Kasus: PDP

  • SensAI, Solusi AI yang Bikin Customer Experience Makin Cerdas

    SensAI, Solusi AI yang Bikin Customer Experience Makin Cerdas

    Jakarta

    Gelombang transformasi digital di Indonesia memasuki babak baru. SurveySensum resmi meluncurkan SensAI, sebuah mesin berbasis kecerdasan artifisial (AI) yang diklaim mampu mengubah wajah Customer Experience (CX) dari sekadar mendengarkan keluhan pelanggan menjadi aksi nyata yang cepat, aman, dan transparan.

    Inovasi ini hadir di tengah tantangan perusahaan yang masih mengandalkan survei manual dan proses analisis lambat, ditambah kekhawatiran publik atas keamanan data pribadi.

    SensAI menawarkan solusi komprehensif yang selaras dengan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP 2022), memastikan perusahaan bisa merespons kritik dan saran konsumen tanpa mengorbankan privasi.

    “Dengan SensAI, bisnis di Indonesia dapat bertransformasi dari pendengar pasif menjadi pengambil keputusan yang tanggap. Inovasi ini bukan hanya membuat survei lebih pintar, tetapi juga memastikan pengelolaan data tetap etis sesuai regulasi Indonesia,” ujar Vika Indriyasari, Founding Member & SEA Commercial Director SurveySensum, Sabtu (4/9/2025).

    SensAI menghadirkan sejumlah fitur kunci, mulai dari kuesioner otomatis berbasis AI yang bisa dibuat dalam hitungan detik, analisis teks dan sentimen real-time dari berbagai kanal komunikasi, smart ticketing untuk komplain mendesak, hingga dashboard CX instan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan.

    Menurut laporan internal SurveySensum, penerapan AI dalam CX terbukti meningkatkan efisiensi: pemecahan masalah 35% lebih cepat dan respons pelanggan 25% lebih tinggi. Alih-alih menggantikan manusia, teknologi ini mengambil alih tugas repetitif sehingga tim bisa fokus membangun empati dan solusi kreatif bagi pelanggan.

    Sejalan dengan strategi nasional Making Indonesia 4.0 dan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045, SensAI diharapkan menjadi pendorong daya saing digital Indonesia. Lebih dari 500 perusahaan global telah memanfaatkan platform SurveySensum, dan kini SensAI diproyeksikan memperkuat ekosistem CX di Tanah Air.

    Era baru CX di Indonesia menuntut perusahaan tidak lagi cukup hanya mendengar, melainkan mampu bertindak cepat, akurat, dan bertanggung jawab. SensAI diyakini dapat menjadi solusi bagi bisnis untuk membangun kepercayaan jangka panjang dengan konsumen di tengah ekonomi digital yang kian kompetitif.

    (agt/agt)

  • Wamenkomdigi Desak Platform Digital Sediakan Fitur Deteksi Konten AI

    Wamenkomdigi Desak Platform Digital Sediakan Fitur Deteksi Konten AI

    Jakarta

    Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria meminta platform digital global untuk menyediakan fitur pengecekan dalam mengenali konten yang dibuat oleh kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI).

    Fitur tersebut nantinya bisa dimanfaatkan guna membantu masyarakat menangkal hoaks dan deepfake. Tren penggunaan konten buatan AI terus meningkat, namun di saat yang sama rawan dimanfaatkan untuk menyebarkan misinformasi dan manipulasi digital.

    “Kita berharap platform media sosial global juga bisa melakukan filter, atau setidaknya menyediakan fitur untuk mengecek apakah sebuah konten buatan AI atau bukan. Fitur ini sebaiknya bisa digunakan publik secara gratis,” kata Nezar dalam pernyataan resmi, Rabu (10/9/2025).

    Menurut Nezar, fenomena deepfake pada saat ini kian mengkhawatirkan. Berdasarkan data Sensity AI mencatat peningkatan 550% konten deepfake dalam lima tahun terakhir.

    “Saya yakin jumlahnya jauh lebih besar karena kemampuan aplikasi untuk membuat video atau foto deepfake kini sangat masif,” ungkap Nezar.

    Nezar menjelaskan bahwa platform memiliki teknologi komputasi dan algoritma yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik.

    “Kalau kita meragukan satu isi konten, bisa dicek dengan kekuatan komputasi dan AI yang mereka punya. Misalnya di Meta atau Google, fitur seperti ini bisa jadi bagian layanan standar,” tuturnya

    Nezar juga menekankan pemerintah berupaya menyeimbangkan inovasi dengan regulasi agar pemanfaatan AI tidak disalahgunakan sebagai alat pembuat konten hoaks.

