Kasus: nepotisme

  • Republik Srimulat

    Republik Srimulat

    Republik Srimulat
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    LANGIT
    boleh kelabu, jalan boleh berlubang, tetapi tawa masih memantul dari dinding—seolah menolak retak.
    Di sudut-sudut kota, radio tua kadang memutar lakon
    Srimulat
    : ledakan guyon, jeda, tepuk tangan palsu yang terasa sungguh.
    Ironisnya, riuh gelak itu kini seperti gema republik—yang di panggungnya pemerintah bergincu, oposisi berkumis palsu, dan khalayak menanti lucu.
    Kita menatapnya, kadang malu, kadang maklum, sebab lelucon kerap lebih jujur daripada pidato kenegaraan.
    Negara selalu membutuhkan teater. Ia membangun set: gedung parlemen bergaya futuristik dengan cat yang terkelupas; baliho berisi janji yang diulang sampai pudar; konferensi pers yang mengkilap, namun kata-katanya serupa suara gamelan patah.
    Di panggung ini para aktor—menteri, juru bicara, influencer bersertifikat—menambahkan “selo” dan “cis” sebagai efek tertawa.
     
    Seperti di Srimulat, kejanggalan sengaja dipelihara: logika dibalik, kesalahan dilupakan, dan penonton digiring percaya bahwa kekonyolan adalah takdir yang mempersatukan.
    Tahun-tahun belakangan, parodi tak lagi sekadar cermin; ia menjadi alat
    kekuasaan
    . Satire diproduksi resmi—varietas “lucu tapi patuh”—agar kritik kehilangan gigi.
    Ketika parlemen tergopoh mengejar tenggat undang-undang, publik disodori drama komedi: akrobat kursi rapat yang kosong, adu pantun di rapat pansus, selebgram diundang untuk “sosialisasi”.
    Srimulat pernah membuat kita tertawa karena jarak antara panggung dan realitas; kini republik membuat kita khawatir karena jarak itu menghilang.
    Di belakang lakon selalu ada sutradara. Ia tak tertawa; ia menghitung durasi, mengatur lampu, memutus siapa boleh bicara.
    Kuasa di republik ini cenderung memilih mode lawak: menutup blunder dengan musik organ tunggal, mengganti skandal dengan gimik kuliner, atau mencuri fokus menggunakan topik “guyon” tentang penasihat spiritual presiden.
    Kini, kekuasaan itu juga menghibur dengan hukum. Di tengah vonis yang baru saja dijatuhkan kepada seorang terdakwa korupsi, Istana menggelar pertunjukan lain: pemberian amnesti dan abolisi.
    Bukan untuk para penyair pengkritik, bukan bagi aktivis pembela lingkungan, tetapi kepada mereka yang jejak pidananya terekam dalam gegap gempita persidangan.
    Hukum dijahit ulang di ruang belakang, diserahkan dengan senyum. Bukan keadilan yang mengantar pulang, melainkan kuasa yang membebaskan.
    Satu tanda tangan mengalahkan ribuan lembar berkas dakwaan. Seperti guyon Srimulat: salah bukan soal bukti, tapi siapa yang pegang mikrofon.
    Dalam hening, korupsi berganti kostum menjadi amal, nepotisme menyerupai “legacy”, dan sensor dikemas sebagai “moderasi konten”.
    Namun, panggung hidup karena penonton. Kita, para pembayar tiket yang dipungut lewat pajak, kerap tergoda ikut tertawa.
    Ada rasa lega ketika komedi menanggalkan kemarahan. Tapi di antara derai tawa itu, ada sepasang mata anak muda yang baru di-PHK—dari 9,9 juta pengangguran terbuka menurut data BPS (Mei 2025); ada petani yang benihnya tergadai—di tengah utang sektor pertanian yang menembus Rp 82 triliun; ada perawat kontrak yang gagal jadi ASN—dari 160.000 tenaga kesehatan non-ASN yang masih menunggu kepastian.
    Mereka ikut menepuk tangan, meski dalam hati penuh denting cemas.
    Republik Srimulat membuat rakyat terhibur sesaat, lalu pulang membawa keresahan yang dilipat rapi di saku.
    Srimulat lahir di era yang serba sumbing—masa ketika tertawa menjadi bentuk perlawanan halus.
    Dalam desingan kontrol politik, mereka menyelipkan sindiran pada hegemoni feodal dan represi militer.
    Kini, kita mewarisi memori itu, tapi lupa menggigit. Lelucon dibiarkan tanpa dendam: ia menguap sebagai hiburan
    streaming
    , bukan pengingat luka.
    Padahal humor sejatinya tajam, seperti pisau dapur yang sanggup mengupas kesewenang-wenangan. Tanpa ingatan, tawa meluruh jadi tepuk tangan otomatis, kehilangan subversi.
    Kebijakan hari ini kerap dibungkus kosa kata lucu: “pemutihan lahan”, “penataan ulang tarif”, “relaksasi pajak dosa”, “digitalisasi santai”. Bahasa meninabobokkan akal.
    Seperti pernah disindir Goenawan Mohamad, kata-kata dapat membentuk pagar tak kasatmata yang membatasi cara kita melihat kenyataan.
     
