Kasus: pelecehan seksual

  • Pelecehan Seksual oleh Dokter PPDS Unpad di Gedung MCHC RSHS Bandung – Halaman all

    Pelecehan Seksual oleh Dokter PPDS Unpad di Gedung MCHC RSHS Bandung – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG.- PAP (31), seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, melakukan pelecehan seksual di gedung MCHC RSHS Bandung.

    Gedung MCHC RSHS Bandung itu berada di lantai 7 RSHS Bandung. Aksi pelecehan seksual terjadi pada 18 Maret 2025 pukul 0100 WIB.

    Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Komisaris Besar Surawan, mengatakan PAP memperkosa FH (21), korban di salah satu ruangan baru yang belum digunakan di RSHS Bandung.

    “Korban diajak pelaku ke ruang baru (gedung MCHC RSHS Bandung,-red),” kata dia, di Bandung, Jawa Barat, pada (9/4/2025).

    Menurut dia, pelaku mengajak ke ruangan di gedung MCHC RSHS Bandung pada saat korban sedang mendampingi ayahnya yang sedang dalam kondisi kritis.

    Lalu, kata dia, pelaku meminta korban melakukan tranfusi darah sendirian dan tidak ditemani keluarga.

    “Korban tidak tahu masku pelaku,” kata dia. 

    Di ruang gedung MCHC RSHS Bandung itu terjadi pelecehan seksual.

    Polisi menemukan sisa sperma di tubuh korban serta alat kontrasepsi yang digunakan pelaku.

    Kini, sampel sperma itu sudah dibekukan dan akan diuji melalui tes DNA.

    Upaya itu dilakukan untuk memastikan kecocokan.

    Setelah lima hari pasca kejadian di MCHC RSHS Bandung itu, dokter PPDS Unpad ditangkap di sebuah apartemen di Bandung.

    Sebelum ditangkap, pelaku hendak melakukan bunuh diri dengan cara melukai pergelangan tangan.

    Pelaku pun sempat dirawat di rumah sakit akibat perbuatannya itu.

  • Puan Kecam Kekerasan Seks di Kampus: Harus Dihukum Seberat-beratnya!

    Puan Kecam Kekerasan Seks di Kampus: Harus Dihukum Seberat-beratnya!

    Jakarta

    Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengatakan tidak boleh ada toleransi bagi praktik kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk di kampus. Ia mendorong agar pelaku pelecehan seksual mendapat hukuman setimpal.

    “Tidak boleh ada sedikitpun toleransi terhadap kekerasan seksual di dunia pendidikan. Pelaku kekerasan seksual harus dihukum seberat-beratnya,” kata Puan Maharani dalam keterangannya, Rabu (9/5/2025).

    Puan menyoroti kasus kekerasan seksual di ranah kampus yang masih menjadi momok di publik. Terbaru, seorang Guru Besar di Universitas Gajah Mada (UGM) dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap belasan mahasiswi di kediaman pribadinya.

    “Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan tinggi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap integritas dunia akademik,” ujar perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.

    Puan menegaskan, seharusnya institusi pendidikan menjadi ruang aman bagi para peserta didik, bukan menjadi tempat yang mengancam masa depan. Ia menekankan nilai etika dalam membangun peradaban.

    “Kampus seharusnya jadi ruang aman, bermartabat, dan menjadi benteng utama dalam membangun nilai-nilai etika serta peradaban, bukan malah menjadi tempat pelecehan berulang,” ujar Puan.

    “Sekali lagi, tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap kekerasan seksual. Terlebih jika itu terjadi di institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi generasi muda kita,” jelas Ketua DPP PDIP ini.

    “Dalam UU TPKS juga diatur adanya pemberat hukuman jika pelaku merupakan seorang tokoh pendidik. Saya harap hal ini juga menjadi pertimbangan dalam proses hukum kasus ini,” tambahnya.

    “Dan tidak boleh ada kekebalan hukum meski pelaku adalah guru besar atau tokoh terkemuka. Hukum harus berdiri tegak, tanpa pandang bulu. Siapa pun pelakunya, harus bertanggung jawab di hadapan hukum,” ujar Puan.