    Sementara itu, Ketua Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan fenomena deepfake pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 2023 dan semakin berkembang pesat belakangan ini. Konten deepfake kerap disalahgunakan untuk melakukan penipuan digital dan menggiring opini publik, terutama pada isu-isu politik.

    “Untuk isu politik juga ada tapi deepfake paling banyak digunakan untuk penipuan digital. Kalau ada konten hoaks bentuknya video yang muncul di tahun 2025 dengan tema penipuan digital, itu mayoritas adalah deepfake,” jelasnya.

    Indonesia sudah memiliki perangkat hukum seperti UU ITE, UU PDP, PP Tunas, dan sejumlah peraturan teknis. Adapun saat ini, pemerintah juga menyiapkan regulasi khusus pemanfaatan AI yang etis, bermakna, dan bertanggung jawab.

    Selain regulasi, Kementerian Komdigi juga menggandeng ekosistem luas, termasuk Mafindo dan media, dalam program cek fakta.

    “Ruang digital ini milik kita bersama, maka kita perlu kerja sama yang erat untuk menjaga publik dari hoaks dan konten negatif,” tegas Nezar Patria.

    (agt/agt)

  • Wamen BUMN: Transformasi digital wujudkan pembayaran nasional mandiri

    Wamen BUMN: Transformasi digital wujudkan pembayaran nasional mandiri

    Sekarang kita bisa lihat bahwa sistem pembayaran Indonesia cukup mandiri, tidak tergantung kepada sistem pembayaran luar negeri, dan keamanannya juga tidak jelek.

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (Wamen BUMN) Kartika Wirjoatmojo menyampaikan transformasi digital di sektor keuangan Indonesia telah menunjukkan capaian penting, yakni keberhasilan membangun sistem pembayaran nasional yang mandiri melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), QRIS, dan BI-Fast.

    Menurut Wamen BUMN yang akrab disapa Tiko ini, langkah tersebut membuktikan bahwa Indonesia tidak lagi sepenuhnya bergantung pada jaringan global seperti Visa dan Mastercard, sekaligus memperkuat ketahanan digital nasional.

    “Kita tahu waktu itu diputuskan bahwa kita harus lepas secara bertahap ketergantungan kita kepada Visa dan Mastercard dengan membangun GPN, QRIS, dan BI-Fast,” ujar Tiko dalam acara Digital Resilience Summit 2025, di Gedung Peruri, Jakarta, Rabu.

    Tiko menjelaskan Kementerian BUMN bersama-sama dengan Bank Indonesia serta seluruh perbankan Indonesia membangun ekosistem pembayaran dari awal mulai dari infrastruktur, hardware, software, API integration, serta dari sisi keamanan.

    Dengan adanya sistem pembayaran nasional, Indonesia kini menjadi lebih mandiri dan tidak lagi ketergantungan pada sistem pembayaran luar negeri.

    “Sekarang kita bisa lihat bahwa sistem pembayaran Indonesia cukup mandiri, tidak tergantung kepada sistem pembayaran luar negeri, dan keamanannya juga tidak jelek,” katanya lagi.

    Tiko menekankan pembangunan infrastruktur digital harus dilakukan dengan perencanaan yang terstruktur dan mementingkan aspek keamanan, mulai dari enkripsi, sistem autentifikasi multifaktor, hingga tata kelola pengembangan aplikasi yang terintegrasi. Langkah tersebut dinilai Tiko dapat meminimalisir terjadinya peretasan ataupun phising.

    Ia juga menyoroti isu perlindungan data pribadi. Menurutnya, insiden kebocoran data harus menjadi momentum untuk memperkuat tata kelola data sesuai Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

    “Kita bersama-sama pemerintah dan seluruh pelaku swasta, lembaga pemerintah, memastikan bahwa kepercayaan publik kepada perlindungan data harus berjalan dengan efektif, termasuk dengan digital consent dan sebagainya,” ujar Tiko pula.

    Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pemerintah Siapkan Aturan AI September 2025, Ini Bocoran Isinya

    Pemerintah Siapkan Aturan AI September 2025, Ini Bocoran Isinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sedang menggodok Roadmap dan Peraturan Presiden terkait Artificial Intelligence (AI). Draf Perpres rencananya akan dikerjakan pada September 2025 untuk dilempar ke publik. 

