Kasus: PDP

  • Trump Minta Data Pribadi RI Ditaruh di AS, Bagaimana Nasib Bisnis Data Center?

    Trump Minta Data Pribadi RI Ditaruh di AS, Bagaimana Nasib Bisnis Data Center?

    Bisnis.com, JAKARTA – Data pribadi penduduk Indonesia terancam ‘digadaikan’ dalam kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat (AS) yakni terkait tarif impor resiprokal.

    Sebaimana diketahui, Presiden Donald Trump mengumumkan kesepakatan dagang bersejarah antara AS dan Indonesia di berbagai sektor, termasuk di sektor digital terkait proses pengolahan data pribadi. 

    Di sektor tersebut, Donald Trump lewat keterangan resmi Gedung Putih menyebut AS dan RI menghapus hambatan perdagangan digital dengan berencana merampungkan komitmen mengenai perdagangan digital, jasa, dan investasi.

    Sejumlah komitmen diambil oleh Indonesia, salah satunya memberikan kepastian atas kemampuan memindahkan data pribadi keluar dari wilayah Indonesia ke AS melalui pengakuan bahwa AS memberikan perlindungan data yang memadai menurut hukum Indonesia.

    Namun, perlindungan data yang dijanjikan AS diragukan banyak pihak, termasuk Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI). Ketua Umum ACCI, Alex Budiyanto mengatakan AS berbeda dengan Eropa yang telah memiliki aturan pelindungan data pribadi atau General Data Protection Regulation, seperti di Indonesia.

    Negeri Paman Sam belum memiliki regulasi pasti yang mengatur hal tersebut, sehingga perusahaan yang memperjualbelikan atau bocor datanya, tidak dapat diberi sanksi.

    Ilustrasi data center / JIBI

    “AS belum punya undang-undang federal untuk perlindungan data pribadi. Jadi, harusnya data kita tidak boleh masuk ke sana,” kata Alex kepada Bisnis, Rabu (23/7/2025).

    Dia mengatakan AS hingga saat ini belum punya UU PDP versi mereka. AS hanya meminta data pribadi Indonesia untuk dikelola di sana tanpa ada jaminan perlindungan hukum.

    Artinya, jika terjadi pelanggaran di AS, Indonesia tidak punya instrumen hukum untuk menuntut atau menghukum.

    “Di Indonesia ada UU-nya, di Eropa ada GDPR. Tapi di AS? Tidak ada. Makanya ini jadi masalah,” kata Alex.

    Sementara itu, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja mengingatkan bahwa perlindungan data adalah inti dari keamanan dan ketahanan siber nasional.

    Pada era digital, data pribadi sudah menjadi tulang punggung di hampir seluruh sektor – mulai dari perbankan, kesehatan, hingga energi. Kemudahan transfer data lintas negara yang tak diatur dengan jelas pada akhirnya mengabaikan eksistensi UU PDP dan menurunkan kedaulatan digital Indonesia.

    “Siapa yang bisa menjamin kalau data warga Indonesia bocor di Amerika? Cara menuntutnya bagaimana?” tegas Ardi.

    Lebih lanjut, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan pengambilan data pribadi masyarakat oleh AS harus mendapat persetujuan pemilik data pribadi.

    “Persetujuan juga dibutuhkan jika data akan dibagi kepada pihak lain. Jika masyarakat sebagai pemilik data pribadi setuju, maka ada aturan berikut.  Sharing data haruslah bersifat resiprokal,” kata Heru.

    Respons Pemerintah

    Kekhawatiran banyak pihak akan keamanan data pribadi yang bebas dipindahkan oleh AS sampai ke telinga Presiden Prabowo Subianto. Kepala negara menekankan negosiasi dengan AS masih terus berjalan termasuk mengenai kesepakatan yang tengah ramai dibahas oleh masyarakat saat ini.

    “Ya nanti itu sedang, negosiasi berjalan terus,” kata Prabowo di JICC usai menghadiri Harlah ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Rabu (23/7/2025) malam.

    Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan bahwa persoalan transfer data pribadi yang tercantum dalam kesepakatan bersama telah dijalankan dengan prinsip tanggung jawab negara. Menurutnya, Indonesia telah mematuhi prinsip-prinsip perlindungan data yang diminta.

    “Itu sudah, transfer data pribadi yang bertanggung jawab dengan negara yang bertanggung jawab,” katanya.

    Pemerintah Amerika Serikat dan Republik Indonesia menyepakati Framework for United States–Indonesia Agreement on Reciprocal Trade, atau Kerangka Perjanjian Perdagangan Timbal Balik, yang akan memperkuat hubungan ekonomi bilateral dan membuka akses pasar yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi eksportir kedua negara.

    Dalam kesempata berbeda, Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto menjelaskan bahwa ketentuan transfer data antarnegara tetap tunduk pada regulasi nasional, termasuk Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan aturan teknis yang berlaku.

    “Keleluasaan transfer data yang diberikan kepada Amerika maupun negara mitra lainnya hanya untuk data-data komersial, bukan untuk data personal/individu dan data yang bersifat strategis,” ujar Haryo kepada wartawan, Rabu (23/7/2025).

    Respons kekhawatiran sejumlah pihak terhadap potensi kebocoran atau akses bebas atas data domestik oleh pihak asing, dia mengklaim bahwa pengelolaan data pribadi maupun data strategis tetap berada di bawah pengawasan ketat sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.

    Menurut Haryo, aspek teknis terkait kebijakan data lintas negara berada di bawah koordinasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo Digital) yang menjadi leading sector untuk pengaturan lebih rinci.

