Kasus: pelecehan seksual

  • Strategi Baru Anti-Pelecehan Seksual di Kereta: CCTV hingga Sanksi Blacklist

    Strategi Baru Anti-Pelecehan Seksual di Kereta: CCTV hingga Sanksi Blacklist

    Liputan6.com, Jember – Upaya pencegahan terjadinya pelecehan seksual di ruang publik terus digalakkan berbagai pihak. Terbaru, PT Kereta Api Indonesia (KAI) meluncurkan fitur terbaru ‘Female Seatmap’ untuk memberi rasa aman dan mencegah terjadinya pelecehan seksual di kereta. 

    Melalui fitur ini, calon penumpang perempuan mendapat ‘kekhususan’ yakni boleh memilih kursi di dalam kereta yang berdekatan dengan sesama perempuan. Hal ini diharapkan bisa mencegah terjadinya pelecehan seksual selama perjalanan di dalam kereta api. “Jadi penumpang wanita dapat memilih tempat duduk yang bersebelahan dengan sesama wanita. Ini bisa diakses di website KAI, agar dalam perjalan lebih aman dan nyaman,” tutur Manager Hukum dan Humas Daop 9 Jember, Cahyo Widiantoro, Kamis (12/6/2025).

    Selain itu, PT KAI juga telah menyiapkan kamera CCTV di setiap stasiun dan juga di dalam kereta api. Hal ini sebagai strategi pencegahan sekaligus alat bukti jika terjadi pelecehan seksual, baik di stasiun maupun di dalam kereta api. “Kami juga mendorong masyarakat yang tahu atau mengalami pelecehan seksual, agar melapor. Kami siap memberi pendampingan hukum dalam penanganan pelecean seksual kepada aparat penegak hukum. Kita juga sudah siagakan Polsuska (Polisi Khusus Kereta Api) di setiap stasiun maupun rangkaian kereta api,” sambungnya. 

    Setiap orang yang kedapatan melakukan pelecehan seksual, akan dilarang naik kereta api atau masuk ke stasiun. “Dan penumpang yang ketahuan (melakukan pelecegan seksual) akan kami black list,” sambungnya tanpa menjelaskan lama masa black list tersebut. 

    Sejauh ini, selama tahun 2025, belum pernah lagi terjadi laporan terjadinya pelecehan seksual di seluruh unit kerja atau kereta api yang ada di Daop 9 Jember yang meliputi Probolinggo hingga Banyuwangi. “Kalau di tahun 2024, ada satu kasus dan sudah kita dampingi melapor ke aparat penegak hukum, dan pelakunya kita black list,” pungkas Cahyo. 

    Sementara itu, Wakil Bupati Jember, Djoko Susanto yang turut hadir dalam kegiatan di Stasiun Jember mengapresiasi upaya PT KAI dalam mencegah terjadinya pelecehan seksual di ruang publik. “Kita akan berupaya untuk memperluas area pencegahan pelecehan seksual di ruang publik. Nanti kita akan libatkan juga aparat seperti polisi dan TNI. Keamanan dan kenyamanan serta pencegahan kekerasan seksual adalah tugas kita bersama,” kata Djoko.

  • 8
                    
                        Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998: Salah, Luka, dan Lupa
                        Nasional

    8 Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998: Salah, Luka, dan Lupa Nasional

    Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998: Salah, Luka, dan Lupa
    Odri Prince Agustinus D. Sembiring adalah mahasiswa Magister Ilmu Politik di Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Minat risetnya berfokus pada representasi politik, ekologi politik, dan peran masyarakat sipil dalam mendorong transisi menuju keberlanjutan. Saat ini, ia tengah melakukan penelitian tentang paradoks kebijakan lingkungan di Norwegia dengan menggunakan pendekatan teori representasi deliberatif dan psikoanalisis politik. Untuk memperdalam pemahaman mengenai pembangunan global dan tata kelola sumber daya alam, Odri akan melanjutkan studi di Departemen Geografi, Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Norwegia. Di sana, ia akan mengikuti sejumlah mata kuliah seperti Diskursus Pembangunan dan Globalisasi, Jaringan Produksi Global, Perencanaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Lanskap dan Perencanaan: Konsep, Teori, dan Praktik.
    PERNYATAAN
    yang dilontarkan Menteri Kebudayaan,
    Fadli Zon
    , mengenai kerusuhan Mei 1998 baru-baru ini, telah menyulut kembali bara luka lama yang tak kunjung sembuh.
    Dalam wawancara pada 9 Juni 2025, Fadli dengan tegas menyangkal terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan, khususnya keturunan Tionghoa, menyebutnya sekadar “rumor” belaka.
    Klaim ini, sayangnya, bukan hanya opini, melainkan dusta publik yang secara keji mengoyak perasaan para korban dan keluarga yang telah bertahun-tahun menanggung trauma.
    Koalisi pegiat hak asasi manusia segera mengecam, melihatnya sebagai upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM berat yang mencoreng era Orde Baru.
     