    Selain itu, Puan mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) untuk memperkuat Implementasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Ia menegaskan harus ada sistem yang efektif agar regulasi itu benar-benar dijalankan di lingkungan kampus.

    “Satuan Tugas PPKS perlu diberi kewenangan lebih luas dan dukungan yang memadai agar tidak menjadi formalitas semata,” kata Puan.

    “Kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen dengan mahasiswa biasanya terjadi karena relasi kuasa. Maka harus ada audit menyeluruh terhadap sistem pengawasan akademik,” sambungnya.

    Puan menambahkan, perlu juga adanya sistem pelaporan yang aman dan rahasia, serta menjamin perlindungan saksi dan korban secara konkret. Ia mendesak pembentukan pusat krisis dan pendampingan nasional terhadap korban pelecehan seksual.

    “Kita juga harus menggalakkan kampanye nasional yang menentang adanya relasi kuasa di kampus. Tentunya ini memerlukan dukungan semua pihak, termasuk dari internal kampus itu sendiri,” ungkapnya.

    Menurut Puan, publik perlu diberikan edukasi terus-menerus tentang bahaya relasi kuasa dalam sistem pendidikan. Tujuannya agar mahasiswa memiliki kesadaran dan keberanian untuk melapor jika menjadi korban.

    Di sisi lain, ia memastikan DPR RI akan mengawal penanganan kasus tersebut secara serius. Pun, ia mendorong adanya reformasi sistemik demi terwujudnya ruang pendidikan yang adil, aman dan manusiawi bagi seluruh anak bangsa.

    “Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana intelektualitas dan nilai-nilai luhur berkembang, bukan ruang di mana kuasa disalahgunakan untuk menindas yang lemah,” imbuhnya.

    (dwr/aud)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kemenkes Minta Surat Tanda Registrasi Dokter PPDS Unpad Pelaku Kekerasan Seksual Dicabut – Halaman all

    Kemenkes Minta Surat Tanda Registrasi Dokter PPDS Unpad Pelaku Kekerasan Seksual Dicabut – Halaman all

    Kemenkes Minta STR Dokter PPDS Pelaku Kekerasan Seksual Dicabut

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyatakan keprihatinan dan penyesalan atas kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang dokter peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad).

    Dokter berinisial PAP tersebut tercatat sebagai peserta Program Studi Anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung.

    “Kemenkes merasa prihatin dan menyesalkan adanya kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dr PAP, peserta didik PPDS Universitas Padjadjaran Program Studi Anestesi di Rumah Sakit Pendidikan Hasan Sadikin Bandung,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman, dalam keterangan tertulis, Rabu (9/4/2025).

    Saat ini, dr PAP telah diproses secara hukum oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat. 

    Kemenkes pun menyatakan dukungannya terhadap proses hukum yang tengah berjalan.

    Sebagai langkah tegas awal, Kemenkes telah meminta Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) milik dr PAP.

    “Pencabutan STR akan otomatis membatalkan Surat Izin Praktik (SIP) dr PAP,” kata Aji.

    Seperti diketahui, seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Unpad diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang anggota keluarga pasien.

    Modusnya, pelaku memberikan obat bius yang membuat korban tidak sadarkan diri.

    Kejadian itu berlangsung di area Rumah Sakit Hasan Sadikin atau RSHS Bandung.

    Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Hendra Rochmawan, mengungkapkan bahwa pelaku telah resmi ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelecehan seksual.

    “Jadi, tidak benar bila tersangka tidak kami tahan. Kasus ini ada laporan pada 18 Maret 2025, dengan lokasi kejadian di Gedung MCHC lantai 7 RSHS Bandung,” ungkap Hendra, Rabu (9/4/2025).

    Menurut Hendra, pelaku merupakan seorang dokter pelajar dari Universitas Padjadjaran (Unpad) yang tengah menjalani pendidikan spesialis anestesi di RSHS Bandung.

    Pelaku menggunakan modus pengecekan darah terhadap korban berinisial FH (21), anak dari salah satu pasien yang tengah dirawat di rumah sakit tersebut.

