Habis Nepal Terbitlah Perancis dan Pelajaran bagi Indonesia
Maheswara (Pengajar Utama) Pancasila, Pemerhati Hubungan Internasional dan Perlindungan WNI
UNGKAPAN
“Habis Nepal Terbitlah Perancis” belakangan muncul di media sosial Indonesia untuk menggambarkan rentetan kerusuhan besar di dua negara berbeda.
Ungkapan ini jelas diadaptasi dari judul buku legendaris R.A. Kartini
Habis Gelap Terbitlah Terang
, tetapi dipelintir menjadi semacam satire politik.
Sekilas, analogi itu memang terasa pas. Nepal dan Perancis sama-sama diguncang gelombang kemarahan rakyat terhadap penguasa.
Di Nepal, generasi muda turun ke jalan karena merasa kebebasan mereka dibungkam dan masa depan dicurangi oleh praktik korupsi serta nepotisme.
Di Perancis, ribuan orang memenuhi jalanan Paris dan kota-kota lain dalam aksi nasional “Bloquons tout” atau “Block Everything”, menolak kebijakan penghematan yang dianggap membebani rakyat kecil.
Namun jika ditelaah lebih dalam, jelas terlihat perbedaan fundamental antara keduanya.
Kerusuhan di Nepal dipicu larangan penggunaan media sosial, yang oleh publik dianggap membungkam kebebasan berekspresi.
Ditambah lagi, maraknya kasus korupsi dan nepotisme membuat generasi muda, terutama Gen Z, kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
Mereka tidak sekadar menuntut perbaikan ekonomi, tetapi juga menginginkan reformasi politik yang lebih mendasar. Tindakan represif aparat justru memperburuk keadaan, menjadikan jalanan Kathmandu dan kota-kota lain medan bentrokan berkepanjangan.
Sementara di Perancis, gelombang protes 10 September 2025, yang dikenal dengan
Bloquons tout
berakar dari persoalan ekonomi dan sosial yang sangat spesifik, yaitu rencana anggaran 2026.
Pemerintahan Perdana Menteri François Bayrou, yang akhirnya tumbang akibat tekanan publik dan parlemen, mengusulkan pemangkasan anggaran 44 miliar euro, penghapusan dua hari libur nasional, pembekuan kenaikan pensiun, dan pemangkasan dana kesehatan.
Di tengah biaya hidup yang kian mencekik, kebijakan ini dipandang sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang tidak memahami penderitaan rakyat.
Dari sini tampak jelas bahwa perlawanan di Perancis bukanlah tuntutan revolusi total seperti di Nepal.
Bloquons tout
lebih merupakan gerakan penolakan kebijakan domestik, walau tuntutan “Macron mundur” bergema keras.
Seruan itu bersifat simbolis sekaligus konkret. Simbolik sebagai bentuk penolakan terhadap ketidakpekaan elite politik, konkret sebagai desakan agar presiden bertanggung jawab atas kebijakan yang dinilai menambah beban rakyat.
Maka, mengaitkan peristiwa Nepal dan Perancis dalam satu ungkapan “Habis Nepal Terbitlah Prancis” sebenarnya terlalu menyederhanakan realitas.
Memang ada kesamaan wajah, yaitu adanya tuntutan rakyat akan perubahan, penguasa dianggap gagal mendengar suara bawah. Namun, rohnya berbeda.
Di Nepal, krisis berakar pada keruntuhan legitimasi politik akibat korupsi, represi, dan hilangnya ruang kebebasan. Di Perancis, krisis muncul dari kebijakan ekonomi yang dianggap tidak adil di tengah tekanan hidup yang makin berat.
Walau ada perbedaan, namun kedua peristiwa ini memberi satu pelajaran penting, yaitu legitimasi politik tidak hanya ditentukan oleh prosedur formal seperti pemilu, tetapi juga oleh rasa keadilan sosial yang dirasakan di tanah rakyat.
Sebab sekali keadilan itu dianggap hilang, rakyat tidak segan mengubah jalan raya menjadi panggung perlawanan.
Nepal adalah cermin frustrasi generasi muda terhadap masa depan yang dikunci rapat oleh oligarki dan nepotisme.