    “Itu rencananya nanti akan di-review lagi berdasarkan masukan-masukan yang ada. Kita juga mensinkronkan dengan benchmarking yang dibuat oleh Komdigi gitu ya, berdasarkan standar-standar global yang berlaku mengenai pengaturan tentang adopsi teknologi AI ini gitu,” jelas Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria, ditemui di kawasan Komdigi, Jumat (29/8/2025).

    Baik Peta Jalan dan Perpres AI akan masuk berbarengan dan diproses di Sekretariat Negara. “Iya berbarengan lah (penerbitannya),” kata Nezar.

    Dia tak menyebut tanggal pasti peluncuran aturan tersebut. Namun untuk Perpres akan melewati proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan koordinasi dengan Sekretariat Negara.

    Dengan begitu aturan yang dirumuskan tidak tumpang tindih serta tidak kontradiktif dengan aturan yang ada sebelumnya.

    Perpres soal AI akan memperkuat aturan soal adopsi teknologi baru. Sebelumnya, Indonesia sudah memiliki sejumlah aturan, mulai dari surat edaran etika AI, UU ITE, UU PDP dan serangkaian permen termasuk soal Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).

    Semua aturan itu akan diperkuat dengan Perpes. Aturannya adalah prinsip pengembangan AI dan digunakan pada sektor-sektor.

    “Jadi yang diatur itu adalah prinsip yang sifatnya horizontal,” ujar dia.

    “Sehingga nanti waktu adopsi di sektor sektor itu bisa mengacu pada prinsip-prinsip horizontal itu atau norma-norma yang sifatnya umum gitu,” Nezar menambahkan.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Organsiasi RI Himpun Dark Data, Celah Keamanan Siber Terbuka

    Organsiasi RI Himpun Dark Data, Celah Keamanan Siber Terbuka

    Bisnis.com, JAKARTA – Dark data atau data yang tersimpan tanpa digunakan organisasi menjadi salah satu tantangan di tengah percepatan transformasi. 

    Chairman CISSReC Pratama Persadha menjelaskan bahwa dark data sering kali muncul tanpa disadari. Bentuknya beragam mulai dari log aktivitas pengguna, catatan komunikasi internal, arsip transaksi lama, hingga rekaman CCTV. 

    “Tingginya volume dark data di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tren percepatan digitalisasi, sementara pengelolaan data belum sistematis. Akibatnya, data lama yang tidak berguna tetap disimpan tanpa kurasi atau pemusnahan,” imbuhnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (28/8/2025).

    Menurutnya, ancaman dark data bukan hanya persoalan teknis. Kebocoran data lama yang tersimpan di server lawas, misalnya, bisa menjadi sasaran empuk bagi peretas.

    “Dark data bisa berisi informasi sensitif, seperti identitas pelanggan atau detail transaksi. Ketika tidak dikelola dengan baik, ia menjadi liability yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber,” tambahnya.

    Ancaman dark data juga terlihat nyata dalam laporan Hitachi Vantara State of Data Infrastructure Survey. Survei yang melibatkan 50 responden IT di Indonesia menunjukkan, 24% data perusahaan di Indonesia teridentifikasi sebagai dark data—lebih dari dua kali lipat rata-rata global yang hanya 10%.

    Kondisi ini bukan hanya membuang potensi bisnis, tetapi juga menimbulkan risiko finansial dan keamanan. Penyimpanan data lama yang tidak berguna membuat biaya infrastruktur melonjak.

    Sementara dari sisi operasional, hanya 14% responden di Indonesia yang merasa datanya tersedia saat dibutuhkan, dan hanya 6% yang percaya pada hasil keluaran AI yang mereka gunakan.

    Ironisnya, di saat investasi pada kecerdasan buatan (AI) diprediksi naik 124% dalam dua tahun mendatang, manajemen data justru masih rapuh. Pertumbuhan kebutuhan penyimpanan diperkirakan melonjak 29,6%, mempertegas urgensi strategi tata kelola data yang lebih matang.

    Dark data bukan hanya persoalan perusahaan, tetapi juga menyangkut keamanan siber nasional. Kebocoran arsip data pribadi, misalnya, bisa dimanfaatkan untuk serangan siber lebih lanjut, mulai dari spear phishing hingga serangan APT (advanced persistent threat). Bahkan, Pratama menilai, Indonesia bisa menjadi “ladang emas” bagi aktor siber asing bila manajemen data tidak segera diperbaiki.

    Di sisi lain, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memberi tekanan tambahan bagi organisasi. Setiap kebocoran data pribadi, termasuk dari dark data yang tidak lagi relevan, berpotensi mendatangkan sanksi hukum dan kerugian reputasi.