    Komnas Perempuan bahkan menegaskan bahwa penyangkalan semacam ini, alih-alih menyembuhkan, justru menambah kepedihan dan melanggengkan impunitas bagi para pelaku.
    Ironisnya, sosok Fadli Zon, yang selama ini dikenal sebagai bagian dari aktivis Reformasi 1998, kini justru berbalik mengingkari fakta sejarah kelam yang dulu ia perjuangkan.
    Tragedi kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar meninggalkan catatan hitam berupa kekerasan berbasis etnis dan gender yang tak terhapuskan.
    Sebagai respons terhadap kegelapan itu, pemerintah pada 1998 membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
    Tim ini, dengan kerja kerasnya, berhasil mencatat setidaknya 85 kasus kekerasan seksual. Angka ini merinci 52 kasus perkosaan massal, 14 perkosaan yang disertai penganiayaan, 10 penyerangan seksual, dan 9 pelecehan seksual.
    Fakta-fakta ini, bukan sekadar ‘cerita’ tanpa dasar, didokumentasikan secara rinci di berbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan.
    Banyak dari korban adalah perempuan Indonesia keturunan Tionghoa yang secara sistematis menjadi target kekerasan rasial.
    Laporan TGPF ini kemudian diserahkan langsung kepada Presiden saat itu, B.J. Habibie, yang pada masanya secara terbuka menyesali kekerasan tersebut dan mengesahkan pembentukan Komnas Perempuan sebagai wujud komitmen negara.
    Jelaslah, tragedi pemerkosaan massal pada Mei 1998, adalah fakta sejarah yang tercatat resmi, bukan sekadar bisik-bisik tanpa bukti.
    Era pasca-Reformasi memang membawa angin segar berupa pengakuan formal negara terhadap pelanggaran HAM berat dalam Tragedi 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun, pengakuan ini sayangnya kerap berhenti di atas kertas.
    Lebih dari dua dekade berlalu, ironi keadilan masih nyata: nyaris tak ada satu pun pelaku yang berhasil diseret ke meja hijau, dan para penyintas masih jauh dari kata adil.
    Kekosongan penegakan hukum ini, mau tak mau, membuka ruang bagi narasi revisi sejarah yang berani meragukan, bahkan menyangkal kebenaran.
    Pernyataan Fadli Zon adalah contoh terbaru dari pola penyangkalan institusional yang sebenarnya bukan hal baru dalam perjalanan bangsa ini.
    Pada awal pasca-1998, pernah muncul gelombang penolakan terhadap laporan perkosaan dengan dalih bahwa tak ada korban yang bersedia bersaksi secara terbuka, seolah mengabaikan betapa dalamnya trauma, stigma, dan intimidasi yang membayangi para korban.
    Galuh Wandita, seorang pengamat, mencatat adanya ancaman terhadap saksi dan disinformasi yang terorganisir, yang bertujuan mendiskreditkan laporan.
    Budaya bungkam inilah yang secara kejam membuat korban enggan muncul ke permukaan, yang kemudian dipelintir seolah ketiadaan kesaksian publik berarti ketiadaan kejadian.
    Sebuah paradoks yang menyakitkan dalam penanganan kekerasan seksual: korban terpaksa bungkam demi keamanan, lantas negara seolah-olah berhak untuk abai.
    Pernyataan Fadli Zon ini dengan jelas memperlihatkan betapa rapuhnya ingatan kolektif bangsa ini, yang kini terancam oleh mereka yang memiliki kuasa untuk menyusun narasi sejarah.
    Ia bahkan disinyalir berencana merevisi narasi sejarah nasional menjelang HUT RI ke-80, untuk menonjolkan sisi ‘positif’ semata.
    Pendekatan semacam ini sangat mengkhawatirkan, karena berpotensi besar menghapus fakta kelam demi narasi yang konon ‘menyatukan’.
    Namun, Komnas Perempuan telah mengingatkan dengan tegas: laporan TGPF 1998 adalah dokumen resmi negara; menyangkalnya sama saja dengan mengingkari kerja kolektif bangsa dalam mencari kebenaran dan keadilan yang telah susah payah diupayakan.
    Secara politis dan moral, mengabaikan atau menyangkal kekerasan seksual adalah tindakan yang tidak dapat diterima. Ada beberapa alasan mendasar mengapa kebungkaman dan penyangkalan oleh tokoh berkuasa justru berpihak pada ketidakadilan:
    Pertama, ini memperkuat ketimpangan kuasa. Membungkam suara korban adalah bentuk kontrol sosial yang keji.
    Ketika pejabat menolak mengakui kesaksian korban, itu memperteguh posisi dominan pelaku dan penguasa, sekaligus merampas hak suara korban.
    Seperti dicatat Courtney E. Ahrens (2006), “untuk bisa berbicara dan didengar berarti memiliki kuasa atas hidup sendiri; sebaliknya dibungkam berarti kuasa itu dirampas”.
    Kedua, ini melanggengkan impunitas dan mengirimkan pesan berbahaya kepada pelaku. Ketika pejabat meragukan atau menyangkal kekerasan seksual, pesan yang sampai kepada publik dan, yang lebih berbahaya, kepada para pelaku, adalah bahwa kejahatan mereka tidak serius.
    Institusi negara, yang seharusnya menjadi ‘gatekeeper’ keadilan, justru mengirim sinyal impunitas.
    Akibatnya, para penyintas merasa sia-sia untuk melapor, sementara pelaku mendapat lampu hijau untuk terus berbuat kejahatan. Ini melanggengkan impunitas struktural yang telah lama menjadi borok di negara ini.
    Ketiga, penyangkalan ini memupuk budaya diam yang menguntungkan pelaku. Korban seringkali enggan melapor karena berbagai alasan: malu, trauma yang mendalam, takut disalahkan, atau ketakutan akan pembalasan. Ini adalah lahan subur bagi para pelaku.
    Ketika wakil pemerintah memperkuat budaya diam ini dengan menyangkal peristiwa yang terdokumentasi dengan jelas, ia secara terang-terangan berpihak pada kepentingan pelaku.
    Keempat, hambatan terhadap keadilan adalah kekerasan struktural itu sendiri. Berbagai hambatan yang dialami korban dalam mencari keadilan—seperti ketidakpercayaan, stigma sosial, atau proses hukum yang berbelit—adalah bentuk kekerasan struktural.
    Kegagalan negara melindungi korban dan memproses pelaku adalah bentuk kekerasan tidak langsung. Pengingkaran yang dilakukan pejabat publik adalah bagian integral dari kekerasan struktural itu sendiri.
    Kelima, ini menunjukkan krisis pengakuan dan empati. Teori politik pengakuan menegaskan bahwa keadilan menuntut adanya pengakuan publik atas penderitaan korban.
    Penyangkalan kekerasan seksual adalah penolakan untuk mengakui kemanusiaan dan derita korban, sebuah kegagalan etis yang mendalam dari seorang pejabat publik.
    Seorang menteri seharusnya menjadi teladan empati, melindungi warga, bukan justru membuka kembali trauma lama.
    Singkatnya, ketidaktahuan yang disengaja atau penyangkalan oleh pejabat mengenai kasus kekerasan seksual adalah tindakan politis yang berdampak sistemik dan merusak tatanan keadilan.
    Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih menegaskan bahwa penyangkalan semacam itu hanya akan memperpanjang impunitas pelaku dan mengabaikan jeritan korban.
    Silence is violence
    —diamnya korban adalah akibat kekerasan, dan diamnya penguasa terhadap kebenaran adalah bentuk kekerasan baru yang tak kalah menyakitkan.
    Ironisnya, pernyataan Fadli Zon muncul di tengah upaya Indonesia membangun pijakan hukum yang lebih progresif dalam menangani kekerasan seksual: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
    Undang-undang ini mencakup definisi kekerasan seksual yang lebih luas dan mekanisme perlindungan korban yang kuat.
    Aparat penegak hukum diwajibkan menangani laporan secara sigap, dengan prosedur yang ramah korban.
    UU ini juga menetapkan sanksi pidana tegas dan fokus pada rehabilitasi pelaku. Secara filosofis, UU ini lahir dari pemahaman bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan luar biasa yang merendahkan martabat manusia dan harus ditangani secara serius.
    Namun, hukum yang tertulis, seprogresif apa pun, bergantung sepenuhnya pada mentalitas aparatur dan elite yang mengimplementasikannya.
    Mentalitas lama, yang merupakan warisan era Orde Baru yang menyangkal pelanggaran HAM, masih membayangi.
     