    Republik Srimulat mengganti debat serius dengan lelucon berbumbu slogan. Percakapan publik menari di atas jargon, sementara detail pasal diselipkan sunyi di lembar penjelasan. Ketika kata kehilangan beban, hukum pun kehilangan gravitasinya.
    Ada ironi besar: semakin banyak panggung humor, semakin tipis ruang tertawa bebas. Komika dipanggil polisi—seperti Mamat Alkatiri yang dilaporkan karena materi lawaknya soal “polisi dan candaan narkoba” (Mei 2023); karikaturis ditangkap—seperti kasus “Putik” di Pamekasan (Januari 2024) yang sketsanya dianggap menghina tokoh publik; warga dituntut UU ITE karena unggahan meme.
    Negara memproduksi candaan, tapi takut pada tawa yang tak ia kendalikan. Di sini, gelak tawa resmi adalah tanda kesetiaan; tawa liar dianggap makar.
    Maka republik ini bagai badut yang melarang lelucon. Kita dipaksa tertawa pada waktu yang tepat, dengan volume yang diukur, demi menjaga kesepakatan sandiwara.
    Meski begitu, harap berderak seperti kayu panggung tua. Di sela skenario, muncul generasi yang menyusun satire baru: kanal YouTube investigatif, puisi di media sosial, film indie yang menggulung fakta dalam absurditas.
    Mereka mengembalikan fungsi humor sebagai lampu sorot, bukan sekadar kembang api. Dalam naskah baru itu, rakyat bukan hanya penonton; mereka penulis, sutradara, sekaligus auditor kebenaran.
    Jika panggung resmi terus mengulang kelakar usang, publik akan menciptakan teater alternatif—tanpa gincu palsu dan tawa kalengan.
    Republik Srimulat mungkin tak bisa menghapus derita, tetapi ia mengingatkan: ketawa adalah hak politik, dan guyon bisa lebih dalam dari pidato.
    Ketika lakon kekuasaan semakin menyerupai dagelan, cara paling waras adalah menertawakan sekaligus menelanjangi.
    Namun hari-hari ini, panggung itu menawarkan pertunjukan baru yang getir: seseorang divonis, dan tak lama kemudian dihapuskan oleh surat sakti dari Istana.
    Abolisi tak pernah dibahas publik, amnesti tak sempat ditimbang publik. Dalihnya hukum, tapi lakonnya guyon. Seolah negara ini bersandiwara sampai akhir babak.
    Lelucon yang baik tak berhenti pada
    punchline
    ; ia mendorong kita bangkit, menata ulang panggung, menulis dialog yang lebih jujur.
    Suatu hari, barangkali, kita menyaksikan pertunjukan baru—di mana tawa bukan kamuflase, melainkan tanda bahwa pemerintah dan rakyat sama-sama manusia. Dan ketika tirai tertutup, kita pulang tanpa rasa diperdaya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Kronologi Kasus Silfester Matutina: Divonis sejak 2019 karena Fitnah Jusuf Kalla, tetapi Belum Ditahan
                        Nasional

    7 Kronologi Kasus Silfester Matutina: Divonis sejak 2019 karena Fitnah Jusuf Kalla, tetapi Belum Ditahan Nasional

    Kronologi Kasus Silfester Matutina: Divonis sejak 2019 karena Fitnah Jusuf Kalla, tetapi Belum Ditahan
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kasus yang menjerat Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester Matutina kembali mencuat. 
    Pada 2019, Silfester sebenarnya telah divonis 1,5 tahun penjara. Namun, hingga kini belum ditahan untuk menjalani hukuman tersebut. 
    Vonis itu terkait kasus fitnah terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla. 
    Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna mengatakan, putusan pengadilan terhadap perkara Silfester sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
    Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk menunda penahanan terhadap pimpinan organ relawan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).
    “Harus dieksekusi, harus segera (ditahan), kan sudah inkrah. Kita enggak ada masalah semua,” kata Anang di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin (4/8/2025).
    Silfester dituduh memfitnah Jusuf Kalla akibat orasinya pada 15 Mei 2017. Pada saat itu, Silfester menyebut JK sebagai akar permasalahan bangsa.
    “Jangan kita dibenturkan dengan Presiden Joko Widodo. Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Jusuf Kalla,” kata Silfester dalam orasi itu. 
    Silfester juga menuduh JK menggunakan isu rasis demi memenangkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta saat itu, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dalam Pilkada DKI Jakarta.
    Silfester juga mengatakan bahwa JK berkuasa hanya demi kepentingan Pilpres 2019 dan kepentingan korupsi daerah kelahirannya.
     
    “Kita miskin karena perbuatan orang-orang seperti JK. Mereka korupsi, nepotisme, hanya perkaya keluarganya saja,” lanjut Silfester dalam orasi.
    Orasi itu membuat Silfester akhirnya dilaporkan ke polisi oleh Jusuf Kalla, melalui kuasa hukumnya. Kuasa hukum JK, Muhammad Ihsan, mengatakan awalnya JK tidak berniat melaporkan Silfester. 
    Namun, muncul desakan dari warga di kampung halaman JK di Sulawesi Selatan untuk melaporkan Silfester. 
    “Desakan keluarga membuat pak JK tak bisa menolak. Akhirnya pak JK mengatakan jika langkah hukum dianggap yang terbaik, silakan dilakukan langkah hukum,” kata Ihsan saat itu.
    Dua tahun kemudian, Silfester divonis hukuman 1,5 tahun penjara. Namun hingga kini, Silfester belum menjalani hukuman kurungan itu. 
    Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, mengatakan, Silfester telah diundang kembali kemarin terkait kasusnya. 
    “Informasi dari pihak Kejari Jakarta Selatan, diundang yang bersangkutan. Kalau enggak diundang ya silakan (datang),” kata Anang.
    Sementara itu, Silfester mengaku siap menghadapi proses hukum tersebut dan menyebut tak ada masalah berarti yang perlu dikhawatirkan.
    “Saya sudah menjalankan prosesnya. Nanti kita lihat lagi seperti apa kelanjutannya,” kata Silfester saat ditemui Kompas.com seusai diperiksa sebagai saksi dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo di Polda Metro Jaya, Senin (4/8/2025).
    Ketika ditanya apakah dirinya siap ditahan, Silfester menjawab singkat.
    “Enggak ada masalah,” kata dia. 
    Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Peradi, Ade Darmawan, menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada surat resmi dari Kejari Jaksel yang menyatakan Silfester akan segera dieksekusi.
    “Belum ada suratnya,” ucap Ade.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penuntasan Sederet Kasus Jokowi Tinggal Tunggu Momen Pas

