Kasus: PDP

  • Komdigi Targetkan Lembaga Pengawas UU PDP Rampung Akhir 2025

    Komdigi Targetkan Lembaga Pengawas UU PDP Rampung Akhir 2025

    Bisnis.com, JAKARTA— Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap pembentukan lembaga pengawas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) ditargetkan rampung tahun ini. 

    Hampir tiga tahun sejak UU PDP disahkan, aturan turunan dan lembaga pengawas yang diamanatkan undang-undang tersebut belum kunjung terbentuk. 

    Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi, Alexander Sabar, mengatakan pembentukan lembaga pengawas PDP tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor administratif, melainkan mencerminkan kompleksitas kelembagaan dan regulasi yang harus diselaraskan lintas sektor.

    “Proses ini mencakup penentuan bentuk hukum lembaga, perumusan kewenangan, serta harmonisasi dengan arsitektur kebijakan digital nasional yang membutuhkan langkah hati- hati dan inklusif,” kata Alexander kepada Bisnis pada Jumat (26/9/2025). 

    Alexander menambahkan kesiapan anggaran, penguatan Sumber Daya Manusia (SDM), serta penataan struktur kelembagaan juga menjadi aspek teknis penting yang perlu dipersiapkan secara matang. 

    Dia mengatakan pemerintah pun berkomitmen memastikan lembaga ini tidak hanya terbentuk secara formal, tetapi juga mampu menjalankan fungsi pengawasan secara efektif dan independen.

    “Dengan memperhatikan dinamika tersebut, target realistis pembentukan lembaga pengawas diarahkan pada akhir 2025,” katanya. 

    Namun demikian, lanjut Alexander, dengan catatan penyelesaian Peraturan Presiden (Perpres) sebagai dasar hukum operasional dapat segera dituntaskan melalui dukungan lintas kementerian dan partisipasi publik yang aktif.

    Alexander mengatakan meskipun tidak ada lembaga pengawas, bukan berarti pelaksanaan UU PDP berjalan tanpa arah. Dalam masa transisi ini, lanjut dia, Komdigi sebagai pemrakarsa UU dan RPP PDP berperan strategis sebagai pengarah kebijakan sekaligus fasilitator koordinasi lintas sektor. 

    Dia mengatakan Komdigi terus mendorong harmonisasi kebijakan PDP antara kementerian, lembaga, sektor swasta, serta memastikan prinsip-prinsip UU PDP terinternalisasi dalam setiap program transformasi digital nasional.

    “Komdigi tidak berjalan sendiri, melainkan bersinergi dengan KemenkoPolkam, BSSN, K/L terkait, APH, lembaga sektoral, hingga pelaku industri,” katanya. 

    Sambil menunggu lembaga pengawas PDP berfungsi penuh, Alexander mengatakan Komdigi mengusulkan pendekatan koordinatif sebagai strategi utama. Langkah tersebut mencakup harmonisasi regulasi sektoral, penyusunanmekanisme audit, serta asesmen risiko yang dapat diterapkan lintas sektor. 

    “Dengan pendekatan tersebut, kepatuhan terhadap UU PDP dapat terjaga secara substansial,” ungkapnya. 

  • Veeam Gandeng Microsoft Azure Indonesia, Fokus Ketahanan Data Menyeluruh

    Veeam Gandeng Microsoft Azure Indonesia, Fokus Ketahanan Data Menyeluruh

    Bisnis.com, JAKARTA— Veeam Software mengumumkan ketersediaan lokal Veeam Data Cloud (VDC) di Indonesia melalui platform Microsoft Azure. 

    Langkah ini menjadi bagian dari komitmen perusahaan untuk memperkuat ketahanan data (data resilience) pelanggan sekaligus mendukung regulasi pemerintah terkait pelindungan data pribadi.

    Country Leader Veeam Indonesia, Laksana Budiwiyono, menegaskan kehadiran layanan ini menandai evolusi Veeam yang tidak lagi sekadar berfokus pada backup data, tetapi pada ketahanan data secara menyeluruh.

    “Kemampuan layanan kami adalah gimana berkaitan dengan ketahanan data,” kata Laksana dalam peluncuran Veeam Data Cloud di Kantor Microsoft, Jakarta pada Kamis (25/9/2025).

    Lebih lanjut, Laksana menjelaskan VDC merupakan layanan data resilient atau data backup plus plus berbasis SaaS (software as a service) dan cloud.  

    Menurutnya, kehadiran layanan ini mendapat dukungan penuh dari Microsoft karena keberadaan point of presence (POP) atau pusat data lokal yang ditempatkan di Microsoft Azure Indonesia. 