    Penerapan UU TPKS menghadapi berbagai tantangan: mulai dari kendala pelaporan, hambatan birokrasi, hingga resistensi budaya patriarkal yang masih kuat.
    Proses hukum yang panjang pun berpotensi kembali menimbulkan trauma bagi korban. Pekerjaan rumah penegakan keadilan masih sangat banyak, dan membutuhkan dukungan penuh dari pejabat publik.
    Pernyataan Fadli Zon jelas-jelas bertolak belakang dengan semangat dan jiwa UU TPKS. Alih-alih mendukung langkah maju yang telah diperjuangkan, ia justru memutar balik narasi ke era penyangkalan.
    Sikap ini tidak hanya melukai para penyintas, tetapi juga secara fundamental melemahkan semangat penegakan hukum yang progresif.
    Efektivitas UU TPKS membutuhkan peningkatan pelatihan aparat, perubahan norma sosial, dan mekanisme pelaporan yang lebih mudah diakses.
    Dukungan pimpinan politik menjadi sangat krusial; penyangsian yang datang dari seorang menteri berpotensi besar mengendurkan semangat reformasi dan keadilan yang baru tumbuh.
    Tragedi pemerkosaan massal 1998 bukan hanya sekadar deretan angka statistik; di baliknya ada manusia-manusia yang menanggung trauma mendalam seumur hidup mereka.
    Negara, sebagai pelindung rakyat, semestinya hadir untuk mengakui dan menyembuhkan luka itu, bukan malah menuangkan garam dengan menyangkalnya.
    Berdamai dengan masa lalu hanya mungkin dicapai dengan keterbukaan, kejujuran, dan pertanggungjawaban yang nyata. Penolakan Fadli Zon atas fakta sejarah ini patut dikecam dengan keras.
    Komnas Perempuan telah mengingatkan, menyangkal temuan TGPF 1998 sama saja dengan mengingkari kerja keras bangsa dalam mengejar kebenaran dan keadilan.
    Seluruh upaya advokasi dan pemulihan bagi korban bisa menjadi sia-sia jika ingatan kolektif kita dihapus atau dimanipulasi.
    Di era ketika payung hukum sudah jauh lebih baik dan kesadaran publik tentang kekerasan seksual semakin meningkat, tidak ada ruang lagi bagi penyangkalan semacam ini.
    Fadli Zon—dan siapa pun pemangku kuasa—seharusnya meminta maaf secara tulus dan belajar dari suara korban serta data faktual yang telah tercatat.
    Mengakui kebenaran pahit adalah satu-satunya cara bagi bangsa ini untuk bersatu dan melangkah maju, agar tragedi serupa tak terulang kembali.
    Menyusun sejarah yang ‘positif’ dengan menutupi borok lama hanya akan memperpanjang siklus impunitas dan ketidakpercayaan yang telah lama membelenggu.
    Ketidakpedulian terhadap penderitaan korban adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan dan nilai-nilai reformasi yang dulu diperjuangkan. Suara para penyintas yang sekian lama dibungkam, berhak untuk didengar dan diakui.
    Tugas negara dan kita semua adalah memastikan tidak ada lagi penyangkalan atas kekerasan seksual.
    Sejarah kelam harus diakui apa adanya, sebagai pengingat abadi bahwa kita memiliki pekerjaan moral yang besar untuk memastikan keadilan ditegakkan.
    Dengan mengutuk tegas pernyataan Fadli Zon, kita menegaskan kembali komitmen bersama: kebenaran dan empati kepada korban harus selalu menjadi arus utama dalam setiap kebijakan dan narasi bangsa.
    Negara yang beradab tidak boleh melupakan air mata dan jeritan warganya. Sudah saatnya luka 1998 benar-benar dipulihkan dengan pengungkapan yang jujur, penyesalan tulus, dan tindakan nyata—bukan dengan penyangkalan yang menyesatkan dan melukai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor

    Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor

    Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pada 15 Juli 1998, Presiden Ketiga Republik Indonesia,
    BJ Habibie
    , mengeluarkan pernyataan genting atas peristiwa yang turut menjadi warna kelam sejarah bangsa Indonesia untuk melahirkan era reformasi.
    Pernyataan itu berkaitan dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam bentuk perkosaan yang terjadi dalam proses pergantian rezim saat itu.
    Habibie membacakan selembar kertas pernyataan yang kini diabadikan dalam prasasti yang terpampang di depan pintu masuk kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
    Pernyataan itu dengan jelas memberikan pengakuan dan penyesalan negara atas peristiwa pemerkosaan yang pernah terjadi.
    “Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,”
    kata Habibie.
    Dalam pernyataannya, Habibie atas nama kepala negara saat itu tidak hanya mengakui dan menyesal. Habibie juga menjanjikan pemerintah akan memberikan perlindungan keamanan kepada seluruh masyarakat untuk menghindari terulangnya kasus serupa yang disebut “sangat tidak manusiawi dalam sejarah bangsa Indonesia”.
    Habibie juga meminta agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera jika melihat adanya kekerasan terhadap perempuan di mana pun.
    Di akhir pernyataannya, Habibie kembali menegaskan atas nama pemerintah mengutuk aksi kekerasan dan peristiwa kerusuhan yang terjadi, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
    Pergantian tampuk kepemimpinan negeri ini dari rezim Orde Baru menuju Era Reformasi diawali dengan pembentukan berbagai lembaga baru.
    Kelahiran pertama lembaga baru tersebut adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (
    Komnas Perempuan
    ) yang ditetapkan lewat Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998.
    Karenanya, lembaga yang berkantor di Jalan Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat ini sering dijuluki sebagai “Anak Sulung Reformasi”.
    Mereka kemudian dikuatkan oleh Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 Junto Peraturan Presiden No 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
    Lembaga yang berusia 26 tahun ini ditugaskan untuk menjaga agar peristiwa perkosaan massal tidak terulang lagi.
    Namun, peristiwa yang telah diakui negara itu kini hanya disebut sebagai rumor oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
    Dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
    Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan
    tone
    -nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
    Namun, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkata lain dengan pernyataan Fadli Zon.
    Sebagai informasi, TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dibentuk berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara PEranan Wanita, dan Jaksa Agung.
    Adapun anggota TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya.
    Dalam laporan tersebut, TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan 1998. Bentuk kekerasan seksual dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).
    Hal ini yang menjadi pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keppres No. 181 Tahun 1998.
    Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, mengatakan, sikap Fadli Zon yang menyebut fakta ini sebagai rumor sangat menyakitkan, khususnya bagi para korban.
    “Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” katanya.
    Dia juga mengingatkan, dokumen TGPF dan pengakuan Presiden Habibie adalah produk resmi negara.
    Mengatakan perkosaan sebagai rumor bisa saja menyebut negara membuat sebuah kebohongan di tengah-tengah masyarakat.
    “Oleh karenanya, menyangkal dokumen resmi TGPF berarti mengabaikan jerih payah kolektif bangsa dalam menapaki jalan keadilan. Sikap semacam itu justru menjauhkan kita dari pemulihan yang tulus dan menyeluruh bagi para penyintas,” imbuh Dahlia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Fadli Zon Terbantahkan Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban Pemerkosaan '98
                        Nasional