  • Moratelindo (MORA) Singgung Kepastian Regulasi jika Data Pribadi RI Dikelola AS

    Moratelindo (MORA) Singgung Kepastian Regulasi jika Data Pribadi RI Dikelola AS

    Bisnis.com, JAKARTA —  PT Mora Telematika Indonesia atau Moratelindo (MORA) menilai dibutuhkan dasar hukum yang jelas, yang memperbolehkan Amerika Serikat (AS) mengelola data pribadi masyarakat Indonesia. 

    Chief Strategic Business Officer Moratelindo Resi Y Bramani mengatakan perusahaan menghormati setiap kebijakan dan kerja sama internasional yang diambil oleh pemerintah, serta memahami bahwa keputusan tersebut memiliki pertimbangan strategis tersendiri.

    Namun, lanjutnya, Moratelindo berharap ada dasar hukum yang jelas, yang memperbolehkan AS mengelola data pribadi Indonesia.

    Menurutnya dasar hukum yang jelas bertujuan agar agar tidak timbul konflik antara UU Pelindungan Data Pribadi (PDP), serta UU lain yang mengatur informasi Data Pribadi dan perjanjian antar negara.

    “Kejelasan dasar  ini penting untuk memastikan bahwa industri data center lokal tetap memiliki ruang yang sehat untuk tumbuh dan bersaing secara adil, dan yang pastinya tetap menjunjung tinggi kedaulatan/ kepentingan Indonesia,” kata Resi kepada Bisnis, Rabu (23/7/2025).

    Mengenai dampak regulasi dengan potensi kehilangan pelanggan dan pendapatan, kata Resi, risiko tersebut bisa saja terjadi mengingat pergeseran komposisi pelanggan dan arah industri adalah hal yang wajar. 

    Sebagian pelanggan mungkin akan migrasi ke perusahaan data center global. Namun, perusahaan data center dapat melihat peluang pertumbuhan di sektor-sektor yang memerlukan kepatuhan hukum nasional dan kendali data, seperti keuangan, pemerintahan, dan kesehatan. 

    “Kami berharap kebijakan luar negeri yang diambil pemerintah, tetap bisa memberikan ruang tumbuh yang adil, tetap dapat berdaya saing, perlakuan yang sama terhadap pelaku usaha dalam negeri dan tetap menjaga kepercayaan terhadap ekosistem digital nasional,” kata Resi.

    Sebelumnya, kebebasan pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam mengelola data pribadi masyarakat Indonesia – sesuai kesepakatan yang terjalin – dinilai akan berdampak pada industri pusat data atau data center dalam negeri.

    Pemerintah diminta memperjelas makna pengelolaan data pribadi oleh AS. 

    Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosef M. Edward mengatakan kebijakan pengelolaan data di AS tidak hanya berdampak pada pelindungan data pribadi, juga dapat merugikan industri data center dalam negeri, terutama dari sisi kepercayaan dan keberlanjutan bisnis.

    Jika pengelolaan dan pemindahan data ke luar negeri dibiarkan tanpa pembatasan, bahkan dengan jaminan keamanan tertentu, hal ini berpotensi menurunkan kepercayaan pengguna lokal maupun asing pada layanan data center Indonesia. 

    Pengguna internasional yang saat ini menggunakan data center di Indonesia sebagai mirror atau backup juga bisa ikut memindahkan layanannya ke negara lain, sehingga mengancam kelangsungan bisnis data center nasional.

    “Hal pengalihan data secara bebas perlu perhatian lebih jauh. Industri data center di Indonesia dapat bermasalah,” kata Ian.

    Ian menuturkan pemahaman tentang definisi “bebas dipindahkan” sangat penting untuk menakar dampak dan risiko, sebab praktik disaster recovery dan keberlanjutan bisnis banyak mengandalkan data center lokal yang secara fisik dipisahkan serta diakses khusus oleh penyewa.

  • Amerika Serikat Kelola Data RI Tanpa UU PDP, Kebocoran Informasi Tak Dapat Ditindak

    Amerika Serikat Kelola Data RI Tanpa UU PDP, Kebocoran Informasi Tak Dapat Ditindak

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha komputasi awan atau cloud computing mengaku khawatir dengan kesepakatan yang memperbolehkan Amerika Serikat bebas mengelola data pribadi masyarakat Indonesia. Pasalnya, AS saat ini belum memiliki Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) sehingga pelanggaran kebocoran data tidak dapat diberi sanksi. 

    Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengatakan Amerika Serikat berbeda dengan Eropa yang telah memiliki aturan pelindungan data pribadi atau General Data Protection Regulation, seperti di Indonesia.

    Amerika Serikat belum memiliki regulasi pasti yang mengatur hal tersebut, sehingga perusahaan yang memperjualbelikan atau bocor datanya, tidak dapat diberi sanksi.

    “AS belum punya undang-undang federal untuk perlindungan data pribadi. Jadi, harusnya data kita tidak boleh masuk ke sana,” kata Alex kepada Bisnis, Rabu (23/7/2025).

    Dia mengatakan AS hingga saat ini belum punya UU PDP versi mereka. AS hanya meminta data pribadi Indonesia untuk dikelola di sana tanpa ada jaminan perlindungan hukum.

    Artinya, jika terjadi pelanggaran di AS, Indonesia tidak punya instrumen hukum untuk menuntut atau menghukum.

    “Di Indonesia ada UU-nya, di Eropa ada GDPR. Tapi di AS? Tidak ada. Makanya ini jadi masalah,” kata Alex.

    Dia juga mengatakan sebelum kesepakatan ini diambil, pelaku usaha komputasi awan tidak dilibatkan dalam diskusi. Pemerintah hanya melibatkan lingkaran terdekat dalam memutuskan hal krusial tersebut.