    Penuntasan Sederet Kasus Jokowi Tinggal Tunggu Momen Pas

    GELORA.CO – Penuntasan kasus-kasus yang terkait dengan Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi oleh Presiden Prabowo Subianto diyakini hanya menunggu momen dan waktu yang tepat.

    Menurut Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto, dengan posisinya sebagai presiden, mestinya Prabowo sangat mudah mengeksekusi agenda-agenda yang menjadi harapan publik.

    “Namun posisinya masih dilingkari oleh Jokowi dan dinastinya, apalagi wapresnya masih anak kandung dari Jokowi. Saat ini penuntasan kasus-kasus yang terkait dengan Jokowi dan lain-lain hanya menunggu momen dan waktu yang tepat,” kata Hari kepada RMOL, Minggu 3 Agustus 2025.

    Hari menilai, bila Prabowo masih mempertahankan loyalis Jokowi dan melingkar di dalam Kabinet Merah Putih (KMP), maka mustahil kasus ijazah palsu dan dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) Jokowi akan terungkap.

    Hari melanjutnya, viralnya bendera One Piece menjadi sinyal kepada Prabowo dan loyalisnya. Sebab logo One Piece pernah digunakan Gibran Rakabuming Raka pada masa kampanye Pilpres 2024.

    “Gibran sempat menggunakan pin Jolly Roger di dada kirinya saat mengunjungi rumah Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, 21 Januari 2024 lalu. Apakah kemunculan bendera One Piece merupakan cara pendukung Gibran merongrong Prabowo?” pungkas Hari.

  • Cerita ‘Budak Korporat’ Stres-Sering Begadang, Berakhir Serangan Jantung

    Cerita ‘Budak Korporat’ Stres-Sering Begadang, Berakhir Serangan Jantung

    Jakarta

    Seorang ‘budak korporat’ di India menceritakan tempat kerjanya yang ‘toxic’. Ini membuat dirinya stres, sering begadang, hingga mengakibatkan serangan jantung.

    Dikutip dari Times of India, karyawan dengan nama pengguna @YahkStraight1780 membagikan pengalaman menyesakkan tersebut di Reddit. Karyawan tersebut bekerja di salah satu perusahaan startup di India.

    Di masa-masa awal kerja, dirinya menyadari bahwa ada yang salah dengan budaya di kantornya. Seperti tekanan pekerjaan yang tinggi, nepotisme, hingga gaslighting atau bentuk manipulasi psikologis negatif.

    Budaya kerja yang buruk ini berbeda dengan kantor sebelumnya. Dirinya memiliki pengalaman bekerja dengan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Menurutnya, kantor-kantor tersebut sangat menjunjung budaya kerja sehat.

    Tidak kuat dengan tekanan dan budaya di kantor startup India, karyawan tersebut memilih untuk mengundurkan diri. Namun setelah berminggu-minggu, ia mengalami serangan jantung.

    “Dalam beberapa minggu, serangan jantung hebat. Dua stent (ring) darurat. Dokter bilang, 30 menit lagi (terlambat) bisa berakibat fatal,” tulisnya di Reddit.

    Apakah Stres Menyebabkan Serangan Jantung?

    Stres kronis, sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan serangan jantung. Namun, stres merupakan salah satu faktor risiko utama.

    Ini karena stres kronis berkontribusi terhadap tekanan darah tinggi, peradangan, dan ketidakseimbangan hormon, yang semuanya meningkatkan risiko penyakit jantung seiring waktu.

    Sebuah studi di National Library of Medicine, menunjukkan stres kronis dapat mengurangi aliran darah ke otot jantung, bahkan pada individu yang sehat.

    Stres dan depresi jangka panjang seperti trauma emosional di lingkungan kerja yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, hingga kematian dini.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/up)

  • Abolisi dan Amnesti: Sengkarut Demokrasi Dalam Konsolidasi Elite
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Agustus 2025

    Abolisi dan Amnesti: Sengkarut Demokrasi Dalam Konsolidasi Elite Nasional 2 Agustus 2025