    7 Fadli Zon Terbantahkan Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban Pemerkosaan '98 Nasional

    Fadli Zon Terbantahkan Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban Pemerkosaan 98
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS,com
    – Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    dalam beberapa waktu terakhir dikecam atas pernyataannya yang menyebut tidak adanya pemerkosaan pada
    kerusuhan Mei 1998
    .
    Fadli Zon mengatakan, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Namun, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkata lain dengan pernyataan Fadli Zon.
    Sebagai informasi, TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dibentuk berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara PEranan Wanita, dan Jaksa Agung.
    Adapun anggota TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya.
    Dalam laporan tersebut, TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan 1998.
    Bentuk kekerasan seksual dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).
    “Selain korban-korban kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei, TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan Mei. Kasus-kasus kekerasan seksual ini ada kaitannya dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan,” bunyi laporan tersebut.
    Berdasarkan hasil analisis TGPF, kekerasan seksual telah terjadi selama kerusuhan dan merupakan satu bentuk serangan terhadap martabat manusia yang telah menimbulkan penderitaan yang dalam dan rasa takut dan trauma yang luas.
    “Kekerasan seksual terjadi karena adanya niat tertentu, peluang, serta pembentukan psikologi massa yang seolah-olah membolehkan tindakan tersebut dilakukan sehingga melipatgandakan terjadinya perbuatan tersebut,” bunyi laporan TGPF.
    Laporan itu juga menjelaskan, adanya kesimpangsiuran terkait jumlah korban pemerkosaan jika mengacu pada hukum yang mensyaratkan adanya laporan korban, ada/tidaknya tanda-tanda persetubuhan, dan/atau tanda-tanda kekerasan serta saksi dan petunjuk.
    “Di pihak lain, keadaan traumatis, rasa takut yang mendalam serta aib yang dialami oleh korban dan keluarganya, membuat mereka tidak dapat mengungkapkan segala hal yang mereka alami,” bunyi laporan itu.
    Sejarawan dan aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia menilai, pernyataan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan pada kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah dusta.
    Ita yang pernah menjadi Tim Relawan Kemanusiaan yang digagas Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bercerita bahwa ia dan relawan lainnya sampai kewalahan menangani banyaknya pemerkosaan di Jakarta pada Mei 1998.
    “Jadi apa yang disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, itu adalah sebuah dusta,” kata Ita dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Jumat (13/6/2025).
    Ita menuturkan, seorang menteri semestinya mengembalikan memori atau ingatan sebagai reparasi untuk menyembuhkan trauma bangsa ini.
    “Untuk menyembuhkan trauma dari kaum perempuan yang menjadi korban. Tetapi justru dia menegasikan, menyangkal tentang peristiwa perkosaan Mei 1998,” tegas Ita.
    Oleh karena itu, Ita menuntut Fadli Zon untuk menyampaikan permintaan maaf kepada korban karena sampai saat ini masih tertekan dengan kasus pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pelecehan Penumpang Taksi Online Picu Tabrakan Beruntun di Pekanbaru

    Pelecehan Penumpang Taksi Online Picu Tabrakan Beruntun di Pekanbaru

    Pekanbaru, Beritasatu.com – Kecelakaan beruntun melibatkan dua mobil dan satu sepeda motor terjadi di Jalan Tuanku Tambusai, Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (12/6/2025) malam. Tabrakan ini diduga kuat akibat pelecehan seksual terhadap penumpang taksi online mobil Toyota Calya.

    “Kejadian berawal dari adanya perlakuan yang tidak senonoh yang dilakukan penumpang taksi online tersebut kepada teman wanita sopir. Dugaan pelecehan tersebut masih kami dalami,” kata Kanit Gakkum Satlantas Polresta Pekanbaru Ipda Ikhwanul Fajri, Jumat (14/6/1025). 

    Saat itu mobil Toyota Calya membawa delapan penumpang, dua di antaranya duduk di bangku bagian depan, dan lima di belakang. Dalam mobil juga ada seorang wanita muda yang merupakan teman sopir taksi online itu. Dia duduk di kursi sebelah kiri pengemudi berinisial IC (21). 

    Dalam perjalanan, seorang penumpang pria diduga melakukan pelecehan kepada gadis berinisial RED (17) yang duduk di samping sopir sehingga terjadi keributan di dalam mobil. 

    Pengemudi taksi online seketika panik sehingga tak sengaja menginjakkan pedal gas dengan keras sehingga mobil melaju kencang hingga menabrak pengendara motor matik dan menyeruduk mobil lain yang berjalan pelan di depannya. 

    Dalam rekaman CCTV di lokasi terlihat pengendara motor berinisial HH (27) yang ditabrak itu terpental ke bagian mesin mobil. Dia mengalami luka ringan, tetapi motornya rusak berat. 