    “Tersangka ini meminta korban FH untuk diambil darah dan membawa korban dari ruang IGD ke Gedung MCHC lantai 7 RSHS. Korban sempat merasakan pusing dari cairan yang sempat disuntikan pelaku, dan selepas siuman korban merasakan sakit pada bagian tertentu,” kata Hendra.

    Kronologi Kejadian

    Kombes Hendra menjelaskan bahwa kejadian berlangsung pada 18 Maret 2025 sekitar pukul 01.00 WIB.

    Saat itu, pelaku meminta korban untuk diambil darahnya dan membawa korban dari ruang IGD ke Gedung MCHC lantai 7. 

    Pelaku bahkan meminta korban untuk tidak ditemani adiknya.

    “Sesampainya di Gedung MCHC, tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan memintanya melepas baju juga celananya. Lalu, pelaku memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali,” jelas Hendra.

    Setelah itu, pelaku menghubungkan jarum tersebut ke selang infus dan menyuntikkan cairan bening ke dalamnya. 

    Beberapa menit kemudian, korban mulai merasakan pusing hingga akhirnya tidak sadarkan diri.

    “Setelah sadar, si korban diminta mengganti pakaiannya lagi. Lalu, setelah kembali ke ruang IGD, korban baru menyadari bahwa saat itu pukul 04.00 WIB. Korban pun menceritakan kepada ibunya bahwa pelaku mengambil darah sebanyak 15 kali percobaan dan menyuntikkan cairan bening yang membuat korban tak sadar. Ketika buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tertentu,” lanjutnya.

    Tersangka dan Barang Bukti

    Berdasarkan data dari KTP, pelaku diketahui beralamat di Kota Pontianak namun saat ini tinggal di Kota Bandung. 

    Sementara itu, korban merupakan warga Kota Bandung.

    “Kami juga sudah meminta keterangan dari para saksi dan nantinya akan melibatkan keterangan ahli untuk mendukung proses penyidikan ini,” ujar Hendra.

    Polda Jabar juga telah mengamankan sejumlah barang bukti dari lokasi kejadian, termasuk dua buah infus fullset, dua buah sarung tangan, tujuh buah suntikan, 12 buah jarum suntik, satu buah kondom, dan beberapa obat-obatan.

    Pelaku dijerat dengan Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

    “Pelaku dikenakan pasal 6C UU no 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun,” tegas Hendra.

  • Dokter PPDS Unpad Diduga Lakukan Pelecehan Seksual di RSHS Bandung, Korban Diberi Obat Bius – Halaman all

    Dokter PPDS Unpad Diduga Lakukan Pelecehan Seksual di RSHS Bandung, Korban Diberi Obat Bius – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Unpad diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang anggota keluarga pasien.

    Modusnya, pelaku memberikan obat bius yang membuat korban tidak sadarkan diri.

    Kejadian itu berlangsung di area Rumah Sakit Hasan Sadikin atau RSHS Bandung.

    Diceritakan dalam unggahan yang viral di media sosial bahwa korban yang sedang menunggu pasien di RS tersebut, diarahkan oleh pelaku untuk melakukan sebuah prosedur medis.

    Memanfaatkan ketidaktahuan korban, pelaku memberikan obat berupa midazolam hingga korban tidak sadarkan diri.

    Pasca diberikan obat itu atau 4 – 5 jam, korban sadar dan merasakan sakit pada area kemaluan.

    Korban pun meminta visum ke dokter SPOG dan hasilnya didapati ada bekas sperma yang menempel.

    Kasus pelecehan seksual ini terjadi di gedung MCHC lantai 7 RSHS Bandung.

    RSHS Buka Suara

    Dalam rilis resmi yang diterima, Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung telah menerima laporan kekerasan seksual itu.

    Disampaikan bahwa pelecehan seksual kepada keluarga pasien itu terjadi pada pertengahan Maret 2025 di area rumah sakit.

    Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung (Tribun Jabar)

    Unpad dan RSHS mengecam keras segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, yang terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan dan akademik.

    “Unpad dan RSHS berkomitmen untuk mengawal proses ini dengan tegas, adil, dan transparan, serta memastikan tindakan yang diperlukan diambil untuk menegakkan keadilan bagi korban dan keluarga serta menciptakan lingkungan yang aman bagi semua,” tulis keterangan itu diterima pada Rabu (9/4/2025).