    Dia menambahkan, langkah ini juga menjadi wujud keseriusan Veeam dalam menggarap pasar Indonesia dengan mengikuti ketentuan regulasi pemerintah, termasuk Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). 

    “Veeam berkomitmen bertumbuh bisnis di Indonesia artinya apa? Kami mengikuti regulasi pemerintah. Kita sering denger Undang-undang PDP dan sebagainya yang mensyaratkan untuk data centernya walaupun SaaS di atas tapi fisiknya naruhnya tetap di Indonesia region,” katanya.

    Dengan hadirnya layanan lokal, Laksana berharap pelanggan semakin yakin terhadap keamanan dan kepatuhan data mereka. 

    “Harapannya adalah bisa membantu customer untuk lebih percaya lebih yakin karena data centernya atau data yang dia mau backup adalah tetap berada di Indonesia. Terutama customer-customer yang punya regulasi tinggi yang harus mengikuti regulasi tinggi,” tuturnya.

    Saat ini, Veeam Data Cloud Indonesia mendukung beban kerja Microsoft 365 dan direncanakan akan diperluas ke layanan cloud Microsoft lain seperti Entra ID. Hal ini memungkinkan berbagai organisasi memperkuat ketahanan siber pada data serta identitas penting mereka.

    Veeam Data Cloud hadir dengan sejumlah keunggulan. Dari sisi keamanan, layanan ini mengusung prinsip Zero Trust dengan backup lokal yang tidak dapat diubah (immutable), dilengkapi enkripsi canggih dan kontrol akses yang ketat. 

    Dari sisi perlindungan, VDC memberikan cakupan menyeluruh untuk Microsoft 365 sebagai workload pertama yang didukung di Indonesia, dengan Entra ID yang segera menyusul. 

    VDC juga menawarkan pemulihan cepat serta terperinci, memungkinkan restore massal dengan waktu singkat sekaligus menyediakan fitur eDiscovery yang kuat untuk email, file, dan pengguna. 

    Selain itu, layanan ini dirancang dengan harga yang dapat diprediksi, berbasis paket per pengguna dengan penyimpanan lokal tak terbatas tanpa biaya tersembunyi.

  • Penerapan UU PDP Belum Optimal Tanpa Lembaga Pengawas

    Penerapan UU PDP Belum Optimal Tanpa Lembaga Pengawas

    Bisnis.com, JAKARTA— Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang disahkan pada 2022 disebut sebagai tonggak penting dalam memperkuat regulasi privasi dan keamanan data digital di Indonesia. 

    Namun, dari perspektif keamanan siber, implementasi aturan tersebut dinilai tidak sederhana. Pakar keamanan siber sekaligus Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha menekankan keberhasilan UU PDP sangat bergantung pada pembentukan lembaga pengawas yang diamanatkan dalam undang-undang.

    “Tanpa adanya otoritas independen yang bertugas mengawasi, memberi sanksi, serta memastikan kepatuhan, eksekusi UU PDP menghadapi tantangan serius, baik secara teknis maupun kelembagaan,” kata Pratama kepada Bisnis pada Kamis (25/9/2025) 

    Menurutnya, salah satu tantangan terbesar adalah kesenjangan antara regulasi dan kesiapan infrastruktur siber di Indonesia. Banyak organisasi, terutama sektor swasta menengah ke bawah, belum memiliki standar keamanan data yang memadai. Kondisi tersebut diperburuk dengan rendahnya literasi digital, baik di kalangan masyarakat maupun pelaku usaha.

    Dia mengatakan, ketika UU PDP menuntut adanya standar teknis dan prosedural dalam pengelolaan data pribadi, implementasinya berisiko terhambat oleh keterbatasan sumber daya, kurangnya tenaga ahli keamanan siber, serta belum adanya model penegakan hukum yang jelas.

    Meski demikian, Pratama mengakui UU PDP tetap memberikan kerangka hukum yang lebih kuat untuk mengurangi risiko kebocoran data dan serangan siber. Adanya kewajiban notifikasi insiden, persetujuan eksplisit pemilik data hingga sanksi administratif maupun pidana, pada prinsipnya mendorong perusahaan meningkatkan standar keamanan.

    Namun, aturan hukum ini bukan berarti mampu menutup seluruh celah teknis maupun regulasi. 

    “Dari sisi teknis, serangan seperti ransomware, phishing, hingga supply chain attack tetap dapat mengeksploitasi kelemahan sistem yang tidak terlindungi dengan baik, meski perusahaan sudah berusaha mematuhi regulasi,” kata Pratama.