    Meski gelap, Country Managing Director Hitachi Vantara Indonesia Ming Sunadi menilai bahwa dark data sejatinya menyimpan peluang. 

    Dengan tata kelola yang baik, perusahaan dapat menggali insight dari data lama, mendukung inovasi, hingga memperkuat strategi bisnis berbasis AI. 

    “Organisasi yang berorientasi pada data dan memprioritaskan tata kelola serta analitik berada dalam posisi yang lebih baik untuk mendorong inovasi dan tetap kompetitif,” ujarnya.

    Oleh sebab itu. langkah ini menuntut keseriusan semua pihak pemerintah memperkuat regulasi, perusahaan berinvestasi pada teknologi tata kelola data, dan masyarakat meningkatkan kesadaran akan pentingnya melindungi informasi pribadi. Tanpa itu semua, dark data akan terus menjadi “bom waktu” yang mengancam keamanan, kepercayaan publik, hingga kedaulatan digital Indonesia.

  • Pentingnya Keamanan di Tengah Masifnya Penggunaan AI di Indonesia

    Pentingnya Keamanan di Tengah Masifnya Penggunaan AI di Indonesia

    Jakarta

    Penggunaan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) di Indonesia berkembang pesat, baik di sektor korporasi, perbankan, maupun layanan publik. Namun, di balik peluang besar yang ditawarkan AI, aspek keamanan dan kepatuhan regulasi menjadi perhatian.

    Country Manager AWS Indonesia, Anthony Amni, menegaskan bahwa keamanan dan kepatuhan merupakan fondasi layanan AI yang ditawarkan AWS. Menurutnya, seluruh layanan AWS – termasuk data center dan GPU di Indonesia – sudah dirancang sesuai standar keamanan tertinggi yang bahkan digunakan oleh lembaga sekelas FBI dan Departemen Pertahanan Singapura.

    “Platform yang kami bangun harus bisa memenuhi kebutuhan institusi yang paling ketat secara security, seperti pemerintahan dan militer. Karena itu AWS memiliki jumlah sertifikasi kepatuhan dan keamanan terbanyak, mulai dari ISO hingga PCI DSS,” jelas Anthony dalam Detik Leaders Forum.

    AWS juga berkomitmen menghadirkan layanan yang ramah lingkungan. Sejak 2022, seluruh operasional data center AWS di Indonesia telah 100% menggunakan energi terbarukan, termasuk melalui kerja sama dengan PLN untuk pembelian 20 MW tenaga surya.

    Selain infrastruktur, AWS menyediakan best practice dan tools keamanan yang bisa dimanfaatkan pelanggan, termasuk sektor perbankan, untuk memenuhi regulasi lokal seperti POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan).

    “Kami juga didukung partner lokal seperti eCloudValley, yang membantu meramu postur keamanan sesuai kebutuhan regulasi di Indonesia,” tambah Anthony.

    Sementara itu, Ketua Asosiasi Big Data dan AI Indonesia (ABDI) Rudi Rusdiah menekankan bahwa kepatuhan terhadap regulasi menjadi tantangan penting dalam adopsi AI di Indonesia. Ia mencontohkan, sebelum hadirnya UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) pada 2022, banyak perusahaan di Indonesia mengacu pada aturan GDPR Uni Eropa.

    “Kalau untuk AI, saat ini memang belum ada UU khusus. Tapi sudah ada surat edaran Komdigi tentang etika AI, lalu OJK juga sudah mengeluarkan tata kelola AI untuk sektor perbankan. Dokumennya cukup komprehensif, dan memang wajib dipatuhi,” ujarnya.

    Menurut Rudi, regulasi AI di Indonesia kemungkinan besar akan mengacu pada praktik global, terutama Eropa yang sudah lebih dulu menetapkan standar. Ia juga menyoroti pentingnya mekanisme self-assessment bagi pelaku usaha dan pengembang AI agar memastikan teknologi yang dipakai aman, dapat dipercaya, serta memenuhi prinsip safety, security, dan trustworthy.

    Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengatakan penyusunan regulasi kecerdasan buatan (AI) di Indonesia akan mengedepankan aspek etika, keamanan, literasi, dan pendidikan.

    Keberadaan aturan AI itu akan memperkuat regulasi sebelumnya yang masih berlandaskan surat edaran. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah mempersiapkan roadmap AI yang berkoordinasi dengan kementerian lembaga lainnya. Adapun, nanti pemerintah akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang ditargetkan hadir di September 2025.