    Unpad dan RSHS menanggapi dengan serius hal ini dan telah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

    1.       Memberikan pendampingan kepada korban dalam proses pelaporan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar). 

    Saat ini, korban sudah mendapatkan pendampingan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar. Unpad dan RSHS sepenuhnya mendukung proses penyelidikan Polda Jabar.

    2.       Berkomitmen melindungi privasi korban dan keluarga.

    3.       Karena terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad dengan memberhentikan yang bersangkutan dari program PPDS.

     

  • Pelecehan Seksual oleh Dokter PPDS Unpad di Gedung MCHC RSHS Bandung – Halaman all

    Unpad Keluarkan Dokter Pelaku Pelecehan Seksual di RSHS Bandung dari Program PPDS – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Universitas Padjadjaran (Unpad) tegas menyikapi pelecehan seksual di Rumah Sakit Hasan Sadikin atau RSHS Bandung.

    Unpad mengeluarkan dokter terduga pelaku dari program PPDS.

    Sebelumnya, informasi pelecehan seksual itu ramai di media sosial.

    “Karena terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad dengan memberhentikan yang bersangkutan dari program PPDS,” tulis keterangan resmi yang diterima Tribunnews.com, Rabu (9/4/2025).

    Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung telah menerima laporan kekerasan seksual itu.

    Disampaikan bahwa pelecehan seksual kepada keluarga pasien itu terjadi pada pertengahan Maret 2025 di area rumah sakit.

    Sebelumnya Direktur Jenderal (Dirjen) Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Azhar Jaya menegaskan, bahwa seluruh kekerasan berupa fisik hingga seksual tidak boleh terjadi di lingkungan pendidikan kedokteran.

    Karenanya, Kemenkes telah memberikan sanksi tegas kepada pelaku berupa larangan seumur hidup kepada bersangkutan untuk kembali melanjutkan residen di RSHS Bandung seumur hidup.

    “Kami sudah berikan sanksi tegas berupa melarang PPDS tersebut untuk melanjutkan residen seumur hidup di RSHS dan kami kembalikan ke FK Unpad. Soal hukuman selanjutnya, maka menjadi wewenang FK Unpad,” tutur Azhar kepada wartawan, Rabu (9/4/2025).

    Diketahui, terduga pelaku memanfaatkan ketidaktahuan korban pada prosedur medis. Pelaku memberikan obat penenang hingga korban tak sadarkan diri.

    Korban lalu sadar 4-5 jam setelah diberikan obat dan merasakan sakit di area kemaluan.

     

  • Oknum Dokter Residen RSHS Diduga Lecehkan Keluarga Pasien, Terancam 12 Tahun Penjara
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        9 April 2025

    Oknum Dokter Residen RSHS Diduga Lecehkan Keluarga Pasien, Terancam 12 Tahun Penjara Bandung 9 April 2025

    Oknum Dokter Residen RSHS Diduga Lecehkan Keluarga Pasien, Terancam 12 Tahun Penjara
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Seorang oknum dokter residen berinisial PAP (31) ditahan polisi atas dugaan pelecehan seksual terhadap FH (21), keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (
    RSHS
    ) Bandung.
    Tersangka dijerat dengan pasal kekerasan seksual dan terancam hukuman penjara maksimal 12 tahun.
    Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Rochmawan, menyatakan bahwa PAP dijerat Pasal 6 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
    “Ancaman hukumannya yaitu penjara paling lama 12 tahun,” ujar Hendra saat konferensi pers di Mapolda Jabar, Kota Bandung, Rabu (9/4/2025).
    Peristiwa tersebut terjadi pada 18 Maret 2025 sekitar pukul 01.00 WIB. Saat itu, tersangka membawa korban dari ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) ke Gedung MCHC lantai 7 dengan alasan pengambilan darah. PAP juga meminta korban untuk tidak ditemani oleh adiknya.
    Di lokasi tersebut, tersangka meminta korban melepas pakaian dan menggantinya dengan baju operasi warna hijau.
    Ia kemudian memasang jarum di kedua tangan korban sebanyak 15 kali dan menyuntikkan cairan bening ke dalam selang infus, yang menyebabkan korban kehilangan kesadaran.
    Setelah siuman, korban kembali ke ruang IGD dan menceritakan kejadian tersebut kepada orang tuanya. Korban juga mengaku merasakan perih saat buang air kecil.
    “Akibat dari dugaan tindak pidana kekerasan seksual, korban FH (21) merasakan sakit di bagian tertentu,” kata Hendra.
    Menurut Hendra, tersangka merupakan warga Pontianak yang tinggal di Kota Bandung. Dalam proses penyidikan, polisi telah memeriksa 11 saksi, termasuk korban, orang tua, dan sejumlah perawat.
    “Dan kami juga akan meminta keterangan ahli untuk mendukung proses penyidikan ini,” tambahnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gen Z Dilarang Live Streaming di Instagram, Ini Alasannya