    Fajri mengatakan setelah terjadi tabrakan beruntun, penumpang pria pelaku pelecehan itu langsung melarikan diri tanpa mengenakan baju. Dia kabur lewat pintu depan yang terbuka seketika setelah tabrakan.

    Wanita yang menjadi korban pelecehan juga buru-buru keluar dan mencoba mengejar serta meminta bantuan warga sekitar. 

    Fajri mengatakan hasil pengecekan dilakukan timnya, mobil taksi online itu diketahui menggunakan pelat nomor polisi palsu. “Saat ini, Satlantas Polresta Pekanbaru sedang berkoordinasi dengan satreskrim untuk mendalami dan mengungkap kasus ini,” pungkasnya. 

  • Polda Metro Masih Dalami Dugaan Pelecehan Seksual yang Seret Eks Rektor UP – Page 3

    Polda Metro Masih Dalami Dugaan Pelecehan Seksual yang Seret Eks Rektor UP – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Polisi memastikan proses hukum kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret mantan Rektor Universitas Pancasila (UP), ETH, masih terus berjalan.

    Hal ini disampaikan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi. Dia menekankan, penyidik terus mencari bukti-bukti untuk membuat terang perkara yang sedang ditangani.

    “Hasil komunikasi kami dengan penyidik dari Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya proses ini masih terus dilakukan pendalaman sampai dengan saat ini,” kata Ade Ary dalam keterangannya, Kamis (12/6/2025).

    Dia menegaskan, penanganan kasus ini dilakukan dengan prinsip kehati-hatian agar semua pihak bisa didengar dan semua bukti bisa dihimpun secara objektif.

    Ade Ary menegaskan, Polda Metro Jaya berkomitmen penuh memberikan perlindungan kepada perempuan, anak, dan kelompok rentan yang menjadi korban kekerasan.

    “Terkait proses penanganan kasus yang ditanyakan tadi itu, ini mohon waktu masih terus dilakukan pendalaman, sudah penyidikan. Sehingga progresnya hari ini, proses penyidikan masih berlangsung, proses pendalaman masih terus dilakukan,” ucap dia.

    Ade Ary juga menyatakan, proses penyidikan terus berjalan berjalan tanpa tekanan dari pihak mana pun.

    “Tidak ada, sejauh ini penyidik masih terus melakukan pendalaman, tidak ada tekanan dari pihak mana pun,” tandas dia.

  • Calon Mahasiswi Baru di Makassar Diduga Jadi Korban Pelecehan, Pelaku Tetangga Sendiri
                
                    
                        
                            Makassar
                        
                        12 Juni 2025

    Calon Mahasiswi Baru di Makassar Diduga Jadi Korban Pelecehan, Pelaku Tetangga Sendiri Makassar 12 Juni 2025

    Calon Mahasiswi Baru di Makassar Diduga Jadi Korban Pelecehan, Pelaku Tetangga Sendiri
    Tim Redaksi
    MAKASSAR, KOMPAS.com 
    – AP (19) menjadi korban dugaan
    pelecehan seksual
    oleh tetangganya sendiri saat hendak mendaftar kuliah di Kota
    Makassar
    , Sulawesi Selatan.
    Peristiwa ini terjadi pada Selasa (10/6/2025), dan korban berhasil selamat usai melakukan perlawanan.
    Peristiwa yang dialami AP bermula kala dirinya hendak menuju salah satu kampus di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), untuk mendaftar kuliah, pada Selasa (10/6/2025).
    Pelaku saat itu menawarkan diri untuk mengantar AP. Namun niat yang dianggap baik oleh korban malah dimanfaatkan oleh pelaku.
    Korban malah dibawa ke indekos lalu berupaya dilecehkan.
    Tidak terima dengan aksi pelaku, korban pun melaporkan peristiwa itu ke Polrestabes Makassar. Korban bersama pihak keluarga membuat laporan polisi pada Kamis (12/6/2025).
    Kasi Humas Polrestabes Makassar AKP Wahiduddin membenarkan perihal laporan yang dilayangkan oleh korban. Kata Wahiduddin, pelaku singgah di indekos beralasan untuk mandi.
    “Saat hendak menuju kampus diantar oleh satu kenalannya, namun di perjalanan pelaku singgah di indekosnya alasan untuk mandi. Di situlah pelaku muncul niat buruk untuk melakukan tindakan pelecehan,” ucap Wahiduddin diwawancarai awak media, Kamis.
    Wahiduddin mengungkapkan, saat di indekos korban melakukan perlawanan dengan cara menggigit perut pelaku hingga berhasil melarikan diri.
    “Korban sempat melakukan perlawanan sehingga berhasil melarikan diri dari indekos pelaku,” ungkap dia.
    Saat ini polisi masih melakukan penyelidikan terkait dugaan pelecehan yang menyasar mahasiswi baru tersebut.
    “Saat ini kita masih melakukan penyelidikan lebih lanjut, dilakukan pemeriksaan terhadap saksi,” tutup dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Siswa SD Pelaku Pelecehan di Bekasi Hendak Diusir Warga
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        12 Juni 2025

