Kasus: PDP

  • Keamanan Digital Indonesia: Retak di Hulu, Bocor di Hilir

    Keamanan Digital Indonesia: Retak di Hulu, Bocor di Hilir

    Keamanan Digital Indonesia: Retak di Hulu, Bocor di Hilir
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    BERMULA
    dari seringnya nomor telepon Whatsapp dibajak orang-orang yang tidak bertanggung jawab, kemudian oleh mereka digunakan untuk melakukan penipuan seolah-olah berinteraksi dengan nomor kontak yang ada di ponsel, saya tergerak menulis artikel ini.
    Bukan semata-mata curhat pribadi, tetapi ada persoalan besar mengenai mudahnya data pribadi penduduk Indonesia, termasuk saya di dalamnya, dibajak oleh peretas. Mungkin juga pengalaman pribadi ini pernah dialami oleh para pembaca.
    Dengan tulisan ini, niatan saya adalah berbagi pengetahuan dan pengalaman, jangan sampai pembajakan nomor telepon dan mungkin juga akun-akun penting lainnya terjadi pada para pembaca dan menjadi bencana digital.
    Jujur, saya agak trauma tatkala nomor telepon atau akun media sosial kena bajak orang lain dengan tujuan busuk, yakni penipuan digital.
    Tahun 2010, saat berkunjung ke markas Kaspersky di Moskow, Rusia, saya melihat paparan sekaligus demo bagaimana para peretas di kawasan Rusia dan negara-negara dekatnya seperti Estonia dan Ukraina, menjebol akun bank hanya menggunakan ponsel di telapak tangan.
    Kaspersky sebagai produsen software antivirus terkemuka saat itu memperkenalkan antivirus khusus untuk ponsel.
    Dalam demo itu diperlihatkan, bagaimana seorang peretas muda dengan mudah mencuri password akun bank seseorang hanya dalam hitungan menit. Padahal kata sandi yang diretas terdiri dari 13 karakter; gabungan angka, huruf dan lambang yang ada di keyboard ponsel atau laptop.
    Dari sinilah saya “parno” seandainya tiba-tiba nomor Whatsapp saya diretas. Ini pastilah aksi sindikat terorganisir, pastilah ada orang berlatar IT atau seseorang yang punya bisnis menjual nomor-nomor Whatsapp ke sembarang orang.
    Keamanan ponsel dari pabrikan itu dianggap biang dari penyerapan -kalau tidak mau disebut perampokan- data pribadi para penggunanya.
    Dengan banyaknya aplikasi, seorang pengguna bisa dengan sukarela menyerahkan nomor KTP, nomor ponsel, alamat email beserta password-nya, lokasi di mana pengguna berada, rekening bank dan data-data sensitif lainnya.
    Kembali kepada persoalan mengapa akun media sosial dan nomor Whatsapp demikian sering kena retas? Itulah yang membuat saya coba menesuri akar persoalannya, syukur-syukur bisa menjawab ketidakpahaman saya.
    Tentu saya paham bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya melindungi warganya di ranah digital melalui beberapa kebijakan dan institusi, utamanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang mulai berlaku sejak 2022 dan mengatur hak subjek data, kewajiban pengendali data, serta sanksi atas pelanggaran.
    Di sisi lain, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bertugas mengawasi keamanan siber nasional, sementara Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sering memblokir situs pinjaman online (pinjol) ilegal dan judi online (judol).
    Ada juga strategi nasional keamanan siber untuk mencegah serangan dari dalam maupun dari luar.
    Namun, secara realistis, perlindungan ini belum benar-benar efektif menjaga kerahasiaan data digital penduduk Indonesia. Buktinya Whatsapp saya sering coba dibajak.
    Implementasi UU PDP masih lambat, kesadaran dan penegakan hukum rendah, serta insiden kebocoran data terus meningkat.
    BSSN mencatat ratusan serangan siber setiap tahun, dan Indonesia sering masuk peringkat atas negara dengan kebocoran data terbanyak secara global. Saya termasuk salah satu “korban” di dalamnya tentu saja.
    Contoh kasus kebocoran data yang merugikan rakyat yang masuk kategori kasus besar dalam kurun waktu 2023-2025, menunjukkan kerentanan sistem itu sendiri.
    Kebocoran data Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2024, misalnya, di mana peretas berhasil membobol ratusan juta data pribadi dari berbagai instansi pemerintah, termasuk data ASN dan layanan publik. Perlindungan yang jauh dari maksimal.
    Kemudian Data Dukcapil dan NPWP (2023-2024) di mana peretas seperti Bjorka membocorkan jutaan data kependudukan dan pajak untuk kemudian dijual di forum gelap.
    Bank Syariah Indonesia dan BPJS Kesehatan juga tidak luput dari serangan peretas di mana jutaan data nasabah dan pasien bocor, menyebabkan risiko penipuan identitas dan kerugian finansial. Mengerikan.
    KPU dan PLN Mobile jelas berisi data pemilih dan pelanggan listrik, juga bocor dengan total ratusan juta rekaman pada 2023-2025.
    Kasus-kasus ini jelas merugikan rakyat karena data pribadi (NIK, nomor HP, alamat) digunakan untuk penipuan, pinjol ilegal, atau pencurian identitas, menyebabkan kerugian materiil dan psikologis.
    Pertanyaan yang menggantung pada benak saya, mengapa momor telepon (Whatsapp) sering dibajak? Boleh jadi nomor telepon, terutama yang terkait Whatsapp, karena banyaknya layanan digital (bank, email, media sosial) menggunakan verifikasi SMS/OTP (One Time Password).
    Indonesia merupakan salah satu pengguna Whatsapp terbanyak di dunia, sehingga menjadi target empuk sasaran penipuan digital. Diperkirakan mencapai lebih dari 112 juta pengguna pada tahun 2025, menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia setelah India dan Brasil.
    Dari literatur yang saya susuri, saya paham bagaimana cara utama pembajakan, yakni dengan cara yang disebut SIM Swapping, yakni kejahatan siber di mana pelaku menipu operator seluler untuk mentransfer nomor ponsel korban ke kartu SIM mereka, sehingga pelaku bisa menerima SMS dan panggilan korban, termasuk kode OTP untuk membajak akun bank, e-wallet dan media sosial, lalu menguras dana atau mencuri data.
    Bagaimana cara kerjanya? Penjahat siber mengumpulkan data pribadi korban (via phishing atau kebocoran data), lalu menghubungi operator seluler dengan berpura-pura sebagai korban untuk memindahkan nomor ke SIM baru mereka.
    Mereka lalu menerima OTP dan mengambil alih Whatsapp/akun bank sebagaimana telah saya jelaskan tadi.