    Gen Z Dilarang Live Streaming di Instagram, Ini Alasannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Meta, perusahaan induk dari Instagram, Facebook, dan Messenger, mengumumkan perluasan langkah-langkah keamanan bagi pengguna remaja di platformnya.

    Salah satu kebijakan baru yang diumumkan adalah pelarangan fitur siaran langsung (live streaming) di Instagram bagi pengguna di bawah usia 16 tahun, kecuali mendapat izin dari orang tua.

    Tak hanya itu, Meta juga mewajibkan izin orang tua untuk menonaktifkan fitur pemblokiran gambar yang mengandung dugaan ketelanjangan di pesan langsung (direct messages/DM).

    Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya Meta memperluas sistem akun remaja dari Instagram ke Facebook dan Messenger.

    Meta sebelumnya telah memperkenalkan akun remaja di Instagram yang secara default membatasi akses dan memungkinkan orang tua mengatur batas waktu penggunaan aplikasi, memblokir akses di jam tertentu, hingga memantau akun yang berinteraksi dengan anak mereka.

    Kini, sistem yang sama akan diterapkan di Facebook dan Messenger, dimulai dari AS, Inggris, Australia, dan Kanada.

    Pengguna berusia 16 dan 17 tahun tetap akan mendapatkan pengaturan pembatasan secara default, namun mereka diizinkan mengubah pengaturan secara mandiri.

    Sementara itu, pengguna di bawah 16 tahun hanya dapat mengubah pengaturan dengan persetujuan orang tua.

    Meta mengklaim lebih dari 54 juta remaja di bawah 18 tahun telah menggunakan akun remaja di Instagram, dan lebih dari 90% pengguna usia 13 hingga 15 tahun tetap menggunakan pengaturan default tersebut.

    Kebijakan ini mendapat sambutan dari NSPCC, lembaga perlindungan anak terkemuka di Inggris. Namun, mereka menekankan bahwa langkah ini belum cukup.

    “Agar perubahan ini benar-benar efektif, Meta harus mengambil langkah proaktif agar konten berbahaya tidak menyebar di platform mereka sejak awal,” kata Matthew Sowemimo, Kepala Kebijakan Keamanan Anak Online di NSPCC, dikutip dari The Guardian, Rabu (9/4/2025).

    Pengumuman Meta ini bertepatan dengan implementasi Undang-Undang Keamanan Online (Online Safety Act) di Inggris.

    Sejak Maret, semua platform digital termasuk Facebook, Google, X (dulu Twitter), hingga OnlyFans diwajibkan mencegah dan menghapus konten ilegal seperti pelecehan seksual anak, penipuan, hingga materi terorisme.

    Undang-undang tersebut juga mengatur perlindungan khusus bagi anak-anak dari konten yang berpotensi membahayakan, seperti konten terkait bunuh diri dan menyakiti diri sendiri.

    Berbicara pada saat pembatasan Instagram diluncurkan, presiden urusan global Meta saat itu, Nick Clegg, mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk menggeser keseimbangan yang menguntungkan orang tua dalam hal penggunaan kontrol orang tua.

    Pengumuman ini muncul beberapa hari setelah Clegg mengatakan bahwa orang tua cenderung tidak menggunakan langkah-langkah keamanan anak.