    Siswa SD Pelaku Pelecehan di Bekasi Hendak Diusir Warga Megapolitan 12 Juni 2025

    Siswa SD Pelaku Pelecehan di Bekasi Hendak Diusir Warga
    Tim Redaksi
    BEKASI, KOMPAS.com –
    Y (8), siswa kelas dua sekolah dasar (SD) terduga pelaku
    pelecehan seksual
    hendak diusir warga dari lingkungan perumahannya di Medan Satria, Kota Bekasi.
    “Iya betul, mungkin mereka dapat informasi dari perkembangan masyarakat sehingga muncul keinginan melakukan itu,” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi, Novrian, Kamis (12/6/2025).
    Menurut Novrian, langkah pengusiran terhadap Y justru akan menambah masalah baru.
    Selain itu, cara tersebut juga dikhawatirkan akan menjadi tren baru dalam menyikapi sebuah permasalahan di tengah masyarakat.
    “Itu akan menambah masalah, dan itu akan menjadi tren masyarakat yang kurang baik ketika ada masalah anak itu akan dipindahkan,” tegas Novrian.
    Novrian mengingatkan agar warga lingkungan Y bisa saling mendukung atas permasalahan yang ada.
    Bahkan, ia meminta agar warga bisa membantu untuk menyelesaikan permasalahan Y.
    “Masalah itu bukan untuk dihilangkan, tapi masalah itu harus ditangani. Kalau masyarakat sadar dalam penanganan yang baik, bisa jadi wilayah itu akan menjadi wilayah yang ramah untuk anak,” imbuh dia.
    Sebelumnya diberitakan, seorang siswa SD berinisial Y diduga melecehkan sejumlah anak laki-laki di bawah umur.
    Para korban mayoritas di bawah usia terduga pelaku. Salah satu korban berinisial C (7).
    “Awalnya setahu saya korbannya ada empat, dan belum lama saya tahu korban sekarang ada sembilan,” kata ibu C, RW (33) saat dikonfirmasi, Senin (9/6/2025).
    RW mengetahui putranya menjadi korban dugaan pelecehan seksual setelah mendapat laporan dari putrinya pada 22 Mei 2025.
    Putrinya melapor ke ibunya setelah sang adik membenarkan telah menjadi korban dugaan pelecehan seksual oleh pelaku. Hanya saja, korban saat itu enggan bercerita karena trauma.
    Tak lama, putranya kembali menjadi korban dugaan pelecehan seksual oleh pelaku. Bahkan, tindakan pelaku kali ini sempat disaksikan tiga rekannya.
    Mereka pun melaporkan perbuatan pelaku ke sang kakak dan ibu korban.
    Tak lama setelah menerima informasi tersebut, ibu korban langsung mendatangi kediaman pelaku dengan didampingi ketua RW lingkungan rumahnya.
    Dalam pertemuan tersebut, ibu pelaku disebut telah mengetahui tindakan putranya.
    “Kalau ayah pelakunya awalnya ada rasa percaya dan tidak percaya, tapi kalau dari ibunya sudah mengetahuinya dari setelah kejadian itu (22 Mei 2025),” ucap ibu korban.
    Setelah menemui keluarga pelaku, ibu korban sempat mendatangi Polres Metro Bekasi Kota untuk membuat laporan dengan didampingi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bekasi.
    Terpisah, Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Kusumo Wahyu Bintoro mengatakan bahwa kasus tersebut tengah ditangani anak buahnya.
    “Sudah ditangani di Reskrim ya,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korban Pelecehan Persada Hospital Dilaporkan Balik, Ini Kata Ahli

    Korban Pelecehan Persada Hospital Dilaporkan Balik, Ini Kata Ahli

    Malang, Beritasatu.com – Proses hukum kasus pelecehan seksual di Persada Hospital Kota Malang, Jawa Timur, semakin memanas setelah korban berinisial QAR justru dilaporkan balik oleh terduga pelaku, Dokter AY.

    Tuduhan terhadap QAR adalah pencemaran nama baik, buntut dari unggahan di media sosial yang menampilkan identitas dan foto oknum dokter tersebut.

    Menanggapi perkembangan ini, pakar hukum pidana Universitas Brawijaya, Priya Jatmika menegaskan, secara hukum korban pelecehan yang melapor ke polisi tidak bisa diproses balik hanya karena telah melaporkan kejadian pidana.

    Menurut Jatmika, ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa pelapor dalam kasus pidana berhak atas perlindungan hukum, termasuk dari potensi tuntutan balik oleh pihak terlapor.

    “Ketika korban melapor, prosesnya sudah menjadi urusan negara. Maka korban tidak bisa dijerat balik secara hukum hanya karena melapor,” jelas Jatmika dalam wawancara dengan Beritasatu.com, Kamis (12/6/2025).

    Konsekuensi Hukum

    Meski pelaporan pidana mendapat perlindungan, unggahan QAR di media sosial yang menampilkan identitas dokter AY dianggap sebagai hal berbeda.

    Menurut Jatmika, publikasi yang dilakukan secara pribadi tanpa putusan pengadilan bisa berpotensi masuk ranah pencemaran nama baik.

    “Hanya aparat penegak hukum yang berwenang menyampaikan informasi penyidikan ke publik, demi transparansi dan akuntabilitas,” tegasnya.