    Phishing
    dan
    social engineering
    juga sering dilakukan, yakni mengirim
    link
    (tautan) palsu atau menipu korban dengan memberikan kode verifikasi Whatsapp, atau menggunakan data bocor untuk reset akun email/media sosial.
    Banyak cara lainnya, termasuk serangan
    malware
    sebagaimana yang saya lihat di Moskow, Rusia itu.
    Tatkala ponsel Whatsapp saya digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dengan maksud melakukan penipuan, jelas saya dirugikan.
    Setidak-tidaknya kredibilitas saya jatuh karena dalam aksi penipuannya para pembajak bisa berpura-pura meminjam uang atau menawarkan produk tertentu, biasanya lelang fiktif.
    Memang saya tidak kehilangan akses akun Whatsapp, email atau media sosial, tetapi penjahat tentu telah berkirim pesan ke “circle” saya dengan maksud menipu teman atau keluarga. Paling sering modus pinjam uang itu tadi, misalnya.
    Mungkin orang lain yang lebih sial dari saya telah kehilangan akses terhadap ponselnya sendiri di mana aplikasi Whatsapp ada di ponsel tersebut.
    Padahal, di dalamnya ada aplikas bank dan boleh jadi akses rekening bank seperti transfer ilegal dapat mengakibatkan kerugian jutaan bahkan miliaran rupiah.
    Penyebaran data pribadi yang dilakukan oleh seseorang juga dapat digunakan untuk teror, pinjol ilegal, atau pencemaran nama baik.
    Apa dampak dari nomor Whatsapp yang dibajak orang berkali-kali? Jelas akan waswas dan traumatis, apalagi “parno” yang tidak hilang begitu saja setelah melihat bagaimana anak-anak remaja di Rusia sedemikian gampangnya membobol akun bank dengan
    password
    rumit sekalipun.
    Tambahan lagi dampak psikologis berupa stres dan kehilangan privasi. Di berbagai tempat, banyak kasus bunuh diri akibat teror melalui
    peretasan
    akun aplikasi percakapan maupun akun media sosial.
    Pemerintah Indonesia aktif memblokir ribuan situs judol dan pinjol ilegal, serta ada Satgas Pemberantasan Judi Online.
    Namun, regulasi itu masih longgar dibanding Eropa, yang menerapkan GDPR (General Data Protection Regulation) yang sangat ketat soal data dan batasan usia untuk media sosial/ponsel. Misalnya, anak di bawah 13-16 tahun dilarang memakai platform tertentu tanpa izin orangtua.
    Di Indonesia, anak muda sangat rentan, mereka banyak terjebak pinjol ilegal (bunga mencekik, teror penagihan) dan judol (kecanduan cepat).
    Dampaknya tentu parah, yakni kerugian finansial, utang menumpuk, depresi, gangguan mental, hingga bunuh diri.
    Laporan menunjukkan korban pinjol/judol didominasi usia 19-35 tahun, sering dari kalangan mahasiswa atau pekerja muda.
    Dari penelusuran ini timbul pertanyaan pada diri saya, apakah penipuan digital ini terorganisir dan justru melibatkan aparat yang paham seluk-beluk data penduduk?
    Bukan saya berburuk sangka, tetapi memang banyak penipuan digital (terutama judol dan scam investasi) karakteristiknya menurut para pemerhati siber bersifat terorganisir, sering melibatkan sindikat internasional (WNA China , Rusia dan Ukraina di Indonesia atau WNI dipaksa menjadi bagian dari kriminalitas ilegal digital di Kamboja dan Myanmar).
    Ini seperti “bisnis” dengan
    call center, script
    penipuan, dan target korban massal.
    Soal keterlibatan aparat, ada dugaan oknum aparat penegak hukum terlibat di beberapa kasus lokal, misalnya “kebal hukum” karena kuatnya
    backing
    , tetapi ini bukan bukti sistematis atau melibatkan institusi secara keseluruhan.
    Kebanyakan kasus yang terungkap justru ditangani aparat, seperti penggerebekan sindikat WNA. Rumor ini sering beredar di media sosial, tetapi sumber kredibel lebih menunjuk ke korupsi oknum secara individu ketimbang konspirasi besar institusi.
    Atas semua fakta dan kejadian itu, secara pribadi saya berpendapat bahwa pemerintah Indonesia belum cukup serius dan efektif dalam melindungi rakyat di ranah digital, meski ada kemajuan seperti UU PDP tadi.
    Bukti nyata adalah kebocoran data masih saja terus terjadi, bahkan setelah regulasi baru diberlakukan dan hal itu menunjukkan
    enforcement
    masih lemah, tata kelola buruk, dan kurangnya investasi di keamanan siber di sini.
    Sementara semua layanan (e-KTP, bank, pemilu) sudah beralih online, rakyat dibiarkan “terpapar” tanpa perlindungan memadai. Ini ibaratnya seperti membangun pasar digital besar tanpa pagar dan personel keamanan yang kuat.
    Bandingkan dengan Eropa dan Singapura di mana mereka sangat peduli terhadap generasi mudanya dengan pemberlakuan ketat batas usia dan sanksi berat bagi perusahaan yang melanggar privasi.
    Sementara di sini, anak muda justru “terpenjara” pinjol/judol hanya karena edukasi literasi digital yang tidak serius, bahkan masih minim, regulasi yang masih longgar, dan blokir situs mudah diakali VPN (Virtual Private Network).
    Penipuan terorganisir memang seperti bisnis haram yang menguntungkan segelintir orang, dan dugaan oknum aparat terlibat semakin memperburuk kepercayaan publik. Bagi saya, ini mencerminkan masalah korupsi struktural yang lebih dalam lagi.
    Solusi yang saya usulkan adalah perlunya penegakan hukum super tegas (sanksi berat bagi pengelola data ceroboh), edukasi masif sejak di sekolah, batasan usia untuk platform berisiko, dan kolaborasi internasional melawan sindikat digital terorganisir.
    Tanpa itu, rakyat akan terus menjadi korban di “pasar digital” yang tak terkendali ini.
    Pemerintah harus bertindak lebih proaktif, bukan reaktif setelah kejadian demi kejadian. Jangan juga seolah menjadi korban seperti yang saya alami dan kesannya putus asa dengan terus menerusnya bertambah korban dari waktu ke waktu.
    Karena
    keamanan digital
    bukan sekadar pilihan, tapi keharusan bagi negara untuk melindungi rakyatnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Setumpuk PR Registrasi SIM Card dengan Biometrik: Lansia, 3T, dan Keamanan

    Setumpuk PR Registrasi SIM Card dengan Biometrik: Lansia, 3T, dan Keamanan

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tetapkan registrasi SIM card dengan biometrik pengenalan wajah mulai 1 Juli 2026, namun sejumlah hambatan harus diantisipasi agar program ini berjalan lancara.