    Lebih jauh, dia menekankan absennya lembaga pengawas membuat sanksi dalam UU PDP belum bisa dijalankan secara tegas. Hal ini menimbulkan ruang abu-abu di mana perusahaan bisa saja hanya memenuhi syarat administratif tanpa benar-benar memperkuat pertahanan siber mereka.

    “Para peretas akan tetap memanfaatkan kelemahan tersebut, khususnya karena mereka sadar bahwa pengawasan dan penegakan hukum belum berjalan optimal,” ungkapnya.

    Dalam konteks global, Pratama mengingatkan meningkatnya serangan siber lintas negara dan tensi perang dagang berbasis teknologi membuat Indonesia berada pada posisi rawan. 

    Negara dengan standar perlindungan data ketat, seperti Uni Eropa dengan General Data Protection Regulation (GDPR), cenderung lebih tegas dalam melindungi kedaulatan digitalnya. Sementara Indonesia menurut Pratama masih dalam tahap transisi, yang berarti data pribadi warganya berpotensi menjadi sasaran empuk bagi aktor asing, baik peretas negara maupun kelompok kriminal transnasional.

    Pratama pun menegaskan, jika UU PDP tidak ditegakkan secara optimal, konsekuensinya bisa serius. Masyarakat akan rentan menjadi korban pencurian identitas, penipuan digital, atau eksploitasi data untuk manipulasi politik dan ekonomi. 

    “Di sisi lain, perusahaan menghadapi risiko besar berupa kerugian finansial, reputasi, hingga hilangnya kepercayaan publik dari konsumen maupun mitra internasional,” katanya. 

  • Jelang 3 Tahun UU PDP Disahkan, Pelindungan Data Warga RI di Tangan Masing-masing

    Jelang 3 Tahun UU PDP Disahkan, Pelindungan Data Warga RI di Tangan Masing-masing

    Bisnis.com, JAKARTA — Hampir 3 tahun Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan, aturan turunan dan lembaga pengawas yang diamanatkan undang-undang itu tak kunjung terbentuk. 

    Padahal keberadaan aturan turunan dan lembaga pengawas sangat penting. Kekosongan dua komponen tersebut membuat UU PDP kurang bertaji dan pelindungan data masyarakat dikembalikan kepada masing-masing individu.

    Pengamat teknologi informasi (IT) dan keamanan siber dari Vaksin.com, Alfons Tanujaya, menilai efektivitas UU PDP dalam mengurangi risiko kebocoran data akan sangat bergantung pada bagaimana lembaga pelindungan data pribadi yang dibentuk nantinya menjalankan pengawasan dan penegakan hukum.

    “Sejauh mana UU PDP dapat mengurangi resiko kebocoran data, itu tergantung dari bagaimana badan PDP yang dibentuk ini menjalankan pengawasan dan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi,” kata Alfons kepada Bisnis pada Rabu (24/9/2025). 

    Alfons menilai tanpa adanya tindakan tegas dan konsisten terhadap pelanggaran, UU PDP hanya akan bernasib sama seperti aturan lalu lintas yang kerap dilanggar. Menurutnya, meski rambu sudah jelas, banyak pengguna jalan tetap melanggar karena tidak ada kesadaran mengikuti aturan, memilih jalan mudah, serta lemahnya penegakan hukum.

    Alfons menambahkan, posisi Indonesia masih lemah dari sisi kekuatan cyber army, meski potensinya besar mengingat jumlah pengguna internet di Tanah Air menduduki peringkat keempat dunia. 

    Menurutnya, potensi ini seharusnya dapat dikelola pemerintah agar talenta digital dalam negeri tidak memilih berkiprah di luar negeri.

    “Jika UU PDP tidak diterapkan dengan optimal maka hal ini tidak akan meningkatkan kesadaran kualitas pengelolaan data dan hal ini akan berakibat buruk bagi perkembangan dunia digital Indonesia karena pengelolaan data yang buruk akan mengakibatkan eksploitasi baik karena kebocoran atau hal lainnya,” katanya. 

    Ilustrasi hacker

    Hal tersebut  menurutnya akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada kanal digital khususnya lembaga yang kerap mengalami kebocoran data dan secara tidak langsung akan memperlambat atau menghambat perkembangan di dunia digital. Lebih lanjut, Alfons menegaskan perlunya penegakan aturan yang tegas, adil, dan transparan.

    “Bukan macan ompong yang hanya bisa menggertak tanpa ada usaha persuasif dan tindakan tegas tidak akan mendorong kesadaran pengelolaan data yang baik,” imbuhnya .