    Disampaikan Meutya, pemerintah telah meluncurkan Buku Putih AI sebagai pijakan awal dalam merumuskan kebijakan nasional. Dokumen ini sebelumnya telah melalui proses uji publik hingga pertengahan Agustus, namun kemudian diperpanjang hingga 29 Agustus karena banyaknya masukan dari masyarakat maupun kementerian/lembaga (KL).

    “Awalnya uji publik kami rencanakan selesai di tanggal 20-an, tapi karena aspirasi masyarakat cukup tinggi dan ada permintaan perpanjangan, akhirnya kami buka hingga 29 Agustus. Jadi masih ada beberapa hari lagi bagi publik yang ingin memberikan masukan,” jelas Meutya.

    Ia menambahkan, buku putih tersebut disusun bersama dengan lebih dari 40 kementerian dan lembaga, sehingga diharapkan dapat menjadi pedoman lintas sektor dalam mengantisipasi perkembangan teknologi AI.

    Lebih lanjut, Meutya menekankan bahwa aturan turunan dari buku putih ini akan dibuat bertahap.

    “Yang pertama akan kami dorong adalah terkait etika dan safety (keamanan), serta literasi dan pendidikan. Untuk sektor industri akan menyusul,” pungkasnya.

    (agt/rns)

  • AI Bisa Curi Identitas Digital untuk Retas Korban dalam Hitungan Menit, Ini Cara Mencegahnya! – Page 3

    AI Bisa Curi Identitas Digital untuk Retas Korban dalam Hitungan Menit, Ini Cara Mencegahnya! – Page 3

    Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), regulasi yang secara khusus mengatur AI masih belum ada. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memang telah merilis draf pedoman etika AI, tetapi sifatnya masih non-mandatori.

    “Di tengah ketiadaan regulasi AI yang mengikat, tanggung jawab etis ada di tangan perusahaan,” Hendry menegaskan.

    Ia mengimbau perusahaan harus proaktif memastikan AI yang mereka gunakan–mematuhi prinsip transparansi, keamanan, dan akuntabilitas.

    CyberArk merekomendasikan strategi keamanan Zero Trust yang tidak memberikan akses permanen tanpa verifikasi. Dengan strategi ini, perusahaan dapat memantau identitas, mengotomatisasi pembaruan kredensial, dan mendeteksi anomali perilaku berbasis AI sebelum menjadi serangan besar.

    Hendry menilai Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin keamanan identitas di Asia Tenggara. Namun, hal ini hanya bisa terwujud jika perusahaan mulai membangun kapabilitas keamanan siber dari sekarang.

  • Sistem Payment ID Diklaim Bukan Untuk Mata-matai Transaksi Masyarakat

    Sistem Payment ID Diklaim Bukan Untuk Mata-matai Transaksi Masyarakat

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Juru Bicara Presiden Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, Prasetyo Hadi, menegaskan sistem Payment ID tunduk pada aturan perlindungan data pribadi (PDP) dan bukan untuk memantau transaksi masyarakat.

    Menurutnya, pengawasan melalui Payment ID dilakukan untuk kepentingan tertentu, seperti memastikan bantuan sosial tepat sasaran, mendeteksi warga prasejahtera yang belum menerima bantuan, atau memantau transaksi yang mengarah pada tindak pidana, termasuk judi online.

    “Jangan istilahnya itu kemudian memata-matai, itu kan agak kurang pas, tetapi bahwa yang harus dilihat ini adalah semangatnya. Segala sesuatu yang itu berkenaan dengan apalagi ada transaksi-transaksi nah itulah yang kemudian harus bersama-sama kita monitor bahwa hasil monitornya itu peruntukkannya untuk apa itulah yang kemudian diatur,” ujar Prasetyo di halaman Istana Merdeka, Jakarta, dikutip Kamis (14/8/2025).

    Ia menegaskan, tidak semua data akan diawasi, apalagi yang menyangkut informasi pribadi.

    “Tentunya kan tidak sembarang data atau sembarang transaksi (diawasi), apalagi yang berkenaan dengan misalnya data-data pribadi, itu kan sudah ada aturannya,” ucapnya.

    Prasetyo menjelaskan, Payment ID buatan Bank Indonesia (BI) digunakan karena sistem pengawasan lama sulit mendeteksi sejumlah transaksi yang mengarah pada tindak pidana. Hasil pemantauan sistem ini juga bisa dimanfaatkan untuk perbaikan, khususnya dalam penyaluran bantuan sosial.