    “Saya yakin yang diajak ngomong cuma orang-orang di lingkaran pemerintah saja. Teman-teman asosiasi lain juga bilang enggak diajak diskusi. Jadi ini murni keputusan para pejabat, tanpa melibatkan stakeholder. Makanya banyak yang kecewa, marah, dan merasa dijual ke AS,” kata Alex.

    Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja mengingatkan bahwa perlindungan data adalah inti dari keamanan dan ketahanan siber nasional.

    Pada era digital, data pribadi sudah menjadi tulang punggung di hampir seluruh sektor – mulai dari perbankan, kesehatan, hingga energi. Kemudahan transfer data lintas negara yang tak diatur dengan jelas pada akhirnya mengabaikan eksistensi UU PDP dan menurunkan kedaulatan digital Indonesia.

    Tidak hanya itu, Ardi secara khusus menyoroti ketidaksiapan Amerika Serikat dalam hal perlindungan data secara nasional.

    Sama seperti Alex, Dia menegaskan  AS tidak memiliki undang-undang federal terkait perlindungan data pribadi. Hal ini sangat berisiko untuk data warga negara Indonesia yang berpindah ke luar negeri, khususnya AS.

    “Siapa yang bisa menjamin kalau data warga Indonesia bocor di Amerika? Cara menuntutnya bagaimana?” tegas Ardi.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan pengambilan data pribadi masyarakat oleh AS harus mendapat persetujuan pemilik data pribadi.

    “Persetujuan juga dibutuhkan jika data akan dibagi kepada pihak lain. Jika masyarakat sebagai pemilik data pribadi setuju, maka ada aturan berikut.  Sharing data haruslah bersifat resiprokal,” kata Heru.

    Sebelumnya,  Presiden Donald Trump mengumumkan kesepakatan dagang bersejarah antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia di berbagai sektor, termasuk di sektor digital terkait proses pengolahan data pribadi. 

    Di sektor tersebut, Donald Trump lewat keterangan resmi Gedung Putih menyebut AS dan RI menghapus hambatan perdagangan digital dengan berencana merampungkan komitmen mengenai perdagangan digital, jasa, dan investasi.

    Sejumlah komitmen diambil oleh Indonesia. Salah satunya, memberikan kepastian atas kemampuan memindahkan data pribadi keluar dari wilayah Indonesia ke AS melalui pengakuan bahwa AS memberikan perlindungan data yang memadai menurut hukum Indonesia.

  • Intip Aturan Soal Pemanfaatan AI yang Disusun Pemerintah

    Intip Aturan Soal Pemanfaatan AI yang Disusun Pemerintah

    Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah merancang regulasi dan peta jalan nasional guna mengatur pemanfaatan kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI). 

    Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria mengatakan regulasi tersebut akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) untuk memperkuat tata kelola lintas sektor di tingkat nasional.

    “Akan ada dua produk, yaitu peta jalan dan regulasi AI. Lalu. Peraturan Presiden yang dapat berlaku di seluruh lembaga. Jadi, dengan melakukan itu, kami memperkuat regulasi kami tentang AI,” ujarnya dikutip dari laman resmi Komdigi pada Sabtu (19/7/2025).

    Dia menjelaskan, Indonesia sejatinya sudah memiliki sejumlah kerangka hukum yang relevan dalam mengatur pengembangan dan penggunaan teknologi AI. Di antaranya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (PDP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta beberapa peraturan kementerian dan surat edaran mengenai etika AI.

    Dengan seperangkat peraturan ini, pihaknya dapat memiliki referensi bagi semua pemangku kepentingan yang ingin mengembangkan teknologi AI. 

    “Bagi masyarakat yang ingin menggunakan teknologi ini, kami juga dapat menavigasi dan mitigasi risikonya,” imbuhnya.

    Lebih lanjut, Nezar mengatakan Komdigi juga tengah menyusun peta jalan nasional AI yang dirancang sebagai panduan prinsipil bagi kementerian dan lembaga untuk mengadopsi teknologi AI di berbagai sektor strategis seperti transportasi, pendidikan, kesehatan, hingga layanan keuangan.

    Pihaknya hanya memberikan prinsip-prinsip bagaimana mengadopsinya, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta apa yang perlu diwaspadai terkait risikonya. 

    Nezar menyebutkan, proses penyusunan peta jalan ini melibatkan pendekatan quad helix yang mengikutsertakan pelaku usaha dan industri, akademisi, kelompok masyarakat sipil, serta pemerintah. 

    Penyusunan draf tersebut juga didukung oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) dan konsultan dari Boston Consulting Group (BCG).

    “Proses ini telah berjalan secara marathon selama hampir dua bulan ini,” katanya.

    Nezar melanjutkan pemerintah juga mengapresiasi komitmen semua pihak untuk mewujudkan peta jalan ini. 

    Untuk mendukung proses tersebut, pemerintah dengan dukungan JICA juga melakukan kajian pendukung perumusan peta jalan dengan melibatkan Boston Consulting Group (BCG).

    “Drafnya masih dibahas oleh banyak pemangku kepentingan. Semoga kami dapat menyelesaikan drafnya pada akhir bulan ini,” katanya.

    Pemerintah berharap, regulasi dalam bentuk Perpres dan peta jalan AI ini akan menjadi pondasi bagi pengembangan ekosistem AI nasional yang etis, aman, tangguh, dan berdaya saing tinggi. 