    Dia juga menyinggung lambannya proses pembentukan lembaga PDP. Menurutnya, perjalanan UU PDP sejak perumusan hingga pengesahan sudah memakan waktu lama, dan setelah diundangkan pun lembaga pelaksananya belum terbentuk.

    Meski begitu, dia tetap berharap lembaga PDP segera terbentuk dan mampi menjalankan tugasnya dengan baik dan mengawal pelindungan data pribadi dari pengguna layanan digital di Indonesia. 

    “Dan akan sangat menggembirakan jika aturan UU PDP tersebut dijalankan dengan konsisten dan tidak pandang bulu,” ungkap Alfons.

    Dia menekankan, penerapan konsisten UU PDP akan meningkatkan kesadaran pengelola data untuk bertanggung jawab serta memperlakukan data pribadi masyarakat sebagai amanah yang wajib dijaga, bukan semata objek yang bisa dieksploitasi.

    “Harapannya UU PDP akan meningkatkan kesadaran pengelola data agar dapat bertanggungjawab dalam pengelolaan data dan memperlakukan data itu sebagai amanah yang harus dijaga dan bukan hanya sebagai obyek yang dapat dieksploitasi tanpa mempedulikan pemilik data [masyarakat],” tutupnya.

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo mengatakan absennya dua instrumen penting itu membuat pelaksanaan UU PDP masih jauh dari harapan. 

    “Pelaksanaan UU PDP belum akan optimal selagi butir 1 [PP] dan 2 [LPPDP] belum ada,” katanya.

    Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap pembentukan LPPDP masih dalam tahap harmonisasi. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menjelaskan, proses pembahasan masih berjalan lantaran kompleksitas substansi pasal-pasal dalam UU PDP.

    “Lembaga PDP lagi diharmonisasi ya, lagi dibahas terus karena pasalnya banyak, lebih dari 200 ya jadi harus dilihat satu per satu pasal-pasal itu dan kami harapkan bisa segera selesai,” kata Nezar di Kantor Komdigi, Senin (28/7/2025).

    Dia menargetkan proses harmonisasi rampung pada Agustus agar kejelasan institusi pelindung data pribadi segera tercapai, khususnya dalam konteks kerja sama internasional. 

    “Kalau bisa seperti ini jadi kami bisa speed up prosesnya sehingga kejelasan yang diminta itu kami bisa berikan,” lanjutnya.

    Ilustrasi hacker mencuri data pribadi

    Sejalan dengan itu, Komdigi juga menyebut aturan turunan dari UU PDP masih dalam tahap pembahasan. Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Brigjen Pol Alexander, mengatakan rancangan peraturan pemerintah dari UU PDP terus dibahas secara rutin.

    “Itu [turunan UU PDP] ada 200-an pasal 200. Itu pembahasannya hampir tiap minggu, dan baru sampai pasal 90-an. Jadi masih berproses, semoga bisa segera,” kata Alexander di Komdigi, Jumat (9/5/2025).

    Sebelumnya, Presiden Joko Widodo secara resmi menandatangani berlakunya UU PDP pada 17 Oktober 2022. Undang-undang ini diyakini menjadi tonggak penting untuk menjamin keamanan data pribadi masyarakat dari pencurian maupun pemalsuan, sekaligus mengawal transformasi digital Indonesia menuju era Industri 5.0.

    Sebagai produk legislasi lex specialis, UU PDP memiliki kedudukan yang lebih kuat dibanding regulasi lain jika terjadi konflik pengaturan. Artinya, jika ada pertentangan dengan aturan lain, maka UU PDP menjadi rujukan utama.

    UU PDP juga mengatur detail terkait pengendalian data yang dilakukan individu, badan publik, hingga organisasi internasional. 

    Selain itu, undang-undang ini mengamanatkan pembentukan lembaga pelindungan data pribadi yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, dengan kewenangan antara lain merumuskan kebijakan, melakukan pengawasan kepatuhan, hingga menjatuhkan sanksi administratif.

    Meski UU PDP telah berlaku hampir tiga tahun, Indonesia masih masuk daftar negara dengan jumlah kebocoran data tertinggi di dunia. 

    Riset white paper bertajuk Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Business from AI-Generated Digital Fraud yang dipublikasikan PT Indonesia Digital Identity (VIDA) menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke-13 global sekaligus tertinggi di Asia Tenggara dalam kasus kebocoran data.

    “Indonesia berada di peringkat ke-13 secara global untuk kebocoran data, tertinggi di Asia Tenggara, menurut Statistik Pelanggaran Data Global Surfshark [2004−2024],” demikian kutipan riset tersebut.