    Ia mencontohkan, ada penerima bansos yang seharusnya sudah tidak layak, namun masih menerima bantuan. Bahkan, ada bantuan yang dipakai untuk aktivitas terlarang.

  • Kedaulatan Digital Ditukar Tarif Ekspor?

    Kedaulatan Digital Ditukar Tarif Ekspor?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pada 23 Juli 2025, Gedung Putih merilis Joint Statement on the Framework for United States–Indonesia Agreement on Reciprocal Trade. Pernyataan bersama ini menguraikan rencana ambisius untuk mengurangi hambatan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat.

    Pemerintah Indonesia menyepakati penghapusan sejumlah tarif dan hambatan non-tarif untuk produk asal AS, seperti barang elektronik, alat kesehatan, dan komoditas pertanian tertentu.

    Sebagai imbalannya, AS menawarkan penurunan tarif impor untuk barang Indonesia dari rata-rata 32% menjadi 19%, disertai janji relaksasi tambahan untuk komoditas prioritas seperti tekstil, produk kelautan, dan komponen otomotif (White House & U.S. Embassy, 2025).

    Namun, ini bukan sekadar soal liberalisasi perdagangan. Salah satu poin dalam dokumen itu memicu gelombang kritik. Indonesia menyatakan sistem perlindungan data pribadi di AS telah “memadai” untuk menjamin kelancaran transfer data lintas batas. Sekilas, pernyataan ini tampak sebagai formalitas teknis. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, substansinya menyentuh isu krusial, yaitu kedaulatan digital nasional. Keputusan ini bukan sekadar soal pertukaran ekonomi, melainkan pertaruhan atas kontrol negara terhadap aset digital rakyatnya.

    Dalam ekonomi politik digital, data pribadi bukan lagi sekadar kumpulan angka atau informasi acak. Data adalah aset strategis. Setara dengan komoditas seperti minyak, tanah, atau logam langka. Data menjadi bahan bakar utama ekonomi berbasis algoritma, fondasi bagi kecerdasan buatan (AI), pengiklanan digital, hingga sistem prediksi perilaku konsumen. Shoshana Zuboff, dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019), menyebut data sebagai “minyak baru” yang mendorong akumulasi kapital di era digital. Perusahaan raksasa teknologi seperti Google, Meta, atau Amazon membangun imperium mereka dengan mengolah data pribadi menjadi komoditas yang menguntungkan.

    Ketika sebuah negara membiarkan data warganya mengalir ke luar tanpa pengendalian ketat, ia bukan hanya kehilangan aset berharga, tetapi juga menyerahkan kendali atas kekayaan informasi rakyatnya kepada entitas asing. Ini bukan kemajuan teknologi, melainkan pengabaian kedaulatan. Indonesia, dengan populasi 280 juta jiwa dan penetrasi internet yang mencapai 78% pada 2024 (APJII, 2024), memiliki potensi data yang sangat besar. Namun, tanpa kebijakan yang jelas, potensi ini justru menjadi celah eksploitasi.

    Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebenarnya telah meletakkan landasan untuk melindungi data warga. UU ini mensyaratkan bahwa transfer data lintas negara hanya boleh dilakukan ke yurisdiksi dengan standar perlindungan setara atau lebih tinggi. Pasal 56 UU PDP secara eksplisit menegaskan bahwa negara tujuan harus memiliki regulasi yang menjamin privasi warga Indonesia (Kominfo, 2024).

    Namun, hingga pertengahan 2025, otoritas pengawas independen yang diamanatkan UU belum terbentuk sepenuhnya. Peraturan turunan yang seharusnya memperkuat implementasi UU juga masih terjebak dalam proses harmonisasi antar kementerian, mencerminkan lemahnya koordinasi birokrasi (Kominfo, 2024).

    DAMPAK

    Di dalam negeri, kesepakatan ini berpotensi memperdalam ketimpangan digital. Lebih dari 20 juta UMKM Indonesia aktif di platform digital pada 2024 (Kominfo, 2024), tetapi mayoritas tidak memiliki akses ke data perilaku pelanggan. Data ini dikuasai oleh platform asing seperti Shopee, Amazon, atau TikTok, yang menyusun algoritma berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Akibatnya, UMKM lokal hanya menjadi pelengkap dalam rantai pasok digital, tanpa kuasa untuk bersaing secara setara.

