024.
     
    “Beliau cara megangin korbannya gimana? Apakah di lilit seperti ular,” tulis akun lain.
     
    “Disabilitas, Tpi tidak ada hambatan.
    Konsepnya gimana ini narasinya?” tulis akun lain.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DHI)

  • KAI Commuter Blacklist Pelaku Pelecehan Seksual di KRL Parung Panjang-Tanah Abang

    KAI Commuter Blacklist Pelaku Pelecehan Seksual di KRL Parung Panjang-Tanah Abang

    KAI Commuter Blacklist Pelaku Pelecehan Seksual di KRL Parung Panjang-Tanah Abang
    Tim Redaksi
    TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com
    – Kereta Api Indonesia (KAI) Commuter mem-
    blacklist
    pelaku pelecehan seksual yang terjadi di gerbong Kereta Rel Listrik (
    KRL
    ) rute Parung Panjang-Tanah Abang.
    Manager Public Relations
    KAI Commuter
    , Leza Arlan mengatakan, pihaknya telah merekam wajah pelaku agar tidak bisa menggunakan transportasi KRL lagi.
    “Kami sangat menyayangkan tindakan asusila ini. Yang jelas pelaku sudah kami black list untuk naik
    commuter line
    ,” ujar Leza Arlan kepada
    Kompas.com,
    Sabtu (30/11/2024).
    Adapun cara
    blacklist
    yang dilakukan pihak KAI Commuter, yaitu dengan memasukan rekaman atau sketsa wajah ke dalam database sistem CCTV analytic
    “Kami mem-blacklist pelaku agar tidak bisa menggunakan commuter line karena sudah dimasukkan ke dalam data base dan akan selalu terpantau melalui CCTV analytic,” kata dia.
    Dia pun menjelaskan bahwa dengan proses tersebut, sistem akan menganalisis rekaman wajah atau data lainnya untuk memverifikasi identitas pelaku.
    Nantinya, jika pelaku berusaha kembali naik KRL, maka para petugas pengamanan akan mendapatkan notifikasi, baik di stasiun maupun dalam kereta.
    Diberitakan sebelumnya, Seorang perempuan berinisial KD menjadi korban pelecehan di dalam gerbong KRL rute Parung Panjang-Tanah Abang, Kamis (28/11/2024).
    Aksi pelecehan tersebut dilakukan seorang laki-laki tua saat kondisi kereta penuh sesak pada jam sibuk pagi hari.
    “Kondisi dalam gerbong KRL saat itu padat banget karena memang rush hours, orang berangkat kerja,” kata KD melalui akun X @kezia_dera, Jumat (29/11/2024).
    KD menceritakan, saat itu ia merasa tergencet oleh penumpang lain. Untuk melindungi bagian tubuhnya, ia menyilangkan tangannya. Namun, ia merasakan sesuatu menyentuh area sensitif bagian bawah tubuhnya.
    “Saya masih positive thinking saja dan mengira adalah tas isi dokumen atau laptop,” ujar KD.
    Namun, pergerakan yang lebih intens mulai terasa, sehingga KD memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
    “Saya curiga dan akhirnya mencoba paksa menggeser sedikit orang di kanan kiri saya buat melihat siapa yang menyentuh area sensitif saya,” ungkapnya.
    KD terkejut saat mendapati pria tua itu. Ia langsung berteriak, merekam wajah pelaku dan melaporkan kejadian tersebut kepada petugas keamanan KRL.
    Ketika KRL tiba di Stasiun Pondok Ranji, petugas keamanan KRL langsung membawa pria tersebut untuk diinterogasi. KD mendampingi proses tersebut dengan emosi yang masih terpancar.
    “Saya marah ke pria itu dan saya videoin mukanya. Ketika di pemberhentian Stasiun Pondok Ranji, sudah ada sekuriti KRL yang sigap membawa predator,” ucap KD.
    Dihubungi terpisah, Kapolsek Ciputat Timur Kompol Kemas Arifin mengonfirmasi adanya kejadian tersebut. Namun, ia menyebutkan bahwa kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalah secara damai.
    “Para pihak dimediasi oleh pihak PKD kereta api. (Korban) tidak membuat LP. Berdamai,” kata Kemas saat dihubungi
    Kompas.com,
    Jumat (29/11/2024).
    Kejadian ini menambah daftar kasus pelecehan di transportasi umum, yang terus menjadi perhatian publik dan mendorong peningkatan keamanan bagi pengguna jasa transportasi massal.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemuda Disabilitas Tanpa Tangan Jadi Tersangka Pemerkosaan Mahasiswi di Mataram