    Pakar Keterbukaan Informasi Publik dan Pelindungan Data Pribadi Alamsyah Saragih, menilai masih banyak aspek yang harus dipertimbangkan secara serius sebelum kebijakan tersebut diterapkan.

    Menurut Alamsyah, biometrik memiliki risiko yang cukup besar. Biometrik bukanlah kata sandi yang bisa diganti apabila terjadi kebocoran data. Jika data biometrik bocor, risikonya bersifat seumur hidup.

    “Ada tiga risiko yang harus diperhatikan bukan hanya pelanggaran privasi, tetapi juga eksklusi sosial dan mission creep,” ujarnya di acara talkshow bertajuk Ancaman Kejahatan Digital serta Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition yang digelar Komdigi di Jakarta, Rabu (17/12/2025)

    Mantan Komisioner Ombudsman RI periode 2016–2021 itu menambahkan kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, pekerja informal, serta masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil berpotensi mengalami kesulitan dalam mengakses sistem biometrik.

    Keterbatasan infrastruktur dan literasi digital di sejumlah daerah juga menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, kesiapan akses teknologi biometrik di Indonesia dinilai belum merata. Alamsyah mencontohkan potensi persoalan dalam kondisi darurat.

    “Kalau ini tidak dimitigasi, ini akan jadi sumber keributan. Tidak kebayang misalnya ada bencana, handphone hilang, lalu orang harus pakai face recognition, tapi sistemnya belum jalan,”

    Untuk menghindari berbagai risiko tersebut, Alamsyah menyarankan pemerintah melakukan simulasi kebijakan dengan berbagai skenario kasus sebelum implementasi penuh dilakukan. Simulasi ini penting untuk mengidentifikasi potensi masalah dan menyiapkan solusi yang adil bagi seluruh masyarakat.

    Alamsyah juga menekankan pentingnya pembatasan tujuan penggunaan data biometrik secara tegas. Menurutnya, tanpa pembatasan yang ketat, data biometrik yang awalnya digunakan untuk verifikasi kepemilikan SIM berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan lain.

    “Kalau tidak ada pembatasan, niscaya bisa digunakan untuk yang lain. Mau tidak mau pemerintah harus membatasi dengan sangat ketat dan membangunnya bersama pihak-pihak lain,” ujarnya.

    Selain itu, jaminan hukum atas opsi non biometrik juga dinilai penting. Opsi ini diperlukan untuk memastikan keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu atau tidak memungkinkan menggunakan sistem biometrik, seperti lansia dan penyandang disabilitas.

    Alamsyah menilai mitigasi harus menjadi prioritas utama sebelum kebijakan ini dijalankan.

    Beberapa langkah mitigasi yang perlu dilakukan antara lain dasar hukum khusus dan pembatasan tujuan penggunaan biometrik, pemisahan database biometrik dan data komunikasi, penerapan enkripsi serta prinsip irreversibility, penguatan hak subjek data, penyediaan opsi non biometrik dan kebijakan inklusif, pengawasan independen, sanksi tegas, serta audit berkala, dan larangan penggunaan biometrik untuk surveillance massal

    Perlu diperhatikan praktik pengawasan massal selama ini justru paling banyak dilakukan oleh aparat negara.

    “Perilaku surveillance massal ini paling banyak dilakukan oleh aparat. Be careful kalau untuk tujuan itu. Kalau mau dilakukan, harus ada aturan yang jelas, sementara aturan untuk surveillance massal itu belum ada,” tegasnya.

    Alamsyah juga menguraikan sejumlah poin regulasi yang dinilai belum siap. Pertama, belum adanya pasal eksplisit yang membatasi penggunaan biometrik SIM card hanya untuk registrasi SIM, sehingga membuka risiko function creep ke ranah lain seperti perpajakan, intelijen, dan profiling.

    Kedua, belum terdapat larangan tegas terkait integrasi database biometrik dengan data komunikasi.

    Ketiga, opsi nonbiometrik belum dijamin secara eksplisit dalam regulasi yang ada.

    Keempat, hak warga sudah diatur dalam UU PDP, namun mekanisme implementasinya masih lemah dan penegakannya belum teruji.

    Terakhir, pengawasan independen masih menjadi persoalan. Otoritas pelindungan data pribadi saat ini masih berada di bawah eksekutif dan belum setara dengan Data Protection Authority (DPA) di Eropa yang bersifat independen.

    Diketahui, Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah,mengatakan sistem biometrik akan ditetapkan mulai 1 Juli 2026 dan wajib digunakan untuk seluruh pendaftaran kartu baru.

    Kebijakan ini diambil sebagai respons atas kondisi keamanan digital Indonesia yang dinilai memprihatinkan.

    Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga saat ini kerugian akibat kejahatan digital atau digital scam telah mencapai Rp8,7 triliun. Sebanyak 399.780 konsumen tercatat telah melaporkan kasus penipuan digital kepada OJK. (Nur Amalina)

  • Kesepakatan Dagang AS – Indonesia Alot, Pengamat Soroti Isu Kedaulatan Data

    Kesepakatan Dagang AS – Indonesia Alot, Pengamat Soroti Isu Kedaulatan Data

    Bisnis.com, JAKARTA— Kesepakatan tarif dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) berjalan alot. Sejumlah komitmen masih dibahas sementara, termasuk terkait perdagangan digital yang dinilai berbenturan dengan kedaulatan data.

    Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi menilai sikap AS tersebut muncul karena Indonesia dianggap enggan menerapkan langkah konkret untuk memfasilitasi alur data lintas batas yang bebas hambatan. 

    Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan visi AS terkait perdagangan terbuka.

    “Saya melihat hal ini terkait erat dengan aturan data localization Indonesia, yang mewajibkan penyimpanan data sensitif secara lokal, regulasi PSE [Penyelenggara Sistem Elektronik] yang memaksa platform asing mendaftar dan mematuhi standar lokal,” kata Heru kepada Bisnis pada Kamis (11/12/2025).

    Heru menegaskan sebagai negara berdaulat, Indonesia harus tegas mempertahankan regulasi yang sudah diatur dalam undang-undang, termasuk soal pelindungan data pribadi. Ia menyebut data masyarakat Indonesia tidak dapat ditransfer ke negara lain tanpa persetujuan pemiliknya.