    Kesenjangan ini makin terasa di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Menurut BPS (2023), hanya 57% rumah tangga di wilayah 3T memiliki akses internet stabil. Literasi digital juga rendah, dengan hanya 34% penduduk di wilayah ini memahami hak mereka atas data pribadi (SAFEnet, 2024). Tanpa intervensi yang terarah, digitalisasi justru menjadi alat eksploitasi struktural baru terhadap kelompok marginal.

    Selain itu, rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat umum memperburuk situasi. Survei SAFEnet (2024) menunjukkan bahwa 62% warga Indonesia tidak mengetahui bahwa data mereka dapat digunakan untuk kepentingan komersial tanpa persetujuan. Ketidaktahuan ini menciptakan celah bagi platform asing untuk memanen data tanpa hambatan, sementara warga tidak memiliki kuasa untuk menuntut hak mereka.

    Untuk menghadapi ancaman terhadap kedaulatan digital, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah tegas dan terukur. Pertama, pelaksanaan transfer data lintas batas harus ditunda hingga otoritas pengawas independen yang diamanatkan oleh Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) benar-benar berfungsi penuh. Penundaan ini mencakup penyelesaian seluruh peraturan turunan serta penguatan infrastruktur keamanan siber nasional yang saat ini masih lemah.

    Kedua, Indonesia perlu membangun kerangka tata kelola data nasional yang kokoh, berbasis pada tiga pilar utama: (1) lokalisasi data untuk sektor-sektor strategis, (2) pemerataan akses data (data equity) bagi pelaku lokal, dan (3) model insentif seperti data dividend agar manfaat ekonomi dari data pribadi dapat kembali ke masyarakat secara adil.

    Ketiga, seluruh perjanjian internasional yang menyangkut isu data dan privasi harus melewati proses uji publik yang transparan serta mendapatkan persetujuan DPR. Kajian risiko terkait harus dipublikasikan untuk memastikan akuntabilitas dan pengawasan demokratis.

    Di tingkat global, Indonesia juga memiliki peluang untuk memainkan peran strategis. Pemerintah dapat memimpin gerakan non-blok digital di forum seperti UN Global Digital Compact, dengan menggandeng negara-negara di Global South untuk menegaskan bahwa kedaulatan data adalah hak kolektif yang tidak bisa dinegosiasikan secara sepihak.

    Selain aspek regulasi dan diplomasi, aspek kapasitas juga penting. Pemerintah harus meluncurkan program nasional literasi digital yang menyasar wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Program ini harus mencakup edukasi mengenai hak privasi warga serta pelatihan bagi pelaku UMKM agar dapat memanfaatkan data secara mandiri dan berdaya saing.

    Akhirnya, negara perlu memprioritaskan investasi pada pusat data lokal dan pengembangan platform digital berbasis domestik. Salah satu contoh konkret adalah pengembangan super app nasional yang mampu menandingi dominasi platform asing, sebagaimana dilakukan India melalui inisiatif Open Network for Digital Commerce (ONDC).

    Digitalisasi bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk membangun masyarakat yang adil dan berdaulat. Jika hak digital warga dinegosiasikan secara diam-diam demi keuntungan jangka pendek seperti penurunan tarif ekspor, Indonesia sedang membayar masa depan dengan harga murah. Potensi ekonomi digital yang mencapai USD 360 miliar pada 2030 bukanlah sekadar angka, tetapi cerminan peluang untuk menciptakan kesejahteraan yang inklusif—jika dikelola dengan bijak.

    Kini saatnya memilih. Apakah Indonesia akan menjadi pemasok data mentah bagi korporasi global, atau menjadi pemilik masa depan digitalnya sendiri? Keputusan ini tidak hanya menentukan arah ekonomi, tetapi juga martabat bangsa di era digital. Dengan langkah yang tepat, Indonesia dapat menjadikan data sebagai fondasi kedaulatan, bukan komoditas yang diperdagangkan.

  • XLSMART (EXCL) Berharap Pemerintah Bersikap Adil Terhadap OTT

    XLSMART (EXCL) Berharap Pemerintah Bersikap Adil Terhadap OTT

    Bisnis.com, JAKARTA— PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk. (XLSMART) meminta pemerintah bersikap adil dalam mengatur hubungan antara operator telekomunikasi nasional dan penyedia layanan over-the-top (OTT) global. 

    Layanan OTT seperti WhatsApp gencar memperluas bisnis di Indonesia namun dinilai oleh sejumlah kalangan belum memberikan kontribusi optimal terhadap industri dan perekonomian nasional.

    Head of External Communications XLSMART, Henry Wijayanto, mengatakan saat ini OTT global sangat dominan, termasuk di Indonesia, dan keberadaannya wajar dalam persaingan terbuka.