    Pemuda Disabilitas Tanpa Tangan Jadi Tersangka Pemerkosaan Mahasiswi di Mataram

    Jakarta

    IWAS alias Agus (21), pemuda penyandang disabilitas tunadaksa yang tak memiliki dua lengan ditetapkan sebagai tersangka. Pria asal Kecamatan Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu diketahui memerkosa seorang mahasiswi berinisial MA.

    Kepala Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) IV Ditreskrimum Polda NTB AKBP Ni Made Pujewati membenarkan penetapan tersangka itu. Hal itu berdasarkan dua alat bukti dan keterangan dua saksi ahli.

    “Ya sudah menjadi tersangka. Dalam perkara ini, satu orang korban,” ujar Pujewati, dilansir detikBali, Sabtu (30/11/2024).

    Sementara itu, Dirreskrimum Polda NTB Kombes Syarif Hidayat menjelaskan awal mula pada 7 Oktober 2024 sekitar pukul 12.00 Wita, Agus mengajak korban ke salah satu homestay di Kota Mataram. Di situ lah pemerkosaan terjadi

    “Jadi berdasarkan fakta-fakta yang telah didapatkan dari proses penyidikan bahwa IWAS merupakan penyandang disabilitas secara fisik (tidak mempunyai kedua tangan). Tapi tidak ada hambatan untuk melakukan pelecehan seksual fisik terhadap korban,” beber Syarif.

    “Jadi IWAS membuka kedua kaki korban dengan menggunakan kedua kaki tersangka. Begitu juga dalam melakukan kegiatan sehari-hari menggunakan kedua kakinya seperti menutup pintu, makan, tanda tangan, serta menggunakan sepeda motor khusus,” tambahnya.

    (azh/azh)

  • Pria Tanpa Lengan di NTB Jadi Pelaku Pelecehan Seksual, Apa Itu Pelecehan Seksual Nonfisik?

    Pria Tanpa Lengan di NTB Jadi Pelaku Pelecehan Seksual, Apa Itu Pelecehan Seksual Nonfisik?

    Jakarta: Seorang pemuda tanpa lengan asal Nusa Tenggara Barat (NTB), IWAS alias Agus Buntung (21), baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah ditetapkan sebagai tersangka pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi.

    IWAS, yang juga seorang seniman dan mahasiswa semester tujuh, diduga melakukan tindakan asusila, dia berandil bahwa hal tersebut tidak masuk akal

    “Bukan saya apa, rasa sakit saya dituduh dengan memperkosa orang. Sedangkan saya buka celana nggak bisa, buka baju nggak bisa. Logikanya di mana dengan komentar yang tidak-tidak,” ujar IWAS dalam potongan video yang viral di media sosial.

    Namun, pihak Kepolisian Daerah (Polda NTB) menegaskan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu, termasuk bagi penyandang disabilitas. Dia dituduh melakukan tindakan pelecehan seksual nonfisik, apa itu? Yuk simak.
     
    Apa Itu Pelecehan Seksual Nonfisik?
    Pelecehan Seksual berdasarkan KBBI adalah pelanggaran batasan seksual orang lain atau norma perilaku seksual.

    Tindak pidana kekerasan Seksual terdiri atas dua bentuk berdasarkan UU 12 Tahun 2022 atau TPKS pasal 4: Pelecehan Seksual nonfisik dan pelecehan seksual fisik.