    Abolisi dan Amnesti: Sengkarut Demokrasi Dalam Konsolidasi Elite
    Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
    KEPUTUSAN
    Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto menandai peristiwa politik yang jauh melampaui urusan hukum semata.
    Meski dibingkai sebagai upaya meredam kegaduhan politik yang ramai diperbincangkan publik, kenyataannya langkah ini lebih merefleksikan dinamika konsolidasi elite kekuasaan.
    Tidak lama setelah keputusan itu diumumkan, PDI Perjuangan secara terbuka menyatakan akan tetap berada di luar kabinet, tapi sepenuhnya mendukung pemerintahan Prabowo.
    Pernyataan ini mencerminkan kesadaran PDIP sebagai partai yang pernah berkuasa selama dua periode bahwa stabilitas politik merupakan variabel determinan dalam pembangunan politik dan pemeliharaan ketertiban sosial.
    Pandangan ini tak lepas dari pengaruh mazhab pemikiran Samuel Huntington dalam
    Political Order in Changing Societies
    (1968), yang menekankan pentingnya stabilitas politik sebagai syarat utama pembangunan, bahkan jika itu harus mengorbankan dinamika demokratis.
    Mazhab ini pula yang menjadi fondasi justifikasi Orde Baru selama tiga dekade, di mana stabilitas dijadikan nilai utama yang mengalahkan keberagaman suara dan partisipasi rakyat.
    Konsolidasi kekuasaan melalui pengelolaan konflik elite telah menjadi tradisi politik yang hidup kembali dalam lanskap demokrasi Indonesia kontemporer.
    Era pemerintahan Joko Widodo menjadi pelajaran paling nyata bagaimana kekuasaan bisa dibangun bukan dari perlawanan terhadap oposisi, melainkan dari penjinakan dan penyerapan kekuatan-kekuatan yang semula berada di luar lingkaran kekuasaan.
    Burhanuddin Muhtadi (2020) dalam risetnya menunjukkan bahwa Jokowi berhasil meminimalkan fragmentasi elite politik dengan menjinakkan oposisi lewat pembagian jabatan dan pendekatan personal.
    Sementara itu, kelompok-kelompok masyarakat sipil yang kritis diberi tempat di dalam struktur prestisius Istana, strategi kooptasi yang efektif untuk meredam potensi tekanan dari luar (Hadiz, 2017).
    Kini, Presiden Prabowo tampaknya melanjutkan pendekatan tersebut dengan lebih terbuka dan berani.
    Abolisi dan amnesti menjadi bagian dari strategi untuk menyusun ulang konfigurasi kekuasaan nasional.
    Dengan manuver ini, Prabowo berhasil memperlihatkan bahwa ia bukan sekadar penerus kekuasaan, melainkan seorang pemimpin yang mampu mengatur ulang ritme politik nasional dan menciptakan keseimbangan baru dalam relasi antar-elite.
    Di tengah-tengah tren aroma determinasi parlemen, alih-alih menandai kemunduran presidensialisme, keputusan Presiden Prabowo justru memperkuat posisi eksekutif sebagai pusat kekuasaan politik nasional.
    Ia berhasil menunjukkan kapasitasnya sebagai pengendali arah politik, bukan hanya dalam ranah pemerintahan, tetapi juga dalam penataan ulang lanskap elite partai.
    Dalam sistem presidensial yang ideal, presiden memang seharusnya memiliki kemandirian dan otoritas yang kuat dalam menjalankan pemerintahannya.
    Namun dalam praktik politik Indonesia, kekuatan tersebut sering kali ditentukan oleh sejauh mana presiden mampu mengendalikan parlemen—dan di sinilah keberhasilan Prabowo patut dicatat.
    Dengan memberikan abolisi dan amnesti kepada dua figur penting dari kubu politik yang sempat bersitegang dengan kekuasaan, Prabowo membuka jalan bagi rekonsiliasi yang membawa dampak struktural.
    PDIP, partai dengan sejarah panjang dalam kekuasaan, kini memilih untuk tetap berada di luar kabinet, tapi mendukung penuh pemerintahan.
    Ini tentu saja menyusutkan ruang oposisi dan memperkecil kemungkinan adanya kontrol yang efektif terhadap jalannya pemerintahan.
    Dalam jangka pendek, ini menciptakan stabilitas. Namun dalam jangka panjang, stabilitas yang dibangun tanpa keseimbangan kekuasaan justru bisa melemahkan demokrasi itu sendiri (Aspinall & Mietzner, 2019).
    Situasi ini juga memperlihatkan bahwa presiden kini tidak lagi sekadar menjalankan fungsi eksekutif, melainkan juga sebagai tokoh utama yang mengatur arah perdebatan, mengelola konflik, dan mendistribusikan ruang kekuasaan.
    Presidensialisme Indonesia dalam era ini menjelma menjadi sistem yang sangat terpusat, di mana otoritas parlemen menjadi subordinat dari kalkulasi politik eksekutif.
    Hal ini memperkuat temuan Edward Aspinall (2014) yang menyebut bahwa demokrasi elektoral Indonesia semakin bersandar pada konsensus elite, bukan kompetisi gagasan.
    Di tengah konsolidasi elite yang kian menguat, prospek demokratisasi kelembagaan di Indonesia tampak kian suram.
    Demokrasi yang sehat meniscayakan adanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta ruang yang memadai bagi oposisi untuk menjalankan fungsi kontrol.
    Namun, ketika semua saluran kekuasaan dikonsolidasikan ke dalam satu poros—yakni eksekutif—maka demokrasi mengalami tekanan dari dalam.
    Kekuasaan hukum pun tak luput dari kecenderungan ini. Ketika keputusan abolisi dan amnesti digunakan untuk menyusun ulang kesepakatan politik, maka independensi hukum tergerus oleh kepentingan strategis.
    Hadiz dan Robison (2005) menyebut kecenderungan ini sebagai bentuk “oligarkisasi demokrasi”, yakni di mana aktor-aktor kuat menggunakan institusi demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan privat dan kelompoknya.
    Di sisi lain, ketiadaan oposisi yang kuat di parlemen melemahkan fungsi pengawasan. Tanpa kekuatan penyeimbang, kebijakan-kebijakan strategis pemerintah akan cenderung disetujui tanpa perdebatan mendalam.
    Demokrasi pun bergerak menjadi prosedural semata, tanpa substansi deliberatif yang semestinya menjadi jantung dari sistem pemerintahan rakyat.
    Masyarakat sipil pun tidak luput dari strategi pengendalian. Kekuatan-kekuatan yang sebelumnya kritis kini banyak yang dilibatkan dalam struktur kekuasaan atau diakomodasi dalam jabatan-jabatan tertentu.
    Ini bukan hanya memperlemah daya kritis mereka, tetapi juga mengaburkan batas antara kekuasaan dan kontrol terhadap kekuasaan.
    Pertanyaan besar yang tersisa adalah: apakah stabilitas politik yang dihasilkan dari konsolidasi elite ini akan digunakan sepenuhnya untuk memajukan kesejahteraan rakyat, atau justru menjadi alat untuk memperpanjang dominasi politik aktor-aktor lama?
    Pengalaman sejarah Indonesia menunjukkan bahwa stabilitas sering kali dimaknai sebagai ketiadaan gejolak elite, bukan sebagai hasil dari terpenuhinya aspirasi rakyat.
    Dalam model seperti ini, stabilitas menjadi alat justifikasi untuk mempertahankan status quo, bukan sebagai jalan untuk transformasi sosial (Sherlock, 2010).
    Tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini bukan sekadar pada siapa yang memegang kekuasaan, melainkan pada bagaimana kekuasaan itu digunakan.
    Jika konsolidasi elite hanya melanggengkan praktik-praktik lama seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka kesejahteraan rakyat akan tetap menjadi janji kosong yang terus ditunda.
    Kekuasaan yang terlalu terpusat rentan digunakan untuk kepentingan jangka pendek. Kebutuhan akan loyalitas politik dan stabilitas internal bisa mendorong pengabaian terhadap isu-isu struktural seperti ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, akses pendidikan dan kesehatan, serta perlindungan terhadap kelompok rentan.
    Dalam situasi seperti ini, rakyat kembali menjadi penonton dalam panggung besar konsolidasi kekuasaan.
    Negara ini dibentuk untuk menjamin kesejahteraan umum, melindungi segenap bangsa, dan mencerdaskan kehidupan rakyatnya.
    Namun, ketika demokrasi dijalankan dengan cara-cara elitis, ketika hukum dibengkokkan demi rekonsiliasi elite, dan ketika suara oposisi dibungkam demi stabilitas, maka proyek besar bernama demokrasi Indonesia sesungguhnya sedang mengalami erosi dari dalam.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jawaban PM Anwar Ibrahim Saat Didemo ‘Turun Anwar’