    “Kedua dokumen ini diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara inovasi dan perlindungan publik, serta menjadi rujukan dalam membangun ekosistem AI nasional yang aman, tangguh, dan berdaya saing tinggi,” jelasnya.

  • Komdigi Update Kasus Pengumpulan Data Iris Mata Ilegal oleh Tools For Humanity

    Komdigi Update Kasus Pengumpulan Data Iris Mata Ilegal oleh Tools For Humanity

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap perkembangan terbaru kasus pengumpulan data biometrik iris mata secara ilegal yang dilakukan oleh Tools For Humanity (TFH) melalui aplikasi World App di Indonesia. 

    Pemerintah menegaskan aktivitas tersebut terbukti telah dilakukan secara ilegal sejak 2021, jauh sebelum TFH mendaftarkan diri sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat.

    Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Brigjen Pol Alexander Sabar, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah melakukan serangkaian pemeriksaan dan klarifikasi terhadap TFH, serta mengeluarkan sejumlah rekomendasi dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan asal Amerika Serikat tersebut bila ingin melanjutkan operasinya di Indonesia.

    “Pertama melakukan penilaian ulang kepatuhan Pelindungan Data Pribadi dan memperbaharui kebijakan privasi [privacy notice] secara komprehensif dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,” kata Alexander kepada Bisnis dalam jawaban tertulis pada Selasa (15/7/2025). 

    Selain itu, TFH juga diminta memberikan jaminan dan bukti atas keamanan data pribadi yang dikelola, memastikan tidak ada data anak yang diproses, dan memperbaiki prosedur maupun teknologi pengelolaan datanya.

    Komdigi juga mendorong agar sebagian atau seluruh data iris pengguna Indonesia disimpan di wilayah Indonesia.

    Tidak hanya sampai disitu, TFH juga harus memiliki mekanisme untuk mengidentifikasi jumlah pasti pengguna Indonesia dan melaporkannya secara berkala kepada Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital. 

    Alexander mengatakan perusahaan pun diharuskan mengutamakan keterlibatan sebanyak mungkin sumber daya manusia inti yang berasal dari Indonesia dalam proses pengembangan bisnis TFH/World di Indonesia.

    Selain itu, lanjut Alexander, perusahaan diminta menghentikan praktik pemberian koin sebagai imbalan pengguna yang memberikan data irish mereka melalui Orb.

    “Senantiasa mengedepankan prinsip secure and ethics by design dalam menjalankan proses bisnis TFH/World di Indonesia,” kata Alexander. 

    Alexander mengatakan TFH berkomitmen memenuhi kewajiban dan mengikuti rekomendasi yang dimintakan oleh Komdigi.

    Dia menyebut diskusi dan konsultasi TFH dengan Komdigi dalam rangka pemenuhan rekomendasi tersebut telah dilakukan sebanyak tiga kali, terakhir pada 7 Juli 2025,

    “Beberapa item rekomendasi, khususnya terkait aspek PDP, telah dilakukan oleh TFH dan akan mengirimkan hasilnya secara tertulis ke Komdigi,” katanya.

    Sebagai informasi, TFH pertama kali mengumpulkan data biometrik iris masyarakat Indonesia pada tahun 2021 melalui mitra lokalnya, PT. Sandina Abadi Nusantara (SAN). 

    Namun, Komdigi menilai pendaftaran PSE seharusnya dilakukan oleh TFH sendiri, bukan oleh mitra lokal. 

    TFH baru secara resmi mendaftarkan diri sebagai PSE pada 17 Februari 2025, sehingga aktivitas yang dilakukan sebelum itu dinyatakan ilegal.

    Atas pelanggaran tersebut, Komdigi melakukan suspend atas Tanda Daftar PSE milik Tools for Humanity (TFH) pada 7 Mei 2025. 

    Komdigi juga telah mengirimkan surat hasil pemeriksaan kepada TFH pada 5 Juni 2025 dan mencatat bahwa TFH telah menunjukkan komitmen untuk mematuhi rekomendasi yang diberikan. 

    Tercatat sudah ada tiga kali diskusi dan konsultasi antara kedua pihak, dengan yang terakhir dilakukan pada 7 Juli 2025. TFH pun menyatakan tengah menyelesaikan beberapa aspek, khususnya terkait pelindungan data pribadi, dan akan menyampaikan hasil pemenuhan kewajiban tersebut secara tertulis kepada Komdigi.

    Namun demikian, Komdigi tetap memutuskan untuk memberlakukan penghentian sementara (suspend) atas Tanda Daftar PSE milik TFH dan mitranya SAN. TFH juga diwajibkan menghentikan sementara kegiatan pengumpulan atau pemindaian iris masyarakat Indonesia;

    Kemudian, menghentikan pemrosesan data iris termasuk data iris yang sudah di-hash yang telah dikumpulkan sebelumnya. TSH juga diminta untuk menghapus seluruh iris code yang tersimpan pada perangkat pengguna dan semua data terenkripsi yang berasal dari iris code warga negara Indonesia.

  • TikTok Tolak Aturan Platform Digital Disamakan dengan TV Konvensional

    TikTok Tolak Aturan Platform Digital Disamakan dengan TV Konvensional

    Bisnis.com, JAKARTA— TikTok Indonesia menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran seharusnya tidak menyamakan pengaturan platform user-generated content (UGC) seperti TikTok dengan lembaga penyiaran konvensional. 

    Pasalnya, keduanya memiliki karakteristik dan model bisnis yang sangat berbeda. Head of Public Policy TikTok Indonesia, Hilmi Adrianto, mengatakan perbedaan antara platform digital dan lembaga penyiaran tradisional sangat signifikan, terutama dalam aspek produksi konten.