    Pelaku pelecehan seskual nonfisik sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 adalah

    “Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorzrng berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”
     
    Barang Bukti
    Tentunya, membuktikan perbuatan ini bisa sangat sulit. Namun, UU TPKS Pasal 24 telah menjelaskan alat-alat bukti yang dianggap sah dalam proses pembuktian, diantaranya adalah: 

    1. Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:

    a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
    b. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    c. barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/ atau benda atau barangyang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.

    2. Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/ atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.

    3. Termasuk alat bukti surat yaitu:

    a. surat keterangan psikolog klinis dan/ atau
    psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;
    b. rekam medis;
    c. hasil pemeriksaan forensik; d,an/atau
    d. hasil pemeriksaan rekening bank.

    Nah, dalam kasus IWAS, pihak Kepolisian Daerah (Polda) NTB berandil bahwa dugaan pelecehan seksual yang dilakukan dilakukan dengan pemanfaatan komunikasi verbal yang mempengaruhi psikologis korban.

    Pihak Polda mengungkap tindakan dugaan pelecehan IWAS tidak hanya terjadi satu kali, namun sebagai bagian dari rangkaian kejadian di berbagai lokasi, seperti salah satu taman di NTB dan penginapan.

    Dia diduga melakukan tindakan tersebut dengan manipulasi verbal dan komunikasi yang merendahkan martabat korban, meskipun memiliki keterbatasan fisik yang signifikan.

    Pihak penyidik menyatakan bahwa temuan tersebut berdasarkan sejumlah bentuk alat-alat bukti yang sudah dijabarkan, termasuk keterangan saksi dan hasil pemeriksaan dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

    “Berdasarkan hasil tersebut, status IWAS yang awalnya menjadi saksi, kini resmi ditingkatkan menjadi tersangka,” kata Kepala Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Reserse Kriminal Umum Polda NTB AKBP Ni Made Pujawati, 

    Pelecehan seksual bukan hanya berupa tindakan fisik, tetapi juga dapat berupa tindakan non-fisik seperti ucapan dan komunikasi yang merendahkan martabat seseorang.

    Kasus IWAS di NTB menegaskan pentingnya kesadaran masyarakat mengenai berbagai bentuk pelecehan seksual dan ancaman hukuman bagi pelakunya.

    Setiap bentuk pelecehan, baik fisik maupun non-fisik, harus dilawan demi melindungi hak-hak korban dan menjaga martabat kemanusiaan.

    Baca Juga:
    Kamu Merasa Benci Diri Sendiri secara Tiba-tiba? Ternyata Ini 5 Alasannya

    Jakarta: Seorang pemuda tanpa lengan asal Nusa Tenggara Barat (NTB), IWAS alias Agus Buntung (21), baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah ditetapkan sebagai tersangka pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi.
     
    IWAS, yang juga seorang seniman dan mahasiswa semester tujuh, diduga melakukan tindakan asusila, dia berandil bahwa hal tersebut tidak masuk akal
     
    “Bukan saya apa, rasa sakit saya dituduh dengan memperkosa orang. Sedangkan saya buka celana nggak bisa, buka baju nggak bisa. Logikanya di mana dengan komentar yang tidak-tidak,” ujar IWAS dalam potongan video yang viral di media sosial.
    Namun, pihak Kepolisian Daerah (Polda NTB) menegaskan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu, termasuk bagi penyandang disabilitas. Dia dituduh melakukan tindakan pelecehan seksual nonfisik, apa itu? Yuk simak.
     
    Apa Itu Pelecehan Seksual Nonfisik?
    Pelecehan Seksual berdasarkan KBBI adalah pelanggaran batasan seksual orang lain atau norma perilaku seksual.
     
    Tindak pidana kekerasan Seksual terdiri atas dua bentuk berdasarkan UU 12 Tahun 2022 atau TPKS pasal 4: Pelecehan Seksual nonfisik dan pelecehan seksual fisik.
     
    Pelaku pelecehan seskual nonfisik sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 adalah
     
    “Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorzrng berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”
     
    Barang Bukti
    Tentunya, membuktikan perbuatan ini bisa sangat sulit. Namun, UU TPKS Pasal 24 telah menjelaskan alat-alat bukti yang dianggap sah dalam proses pembuktian, diantaranya adalah: 
     
    1. Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
     
    a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
    b. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    c. barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/ atau benda atau barangyang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
     
    2. Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/ atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.
     