    Jawaban PM Anwar Ibrahim Saat Didemo ‘Turun Anwar’

    Jakarta

    Ribuan warga Malaysia menggelar demonstrasi di Kuala Lumpur pada Sabtu (26/7) dalam aksi memprotes biaya hidup yang melonjak dan mendesak Anwar Ibrahim mundur. PM Malaysia Anwar Ibrahim buka suara terkait demonstrasi tersebut.

    Dirangkum detikcom, Senin (28/7/2025), dalam aksinya, para demonstran juga menuntut Perdana Menteri (PM) Anwar Ibrahim, yang dianggap gagal memenuhi janji reformasi, untuk mundur dari jabatannya.

    Unjuk rasa yang diselenggarakan oleh partai-partai oposisi ini menandai aksi protes besar pertama di negara tersebut sejak Anwar naik ke tampuk kekuasaan setelah pemilu tahun 2022 lalu.

    Para demonstran, seperti dilansir AFP, Sabtu (26/7/2025), berkumpul di berbagai titik di sekitar pusat kota Kuala Lumpur sebelum berkumpul dalam jumlah besar di area Lapangan Merdeka pada Sabtu (26/7) waktu setempat.

    Penyebab Anwar Ibrahim Didesak Mundur

    Sejumlah demonstran tampak membawa poster bertuliskan “Turun Anwar” saat para personel kepolisian secara ketat mengawasi jalannya aksi protes

    “Dia (Anwar) telah memerintah negara ini selama tiga tahun dan belum memenuhi janji-janji yang dibuatnya,” kata salah satu demonstran, Fauzi Mahmud (35), yang datang dari Selangor.

    “Dia telah mengunjungi banyak negara untuk mendatangkan investasi, tetapi kami belum melihat apa pun,” ucapnya kepada AFP, merujuk pada kunjungan Anwar baru-baru ini ke luar negeri, seperti Rusia dan Eropa.

    “Biaya hidup masih tinggi,” ujar Fauzi yang seorang insinyur ini.

    Anwar ditunjuk sebagai PM Malaysia dengan tiket reformis dan berjanji untuk memberantas korupsi, nepotisme, dan kronisme dalam sistem politik yang terpecah belah di negara tersebut.

    Beberapa hari menjelang unjuk rasa, Anwar mengumumkan serangkaian langkah populis untuk mengatasi berbagai masalah dan keluhan rakyat. Salah satunya dengan memberikan bantuan uang tunai sebesar 100 Ringgit, setara Rp 387 ribu, kepada seluruh warga Malaysia yang berusia 18 tahun ke atas.

    Bantuan tunai itu akan dibayarkan satu kali, mulai 31 Agustus mendatang.

    Anwar juga mengumumkan bahwa sekitar 18 juta pengendara Malaysia akan memenuhi syarat untuk membeli bahan bakar yang disubsidi besar-besaran dengan harga 1,99 Ringgit (Rp 7.712) per liter, dibandingkan harga saat ini sebesar 2,05 Ringgit (Rp 7.944) per liter.

    Mahathir Ikut Turun ke Jalan

    Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, turut turun ke jalan saat ribuan massa menggelar demo pada Sabtu dan mendesak Anwar Ibrahim mundur.