    “OTT global harus diakui saat ini sangat dominan, termasuk yang digunakan oleh masyarakat Indonesia. Dalam kompetisi yang terbuka seperti saat ini wajar saja,” kata Henry saat dihubungi Bisnis pada Rabu (13/8/2025).

    Namun, dia menekankan pentingnya agar layanan tersebut memberikan manfaat nyata bagi seluruh pemangku kepentingan industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Tanah Air, termasuk pelaku industri telekomunikasi. 

    XLSMART berharap pemerintah bisa memberikan keadilan kepada operator yang sudah membangun jaringan untuk akses internet. 

    “Misalnya dengan membuat regulasi yang bisa memberikan keadilan secara bisnis kepada operator pemilik jaringan internet dengan tetap mengedepankan kepentingan pelanggan,” kata Henry. 

    Pelajar mengakses layanan internet

    Sebelumnya, pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai WhatsApp telah menjadi platform komunikasi dominan di Indonesia dengan lebih dari 140 juta pengguna. 

    Menurutnya, pendapatan signifikan platform ini diperoleh melalui WhatsApp Business API, integrasi pembayaran, dan monetisasi data, tetapi kontribusinya terhadap pembangunan industri digital nasional masih minim.

    “Di lain sisi, kontribusi WhatsApp pada pembangunan industri digital Indonesia masih minim,” kata Agung saat dihubungi Bisnis pada Selasa (12/8/2024).

    Dia menyarankan Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dapat menerapkan Digital Services Tax atau Significant Economic Presence Rule untuk WhatsApp dan platform asing lain yang memiliki pengguna atau omzet signifikan di Indonesia. 

    Agung menambahkan Kementerian Keuangan maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dapat mewajibkan pendaftaran badan usaha atau entitas yang memiliki otoritas penuh, bukan sekadar kantor perwakilan di Indonesia, agar tunduk pada UU ITE, UU PDP, dan perpajakan nasional. 

    Dia menilai, dengan jumlah pengguna yang besar, pemerintah bisa mendorong WhatsApp untuk ikut serta dalam program literasi digital, keamanan siber, dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). 

    “Karena WhatsApp memanfaatkan infrastruktur telekomunikasi yang dibangun oleh operator jaringan, maka sewajarnya pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan WhatsApp untuk bersinergi dalam bisnisnya dengan industri ini. Hal ini akan menguntungkan semua pihak. Industri, pemerintah, dan pelanggan,” tutur Agung.

    Senada, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyoroti ketimpangan perlakuan antara pelaku usaha lokal dan OTT global. Menurutnya, UMKM di Indonesia wajib membayar pajak, sementara platform asing bisa meraup keuntungan besar tanpa kewajiban serupa.

    “Nah itu. Kita ini jadi bangsa yang aneh. UMKM saja ditagih pajak, tapi WhatsApp dibiarkan dan OTT lain dibiarkan menyedot uang rakyat Indonesia tanpa dikenakan kewajiban apapun,” kata Heru.

    Heru mengaku sudah berulang kali menyampaikan masalah ini, tetapi pemerintah kerap berdalih menunggu aturan dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

    WhatsApp Business memperluas fitur bisnisnya di Indonesia yang diluncurkan dalam ajang WhatsApp Business Summit ketiga pada, Selasa (12/8/2025). 

    Wacana pembatasan panggilan suara dan video berbasis internet seperti WhatsApp Call juga sempat mencuat dalam forum diskusi publik pada 16 Juli 2025. 

    Menkomdigi Meutya Hafid

    Namun, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan pemerintah tidak memiliki rencana membatasi layanan tersebut.

    “Saya tegaskan pemerintah tidak merancang ataupun mempertimbangkan pembatasan WhatsApp Call. Informasi yang beredar tidak benar dan menyesatkan,” kata Meutya.

    Dia menjelaskan Komdigi memang menerima sejumlah masukan dari berbagai pihak, seperti Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), mengenai penataan ekosistem digital.

    Salah satu poin yang disorot adalah hubungan antara penyedia layanan OTT dan operator jaringan. Namun, Meutya menekankan masukan tersebut belum pernah dibahas dalam forum pengambilan kebijakan, serta tidak menjadi bagian dari agenda resmi kementerian.

    “Saya sudah meminta jajaran terkait untuk segera melakukan klarifikasi internal dan memastikan tidak ada kebijakan yang diarahkan pada pembatasan layanan digital,” tuturnya.