    3. Termasuk alat bukti surat yaitu:
     
    a. surat keterangan psikolog klinis dan/ atau
    psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;
    b. rekam medis;
    c. hasil pemeriksaan forensik; d,an/atau
    d. hasil pemeriksaan rekening bank.
     
    Nah, dalam kasus IWAS, pihak Kepolisian Daerah (Polda) NTB berandil bahwa dugaan pelecehan seksual yang dilakukan dilakukan dengan pemanfaatan komunikasi verbal yang mempengaruhi psikologis korban.
     
    Pihak Polda mengungkap tindakan dugaan pelecehan IWAS tidak hanya terjadi satu kali, namun sebagai bagian dari rangkaian kejadian di berbagai lokasi, seperti salah satu taman di NTB dan penginapan.
     
    Dia diduga melakukan tindakan tersebut dengan manipulasi verbal dan komunikasi yang merendahkan martabat korban, meskipun memiliki keterbatasan fisik yang signifikan.
     
    Pihak penyidik menyatakan bahwa temuan tersebut berdasarkan sejumlah bentuk alat-alat bukti yang sudah dijabarkan, termasuk keterangan saksi dan hasil pemeriksaan dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).
     
    “Berdasarkan hasil tersebut, status IWAS yang awalnya menjadi saksi, kini resmi ditingkatkan menjadi tersangka,” kata Kepala Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Reserse Kriminal Umum Polda NTB AKBP Ni Made Pujawati, 
     
    Pelecehan seksual bukan hanya berupa tindakan fisik, tetapi juga dapat berupa tindakan non-fisik seperti ucapan dan komunikasi yang merendahkan martabat seseorang.
     
    Kasus IWAS di NTB menegaskan pentingnya kesadaran masyarakat mengenai berbagai bentuk pelecehan seksual dan ancaman hukuman bagi pelakunya.
     
    Setiap bentuk pelecehan, baik fisik maupun non-fisik, harus dilawan demi melindungi hak-hak korban dan menjaga martabat kemanusiaan.
     
    Baca Juga:
    Kamu Merasa Benci Diri Sendiri secara Tiba-tiba? Ternyata Ini 5 Alasannya

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (WAN)

  • Wamen PPA Veronica Tan sebut ekonomi Ujung tombak masalah kekerasan perempuan

    Wamen PPA Veronica Tan sebut ekonomi Ujung tombak masalah kekerasan perempuan

    Sumber foto: Radio Elshinta/ Arie Dwi Prasetyo

    Wamen PPA Veronica Tan sebut ekonomi Ujung tombak masalah kekerasan perempuan
    Dalam Negeri   
    Editor: Valiant Izdiharudy Adas   
    Sabtu, 30 November 2024 – 17:08 WIB

    Elshinta.com – Wakil Menteri Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Veronica Tan mengatakan saat ini sedang menginventarisir berbagai macam persoalan yang menimpa kaum perempuan dan anak di Indonesia. Veronica menyebut ada banyak masalah yang perlu segera dicari akarnya dan segera ditangani.

     

    Dimana hal itu ungkap Veronica Tan saat menghadiri Empowerment Talk bertajuk Perempuan Berdaya, Bangsa Berjaya: Menuju Indonesia Emas 2045 yang digelar DPP Perempuan Bangsa dalam rangkaian Musyawarah Nasional (Munas) ke-V di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (30/11/2024).

     

    “Jadi berdua kami baru sebulan ada di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Saya itu simple banget, saya pikir waktu masuk ke pemberdayaan perempuan pasti urusannya memberdayakan, mengajak stakeholder, ngajak NGO untuk bekerja sama melatih lagi nih,” ujar Vero.

     

    “Nggak tahunya pas masuk dua minggu, stress bu. Karena yang ada laporan. Jadi kasus, laporan, pelecehan seksual, kekerasan anak, KDRT, pembunuhan, ada anak ditemukan meninggal, ada di Banyuwangi di Purworejo itu yang ibu menteri kunjungi untuk bertemu, bertatap muka awal-awal,” sambungnya.