    Dilansir AFP, (27/7/2025), mantan mentor Anwar, itu juga mengkritik Anwar dihadapan massa. Ia mendesak agar Anwar Ibrahim mundur.

    “Sudah tiga tahun, apa yang didapat rakyat? Saya pikir dia (Anwar) senang melihat kita menderita,” kata Mahathir.

    “Cukup, tolong, mundurlah,” kata Mahathir, yang bulan lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-100 dan merupakan salah satu politisi tertua di dunia.

    Respons Anwar Ibrahim

    Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim merespons demonstrasi yang menuntutnya mundur. Anwar mengatakan dirinya tidak diundang.

    “Yah, saya tidak diundang,” kata Anwar kepada wartawan ketika ditanya tentang demonstrasi tersebut, seperti dilaporkan The Star dikutip dari Malaymail, Minggu (27/7/2025).

    Sementara itu, dalam sebuah unggahan di Facebook, Anwar menyampaikan rasa terima kasih kepada petugas keamanan dan tanggap darurat, serta menyerukan agar keterlibatan demokratis terus berlanjut, melampaui protes.

    “Saya menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh anggota pasukan keamanan mulai dari kepolisian, pemadam kebakaran, tim medis, dan relawan yang telah bertugas dengan profesionalisme, disiplin, dan dedikasi,” ujar Anwar, seraya memuji mereka atas upaya mereka dalam memastikan keselamatan publik dan kelancaran acara.

    Lebih lanjut, Anwar juga mendoakan massa yang berkumpul agar dapat pulang dengan selamat. Anwar juga mendesak agar mereka terus berpartisipasi dalam wacana nasional.

    “Kritik dan perbedaan pandangan tidak boleh dipandang sebagai permusuhan,” tulisnya.

    “Faktanya, mereka harus terus berkembang dan tumbuh sebagai urat nadi negara-bangsa yang dewasa, progresif, dan berdaulat,” ungkapnya.

    Anwar, yang telah lama mencitrakan dirinya sebagai pemimpin reformis, mengatakan ia tetap “teguh dan konsisten” dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya hak atas kebebasan berbicara dan mengkritik.

    Anwar juga menunjuk sesi Tanya Jawab Perdana Menteri (PMQT) di Parlemen sebagai bukti keterbukaan pemerintahannya terhadap pengawasan.

    “Anggota Parlemen bebas mengajukan pertanyaan apa pun secara langsung, dan mengajukan keberatan kepada saya sebagai perdana menteri secara langsung,” ujarnya.

    “Saya mendesak Anda untuk terus mendesak anggota parlemen agar hadir dan berpartisipasi aktif, terutama dalam PMQT,” imbuhnya.

    Lebih lanjut, Anwar juga mengajak rakyat Malaysia untuk bergerak lebih dari sekadar protes, mendorong mereka untuk “terlibat dalam dialog dan wacana, menemukan titik temu, serta memetakan dan membangun bangsa ini bersama-sama,”.

    “Tidak hanya di jalanan, tetapi dengan bangkit untuk menjelajahi, menguasai, dan merebut batas-batas baru sehingga negara ini dapat didorong maju dengan kekuatan dan semangat,” tambahnya.

    Mengakhiri postingannya dengan nada berwawasan ke depan, Anwar mengajak masyarakat untuk kembali ke Kuala Lumpur dalam waktu dekat, menyoroti upaya restorasi yang akan datang di situs-situs bersejarah seperti Gedung Sultan Abdul Samad.

    “Landmark-landmark ini sedang menjalani konservasi skala besar agar kita dapat meningkatkan pariwisata dan mendukung perekonomian di ibu kota, yang kaya akan nilai sejarah, harapan, dan semangat kebangsaan, terutama bertepatan dengan Tahun Kunjungan Malaysia 2026 yang akan datang,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 4

    (yld/fas)

  • Ribuan Demonstran Malaysia Turun ke Jalan, Tuntut Anwar Ibrahim Mundur

    Ribuan Demonstran Malaysia Turun ke Jalan, Tuntut Anwar Ibrahim Mundur

    Kuala Lumpur

    Ribuan warga Malaysia turun ke jalanan ibu kota Kuala Lumpur pada Sabtu (26/7) waktu setempat dalam aksi memprotes biaya hidup yang melonjak. Dalam aksinya, para demonstran juga menuntut Perdana Menteri (PM) Anwar Ibrahim, yang dianggap gagal memenuhi janji reformasi, untuk mundur dari jabatannya.

    Unjuk rasa yang diselenggarakan oleh partai-partai oposisi ini menandai aksi protes besar pertama di negara tersebut sejak Anwar naik ke tampuk kekuasaan setelah pemilu tahun 2022 lalu.

    Para demonstran, seperti dilansir AFP, Sabtu (26/7/2025), berkumpul di berbagai titik di sekitar pusat kota Kuala Lumpur sebelum berkumpul dalam jumlah besar di area Lapangan Merdeka pada Sabtu (26/7) waktu setempat.

    Sejumlah demonstran tampak membawa poster bertuliskan “Turun Anwar” saat para personel kepolisian secara ketat mengawasi jalannya aksi protes.

    “Dia (Anwar) telah memerintah negara ini selama tiga tahun dan belum memenuhi janji-janji yang dibuatnya,” kata salah satu demonstran, Fauzi Mahmud (35), yang datang dari Selangor.

    “Dia telah mengunjungi banyak negara untuk mendatangkan investasi, tetapi kami belum melihat apa pun,” ucapnya kepada AFP, merujuk pada kunjungan Anwar baru-baru ini ke luar negeri, seperti Rusia dan Eropa.