    “Kami melihat perbedaannya sangat signifikan dengan lembaga penyiaran tradisional, terutama dari sisi pembuatan isi konten. Platform UGC [user-generated content] seperti TikTok memuat konten yang dibuat oleh pengguna individu, lembaga penyiaran tradisional, maupun layanan OTT yang diunggah melalui platform,” kata Hilmi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran bersama perwakilan dari platform digital seperti Google, YouTube, Meta, dan TikTok di Komisi I  DPR RI, Jakarta, Selasa (15/7/2025). 

    Hilmi mengatakan dari sisi model bisnis, UGC didorong partisipasi aktif penggguna, di mana lembaga penyiaran tradisional berfokus pada konsumsi pasif dengan akses terbatas pada produsen konten profesional dan pemegang lisensi. 

    Lebih lanjut dari sisi volume konten dan pengawas, lanjut Hilmi, UGC berapapun konten dapat diunggah setiap waktu dan konten yang melanggar akan dideteksi dan dihapus oleh proses moderasi teknologi dan manusia. 

    Sementara penyiaran tradisional memiliki jumlah konten terbatas, terjadwal dan terkurasi sehingga moderasi dilakukan secara kuratif karena semua materi bisa ditinjau, diedit dan disetujui lebih dulu sebelum disiarkan ke publik.  Oleh sebab itu, Hilmi mengatakan pihaknya merekomendasikan agar aturan platform UGC tidak disamakan dengan televisi konvensional dalam hal pengawasan dan regulasi. 

    Terlebih platform UGC seperti TikTok sudah diatur di bawah kerangka moderasi konten di bawah Komdigi dan tidak dengan regulasi yang sama dengan penyiaran tradisional. 

    “Kami merekomendasikan agar platform UGC tidak diatur di bawah aturan yang sama dengan penyiaran konvensional guna menghindari ketidakpastian hukum. Kami menyarankan agar platform UGC tetap berada di bawah moderasi Komdigi,” kata Hilmi.

    Logo TikTok

    Dia juga menolak pendekatan regulasi yang seragam (one-size-fits-all) untuk media konvensional dan platform digital karena perbedaan mendasar dalam tata kelola konten.

    “Kami juga tidak merekomendasikan pendekatan regulasi one-size-fits-all bagi penyelenggara penyiaran konvensional dan layanan OTT, karena keduanya memiliki model bisnis dan tata kelola konten yang berbeda secara fundamental,” ungkapnya.

    Revisi UU Penyiaran

    Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) sebelumnya menyampaikan dukungan terhadap revisi UU Penyiaran. 

    Ketua Komite Tetap Penelitian dan Kebijakan Komunikasi dan Digital Kadin Indonesia, Chris Taufik, mengatakan bahwa pembaruan regulasi harus responsif terhadap perkembangan media digital.

    “Artinya memang bisa applicable untuk media konvensional dan media-media digital yang baru berkembang di era belakangan ini,” ujar Chris dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran dengan Komisi I DPR, Senin (14/7/2025).

    Chris juga menyoroti perlunya redefinisi istilah “penyiaran” dan keadilan regulasi antara media konvensional dan digital. Menurutnya, media konvensional dibebani berbagai aturan seperti sensor dan pengawasan isi siaran, sementara platform digital cenderung bebas dari pengawasan namun menguasai pangsa pasar iklan.

    Selain itu, dia menekankan pentingnya sinkronisasi RUU Penyiaran dengan regulasi lain seperti UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), serta membuka opsi pembentukan UU baru khusus untuk penyiaran digital guna mengatasi berbagai tantangan yang muncul.

    Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono mengatakan revisi UU Penyiaran sudah dimulai sejak 2012. 

    Namun sampai dengan hari ini belum juga kunjung selesai. Pihaknya pun menargetkan supaya revisi tersebut rampung pada periode tahun ini. 

    “Kami memang menargetkan diperiode ini akan segera rampung,” katanya. 

    Namun demikian, Dave mengatakan pihaknya belum membuat rangkaian jadwal yang ditetapkan untuk proses penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan revisi undang-undang tersebut.

    Dave menjelaskan draf RUU Penyiaran belum dibagikan ke publik karena masih mengalami sejumlah perubahan. Dia menyebut, draf tersebut telah berubah tiga kali, salah satunya karena adanya aturan induk yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja. 

    Beberapa ketentuan yang sebelumnya dimuat dalam RUU Penyiaran, seperti soal multiflexing, akhirnya diatur dalam UU Cipta Kerja.

    “Masih ada substansi yang juga tak kalah pentingnya yang kita putuskan di RUU Penyiaran ini,” katanya.

  • Ini Masukan Kadin Terkait Revisi UU Penyiaran

    Ini Masukan Kadin Terkait Revisi UU Penyiaran

    Bisnis.com, JAKARTA— Kamar Dagang Indonesia (Kadin) mendukung revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 (UU Penyiaran). 

    Ketua Komite Tetap Penelitian dan Kebijakan Komunikasi dan Digital Kadin Indonesia, Chris Taufik mengatakan pihaknya mendorong adanya pembaruan regulasi penyiaran yang responsif terhadap konvergensi media. 

    “Artinya apa? Artinya memang bisa applicable untuk media konvensional dan media-media digital yang baru berkembang di era-era belakangan ini,” kata Chris dalam RDPU Panja Penyiaran dengan Komisi I DPR di Jakarta pada Senin (14/7/2025). 

    Chris menambahkan pihaknya juga menyoroti perlunya jaminan kesetaraan dalam perlakuan terhadap pelaku usaha penyiaran di era digital. Hal ini karena terjadi ketimpangan regulasi antara media konvensional dan platform digital yang kini mendominasi pasar iklan dan konten di Indonesia.