     

    Kemudian, Vero juga menyebut setelah pihaknya menggali semua persoalan tersebut, ditemukan sejumlah penyebab yang memang memerlukan penanganan dengan cepat. Satu diantaranya adalah karena banyak kaum perempuan tidak berani speak up akan masalah yang dialami. 

     

    “Itu karena perempuan-perempuan tidak berani speak up, perempuan-perempuan tidak berani berbuat apapun, perempuan-perempuan yang tidak teredukasi, punya anak jadi terbeban,” ungkapnya.

     

    Wakil Menteri PPPA ini mengatakan permasalahan yang terjadi tersebut ialah faktor ekonomi. Ia pun menilai kaum perempuan Indonesia banyak sangat lemah dari sisi ekonomi, sehingga mereka bergantung kepada orang-orang terdekat, khususnya suami.

     

    “Itu sebabnya perempuan lagi yang kena. Sementara perempuan harus kerja serabutan semua, mana bisa punya waktu lagi untuk bisa berdaya mengisi profesi dan segalanya untuk menjadi perempuan yang berdaya dengan kondisi seperti itu,” ujarnya, seperti yang dilaporkan Reporter Elshinta Arie Dwi Prasetyo.

     

    “Jadi permasalahan itu bagaimana membuat ekonomi perempuan itu harus ada dulu. Kalau ekonomi perempuan ada, berdaya, dia mandiri sendiri saya yakin dia akan berani speak up,” pungkas Vero.

     

    Tak hanya Vero yang hadir sebagai pemateri dalam empowerment talk tersebut akrivis perempuan Chiki Fawzi, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusuma, dan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Dr. Nihayatul Wafiroh,.M.A.

    Sumber : Radio Elshinta

  • Viral Isu Mahasiswa Di-DO Gegara Demo Dosen Pelecehan Seksual, Unhas Membantah

    Viral Isu Mahasiswa Di-DO Gegara Demo Dosen Pelecehan Seksual, Unhas Membantah

    GELORA.CO – Alief Gufran, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, diberi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat atau drop out (DO).

    Pemecatan mahasiswa angkatan 2019 itu menuai protes keras dari mahasiswa dan heboh di media sosial dengan narasi Alief di-DO diduga setelah demo menyikapi kasus pelecehan seksual.

    Dugaan pelecehan seksual itu terjadi di ruangan dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas. Dosen tersebut diduga melecehkan mahasiswinya yang sedang bimbingan skripsi. Unhas sudah memberikan sanksi berat kepada pelaku.

    Benarkah Alif di-DO karena demo kasus pelecehan seksual?

    Kepala Humas Unhas, Ahmad Bahar, menyatakan Alief diberhentikan sebagai mahasiswa FIB tidak berkaitan dengan demo tersebut.

    “Itu kasus yang berbeda. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan demo pelecehan seksual,” kata Ahmad, Kamis malam (28/11).

    Ahmad melanjutkan, “Ada beberapa pasal yang dilanggar dalam Peraturan Senat Akademik Unhas. Mulai pelanggaran ringan seperti demo tidak sopan hingga pelanggaran berat seperti minum alkohol dalam kampus.”

    Pemberian sanksi terhadap Alief tidak serta-merta langsung diberikan, melainkan telah terlebih dahulu diberikan sanksi teguran lisan, surat peringatan, hingga pemecatan. Kasus Alief pun telah bergulir sejak Oktober lalu.

    “Teguran-teguran lisan, tidak langsung. Jadi soal demo (sikapi pelecehan seksual) itu hanya kebetulan saja, keputusan ini keluar dia baru habis demo, jadi beririsan,” kata Ahmad.

    Sanksi pemberhentian tidak dengan hormat atau drop out (DO) sesuai dengan surat keputusan Rektor Unhas nomor: 13527/UN4.1/@024 ini terpaksa diberikan kepada Alief karena untuk menjunjung tinggi kode etik akademik Unhas.

    “Jadi keputusan itu berat dan terpaksa harus kita lakukan,” kata Ahmad.