    “Begitu juga dengan PSE yang aturannya kan sangat rendah, hanya mendaftar. Masak begitu saja tidak mau,” imbuhnya.

    Menurut Heru, kondisi ini menimbulkan ironi karena banyak negara lain yang tidak dibebani komitmen tambahan justru dikenakan bea masuk yang sama atau lebih rendah dibandingkan Indonesia. Ia menilai standar yang diminta AS seperti penghapusan hambatan non-tarif dan komitmen terhadap perdagangan digital bebas sulit dipenuhi karena bertentangan dengan visi kedaulatan digital Indonesia yang menekankan kontrol nasional atas data demi melindungi ekonomi dan keamanan negara.

    Dia menambahkan, dorongan AS agar alur data lintas batas dilakukan tanpa restriksi, termasuk pengakuan atas kecukupan yurisdiksi data AS, berbenturan dengan kebijakan Indonesia seperti data localization dan PSE yang dirancang untuk mencegah dominasi asing serta memastikan data tetap berada di wilayah nasional.

    “Kalau melihat undang-undang pelindungan data pribadi, memberikan negara lain kebebasan mengakses data pribadi dari Indonesia, bisa mengancaman kedaulatan, karena memungkinkan alur data bebas yang berpotensi mengeksploitasi sumber daya digital lokal tanpa resiprokal,” katanya.

    Heru juga menilai mundurnya Indonesia dari komitmen perdagangan digital dapat berdampak ganda. Bagi perusahaan teknologi global seperti Google dan Amazon, kebijakan tersebut berarti hambatan tetap ada sehingga meningkatkan biaya kepatuhan, membatasi ekspansi, dan memperlambat inovasi lintas negara.

    “Bagi pemain lokal, startup lokal mendapat manfaat proteksi, dengan ruang lebih besar untuk berkembang tanpa kompetisi ketat, mendukung ekosistem digital nasional dan menciptakan lapangan kerja,” katanya.

    Ilustrasi konektivitas data

    Di sisi lain, Ekonom Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai Indonesia perlu mempertahankan standar tinggi dalam pelindungan data masyarakat, termasuk dalam isu transfer data dan kewajiban data localization.

    Menurutnya, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sudah mengatur bahwa Indonesia tidak boleh mentransfer data ke negara dengan standar pelindungan data yang lebih buruk.

    “Amerika Serikat dengan berbagai kasus data breach nampaknya mempunyai perlindungan data pribadi yang buruk,” kata dia kepada Bisnis pada Kamis (11/12/2025).

    Dia menambahkan ketentuan transfer data pribadi tidak dilakukan dalam skema hubungan G2G. Karena itu, pihak AS tidak dapat memaksakan Indonesia untuk mentransfer data ke wilayahnya. Pemerintah, tegasnya, wajib menjaga pelindungan data pribadi masyarakat tanpa kompromi.

    “Termasuk jika dimasukan dalam perundingan dagang Indonesia-AS. Indonesia harus mempunyai kekuatan yang berimbang dalam bernegosiasi dengan AS,” katanya.

    Sebelumnya diberitakan, kesepakatan tarif dagang kedua negara terancam gagal setelah pejabat Washington semakin frustrasi karena Indonesia dinilai mundur dari sejumlah komitmen yang telah disepakati pada Juli 2025.

    “Mereka mengingkari apa yang sudah kami sepakati pada bulan Juli,” kata seorang pejabat AS yang enggan disebutkan identitasnya, dikutip dari Reuters, Rabu (10/12/2025).

    Pejabat itu mengatakan perwakilan Indonesia telah menyampaikan kepada USTR Jamieson Greer bahwa Indonesia tidak dapat menyetujui sebagian komitmen mengikat dalam perjanjian tersebut. Hal ini mengonfirmasi laporan awal Financial Times (FT).

    Sumber FT menyebut Indonesia bukan hanya memperlambat implementasi kesepakatan, tetapi secara terang-terangan menyatakan tidak dapat memenuhi komitmen sebelumnya dan ingin menegosiasikannya ulang agar tidak mengikat.

    “Situasi ini sangat bermasalah dan tidak diterima dengan baik oleh Amerika Serikat. Indonesia berisiko kehilangan kesepakatan tersebut,” ujarnya.

    AS menilai Indonesia mundur dari komitmen penghapusan hambatan non-tarif atas ekspor industri dan pertanian AS, serta langkah konkret di sektor perdagangan digital. USTR meyakini Presiden Prabowo Subianto dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya telah menyepakati kesepakatan tersebut, namun kini dinilai menahan implementasi karena pertimbangan politik domestik.

    Hingga kini, kantor Presiden Prabowo dan Menko Airlangga belum memberikan tanggapan. USTR juga menolak berkomentar. Greer dijadwalkan berbicara dengan Airlangga pekan ini untuk menjembatani perbedaan pandangan kedua pihak.

    Kesepakatan ini merupakan respons Washington terhadap pengiriman surat kepada lebih dari 20 mitra dagang berisi ancaman tarif jika tidak mencapai kesepakatan sebelum 1 Agustus. Dalam surat kepada Indonesia, AS sempat mengancam tarif sebesar 32% sebelum akhirnya disepakati turun menjadi 19%.

    Indonesia juga menyetujui penghapusan sejumlah hambatan non-tarif, termasuk aturan ketat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang dinilai menghambat investasi perusahaan AS. Namun pelaku usaha domestik memperingatkan pelonggaran TKDN dapat menekan daya saing nasional.

    Apple termasuk perusahaan yang terdampak aturan tersebut. Indonesia sempat melarang penjualan iPhone 16 karena tidak memenuhi ketentuan TKDN 40%, sebelum akhirnya mencabut larangan setelah Apple menyetujui rencana investasi untuk produksi komponen di Indonesia.

    Kesepakatan dagang ini juga menghadapi hambatan lain. Indonesia sebelumnya menolak klausul yang dianggap koersif karena memungkinkan pembatalan perjanjian jika salah satu pihak menandatangani kesepakatan lain yang dinilai berpotensi merugikan kepentingan AS. Malaysia dan Kamboja telah menyetujui klausul tersebut sebagai bagian dari upaya AS menahan pengaruh China di Asia Tenggara.

  • Serangan Siber Meningkat, Sistem Keamanan Nasional Masih Terfragmentasi

    Serangan Siber Meningkat, Sistem Keamanan Nasional Masih Terfragmentasi

    Jakarta

    Lonjakan ancaman siber yang terus terjadi di Indonesia kian menegaskan urgensi percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).