    “Biaya hidup masih tinggi,” ujar Fauzi yang seorang insinyur ini.

    Salah satu demonstran memakai ikat kepala bertuliskan “Turun Anwar” dalam unjuk rasa di Kuala Lumpur Foto: AFP/MOHD RASFAN

    Anwar ditunjuk sebagai PM Malaysia dengan tiket reformis dan berjanji untuk memberantas korupsi, nepotisme, dan kronisme dalam sistem politik yang terpecah belah di negara tersebut.

    Beberapa hari menjelang unjuk rasa, Anwar mengumumkan serangkaian langkah populis untuk mengatasi berbagai masalah dan keluhan rakyat. Salah satunya dengan memberikan bantuan uang tunai sebesar 100 Ringgit, setara Rp 387 ribu, kepada seluruh warga Malaysia yang berusia 18 tahun ke atas.

    Bantuan tunai itu akan dibayarkan satu kali, mulai 31 Agustus mendatang.

    Anwar juga mengumumkan bahwa sekitar 18 juta pengendara Malaysia akan memenuhi syarat untuk membeli bahan bakar yang disubsidi besar-besaran dengan harga 1,99 Ringgit (Rp 7.712) per liter, dibandingkan harga saat ini sebesar 2,05 Ringgit (Rp 7.944) per liter.

    Para analis politik menilai pengumuman itu sebagai langkah strategis untuk meredakan frustrasi publik yang semakin meningkat, dan mencegah orang-orang ikut dalam aksi protes pada Sabtu (26/7) ini.

    Namun, survei terbaru yang dilakukan Merdeka Centre for Opinion Research, lembaga independen yang berbasis di Malaysia, mendapati bahwa mayoritas pemilih Malaysia memberikan tingkat kepuasan positif sebesar 55 persen kepada Anwar. Alasannya antara lain meredanya gejolak politik dan upaya meningkatkan profil Malaysia melalui kepemimpinan di ASEAN tahun ini.

    Lihat juga Video: Bahas Blok Ambalat, Prabowo-Anwar Ibrahim Setuju Eksploitasi Bersama

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/dhn)

  • Kodam Kasuari sebut 49 persen OAP lulus seleksi calon Tamtama 2025

    Kodam Kasuari sebut 49 persen OAP lulus seleksi calon Tamtama 2025

    Manokwari (ANTARA) – Komando Daerah Militer (Kodam) XVIII/Kasuari menyebut sebanyak 263 orang atau 49 persen dari 542 calon Tamtama prajurit karir TNI AD gelombang II tahun 2025 merupakan putra orang asli Papua (OAP).

    Asisten Personel Kepala Staf Kodam XVIII/Kasuari Kolonel Gunnarto di Manokwari, Jumat, mengatakan jumlah kelulusan tersebut merupakan tertinggi sejak diterapkan kebijakan afirmasi otonomi khusus.

    Hal itu menjadi kebanggaan bagi Kodam XVIII/Kasuari dan seluruh masyarakat di Papua, sekaligus mencerminkan potensi generasi muda OAP mengabdi sebagai prajurit TNI AD.

    “Ini bukan sekadar angka statistik tapi harapan baru bagi masyarakat Bumi Kasuari (Papua Barat),” kata Gunnarto.

    Dia menyebut jumlah calon Tamtama OAP dinyatakan lulus pada tahap akhir sidang pemilihan tingkat pusat daerah (pantukhir sub panpus) terdiri atas 263 OAP dan 279 bukan OAP atau suku Nusantara.

    Keseluruhan calon Tamtama telah melewati proses seleksi yang panjang, dimulai dari seleksi administrasi, seleksi kesehatan, jasmani, mental ideologi, kepribadian, dan psikologi.

    “Artinya, putra asli Papua mampu bersaing dan tampil terbaik. Mereka layak menyandang predikat calon prajurit TNI AD,” ujarnya.

    Dia menjelaskan 460 orang calon Tamtama akan mengikuti pendidikan kecabangan Infanteri (Rindam XVIII/Kasuari), 40 orang pada kecabangan Zeni (Pusdik Zeni), dan 42 orang kecabangan Kesehatan (Pusdik Bekang).

    Keberhasilan calon Tamtama OAP diharapkan menjadi inspirasi bagi generasi muda lainnya di wilayah Papua Barat, sehingga jumlah kelulusan tahun-tahun mendatang lebih signifikan.

    “Semoga semakin banyak putra asli yang lolos dibanding bukan asli Papua,” ucap Gunnarto.

    Menurut dia, kelulusan calon Tamtama OAP tidak hanya membanggakan daerah, tetapi turut berkontribusi menjadi pelopor dalam mendorong kemajuan pembangunan Bumi Kasuari atau Papua Barat.

    Persentase kelulusan OAP bukti nyata Kodam XVIII/Kasuari tidak sekadar merekrut, tetapi membina, memberdayakan, dan mengangkat harkat masyarakat Papua dalam struktur pertahanan negara.

    “Mereka bukan hanya calon prajurit, tapi juga simbol harapan dan perubahan,” ujarnya.

    Salah satu orang tua calon Tamtama, Yance Dowansiba dari Suku Arfak mengapresiasi kebijakan afirmasi otonomi khusus yang diberlakukan dalam penerimaan prajurit TNI AD.

    Penyelenggaraan seleksi yang mengutamakan prinsip transparan, objektif, dan bebas dari praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) memberikan kesempatan bagi putra asli untuk bersaing.

    “TNI memberikan ruang dan kesempatan yang adil bagi putra terbaik Papua. Anak kami tidak dipungut biaya sepeserpun,” kata Yance.