    Jumlah kebocoran data di Indonesia mencapai 157.053.913 kasus, jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia (52.030.140 kasus), Thailand (48.924.923 kasus), dan Singapura (34.731.337 kasus).

  • UU PDP Bergantung pada Lembaga yang Tak Kunjung Terbentuk, Data Terlindungi?

    UU PDP Bergantung pada Lembaga yang Tak Kunjung Terbentuk, Data Terlindungi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga pengawas yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) belum kunjung terbentuk, demikian pula aturan turunannya.

    Pengamat teknologi informasi (IT) dan keamanan siber dari Vaksin.com, Alfons Tanujaya, menilai efektivitas UU PDP dalam mengurangi risiko kebocoran data akan sangat bergantung pada bagaimana lembaga pelindungan data pribadi yang dibentuk nantinya menjalankan pengawasan dan penegakan hukum.

    “Sejauh mana UU PDP dapat mengurangi resiko kebocoran data, itu tergantung dari bagaimana badan PDP yang dibentuk ini menjalankan pengawasan dan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi,” kata Alfons kepada Bisnis pada Rabu (24/9/2025). 

    Alfons menilai tanpa adanya tindakan tegas dan konsisten terhadap pelanggaran, UU PDP hanya akan bernasib sama seperti aturan lalu lintas yang kerap dilanggar. Menurutnya, meski rambu sudah jelas, banyak pengguna jalan tetap melanggar karena tidak ada kesadaran mengikuti aturan, memilih jalan mudah, serta lemahnya penegakan hukum.

    Alfons menambahkan, posisi Indonesia masih lemah dari sisi kekuatan cyber army, meski potensinya besar mengingat jumlah pengguna internet di Tanah Air menduduki peringkat keempat dunia. 

    Menurutnya, potensi ini seharusnya dapat dikelola pemerintah agar talenta digital dalam negeri tidak memilih berkiprah di luar negeri.

    “Jika UU PDP tidak diterapkan dengan optimal maka hal ini tidak akan meningkatkan kesadaran kualitas pengelolaan data dan hal ini akan berakibat buruk bagi perkembangan dunia digital Indonesia karena pengelolaan data yang buruk akan mengakibatkan eksploitasi baik karena kebocoran atau hal lainnya,” katanya. 

    Hal tersebut  menurutnya akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada kanal digital khususnya lembaga yang kerap mengalami kebocoran data dan secara tidak langsung akan memperlambat atau menghambat perkembangan di dunia digital. Lebih lanjut, Alfons menegaskan perlunya penegakan aturan yang tegas, adil, dan transparan.

    “Bukan macan ompong yang hanya bisa menggertak tanpa ada usaha persuasif dan tindakan tegas tidak akan mendorong kesadaran pengelolaan data yang baik,” imbuhnya .

    Dia juga menyinggung lambannya proses pembentukan lembaga PDP. Menurutnya, perjalanan UU PDP sejak perumusan hingga pengesahan sudah memakan waktu lama, dan setelah diundangkan pun lembaga pelaksananya belum terbentuk.

    Meski begitu, dia tetap berharap lembaga PDP segera terbentuk dan mampi menjalankan tugasnya dengan baik dan mengawal pelindungan data pribadi dari pengguna layanan digital di Indonesia. 

    “Dan akan sangat menggembirakan jika aturan UU PDP tersebut dijalankan dengan konsisten dan tidak pandang bulu,” ungkap Alfons.

    Dia menekankan, penerapan konsisten UU PDP akan meningkatkan kesadaran pengelola data untuk bertanggung jawab serta memperlakukan data pribadi masyarakat sebagai amanah yang wajib dijaga, bukan semata objek yang bisa dieksploitasi.

    “Harapannya UU PDP akan meningkatkan kesadaran pengelola data agar dapat bertanggungjawab dalam pengelolaan data dan memperlakukan data itu sebagai amanah yang harus dijaga dan bukan hanya sebagai obyek yang dapat dieksploitasi tanpa mempedulikan pemilik data [masyarakat],” tutupnya.

    Indonesia masih mencatat jumlah kebocoran data tertinggi di Asia Tenggara. Riset PT Indonesia Digital Identity (VIDA) menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke-13 global dengan 157,05 juta kasus kebocoran data, jauh melampaui Malaysia (52,03 juta), Thailand (48,92 juta), dan Singapura (34,73 juta).