    (fab/fab)

  • Kuasa hukum korban pelecehan eks rektor UP temui Kompolnas

    Kuasa hukum korban pelecehan eks rektor UP temui Kompolnas

    Jakarta (ANTARA) – Kuasa hukum korban pelecehan seksual, RZ dan DF yang diduga dilakukan oleh mantan Rektor Universitas Pancasila (UP) berinisial ETH (72) menemui Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) karena kasus itu dinilai “jalan di tempat”.

    “Kalau memang kita lihat dari jenjang waktu dari Januari 2024 sampai dengan saat ini kurang lebih 1 tahun 5 bulan, dalam proses penyelidikan sampai ke penyidikan, ini rentang waktu yang sangat panjang kalau menurut kami,” kata salah satu kuasa hukum korban Yansen Ohoirat dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Hal tersebut membawa Yansen menemui Kompolnas untuk mengadu perihal profesionalitas dari tim penyidik dalam mengusut kasus dugaan pelecehan seksual itu.

    Menurut dia, kasus itu telah ditingkatkan ke tahap penyidikan, tetapi dari proses itu sampai dengan kurang lebih 10 bulan, tidak ada kelanjutan perihal siapa tersangkanya.

    “Padahal, ketika perkara itu ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan, itu kan sudah ada. Peristiwa itu ada pidananya,” jelas Yansen.

    Sementara itu kuasa hukum korban lainnya, Amanda Manthovani menyebutkan dirinya sebagai kuasa hukum juga dipertanyakan kredibilitasnya oleh para korban.

    “Karena dari penyidik pun sering tidak kooperatif, apabila kita bertanya melalui pesan WhatsApp atau telepon ke penyidik itu, mungkin hampir tidak menjawab,” katanya.

    Mereka pun berharap laporan ke Kompolnas ini dapat ditindaklanjuti dan dapat diselesaikan kasus ini karena sudah terlalu lama.

    Sebelumnya Polda Metro Jaya menyebutkan kasus pelecehan yang diduga dilakukan oleh mantan Rektor Universitas Pancasila (UP) berinisial ETH (72) terhadap dua wanita berinisial RZ dan DF masih dalam sidik.

    “Masih jalan, proses sidik, belum tersangka. Masih panggil-panggil saksi-saksi,” kata Kepala Subdirektorat Remaja, Anak dan Wanita (Kasubdit Renakta) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya AKBP Evi Pagari saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (1/7/2024).

    Saat dikonfirmasi soal lambatnya penanganan kasus ini oleh Polda Metro Jaya, Evi menjelaskan, pihaknya harus melibatkan pihak lainnya.

    ETH sendiri telah menjalani pemeriksaan “visum et psikiatrikum” di Rumah Sakit (RS) Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (22/3/2024) atas dua laporan polisi terkait dugaan pelecehan seksual, yakni pelapor berinisial RZ dengan Laporan Polisi Nomor LP/B/193/I/2024/SPKT/Polda Metro Jaya dan pelapor berinisial DF dengan Laporan Polisi Nomor LP/B/36/I/2024/SPKT/Bareskrim Polri.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Polda Jabar Sebut Dokter PPDS Unpad Tersangka Pelecehan Diduga Alami Kelainan Seksual

    Polda Jabar Sebut Dokter PPDS Unpad Tersangka Pelecehan Diduga Alami Kelainan Seksual

     

    Liputan6.com, Bandung – Dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad), yang menjadi tersangka kasus pelecehan seksual, terindikasi punya kelainan seksual. Hal itu diutarakan Polda Jabar saat pengungkapan kasus di hadapan wartawan, Rabu (9/4/2025).

    Direskrimum Polda Jabar Kombespol Surawan mengatakan, indikasi itu berdasarkan pemeriksaan awal terhadap dokter PPDS terduga pelaku pemerkosaan berinisial PAP (31).

    “Dari pemeriksaan beberapa hari ini memang kecenderungan pelaku ini mengalami sedikit kelainan dari segi seksual ya,” kata Surawan.

    Surawan menyatakan penyidik akan memperkuat temuan tersebut dengan pemeriksaan psikologi forensik.

    “Begitu juga dengan hasil pemeriksaan dari pelaku ini nanti kita akan perkuat dengan pemeriksaan dari psikologi forensik, ahli psikologi untuk tambahan pemeriksaan,” katanya.