    Pewarta: Fransiskus Salu Weking
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Anak Gubernur Kalsel Jadi Komisaris Bank, Denny: Alhamdulillah, Janji Gibran 19 Juta Lapangan Kerja Mulai Terpenuhi

    Anak Gubernur Kalsel Jadi Komisaris Bank, Denny: Alhamdulillah, Janji Gibran 19 Juta Lapangan Kerja Mulai Terpenuhi

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Pegiat media sosial, Denny Siregar memberikan sindiran keras Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) H. Muhidin.

    Hal ini berkaitan dengan empat anggota baru Dewan Komisaris Bank Kalsel untuk periode 2025–2030.

    Salah satu nama yang menyita perhatian adalah Hj. Karmila Muhidin, putri sulung Gubernur Muhidin, yang dilantik sebagai Komisaris Non Independen.

    Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, Denny Siregar memberikan sindirannya.

    Ia mengaku bersyukur karena satu lapangan kerja dari 19 juta yang dijanjikan sudah dilaksanakan.

    Ini juga merupakan sindiran untuk janji dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang menjanjikan 19 juta lapangan kerja.

    “Alhamdulillah, 1 lapangan pekerjaan dari 19 juta yang dijanjikan sudah tertunaikan..,” tulisnya dikutip Rabu (16/7/2025).

    Sebelumnya, Selain Hj. Karmila, sang adik Rahmah Hayati juga telah lebih dulu menduduki kursi Dewan Pengawas di RSUD Ulin Banjarmasin dua jabatan kunci di institusi penting milik Pemprov Kalsel, yang kini dikendalikan keluarga dekat Gubernur.

    Muhidin berdalih, penempatan anaknya sebagai bentuk “strategi koordinatif”, bukan nepotisme. “Kalau ada keluhan masyarakat, anak saya bisa langsung menyampaikan ke saya. Kalau orang lain mungkin sungkan,” ujar Muhidin saat merespons aksi damai dari kelompok masyarakat sipil, Sahabat Anti Kecurangan Bersatu (Sakutu), beberapa bulan lalu.

    (Erfyansyah/fajar)

  • Pertimbangan Hakim Jatuhkan Vonis Lebih Berat untuk Jaksa Azam

    Pertimbangan Hakim Jatuhkan Vonis Lebih Berat untuk Jaksa Azam

    Pertimbangan Hakim Jatuhkan Vonis Lebih Berat untuk Jaksa Azam
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Jaksa nonaktif Azam Akhmad Akhsya divonis tujuh tahun penjara oleh majelis hakim dalam kasus pemerasan korban
    investasi bodong
    . Vonis ini lebih berat dibanding tuntutan jaksa yakni empat tahun penjara.
    Berdasarkan informasi dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025), JPU mengajukan banding atas vonis hakim terhadap jaksa Azam.
    JPU menuntut jaksa Azam dengan empat tahun penjara, sedangkan majelis hakim memvonis lebih tinggi daripada tuntutan JPU yakni tujuh tahun penjara untuk Azam.
    “Dengan adanya permohonan banding dari JPU, maka putusan perkara Nomor 48/Pid.Sus TPK/2025/PN.Jkt.Pst belum berkekuatan hukum tetap,” kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Andi Saputra, dalam keterangannya hari ini.
    Andi mengatakan, permohonan banding diajukan JPU Alif Ardi Darmawan atas Putusan Nomor 48/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst. Banding diajukan pada Senin (10/7/2025) kemarin.
    Sebelumnya, JPU menuntut Azam empat tahun penjara serta membayar denda Rp 250 juta subsidair tiga bulan kurungan.
    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Azam Akhmad Aksya dengan hukuman penjara 4 tahun dikurangkan sepenuhnya dengan lamanya terdakwa ditahan,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025) lalu.
     
    Majelis hakim memvonis Azam lebih berat ketimbang tuntutan JPU karena majelis hakim menilai Azam bertindak aktif hingga menyusun rencana dengan matang.
    Majelis lalu menyimpulkan jaksa Azam terbukti memeras korban investasi bodong.
    Perbuatannya telah membuat masyarakat yang menjadi korban investasi bodong menjadi korban untuk kedua kalinya.
    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama tujuh tahun,” kata Ketua Majelis Hakim Sunoto dalam putusannya, Selasa (8/7/2025) lalu.
    Azam dinilai hakim telah terbukti memeras korban investasi bodong Robot Trading Fahrenheit Rp 11,7 miliar.
    Perbuatan Azam telah melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, sebagaimana dakwaan kesatu penuntut umum.
    Hal memberatkan terhadap terdakwa Azam yakni perbuatan Azam tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta melanggar sumpah jabatan sebagai jaksa.
    Kemudian, jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Barat itu dinilai telah menyalahgunakan kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan Agung sebagai benteng terakhir keadilan serta terdapat dampak menciptakan preseden buruk dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
    Majelis hakim juga tidak ingin perbuatan serupa terulang, sehingga hukuman empat tahun penjara seperti yang dituntut JPU tidaklah cukup.
    “Menimbang bahwa keempat tujuan pemidanaan tersebut tidak akan tercapai dengan pidana 4 tahun sebagaimana tuntutan penuntut umum, terutama aspek pencegahan umum yang sangat krusial mengingat maraknya praktik korupsi dalam penanganan perkara investasi bodong yang merugikan masyarakat,” kata Hakim Sunoto.
    Hal yang meringankan adalah Azam belum pernah dihukum sebelumya, mengembalikan seluruh uang yang diterimanya kepada negara, sopan serta kooperatif selama persidangan, dan menyesali perbuatannya.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.