    Menurutnya apabila siaran itu definisinya adalah segala sesuatu yang ditonton oleh masyarakat maka ketidakadilannya adalah untuk media konvensional

    “Satu karena kena kebijakan sensor lalu kedua kena kebijakan pengawasan isi siaran lalu ketiga kena peraturan-peraturan yang lain tetapi di satu sisi penyedia konten yang lain itu bebas merdeka untuk melakukan apapun, dimanapun, dan terhadap siapapun,” ungkapnya. 

    Dalam kesempatan tersebut, Chris juga membeberkan hasil Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan KADIN pada 17 April 2025. Adapun FGD tersebut melibatkan pemangku kepentingan lintas sektor seperti akademisi dari Universitas Indonesia (UI) dan Binus, perwakilan pemerintah, asosiasi industri, serta penyedia platform digital.

    Dari unsur akademisi, Chris menyebut masukan penting disampaikan terkait perlunya redefinisi terhadap istilah “penyiaran” yang dinilai sudah tidak relevan dengan lanskap media saat ini. Akademisi UI juga menyoroti pergeseran dari model “one to many” menjadi “many to many”, sementara Binus mengusulkan adanya UU terpisah untuk penyiaran digital karena kompleksitas substansinya.

    Sementara dari pelaku industri, muncul kekhawatiran atas tidak meratanya beban regulasi. Media konvensional harus tunduk pada batasan iklan, sensor, dan kewajiban lainnya, sedangkan platform digital, terutama yang berbasis user generated content (UGC), lepas dari pengawasan serupa, namun meraup pangsa pasar iklan yang besar.

    “Kami semakin melihat ada perbedaan ini, kalau boleh kita pakai istilah, ada perbedaan penanganan kedaulatan antara penyedia-penyedia konten yang merasa berdaulat terhadap platformnya sendiri dengan kita-kita yang di sini, yang merasa bahwa NKRI ini negara yang berdaulat,” kata Chris.

    Dia menambahkan sistem penyiaran saat ini telah bergeser dari ketergantungan pada spektrum frekuensi menuju penyiaran berbasis internet, termasuk lewat WiFi. Ini berdampak pada tidak relevannya lagi pendekatan regulasi lama terhadap platform video on demand maupun layanan streaming dan UGC.

    Masalah kepemilikan dan keragaman konten juga turut disorot. Menurutnya, konsep diversity of ownership dan diversity of content tidak lagi berlaku karena tren global menunjukkan konten yang seragam meski diproduksi oleh entitas yang berbeda.

    Chris juga menekankan perlunya harmonisasi antara RUU Penyiaran dengan undang-undang lain seperti UU ITE dan UU PDP. Bahkan, dia membuka kemungkinan perlunya pembentukan UU baru khusus untuk penyiaran digital.

    “Apakah mungkin diperlukan pembentukan undang-undang yang baru? Mungkin bukan undang-undang penyiaran yang baru tapi betul-betul undang-undang baru yang terkait dengan digital saja supaya bisa fokus kita menyelesaikan semua permasalahan digital itu,” ungkap Chris.

    Dua juga menyoroti ketimpangan yang dirasakan operator telekomunikasi, yang jaringannya dimanfaatkan oleh OTT berskala global tanpa adanya kontribusi beban yang setara. Selain itu, isu pembajakan konten yang kian marak juga memerlukan perhatian khusus dalam bentuk perlindungan hak cipta dan infrastruktur pengawasan.

    Di sisi lain, platform video streaming luar negeri dinilai lepas dari aturan sensor, berbeda dengan penyedia lokal yang tetap tunduk pada aturan KPI dan lembaga sensor film.

    “Pengawasan konten pada platform digital itu tidak seketat media konvensional atau bahkan tidak ada sama sekali. Terutama ini untuk penyedia platform yang video streaming yang berasal dari luar,” kata Chris.

  • Pengamat Ungkap Alasan Warga RI Ogah Pakai e-SIM

    Pengamat Ungkap Alasan Warga RI Ogah Pakai e-SIM

    Bisnis.com, JAKARTA— Pengamat telekomunikasi dan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai rendahnya minat masyarakat untuk bermigrasi ke teknologi e-SIM disebabkan oleh tidak adanya keunggulan signifikan dibanding kartu SIM fisik.

    Ditambah lagi, mayoritas perangkat di Indonesia masih menggunakan kartu SIM konvensional.

    “Ya karena kemudahan pindah-pindah operator dengan SIM card biasa dibanding e-SIM. Dan tidak ada kelebihan e-SIM membuat pengguna malas migrasi, tambah lagi tidak semua ponsel sudah bisa e-SIM,” kata Heru saat dihubungi, Kamis (10/7/2025).

    Heru juga menyoroti mayoritas masyarakat pengguna prabayar masih berharap bisa bebas berganti nomor. Namun, penggunaan e-SIM dinilai kurang fleksibel dalam hal ini.

    Di sisi lain, Heru menilai penerapan teknologi biometrik dan e-SIM akan berdampak baik jika sistem keamanannya bisa dijamin.

    “Dampak penerapan bagus sepanjang data biometriknya juga dijaga secara aman,” katanya.

    Namun, dia mengingatkan penggunaan data biometrik tidak bisa sembarangan karena termasuk data pribadi yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

    “Biometrik terganjal UU PDP karena biometrik adalah data pribadi spesifik, tidak bisa sembarangan diambil dari masyarakat. Termasuk harus diamankan secara khusus juga,” kata Heru.