  • 3 Tahun Berjalan, Lembaga Pengawas Tak Kunjung Muncul

    3 Tahun Berjalan, Lembaga Pengawas Tak Kunjung Muncul

    Bisnis.com, JAKARTA — Hampir 3 tahun Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan, aturan turunan dan lembaga pengawas yang diamanatkan undang-undang itu tak kunjung terbentuk. 

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai kondisi tersebut membuat pelaksanaan UU PDP belum berjalan optimal.

    “UU PDP mengamanahkan adanya peraturan turunan berupa PP [Peraturan Pemerintah] yang melakukan pengaturan lebih rinci terkait pelaksanaan UU PDP. Karena hingga saat ini belum terbentuk,  maka hal ini yang mesti kita dorong agar Komdigi merampungkannya,” kata Agung kepada Bisnis pada Rabu (24/9/2025). 

    Dia menambahkan, selain PP, pembentukan Lembaga Pelaksana Pelindungan Data Pribadi (LPPDP) juga belum terealisasi. Karena itu, dia berharap Komdigi segera merampungkannya. Menurut Agung, absennya dua instrumen penting itu membuat pelaksanaan UU PDP masih jauh dari harapan. 

    “Pelaksanaan UU PDP belum akan optimal selagi butir 1 [PP] dan 2 [LPPDP] belum ada,” katanya.

    Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap pembentukan LPPDP masih dalam tahap harmonisasi. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menjelaskan, proses pembahasan masih berjalan lantaran kompleksitas substansi pasal-pasal dalam UU PDP.

    “Lembaga PDP lagi diharmonisasi ya, lagi dibahas terus karena pasalnya banyak, lebih dari 200 ya jadi harus dilihat satu per satu pasal-pasal itu dan kami harapkan bisa segera selesai,” kata Nezar di Kantor Komdigi, Senin (28/7/2025).

    Dia menargetkan proses harmonisasi rampung pada Agustus agar kejelasan institusi pelindung data pribadi segera tercapai, khususnya dalam konteks kerja sama internasional. 

    “Kalau bisa seperti ini jadi kami bisa speed up prosesnya sehingga kejelasan yang diminta itu kami bisa berikan,” lanjutnya.

    Sejalan dengan itu, Komdigi juga menyebut aturan turunan dari UU PDP masih dalam tahap pembahasan. Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Brigjen Pol Alexander, mengatakan rancangan peraturan pemerintah dari UU PDP terus dibahas secara rutin.

    “Itu [turunan UU PDP] ada 200-an pasal 200. Itu pembahasannya hampir tiap minggu, dan baru sampai pasal 90-an. Jadi masih berproses, semoga bisa segera,” kata Alexander di Komdigi, Jumat (9/5/2025).

    Sebelumnya, Presiden Joko Widodo secara resmi menandatangani berlakunya UU PDP pada 17 Oktober 2022. Undang-undang ini diyakini menjadi tonggak penting untuk menjamin keamanan data pribadi masyarakat dari pencurian maupun pemalsuan, sekaligus mengawal transformasi digital Indonesia menuju era Industri 5.0.

    Sebagai produk legislasi lex specialis, UU PDP memiliki kedudukan yang lebih kuat dibanding regulasi lain jika terjadi konflik pengaturan. Artinya, jika ada pertentangan dengan aturan lain, maka UU PDP menjadi rujukan utama.

    UU PDP juga mengatur detail terkait pengendalian data yang dilakukan individu, badan publik, hingga organisasi internasional. 

    Selain itu, undang-undang ini mengamanatkan pembentukan lembaga pelindungan data pribadi yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, dengan kewenangan antara lain merumuskan kebijakan, melakukan pengawasan kepatuhan, hingga menjatuhkan sanksi administratif.

    Meski UU PDP telah berlaku hampir tiga tahun, Indonesia masih masuk daftar negara dengan jumlah kebocoran data tertinggi di dunia. 

    Riset white paper bertajuk Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Business from AI-Generated Digital Fraud yang dipublikasikan PT Indonesia Digital Identity (VIDA) menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke-13 global sekaligus tertinggi di Asia Tenggara dalam kasus kebocoran data.

    “Indonesia berada di peringkat ke-13 secara global untuk kebocoran data, tertinggi di Asia Tenggara, menurut Statistik Pelanggaran Data Global Surfshark [2004−2024],” demikian kutipan riset tersebut.

    Jumlah kebocoran data di Indonesia mencapai 157.053.913 kasus, jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia (52.030.140 kasus), Thailand (48.924.923 kasus), dan Singapura (34.731.337 kasus).

  • Komdigi Buka-Bukaan Soal Tugas Pengawasan Ruang Digital

    Komdigi Buka-Bukaan Soal Tugas Pengawasan Ruang Digital

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital melakukan pengawasan kegiatan secara digital. Direktorat ini sebelumnya dikenal dengan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika.