    Menariknya, menurut Jatmika, ada celah hukum yang bisa digunakan korban untuk membela diri.

    Hal ini diatur dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP serta Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE, yang menyebutkan bahwa pernyataan tidak dianggap sebagai pencemaran nama baik jika dilakukan untuk pembelaan diri atau demi kepentingan umum.

    Namun, apakah tindakan QAR tergolong sebagai bentuk pembelaan diri? Jatmika menyatakan, hal ini akan diuji dan ditentukan oleh hakim dalam proses pengadilan.

    Penyidikan Tetap Berjalan

    Hingga saat ini, penyidikan terhadap laporan balik oleh Dokter AY terus berjalan. Surat pemanggilan terhadap QAR telah dilayangkan dan korban dijadwalkan untuk memberikan klarifikasi di Polresta Malang Kota pada pekan depan.

    “Hukum tetap memungkinkan laporan pencemaran nama baik ini diproses. Namun nanti pengadilan yang menentukan apakah tindakan korban melanggar hukum atau merupakan pembelaan diri,” pungkas Jatmika.

    Kasus pelecehan di Persada Hospital kini memasuki babak baru yang kompleks. Publik menanti bagaimana aparat penegak hukum dan pengadilan menilai dan memutuskan perkara ini, sebuah uji penting dalam perlindungan korban dan kebebasan berekspresi di ranah digital.

  • Railfans PT KAI Daop 9 Jember Kampanyekan Antipelecehan Seks di Kereta Api

    Railfans PT KAI Daop 9 Jember Kampanyekan Antipelecehan Seks di Kereta Api

    Jember (beritajatim.com) – Komunitas Railfans atau penggemar kereta api dan PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 9 di Kabupaten Jember, Jawa Timur, mengampanyekan antipelecehan seksual pengguna moda transportasi kereta api.

    Ketua Komunitas Railfans Jember Ambang Hari Laksono mengatakan, sejumlah kasus pelecehan sesksual di stasiun dan kereta api masih menimpa penumpang perempuan.

    “Kami ingin mengedukasi seluruh penumpang maupun masyarakat agar kita bersama-sama menumpas tindakan pelecehan seksual di kereta api maupun di transportasi umum lainnya,” katanya.

    Ambang bersyukur Unit Corporate Social Responsibility PT KAI Daop 9 mau bekerja sama menyelenggarakan acara gelar wicara bertajuk ‘Membangun Wanita Berdikari yang Nyaman Bertransportasi Kereta Api’, di halaman Stasiun Jember, Rabu (11/6/2025).

    Acara itu dihadiri Wakil Bupati Jember Djoko Susanto dan ditandai dengan penandatanganan Petisi Antipelecehan Seksual. Selain Wabup Djoko, perwakilan kepolisian dan TNI juga menandatangani petisi tersebut.

    “Perjalanan seorang wanita sendirian tak selalu tentang destinasi, tapi juga tentang rasa aman yang menyertai. Banyak perempuan yang merasa cemas saat bepergian sendiri. Rentan terhadap gangguan fisik bahkan tekanan psikologis. Ketika ruang publik tak ramah, maka kemandirian pun terbatas,” kata Djoko dalam pidatonya.

    Djoko kemudian bercerita tentang anak perempuannya pergi ke Kalimantan untuk menengoknuya seorang diri. “Satu hal saya ingin mengajari anak saya tentang kemandirian.Tapi di sisi lain, saya sebagai orang tua ingin memastikan bahwa perjalanan anak saya aman dari gangguan siapapun,” katanya.

    Maka tanpa sepengetahuan sang anak, Djoko memerintahkan seseorang untuk mengawasi selama perjalanan kereta api dan menuju bandara. “Alhamdulillah sampai di tempat saya dengan aman,” katanya.

    Djoko berharap inisiatif PT KAI dan railfans ini bisa dikembanhkan di ruang-ruang publik lain di Kabupaten Jember. “Itu adalah tugas kami. Tentunya dengan melibatkan semua stakeholder dan masyarakat,” katanya.

    Sementara itu, Manajer Hukum dan Humas PT KAI Daop 9 Jember Cahyo Widiantoro mengatakan, ada sejumlah perangkat yang dipasang untuk memastikan keamanan dan kenyamanan penumpang, terutama perempuan.

    “Kami sudah memiliki CCTV, baik di stasiun maupun di dalam kereta api, dan semuanya dalam kondisi aman. Lalu untuk petugas kereta api, kami ada Polsuska yang selalu mengamankan perjalanan kereta api,” kata Cahyo.

    Selain itu, PT KAI Daop 9 mempunyai fitur baru yang lebih ramah terhadap wanita. “Namanya female seat map. Jadi penumpang wanita ini dapat memilih tempat duduk bersebelahan dengan sesama penumpang wanita. Jadi ini untuk menjamin rasa aman. Ini bisa diakses melalui aplikasi,” kata Cahyo.

    Pelaku pelecehan seksual akan dilarang menggunakan kereta api. “Pada 2024 ada satu orang penumpang yang di-black list. Penumpang tersebut dilaporkan ke pihak berwajib oleh korban dan kami melakukan pendampingan,” kata Cahyo. [wir]