    Dia menjelaskan pelaku merupakan seorang dokter residen anestesi yang diduga memperkosa korban berinisial FH (21) di salah satu ruangan baru yang belum digunakan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Surawan menambahkan peristiwa tersebut terjadi saat korban sedang mendampingi ayahnya yang dalam kondisi kritis.

    Pelaku meminta korban melakukan transfusi darah sendirian dan tidak ditemani keluarganya di Gedung MCHC RSHS Bandung.

    “Korban tidak tahu maksud pelaku apa karena saat itu diajak ke ruang baru dengan dalih akan dilakukan tindakan medis,” ujarnya.

    Dari hasil pemeriksaan, penyidik juga menemukan sisa sperma di tubuh korban serta alat kontrasepsi yang digunakan pelaku. Saat ini sampel tersebut telah dibekukan dan akan diuji melalui tes DNA untuk memastikan kecocokannya.

    “Akan diuji lewat DNA, kan kita harus uji. Dari yang ada di kemaluan korban, kemudian keseluruhan uji DNA pelaku dan juga yang ada di kontrasepsi itu, sesuai DNA sperma pelaku,” katanya.

    Sempat Mencoba Bunuh Diri

    Surawan menjelaskan dokter PPDS pelaku pemerkosaan itu diringkus pada 23 Maret 2025 di sebuah apartemen di Bandung, lima hari setelah kejadian.

    Saat akan ditangkap, pelaku mencoba bunuh diri dengan melukai pergelangan tangannya dan sempat dirawat sebelum akhirnya resmi ditahan.

    “Jadi, pelaku setelah ketahuan itu sempat berusaha bunuh diri juga. Memotong urat-urat nadi,” katanya.

  • Remaja di Bekasi Dicekoki Miras Sebelum jadi Korban Pelecehan Seksual Bergilir – Halaman all

    Remaja di Bekasi Dicekoki Miras Sebelum jadi Korban Pelecehan Seksual Bergilir – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Seorang remaja perempuan berusia 16 tahun di Bekasi, Jawa Barat, menjadi korban pelecehan seksual oleh empat pelaku, Senin (5/4/2025) dini hari.

    Perbuatan bejat itu dilakukan oleh empat pelaku saat korban tidak berdaya karena dicekoki minuman keras (miras).

    Kapolres Metro Bekasi, Kombes Pol Mustofa, mengatakan jika modus awal yang dilakukan pelaku adalah dengan mengiming-imingi korban untuk diberikan uang THR.

    “Tersangka E menelpon korban iming-iming akan memberikan THR. Setelah itu diiyakan oleh korban, dan dijemput oleh pelaku E. Dengan tersangka satu lagi F di daerah Cibeureum, Tambun,” ungkap Mustofa, dalam keterangannya, Selasa (8/4/2025)

    “Setelah kembali dari kafe tersebut, korban dibawa ke kontrakan pelaku E yang sedang tidak ada istrinya dan dalam perjalanan sempat membeli dua botol miras untuk dikonsumsi,” paparnya.

    Setelah tiba di kontrakan, korban pun dicekoki dengan miras sampai setengah sadar. Pada saat itu, korban pun merasa gerah, sehingga memutuskan untuk mandi.

    “Setelah mandi, korban meminta handuk kepada salah satu tersangka. Kemudian tersangka merasa tertarik dengan korban. Karena pengaruh miras, tersangka E melakukan perbuatan cabul terhadap korban,” papar Mustofa.

    Dua pelaku lain, pun mengikuti perbuatan yang dilakukan oleh rekannya tersebut.

    Sementara itu, tersangka lainnya belum sempat berhubungan badan, karena istri daripada pelaku E tiba-tiba datang ke rumah kontrakan.

    Polres Metro Bekasi pun sudah menetapkan empat pelaku itu sebagai tersangka. 

    Keempatnya adalah tersangka E alias Egi, A alias Arai, AF alias Faisal, dan GH alias Ghulam.

    Mereka dijerat dengan Pasal 82 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

    “Jadi keempat tersangka terancam hukuman maksimal 15 tahun kurungan penjara,” pungkas Mustofa.