    Dia pun menekankan perlunya transparansi terkait penggunaan data biometrik sebelum sistem ini diimplementasikan secara luas.

    “Sebelum diimplementasikan, dipastikan data apa yang dipakai, bagaimana metode registrasi, penyimpanan data, dan keamanan datanya. Masyarakat terus terang ragu kalau pakai biometrik dan e-SIM,” ungkapnya.

    Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyoroti lambannya adopsi teknologi e-SIM di Indonesia. 

    Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyebut dari sekitar 25 juta perangkat yang sudah mendukung teknologi e-SIM, baru satu juta yang bermigrasi.

    “Kami tahu bahwa belum semua menggunakan e-SIM, namun demikian kami melihat celah dari 25 juta ponsel yang sudah berteknologi e-SIM, baru satu juta yang migrasi,” kata Meutya dalam Rapat Kerja bersama Komisi I DPR pada Senin, 7 Juli 2025.

    Meutya menjelaskan migrasi ke e-SIM penting untuk meningkatkan efisiensi serta keamanan data, khususnya dalam pengembangan layanan digital seperti Internet of Things (IoT). Proses migrasi ini juga mencakup pembaruan data pengguna dan verifikasi biometrik.

    Meski begitu, Meutya menekankan bahwa pemerintah belum mewajibkan migrasi penuh ke e-SIM. 

    “Bahasa permennya [Permen/Peraturan Menteri] tidak demikian, bahasa permennya adalah mendorong untuk kemudian migrasi ke e-SIM,” katanya.

    Untuk SIM fisik, Meutya menyebut saat ini sudah ada regulasi yang membatasi kepemilikan nomor berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) maksimal tiga nomor. Pemerintah pun tengah mengkaji penerbitan regulasi baru yang akan mengatur sanksi bagi operator seluler yang melanggar ketentuan ini.

    “Permen itu belum mengatur sanksi ya, ini yang sedang kami eksersais, mungkin kami akan keluarkan permen baru yang mengatur sanksi bagi operator seluler yang tidak mematuhi itu,” ungkapnya.

    Mengutip laman resmi Komdigi, e-SIM merupakan evolusi dari teknologi SIM card fisik yang telah terintegrasi langsung ke dalam perangkat, sehingga tidak memerlukan kartu fisik untuk mengakses layanan seluler. 

    Selain mendukung efisiensi, e-SIM membuka peluang bagi pengembangan teknologi wearable, machine-to-machine (M2M), dan IoT.

    Registrasi pelanggan e-SIM dilakukan melalui verifikasi data biometrik seperti pengenalan wajah (minimal 90% akurasi) dan/atau sidik jari (100% akurat), yang divalidasi langsung dengan data kependudukan dari Ditjen Dukcapil.

    Meutya menyebut pemanfaatan teknologi e-SIM dan biometrik akan menjadi fondasi sistem komunikasi masa depan. 

    “Dengan lebih dari 350 juta pelanggan seluler di Indonesia, kita membutuhkan sistem yang tidak hanya efisien, tetapi juga mampu memberikan perlindungan maksimal bagi masyarakat dari kejahatan digital yang lebih aman, efisien, dan terpercaya,” katanya.

    Komdigi, melalui Direktorat Jenderal Ekosistem Digital (DJED), mewajibkan seluruh operator telekomunikasi untuk menerapkan sistem manajemen keamanan informasi berbasis ISO 27001 dan memastikan perlindungan data pribadi sesuai peraturan yang berlaku. 

    Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi risiko kebocoran data dan tindak kejahatan siber lainnya, serta mewujudkan ekosistem digital yang lebih aman, inklusif, dan transparan.

  • Anggota DPR minta Komdigi jamin kelanjutan program digital nasional

    Anggota DPR minta Komdigi jamin kelanjutan program digital nasional

    “Menjalankan kemitraan dengan stakeholders untuk menjamin tetap tercapainya target konektivitas dan pemerataan infrastruktur digital,”

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk menjamin keberlanjutan program strategis digital nasional di tengah kondisi keterbatasan fiskal.

    Dia mengatakan bahwa jangan sampai ada kesenjangan digital yang semakin lebar antara kota dan daerah terdepan, tertinggal, terluar (3T). Menurut dia, transformasi digital harus terus berjalan secara inklusif.

    “Menjalankan kemitraan dengan stakeholders untuk menjamin tetap tercapainya target konektivitas dan pemerataan infrastruktur digital,” kata Amelia saat rapat dengan Kementerian Komdigi di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.

    Dia pun menyoroti bahwa anggaran sektor teknologi informasi dan komunikasi harus terserap dengan baik agar tidak berdampak kepada proyek strategis, seperti Satelit Republik Indonesia (Satria), pembangunan jaringan 5G, perluasan fiber optik, hingga pembangunan pusat data nasional.

    Selain itu, dia juga ingin agar Komdigi memastikan usulan anggaran untuk tahun 2026 mencakup alokasi untuk penyusunan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).

    Dalam hal ini, menurut dia, Komdigi perlu memperkuat koordinasi dengan berbagai instansi agar tidak terjadi overlapping dengan berbagai regulasi yang sudah ada, khususnya antara UU PDP dan aturan mengenai pengawasan konten penyiaran.

    “Dan juga perlu juga disiapkan alokasi terkait dengan rancangan Undang-Undang Penyiaran,” katanya.

    Sebelumnya, Kementerian Komdigi mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp12,6 triliun untuk tahun anggaran 2026 dalam Rapat Kerja bersama Komisi I DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.