    Di saat serangan digital makin masif dan kompleks, sistem keamanan siber nasional dinilai belum siap karena masih terfragmentasi dan belum memiliki kerangka hukum yang menyatukan seluruh elemen pertahanan siber.

    Pakar pertahanan dan kebijakan publik Andi Widjajanto menyebut tanpa RUU KKS, Indonesia belum memiliki satu sistem pertahanan siber nasional yang solid. Menurut dia, ekosistem digital Indonesia berkembang jauh lebih cepat dibanding kesiapan regulasi yang menopangnya.

    “Tanpa regulasi ini, bisa dikatakan pertahanan siber kita masih lemah dan belum ada satu sistem nasional,” kata Andi dalam keterangan yang diterima detikINET.

    Data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat lebih dari 403 juta anomali trafik terjadi sepanjang 2024. Di saat yang sama, laporan internasional menunjukkan serangan siber global tumbuh lebih dari 20 persen setiap tahun, dan Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat paparan serangan tertinggi di Asia Tenggara.

    Namun, menurut Andi, ancaman yang meningkat itu belum diimbangi dengan sistem pertahanan yang terkoordinasi. Saat ini, pengamanan ruang siber masih berjalan sendiri-sendiri di masing-masing kementerian, lembaga, maupun sektor industri, tanpa satu standar nasional yang mengikat.

    “Itu masalah utama kita. Sudah ada banyak inisiatif, tapi tidak terintegrasi. RUU KKS dibutuhkan untuk menyatukan, bukan menggantikan,” ujarnya.

    Ketua Badan Legislasi DPR RI, Bob Hasan, juga menilai ancaman siber kini bukan lagi sekadar persoalan teknis, melainkan menyangkut langsung kedaulatan negara, stabilitas ekonomi, dan keberlanjutan layanan publik. Serangan terhadap infrastruktur informasi kritikal, seperti perbankan, energi, transportasi, hingga sistem pemerintahan, bisa berdampak sistemik jika tidak ditangani secara terpadu.

    RUU KKS dirancang untuk memperkuat tata kelola keamanan siber nasional, termasuk mekanisme penanganan insiden, penguatan ketahanan siber, perlindungan infrastruktur kritikal, serta peningkatan koordinasi lintas sektor. Regulasi ini juga diharapkan bisa menjadi pelengkap UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan UU ITE yang selama ini lebih fokus pada aspek hukum data dan konten digital.

    Pemerintah melalui Kemenko Polhukam menegaskan RUU KKS tidak bertujuan membentuk lembaga superbody baru, melainkan memperkuat fungsi koordinasi nasional. Di tengah peningkatan intensitas serangan maupun kompleksitas ancaman, negara dinilai tak bisa lagi menunda pembenahan sistem pertahanan digitalnya.

    Jika tidak ada langkah cepat dan terstruktur, Indonesia berisiko terus berada dalam posisi reaktif: sibuk menangani insiden satu per satu, tanpa fondasi sistemik yang kuat untuk mencegah dan menanggulanginya secara nasional.

    (asj/asj)

  • Masuk Gedung Diminta KTP dan Difoto, Itu Bisa Langgar Undang-Undang!

    Masuk Gedung Diminta KTP dan Difoto, Itu Bisa Langgar Undang-Undang!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Peneliti Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Parasurama Pamungkas menilai, peninggalan dan perekaman identitas seperti KTP sebagai jaminan seseorang masuk ke sebuah gedung merupakan tindakan yang dapat mengarah pada pelanggaran.

    Seperti dialami banyak orang, gedung perkantoran dan fasilitas publik menerapkan aturan ketat bagi tamu, mulai dari meninggalkan KTP di resepsionis hingga wajib selfie sebelum masuk. Banyak pengelola gedung meminta data yang tidak relevan dengan kebutuhan keamanan.

    Tidak sedikit pula yang menyimpan foto wajah hingga salinan KTP tanpa standar keamanan yang jelas yang dalam konteks UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), tindakan seperti ini dapat mengarah pada pelanggaran. Masalah bertambah rumit karena hingga kini pemerintah belum membentuk badan pengawas pelindungan data pribadi seperti yang diperintahkan UU PDP.

    “Nah, pengumpulan data pribadi yang sebenarnya tidak relevan dengan aktivitas yang kita lakukan, seperti masuk tower, kemudian daftar akun, itu merupakan sebenarnya ketidakpatuhan pengontrolan terhadap prinsip-prinsip pelindungan data pribadi,” kata Parasurama kepada CNBC Indonesia belum lama ini.

    Ia menjelaskan, itu bisa menjadi “pelanggaran” karena ada beberapa prinsip yang tidak terpenuhi, semisal tujuan pengumpulan data itu harus terbatas dan relevan. Selain itu pengendali data juga tidak memenuhi unsur keabsahan, sebab data pribadi yang dikumpulkan tidak relevan dan untuk tujuan lain.

    Indonesia telah memiliki aturan privasi lewat Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi sejak 2022. Aturan ini mengatur dengan ketat hak warga RI sebagai pemilik data pribadi serta menetapkan ancaman sanksi bagi perusahaan serta institusi pemerintah yang lalai melindungi data pribadi.

    Walau begitu, pelaksanaan UU ini masih tersendat karena pemerintah belum mendirikan badan pengawas pelindungan data pribadi seperti perintah UU. Badan pengawas tersebut seharusnya berdiri 1 tahun sejak UU diterbitkan yang jatuh pada 17 Oktober 2024.

    “Kemudian menggunakannya untuk tujuan lain, dan dia juga kehilangan dasar hukumnya untuk melanjutkan atau memproses data-data yang tidak relevan tadi,” ujarnya.

    Parasurama bilang, pihak pengelola gedung seharusnya bisa mencari cara selain mengumpulkan KTP atau pemindaian wajah, dalam hal ini cara yang tidak berisiko untuk masyarakat. Termasuk menyediakan opsi agar tidak membatasi aktivitas masyarakat untuk mengakses tempat tersebut.

    Ia juga menegaskan privasi harusnya bisa diberikan secara default dan by design. Pelindungan atas privasi juga harus dilakukan oleh pengelola area-area terbatas, termasuk untuk gedung.

    “Nah, itu sebenarnya merupakan bagian dari pelanggaran data, perlindungan data pribadi. Karena ini sama hal dengan platform digital ya, bagaimana kita bisa menikmati platform yang tidak ada ads dengan membayar misalnya gitu,” jelas ia.