Sementara Perancis adalah peringatan bahwa negara demokrasi mapan pun bisa goyah ketika pemerintah mengabaikan sensitivitas sosial-ekonomi warganya.
Membaca peristiwa yang terjadi di Nepal dan Perancis, terdapat pelajaran penting bagi Indonesia, yaitu negara ini juga tidak kebal dari dinamika semacam ini.
Jangan menganggap bahwa demokrasi elektoral dan stabilitas politik sudah cukup menjadi “jaminan keamanan”.
Pengalaman Nepal dan Perancis menunjukkan bahwa stabilitas hanya bertahan sejauh rakyat merasakan keadilan sosial, ruang kebebasan tetap terbuka, dan kebijakan ekonomi berpihak pada mereka yang paling rentan.
Oleh karena itu, ada beberapa catatan penting yang perlu dilakukan Indonesia.
Pertama, menjaga ruang kebebasan berekspresi. Di era digital, generasi muda memandang kebebasan bersuara sebagai bagian dari hak hidup. Membungkam suara justru menyalakan api perlawanan.
Kedua, melawan korupsi dan nepotisme. Apa yang terjadi di Nepal menjadi alarm keras. Generasi muda bisa kehilangan kepercayaan total bila melihat kekuasaan hanya berputar di lingkaran yang sama. Sekali kepercayaan runtuh, sangat sulit membangunnya kembali.
Ketiga, peka terhadap keadilan sosial-ekonomi. Kasus Perancis memberi pelajaran bahwa rakyat di negara demokrasi mapan pun bisa marah jika merasa terbebani oleh kebijakan ekonomi yang dianggap tidak adil.
Indonesia, dengan tantangan inflasi, harga pangan, dan lapangan kerja, harus ekstra hati-hati. Kebijakan ekonomi yang tidak memperhatikan rasa keadilan hanya akan memperlebar jurang ketidakpuasan.
Keempat, legitimasi politik tidak berhenti di pemilu, tetapi setiap hari diuji oleh kebijakan yang diambil. Pemimpin yang abai bisa kehilangan kepercayaan bahkan sebelum masa jabatannya usai.
Akhirnya, ungkapan “Habis Nepal Terbitlah Perancis” mungkin rapuh sebagai analisis, tetapi cukup kuat sebagai peringatan.
Ungkapan ini mengingatkan bahwa suara rakyat bisa datang tiba-tiba, dengan cara yang mengejutkan, bahkan di negara yang dianggap stabil sekalipun.
Bagi Indonesia, pelajaran ini seharusnya jelas, yaitu jangan pernah bermain-main dengan rasa keadilan sosial dan jangan jadikan keadilan sosial sebagai anak tiri.
Sebab begitu rakyat merasa kehilangan keadilan, tak ada pagar kekuasaan yang cukup kokoh untuk menahan derasnya gelombang perlawanan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: nepotisme
-
/data/photo/2025/09/09/68bff05020847.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Habis Nepal Terbitlah Perancis dan Pelajaran bagi Indonesia Nasional
-

Ini Nepo Baby-Nepo Kids yang Jadi Sebab Demo Chaos Nepal, Siapa Saja?
Jakarta, CNBC Indonesia – Nepal dilanda kekacauan (chaos). Demonstrasi terjadi sejak Senin dan membuat pemerintahan tumbang, dengan pengunduran diri Khadga Prasad Sharma Oli, yang sudah empat kali menjabat sebagai Perdana Menteri (PM).
Pembakaran dilakukan massa setelah pemberitaan 19 orang tewas akibat tindakan regresif aparat. Bukan hanya gedung parlemen, rumah para pejabat, juga tak luput dari amukan massa.
Dalam sebuah video, mengutip laman India NTDV, terlihat bagaimana menteri keuangan dipersekusi di jalanan, hingga ditelanjangi. Menteri Luar Negeri Nepal juga menjadi korban pemukulan.
Foto: Asap mengepul dari Mahkamah Agung Nepal setelah dibakar oleh orang-orang selama protes terhadap pembunuhan 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Navesh Chitrakar)
Sebenarnya, protes massa yang diinisiasi Generasi Z (Gen Z) itu, berawal dari kekecewaan massa akan penutupan 26 aplikasi media sosial (medsos) di negara itu. Ini diartikan warga sebagai bentuk “pengekangan akan demokrasi”.