    Sekretaris Jenderal Kementerian Komdigi Ismail menjelaskan kebutuhan anggaran Kemkomdigi pada tahun 2026 sebesar Rp20,3 triliun. Namun, pagu indikatif Kemkomdigi yang ditetapkan untuk tahun anggaran 2026 sebesar Rp7,75 triliun sehingga terdapat kebutuhan tambahan anggaran senilai Rp12,6 triliun.

    “Untuk kebutuhan 2026 kami sudah mendapatkan masukan dari seluruh unit kerja, kebutuhan Komdigi ada di angka Rp20,3 triliun sehingga dibutuhkan kekurangan anggaran sebesar Rp12,615 triliun,” kata Ismail.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pengamat Ungkap Bisnis Data Center di Indonesia Masih Prospektif 3-5 Tahun ke Depan

    Pengamat Ungkap Bisnis Data Center di Indonesia Masih Prospektif 3-5 Tahun ke Depan

    Bisnis.com, JAKARTA — Industri pusat data (data center) di Indonesia diprediksi akan mengalami pertumbuhan signifikan dalam tiga hingga lima tahun ke depan. 

    Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan prospek industri pusat data dalam beberapa tahun ke depan sangat menjanjikan. Menurutnya, pertumbuhan ini tidak terlepas dari meningkatnya kebutuhan pemrosesan data besar di sektor e-commerce, layanan publik, hingga fintech.

    “Industri data center di Indonesia diprediksi tumbuh pesat dalam 3–5 tahun ke depan, didorong oleh adopsi AI dan kebutuhan pemrosesan data besar. Transformasi digital di sektor e-commerce, fintech, dan layanan publik meningkatkan permintaan infrastruktur digital,” ujarnya saat dihubungi Bisnis pada (2/7/2025). 

    Heru menyoroti laporan pasar data center Indonesia yang diperkirakan mencapai US$3,98 miliar atau setara Rp64,87 triliun pada 2028 dengan CAGR 14%. Kapasitas data center AI-ready diproyeksikan melonjak dari 200 MW saat ini menjadi 971,9 MW pada 2025 dan 2.110 MW pada 2030. 

    Menurutnya lonjakan tersebut turut didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah seperti Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), peta jalan Making Indonesia 4.0, serta penetrasi teknologi Internet of Things (IoT). Namun demikian, tantangan tetap membayangi, terutama dalam aspek keekonomian energi dan regulasi.

    “Tantangan terbesar keberlanjutan data center di Indonesia adalah keekonomian energi dan regulasi,” katanya. 

    Heru menyebut data center membutuhkan pasokan listrik besar, tetapi biaya energi tinggi dan ketergantungan pada gas impor menghambat daya saing. 

    “Regulasi seperti UU PDP dan KBLI 63112 menuntut kepatuhan ketat, termasuk residensi data dan izin lingkungan, yang sering kompleks,” ungkapnya.

    Heru juga menekankan pentingnya revisi regulasi yang relevan agar pertumbuhan industri ini tetap sejalan dengan kepentingan nasional dan mendukung keberlanjutan sektor digital. Termasuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 mengenai keberadaan pusat data agar kembali pada semangat awal yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012, yaitu mewajibkan pusat data untuk layanan di Indonesia beserta pusat pemulihan data (data recovery center)-nya ditempatkan di wilayah Indonesia untuk semua jenis layanan.

    Optimisme terhadap potensi pasar data center Indonesia juga terlihat dari langkah perusahaan infrastruktur digital global, EDGNEX Data Centers by DAMAC. Menurut masuknya investasi asing mencerminkan tingginya kepercayaan investor terhadap pasar Indonesia. Namun, dia juga mengingatkan akan potensi ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan.

    “Namun, tanpa permintaan yang sepadan, ada risiko overcapacity. Kapasitas saat ini hanya 200 MW, jauh dari kebutuhan 2.000 MW. Proyeksi backlog 20–30% pada 2030 menunjukkan potensi ketimpangan jika ekspansi tidak diimbangi strategi pasar yang matang,” ucapnya. 

    Dia menegaskan pentingnya kolaborasi antara investor asing dengan pelaku lokal serta dukungan regulasi yang adaptif agar momentum pertumbuhan ini tidak hanya bersifat sementara, tapi juga berkelanjutan. Dalam pandangannya, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pusat data regional, terutama dengan adanya hambatan pengembangan data center di negara-negara tetangga yang sebelumnya dominan di kawasan.

    EDGNEX Data Centers by DAMAC sebelumnya mengumumkan pembangunan pusat data generasi berikutnya dengan teknologi AI-ready di Jakarta, yang menjadi fasilitas kedua mereka di Indonesia. Investasi tersebut mencapai US$2,3 miliar atau sekitar Rp37 triliun, menjadikannya salah satu pengembangan pusat data AI terbesar di Asia Tenggara.

    Lokasi proyek telah memasuki tahap awal konstruksi setelah proses akuisisi lahan diselesaikan pada Maret lalu. Fase pertama ditargetkan mulai beroperasi pada Desember 2026, dengan penggunaan rak AI berdensitas tinggi dan target Power Usage Effectiveness (PUE) sebesar 1,32—jauh di bawah standar global rata-rata, yang menandakan efisiensi energi tinggi.

    Hussain Sajwani, Pendiri DAMAC Group, menyatakan komitmen perusahaannya dalam menjembatani kesenjangan digital di pasar Asia Tenggara, terutama Indonesia.

    “Kami bangga membangun salah satu pusat data paling canggih dan berkelanjutan di kawasan ini, yang dirancang untuk mendukung gelombang inovasi dan pertumbuhan digital berikutnya,” ujarnya dalam keterangan resmi.