    “Kalau merujuk ke aturan sendiri, Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital ini kalau melihat dari namanya memang fungsinya kemudian titik beratnya pengawasan ruang digital kita,” ungkap Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital Alexander Sabar dalam spesial Merdeka Digital, Rabu (24/9/2025).

    Adapun dalam menjalankan tugasnya Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital berdasarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).

    Lebih lanjut, Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital membawahi Sekretariat Jenderal yang bertugas mengurus permasalahan administrasi pengawasan digital. Direktorat ini juga membawahi direktorat strategi, direktorat penyidikan, dan direktorat pengendalian ruang digital.

    “Ini menjadi inti dari Pengawasan Ruang Digital digital karena tugasnya melakukan pengendalian terhadap aktivitas yang di ruang digital kita,” lanjut Alexander.

    Direktorat ini juga membawahi Direktorat Pengawasan Sertifikasi dan Transaksi Elektronik yang bertugas melakukan sertifikasi elektronik, termasuk induk dari tanda tangan elektronik.

    “Jadi direktorat-direktorat ini yang menggambarkan pelaksanaan tugas Pengawasan Ruang Digital,” pungkas dia.

    (rah/rah)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Jaga keamanan Data Pribadi, Komdigi Imbau Masyarakat Lakukan Ini!

    Jaga keamanan Data Pribadi, Komdigi Imbau Masyarakat Lakukan Ini!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital, Alexander Sabar meminta masyarakat untuk berhati-hati dalam membagikan data pribadi. Ini termasuk nomor induk kependudukan (NIK) yang tercantum dalam KTP.

    Menurut dia perlindungan data pribadi menjadi perhatian bagi para pemiliknya. Dengan kata lain, pemberian data pribadi tergantung dari kewaspadaan para pemiliknya.

    Alexander juga menyebut dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), terdapat dua kategori data, yakni umum dan spesifik.

    “Kalau (data pribadi) umum itu misalnya nama. Tetapi kalau sudah menyangkut NIK itu sesuatu yang jangan mudah diberikan. Kita melihat bahwa awareness ini perlu,” kata dia dalam spesial dialog Merdeka Digital, dikutip Rabu (24/9/2025).

    Oleh sebab itu ia mengimbau masyarakat untuk sadar bahwa data ini penting bagi mereka dan jangan cepat-cepat dibagikan kepada seseorang yang minta.

    “Mau disebarkan atau dibagikan lewat email atau aplikasi itu, tahan diri,” tambah Alexander.

    Di sisi lain, Alexander menyebut pihaknya meminta Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk tidak menyimpan data pribadi dari para customer. Khususnya ketika mereka melakukan verifikasi dan sebagainya.

    “Ketika harus menunjukkan KTP dan sebagainya, untuk tidak di-record sama mereka (PSE). Jadi cukup saat verifikasi dan data itu tidak disimpan. Itu yang kita minta juga,” pungkas Alexander.

    (dpu/dpu)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Paralayang Dilarang di Bromo, Pelanggar Bisa Kena Sanksi Adat Tengger

    Paralayang Dilarang di Bromo, Pelanggar Bisa Kena Sanksi Adat Tengger

    Pasuruan (beritajatim.com) – Aktivitas paralayang di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) resmi dinyatakan terlarang. Balai Besar TNBTS menegaskan, siapa pun yang melanggar berpotensi dikenai sanksi adat oleh masyarakat Tengger.

    Kepala Balai Besar TNBTS, Rudijanta Tjahja Nugraha, menyampaikan klarifikasi usai beredarnya video paralayang di media sosial. Hasil penelusuran menunjukkan, rekaman itu diambil pada 30 Juli 2025 di area Lemah Pasar.

    “Berdasarkan keterangan saksi, lokasi video berada di Lemah Pasar. Namun hingga kini, identitas wisatawan yang melakukan aksi itu belum diketahui,” kata Rudi dalam keterangannya, Kamis (18/9/2025).

    Rudi menegaskan, seluruh aktivitas olahraga udara seperti paralayang maupun aeromodeling tidak diperbolehkan di kawasan Bromo. Larangan tersebut bukan hanya soal konservasi, tetapi juga penghormatan terhadap kesakralan wilayah adat Tengger.

    “Bromo bukan hanya destinasi wisata, tapi juga kawasan sakral bagi masyarakat Tengger. Karena itu, tindakan semacam ini jelas dianggap melanggar nilai adat,” tegasnya.