Namun kekecewaan karena elite yang korup, minimnya pekerjaan di dalam negeri serta nepotisme keluarga pejabat makin membakar demonstrasi. Dari semua penyebab demo, sebenarnya nepotisme di kalangan keluarga pejabat paling menarik sorotan.
Istilah “nepo baby” atau “nepo kids” menjadi viral di Nepal, merujuk anak-anak petinggi negara yang mendapatkan keistimewaan. Kebencian warga makin tinggi akibat mudahnya mereka mendapat pekerjaan di dalam negeri- menempati posisi tinggi, atau masuk ke parlemen- sementara warga Nepal biasa, sangat sulit mendapatkan pekerjaan hanya untuk mencari roti, makanan utama negeri itu.
Tingkah laku suka memamerkan kekayaan juga menjadi masalah lain. Flexing di medsos yang dilakukan para nepo baby dan nepo kids yang masih berusia muda, membuat kecemburuan sosial Generasi Z Nepal lain meningkat.
Lalu siapa mereka?
Merujuk laman India, News 18, ada beberapa nepo baby dan nepo kids, yang menjadi sasaran kemarahan. Rata-rata mereka adalah “pewaris politik”.
Pertama adalah Shrinkhala Khatiwada (29). Ia adalah putri mantan menteri kesehatan Birodh Khatiwada, yang rumah keluarganya dibakar setelah perjalanan mewahnya menjadi viral.
Foto: Shrinkhala Khatiwada. (Instagram/shrinkhala_)
Kedua Shivana Shrestha. Ia adalah menantu mantan PM Nepal Sher Bahadur Deuba.
“Ia dituduh bersama suaminya memamerkan kekayaan “senilai crore (miliaran)”,” tulis laman itu.
Foto: Shivana Shrestha. (Facebook/Shivana Shrestha)
Ada pula Smita Dahal, cucu mantan PM Nepal Pushpa Kamal Dahal “Prachanda”. Ia dikritik karena memamerkan tas tangan mahal.
Foto: Smita Dahal. (Tangkapan Layar Tiktok/@pratapdasnt)
Lalu Saugat Thapa, putra Menteri Hukum Nepal Bindu Kumar Thapa. Ia dicap secara daring sebagai simbol kemewahan.
Foto: Saugat Thapa. (Facebook/Saugat Thapa)
“Para pengunjuk rasa mengatakan bahwa sementara masyarakat umum hidup dalam kemiskinan, anak-anak nepo ini mengenakan pakaian senilai jutaan dolar,” muat laman itu lagi memuat kecaman warga.
Perlu diketahui, ekonomi Nepal di setengah tahun 2025 diketahui tumbuh dengan PDB 4,9%. Namun 83% warga bekerja di sektor informal.
Negara itu juga bergantung pda remitansi, pengiriman uang dari tenaga kerja di luar negeri ke dalam, dengan posisi terbesar ke-4 dunia berdasar data World Bank (Bank Dunia). Penutupan media sosial membuat warga sulit menghubungi sanak keluarga di luar negeri.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
-

3 Faktor Penyebab Demo Chaos Nepal yang Buat Pemerintahan Kolaps
Jakarta, CNBC Indonesia– Demonstrasi berujung aksi kekerasan dan anarkisme pecah di Nepal. Sejak Senin, negeri itu dilanda kekacauan, yang membuat pemerintahan kolaps.
Pada awalnya, pemuda Nepal yang sangat melek digital, harus menerima kenyataan pahit bagaimana pemerintah yang dikuasai Partai Komunis mencoba mengekang akses ke 26 aplikasi media sosial, termasuk Facebook dan X. Keputusan yang dibuat pemerintah sejak Kamis pekan lalu itu, menjadi trigger awal kemarahan warga, yang didominasi Generasi Z.
Belum lagi banyaknya pengangguran dan terbatasnya kesempatan kerja. Ketidakstabilan politik, korupsi dan lambatnya pembangunan ekonomi negeri Himalaya itu jadi soal lain.
Sayangnya di tengah situasi sulit, pejabat dan keluarganya tak bisa berempati. Flexing kekayaan baik di muka umum atau media sosial menjadi masalah lain yang memicu warga semakin marah.