    Terpisah, Pakar Keamanan Siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya menjelaskan, foto selfie dan KTP bukan alat identifikasi yang diakui menurut Dukcapil. Berkait keamanannya, Alfons bilang, ini juga bergantung pada pengelolaan datanya, yakni cara mereka menyimpan data, apakah sudah aman atau tidak.

    “Lalu apakah itu aman atau tidak ya tergantung lah pengelola datanya, bagaimana dia menyimpan data itu. Kalau dia tidak menyimpan dengan aman ya kalau data bocor ya selesai juga,” kata Alfons.

    “Yang tidak selesai juga akan bocor datanya gitu loh. Beserta fotonya, mukanya, selfienya, yang tinggal dikerjain pakai AI kan, dipermak lagi,” ujarnya menambahkan.

    (fsd/fsd)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Raksasa Jepang Trend Micro Investasi Data Center di RI, Incar 135 Perbankan

    Raksasa Jepang Trend Micro Investasi Data Center di RI, Incar 135 Perbankan

    Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan keamanan siber asal Jepang, Trend Micro, tengah membangun data center yang ditargetkan beroperasi paling lambat pada pertengahan 2026.

    Kehadiran data center tersebut wujud dukungan perusahaan terhadap kedaulatan data sekaligus upaya dalam menjangkau sektor keuangan yang memiliki regulasi ketat terkait pengelolaan data. 

    Field CISO – AMEA Trend Micro Sapna Sumbly mengatakan dalam beberapa tahun terakhir lembaga-lembaga di Indonesia sangat peduli terhadap data pengguna.

    Isu mengenai kedaulatan data dan lokalisasi data menjadi perhatian perusahaan dan regulator terlebih di tengah banyak ketegangan geopolitik. Setiap negara ingin menjaga data penggunanya dengan membuat regulasi privasi dan undang-undang data, termasuk regulator di sektor keuangan seperti OJK. 

    Dia mengatakan OJK sangat ketat dalam mengaudit bank dan institusi sektor keuangan lainnya untuk memastikan bahwa mereka telah mendapatkan persetujuan yang tepat sebelum mengirim data apa pun ke penyedia cloud di luar Indonesia.

    Sapna tidak memberitahu total investasi yang mereka gelontorkan untuk mengembangkan data center di Indonesia.

    “Itulah salah satu alasan kami ingin pelanggan kami yang ada tetap percaya diri bahwa kami ingin mendukung mereka dalam perjalanan mereka, baik itu menanggapi regulator, maupun mematuhi regulasi data dan privasi,” kata Sapna kepada Bisnis, Kamis (13/11/2025).

    Sapna mengatakan dengan memiliki data center di Indonesia, Trend Micro ingin meyakinkan kepada seluruh perusahaan, khususnya layanan keuangan dan perbankan, bahwa mereka telah memiliki data center di Indonesia. 

    Dia menegaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu pasar penting bagi Trend Micro. Dia tidak memberikan angka mengenai pertumbuhan bisnis Trend Micro di Tanah Air, tetapi dipastikan bahwa potensi pasar Indonesia sangat potensial. 

    “Fakta bahwa Indonesia memiliki lebih dari 135 bank dalam berbagai bentuk dan ukuran. Dan kemudian lembaga pemerintah yang sangat agresif dalam transformasi digital. Kami melihat ini sebagai negara dengan potensi pertumbuhan yang besar,” kata Sapna. 

    Sekadar informasi, merujuk pada laporan keuangan Trend Micro membukukan total penjualan 202 miliar yen atau Rp21,86 triliun pada kuartal III/2025. Nilai tersebut stagnan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, khusus regional Asia Pasifik yang mencakup Taiwan, UAE, Singapura, Australia, dan Indonesia, berkontribusi sekitar 77 miliar yen atau Rp8,4 triliun dan regional dengan kontribusi terbesar secara regional. 

    Namun, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, pertumbuhan di regional Asia Pasifik hanya naik tipis 1,1% secara tahunan. 

    “Kami melihat bahwa potensi negara ini besar dan kami bisa menjadi mitra yang signifikan dalam jalur pertumbuhan itu,” kata Sapna. 

    Country Manager Trend Micro Indonesia Fetra Syahbana mengatakan kehadiran data center Trend Micro di Indonesia bertujuan untuk mendukung program pemerintah bahwa data itu mesti punya lokalisasi di Indonesia. Indonesia telah memiliki undang-undang PDP yang berfokus pada kedaulatan data, di mana data-data penting harus berada di Indonesia. 

    “Kalau di dunia perbankan itu kan juga tidak boleh transaksi data nasabah itu keluar dari negara ini gitu kan. Siapapun itu kalau dia beroperasi di Indonesia harus punya data-data Indonesia. Masa dia berapa tahun di Indonesia datanya di luar negeri,” kata Fetra.

    Dia mengatakan dengan kehadiran data center di Indonesia, perusahaan yang bergerak di layanan keuangan yang memiliki regulasi ketat tidak perlu khawatir untuk menempatkan data mereka di Trend Micro. 

    “Jadi ini menunjukkan komitmen jangka panjang kita untuk mendukung customer kita di Indonesia. Dari Indonesia manapun baik itu perbankan, telekomunikasi, sektor publik, pemerintah dan sebagainya,” kata Fetra.

  • Anggota DPR nilai industri asuransi hadapi tantangan tata kelola data

    Anggota DPR nilai industri asuransi hadapi tantangan tata kelola data

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono menilai industri asuransi menghadapi tantangan membangun kepercayaan publik dan kerentanan tata kelola data.

    “Pertama, tata kelolanya itu sendiri. Jadi, diperlukan harmonisasi akan standar keamanan dan transparansi antarpelaku industri agar tercipta ekosistem data yang konsisten dan akuntabel sebagai dasar kepercayaan publik. Pengelolaan itu harus dibarengi juga dengan SDM (sumber daya manusia) dan infrastruktur yang mapan,” ucapnya dalam acara iLearn Conference & Seminar 2025 yang diadakan PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re di Jakarta, Selasa.

    Saat ini, jumlah data protection officer (DPO) dan ahli tata kelola data masih terbatas, sementara sebagian besar pelaku industri masih menggunakan sistem lama yang masih rawan bocor karena tak disesuaikan dengan teknologi terkini.

    Kesenjangan tersebut dinilai memperlambat penerapan prinsip security by design (keamanan menjadi bagian inti proses desain dan pengembangan sistem) dan privacy compliance (kepatuhan terhadap hukum yang dirancang untuk melindungi informasi pribadi) di dalam bisnis asuransi Tanah Air.

    Berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tahun 2024, ketergantungan tinggi terhadap sistem digital meningkatkan attack surface (seluruh titik masuk potensial yang dapat dieksploitasi penyerang untuk merusak atau mengakses sistem, data, atau jaringan).

    Ancaman siber lainnya adalah kasus pelanggaran data/data breach (insiden keamanan yang melakukan akses ke data personal secara tidak sah oleh pihak lain), khususnya di sektor keuangan. Kondisi ini menegaskan perlunya sinergi antara tata kelola data dan ketahanan siber nasional.

    Indonesia sendiri memiliki dua undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan data maupun penggunaan digitalisasi, yakni Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP).

    Walaupun sudah ada UU-nya, insiden ancaman siber disebut masih berjalan terus, perangkat hukum masih kurang, sumber daya manusia di bidang terkait masih perlu ditingkatkan, hingga masalah dalam hal infrastruktur hingga pengaplikasiannya.

    “Ini semua bukan hanya PR (pekerjaan rumah). Ini perlu menjadi sebuah tanggung jawab yang applicable (berlaku) kepada semua pihak,” ujar Dave.

    Per tahun 2025 hingga bulan Oktober, kejahatan siber global diperkirakan memberikan kerugian hingga 10,5 triliun dolar Amerika Serikat (AS), naik 1 triliun dolar AS dibandingkan tahun lalu dengan periode yang sama.

    Serangan siber dianggap semakin kompleks seiring pemanfaatan artificial intelligence (AI), machine learning, dan komputasi kuantum. Pada tahun 2024, insiden ransomware meningkat 81 persen dibandingkan tahun lalu, begitu pula phishing yang naik 58 persen, lalu deepfake meningkat 550 persen sejak 2019 dan diproyeksikan mencapai 8 juta kasus pada tahun ini.

    Walaupun AI sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, mulai kebutuhan presentasi hingga komersial, tetapi juga menimbulkan banyak kerugian karena dipakai untuk menjadi kriminal.

    Sebagaimana perubahan zaman dan kemajuan teknologi, bila tak dibarengi dengan peraturan dan pendidikan, maka kemajuan peradaban justru tak memberikan manfaat terhadap masyarakat. Karena itu, dia menekankan bahwa pemerintah dan rakyat penting untuk memahami secara detail sehingga bisa menggunakan semua teknolog yang telah diciptakan untuk kepentingan bersama.

    Lebih lanjut, Dave mengungkapkan sejumlah strategi untuk penguatan tata kelola dan kepercayaan publik di industri asuransi.

    Pertama adalah penguatan kolaborasi lintas sektor antar-regulator, industri, lembaga keamanan siber, serta akademisi untuk menjadi kunci membangun ekosistem data yang aman dan terpadu.

    Kedua yaitu penguatan SDM dan etika digital melalui pelatihan literasi keamanan, serta membangun infrastruktur teknologi nasional yang berdaulat, termasuk encryption system (sistem enkripsi) dan cloud (komputasi awan) dibuat oleh pihak domestik, agar tak selalu harus bergantung komputasi awan dari Huawei, Amazon, maupun Google.

    Strategi selanjutnya ialah peningkatan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan sejalan sesuai undang-undang. Terakhir yakni kebutuhan adanya perubahan paradigma bahwa data merupakan aset strategis nasional, sumber inovasi, dan menjadi elemen penting untuk mendukung kemajuan ekonomi.

    “Tata kelola data yang kuat menjadi pilar utama dalam membangun kepercayaan publik dan menjaga keberlanjutan industri asuransi. Data pribadi tidak hanya menjaga hak individu, tetapi memperkuat reputasi lembaga dan martabat bangsa di ruang digital, serta industri asuransi harus menjadi teladan dalam penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan etika data,” ungkap Wakil Ketua Komisi I DPR RI.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Teknologi AI Makin Masif, ASN Dituntut Lakukan Ini

    Teknologi AI Makin Masif, ASN Dituntut Lakukan Ini

    Liputan6.com, Jakarta Lembaga Administrasi Negara (LAN) terus mendorong transformasi pengembangan kompetensi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) yang menuntut kecepatan beradaptasi. LAN mengajak para talenta ASN menyalurkan ide terbaiknya melalui Kompetisi Konten Pembelajaran Berbasis Artificial Intelligence.

    Kegiatan ini merupakan upaya percepatan implementasi kebijakan baru terkait penyediaan konten pembelajaran digital yang inovatif, berkualitas, dan relevan bagi ASN di seluruh Indonesia.

    Direktur Teknologi dan Digitalisasi Pembelajaran LAN, Elly Fatimah, menyampaikan penyelenggaraan kompetisi ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, yang mewajibkan ASN untuk senantiasa meningkatkan kompetensi agar tetap adaptif terhadap kebutuhan organisasi dan tuntutan masyarakat.

    Hal tersebut juga didorong oleh tuntutan perkembangan teknologi dan informasi yang mengharuskan setiap ASN beradaptasi dengan lingkungan strategisnya.

    “Oleh karenanya pemanfaatan platform e-learning mutlak dilakukan dalam proses pengembangan kapasitas dan kompetensi ASN, dalam hal ini kualitas konten pembelajaran sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Namun tantangan saat ini kualitas konten pembelajaran berbasis e-learning masih belum merata di setiap instansi pemerintah”, jelasnya, Sabtu (8/11/2025).

    Untuk itu, Elly menambahkan, sebagai instansi pembina pengembangan kapasitas dan kompetensi ASN, LAN telah menetapkan Peraturan LAN Nomor 4 Tahun 2025 tentang Konten Pembelajaran dan Keputusan Kepala LAN Nomor 567/K.1/PDP.06.1/2025 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Konten Pembelajaran.

    Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk memastikan bahwa setiap konten pembelajaran yang diproduksi dan disediakan instansi pemerintah memiliki standar kualitas yang baik, efektif, dan sesuai perkembangan teknologi.

    “Sebagai upaya percepatan implementasi kebijakan tersebut, LAN juga menggandeng Qubisa dan Tanoto Foundation dalam penyelenggaraan kompetisi ini yang juga akan disisipkan dengan program coaching pembuatan konten pembelajaran berbasis Artificial Intelligence sebagai bekal untuk mengikuti kompetisi ini,” tuturnya.

     

     

  • Komdigi Klaim Angka Judi Online Turun, Data Segera Diumumkan

    Komdigi Klaim Angka Judi Online Turun, Data Segera Diumumkan

    Bisnis.com, SRAGEN — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menanggapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut judi online telah merugikan negara hingga Rp132,8 triliun.

    Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menegaskan pemberantasan judi online terus dilakukan dengan perkembangan cukup menjanjikan. 

    Komdigi akan segera bertemu dengan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna membahas hal ini.

    “Kita melihat ada penurunan signifikan,” kata Meutya usai peresmian Kampung Internet di Desa Sribit, Sragen, Jawa Tengah, Rabu (5/11/2025).

    Namun, Meutya belum merinci besaran penurunan tersebut. “Angkanya besok kita akan sampaikan kepada publik ya mungkin. Kita ketemu besok,” katanya.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan Indonesia mengalami kerugian hingga US$8 miliar akibat judi online. Dengan asumsi kurs Rp16.600 per dolar AS, nilai kerugian tersebut setara dengan sekitar Rp132,8 triliun per tahun.

    “Dan juga perjudian online sangat serius. Kami mengalami kerugian, diperkirakan kami kehilangan sekitar US$8 miliar setahun hanya dengan arus keluar dari judi online,” kata Prabowo dalam pidatonya di APEC Economic Leaders’ Meeting (AELM) di Hwabaek International Convention Centre (HICO), Gyeongju, Korea Selatan.

    Prabowo menambahkan persoalan perjudian daring merupakan bagian dari tantangan kejahatan lintas batas yang perlu ditangani secara kolektif oleh negara-negara di kawasan.

    “Kami juga mendukung kerja sama APEC untuk meningkatkan keterampilan digital juga di bidang pendidikan,” katanya.

    Sebelumnya, Safriansyah Yanwar Rosyadi, Direktur Pengendalian Ruang Digital Komdigi, menyampaikan sepanjang 2025, pihaknya telah menangani lebih dari 7,2 juta konten perjudian daring. 

    Nilai deposit judi online pada semester I/2025 tercatat mencapai Rp17 triliun. Meski begitu, fenomena ini terus berevolusi dengan cepat. “Kami sudah memblokir jutaan konten, tapi yang tumbuh juga tak kalah cepat. Ini tantangan global yang menuntut kerja bersama,” kata Safriansyah, di Jakarta, Selasa (21/10).

    Hal itu disampaikannya saat memberikan sambutan dalam forum group discussion (FGD) bertema Membangun Kolaborasi Digital Bebas Perjudian Daring. Acara ini merupakan kolaborasi antara Katadata dengan Komdigi yang turut dihadiri oleh regulator, aparat penegak hukum, industri keuangan, hingga perwakilan asosiasi internet.

    Berdasarkan laporan PPATK, perputaran transaksi judi online di Indonesia mencapai Rp927 triliun selama periode 2017 hingga kuartal I/2025. Angka tersebut menunjukkan praktik ilegal ini tidak lagi berskala kecil, melainkan sudah menjadi fenomena sistemik yang menembus berbagai lapisan masyarakat.

    Pada kesempatan yang sama, Direktur Strategi dan Kebijakan Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Muchtarul Huda, menjelaskan upaya pemerintah berlandaskan kerangka hukum yang kuat seperti UU ITE, UU PDP, hingga PP 71/2019. Namun, dia menegaskan bahwa regulasi saja tidak cukup.

    “Kita butuh AI-based detection system, integrasi database lintas instansi, serta kerja sama internasional dalam mengurangi masifnya perjudian daring di Indonesia,” katanya.

  • Polemik Aplikasi Fotoyu Tanpa Izin, Komdigi: Wajah Itu Data Pribadi

    Polemik Aplikasi Fotoyu Tanpa Izin, Komdigi: Wajah Itu Data Pribadi

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengemukakan wajah merupakan data pribadi yang bersifat biometrik dan dilindungi oleh Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).

    Pernyataan itu disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Mediodecci Lustarini kala menanggapi ramainya diskusi di media sosial berkenaan fotografer mengunggah tanpa izin foto pelari di internet untuk diperjualbelikan. Misalnya di aplikasi marketplace FotoYu.

    Menurut Mediodecci, bila berbicara mengenai penggunaan foto di ruang publik maka ada dua aspek penting yang perlu disoroti yakni aspek regulasi dan aspek etika.

    “Aspek regulasinya itu adalah wajah. Itu adalah termasuk ke dalam data pribadi secara biometrik. Ketika kita bicara data pribadi tentunya affiliate-nya adalah kepada Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi,” tuturnya di Jakarta, Jumat (31/10/2025).

    Dia meneruskan, wajah yang merupakan data biometrik ini sangatlah sensitif karena bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab dengan motif kriminal untuk melakukan penipuan (scam) berbasis teknologi.

    “Kenapa ini bahaya? Perkembangan teknologi sekarang memanfaatkan data biometrik. Wajah bisa dipindahkan dengan AI menjadi sesuatu yang baru. Wajah juga bisa digunakan orang-orang yang memiliki motif kriminal untuk melakukan scam. Ini yang perlu kita waspadai sebenarnya,” jelasnya.

    Poin selanjutnya yang merupakan etika ini dijelaskan Mediodecci bahwa isu utama bukan pada pengambilan foto, tetapi peredaran foto tanpa persetujuan (consent).

    Dia menegaskan bahwa persetujuan ini adalah hal yang paling penting. Jika orang yang difoto menyetujui fotonya akan diedarkan itu tidak masalah, tetapi bila tanpa persetujuan itu tidak bisa.

    “Nah, kasusnya Fotoyu itu adalah persetujuan tidak eksplisit sebelum data diambil. Jadi perlu ada duduk bersama nih, asosiasi fotografi dan lain sebagainya. Karena di dalam Fotoyu itu, persetujuan dimasukkan ke dalam term and condition ketika seseorang melakukan transaksi ataupun memiliki akun di Fotoyu,” bebernya.

    Dengan demikian, lanjutnya, itu tidak sesuai dengan prinsip pelindungan data pribadi yang sebenarnya mewajibkan ada persetujuan eksplisit atau consent terlebih dahulu.

    Lebih jauh, Mediodecci memastikan Komdigi akan melakukan pendalaman, pengawasan, hingga pemanggilan terhadap pihak penyelenggara sistem elektronik (PSE). Meski demikian, dia belum bisa memastikan kapan pemanggilan itu akan dilaksanakan.

    Selain itu, dia turut mengimbau masyarakat bila memang ada kerugian yang ditimbulkan atau ada ketidaksepakatan, langsung dilaporkan saja kepada pihaknya.

    “Jadi kita melakukan both way ya, jadi kepada PSE kita lakukan pengawasan, kepada masyarakat juga kami mengajak untuk bersama-sama kita sadar data pribadi kita,” pungkasnya.