    Larangan itu juga diperkuat oleh Surat Paruman Dukun Pandita Kawasan Tengger Nomor 295/Perm/PDP-Tengger/X/2024 yang dikeluarkan pada 24 Oktober 2024. Dalam surat tersebut ditegaskan, seluruh kawasan Bromo memiliki nilai sakral yang wajib dijaga.

    Jika terjadi pelanggaran, masyarakat adat berhak menjatuhkan sanksi. Hukuman bisa berupa ritual pembersihan kawasan, sanksi fisik sesuai pelanggaran, hingga sanksi sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat.

    “Ini bukan hanya aturan konservasi, tapi juga aturan adat. Jadi konsekuensinya tidak main-main,” tambah Rudi.

    Pihaknya mengimbau wisatawan maupun pelaku usaha pariwisata agar mematuhi ketentuan yang berlaku. Menurutnya, menjaga Bromo tidak hanya berarti melestarikan alam, tetapi juga menghormati nilai budaya masyarakat Tengger.

    “Kami berharap tidak ada lagi kejadian serupa. Mari bersama-sama menjaga kelestarian Bromo sekaligus menghormati nilai budaya Tengger,” tutupnya. [ada/beq]

  • Wisatawan Main Paralayang di Bromo, Khofifah: Tak Ada Toleransi
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        15 September 2025

    Wisatawan Main Paralayang di Bromo, Khofifah: Tak Ada Toleransi Surabaya 15 September 2025

    Wisatawan Main Paralayang di Bromo, Khofifah: Tak Ada Toleransi
    Tim Redaksi
    SURABAYA, KOMPAS.com
    – Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memberikan tanggapan atas video viral aktivitas paralayang di kawasan Gunung Bromo.
    Menurutnya, seluruh aktivitas wisata di kawasan Gunung Bromo wajib mengikuti regulasi yang berlaku, termasuk aturan konservasi dan perizinan resmi.
    “Tidak boleh ada toleransi terhadap kegiatan yang merusak lingkungan, mengabaikan keselamatan, atau mengganggu nilai-nilai budaya,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (15/9/2025).
    Gunung Bromo, menurut dia, bukan sekadar destinasi wisata, melainkan juga kawasan konservasi dan warisan budaya masyarakat Tengger yang sakral.
    “Bromo juga bagian dari Cagar Biosfer Bromo Tengger Semeru – Arjuno yang telah ditetapkan UNESCO sejak 2015 lalu,” ujarnya.
    Khofifah menekankan pentingnya edukasi kepada para wisatawan di kawasan Gunung Bromo agar pengunjung lebih memahami kewajiban menjaga kelestarian alam sekaligus menghormati kearifan lokal masyarakat Tengger.
    “Kita juga akan memperkuat edukasi kepada pengunjung mengenai pentingnya menjaga kelestarian alam dan menghormati kearifan lokal, agar Bromo tetap lestari, sakral, dan dihormati generasi kini maupun yang akan datang,” ucapnya.
    Unggahan video yang memperlihatkan seorang oknum paraglider melakukan aktivitas penerbangan paralayang di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) viral di media sosial. 
    Video itu diunggah oleh pemilik akun Instagram @indonesian_mountains pada Rabu (10/9/2025).
    Terlihat dalam video itu seorang pria dengan kostum dan helem putih melakukan aktivitas penerbangan paralayang dari Kawasan Penanjakan, terbang ke arah Gunung Batok, dengan parasut utama berwarna jingga.
    Balai Besar TNBTS menyayangkan aktivitas ilegal yang dilakukan oknum tersebut. Sebab, penerbangan paralayang dilarang di dalam kawasan TNBTS.
    Namun, hingga hampir dua bulan berselang, pihak TNBTS belum juga menemukan identitas wisatawan yang melanggar norma setempat itu.
    “Sampai sekarang, kami juga belum mengetahui identitas pelaku wisatawan yang menerbangkan paralayang,” ujar Kepala Balai Besar TNBTS, Rudijanta Tjahja Nugraha, saat dihubungi
    Kompas.com
    pada Senin (15/9/2025).
    Rudijanta juga menegaskan kawasan Bromo merupakan kawasan sakral yang dilindungi , sesuai dalam Surat Paruman Dukun Pandita Kawasan Tengger Nomor 295/Perm/PDP-Tengger/X/2024 tanggal 24 Oktober 2024. 
    Berdasarkan surat tersebut, akan ada ancaman sanksi adat yang akan diberikan bagi pelanggar aturan masyarakat Tengger. Sanksi yang diberikan bergantung pada tingkat pelanggaran yang dilakukan.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.