Berikut penjelasan lengkap faktor penyebab demo chaos di Nepal membuat pemerintahannya kini runtuh, dirangkum CNBC Indonesia Kamis (11/9/2025).
Kesulitan Ekonomi
Sebenarnya Nepal adalah negara yang sakit secara ekonomi. Ini terlihat dari beberapa indikator.
World Bank (Bank Dunia) mengatakan bahwa 82% tenaga kerja Nepal ternyata berada di sektor informal.
Data ini mengejutkan sebagai sebuah negara, di mana data pekerja informal tersebut jauh lebih tinggi daripada rata-rata global dan regional.Sulitnya pekerjaan ini pun menjadi jawaban mengapa remitansi sangat penting bagi perekonomian Nepal, setara dengan sepertiga PDB negara itu tahun lalu dan merupakan tingkat tertinggi keempat di dunia. Remitansi sendiri adalah transfer uang yang dilakukan pekerja asing ke penerima di negara asalnya.
Media sosial, yang coba dikekang pemerintah, adalah alat utama untuk tetap berhubungan dengan kerabat di luar negeri itu. Sehingga kekhawatiran berlebih muncul saat pemerintah memberlakukan kebijakan yang kontra media sosial.
“Ketergantungan Nepal pada remitansi… telah menjadi pusat pertumbuhan negara tetapi belum menghasilkan lapangan kerja berkualitas di dalam negeri, yang memperkuat siklus hilangnya kesempatan dan berlanjutnya kepergian banyak warga Nepal ke luar negeri untuk mencari pekerjaan,” kata Bank Dunia dalam laporan negara terbarunya.
Sebenarnya merujuk data paruh pertama 2025, perekonomian Nepal cenderung membaik. PDB riil tumbuh 4,9% dari 4,3% di periode yang sama 2024.
Dua sektor menjadi pendorong utama. Yakni pertanian dan perindustrian.
Namun, perlu diketahui Nepal menggelompokkan kaum mudanya pada mereka yang berusia 16-40 tahun. Mereka mencapai 43% dari populasi atau 12 juta orang.
“Dengan sekitar 500.000 kaum muda memasuki dunia kerja setiap tahun di Nepal, urgensi untuk menciptakan lapangan kerja yang mengangkat keluarga keluar dari kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting,” kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Selatan, Johannes Zutt.
Foto: REUTERS/Stringer
Sejumlah pendemo di Nepal berhasil merampas senjata laras panjang milik aparat kepolisian dan militer saat demonstrasi yang berujung kerciuhan. (REUTERS/Bikram Rai)Foto: Seorang tentara Nepal berjaga-jaga saat tim tentara mencoba memadamkan api di gedung Parlemen, menyusul tewasnya 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, di Kathmandu, Nepal, 10 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)
Korupsi
Mengutip AFP, korupsi juga jadi hal lain yang membuat demonstrasi besar-besaran. Kelompok hak asasi manusia (HAM) Transparency International menempatkan Nepal di peringkat 107 dari 180 negara.
Ini dibuktikan dengan vitalnya video yang yang membandingkan perjuangan rakyat biasa Nepal dengan anak-anak politisi yang memamerkan barang-barang mewah dan liburan mahal telah menjadi viral di TikTok. Salah seorang warga bernama Puja Manni (23), yang pernah bekerja di luar negeri mengatakan ekses elit penguasa telah “terungkap melalui media sosial”.
Ini pun juga menjadi hal lain yang memicu ketidakpuasan anak muda pada para pemimpin yang telah berkuasa puluhan tahun. Perlu diketahui, negara ini menjadi republik federal pada tahun 2008 setelah perang saudara selama satu dekade dan kesepakatan damai yang membawa kaum Maois ke dalam pemerintahan dan menghapuskan monarki.
Sejak saat itu, pergantian perdana menteri (PM) yang menua menjadi budaya tawar-menawar antar elit. Ini telah memicu persepsi publik bahwa pemerintah tidak peka pada warga.
Foto: Asap mengepul setelah demonstran membakar gerbang utama Parlemen, selama protes terhadap pembunuhan 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)
Ketakutan akan Hilangnya Hak
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nepal memperingatkan bahwa larangan media sosial merusak semangat pemerintahan demokratis. Hal ini setidaknya dikatakan Santosh Sigdel, dari Digital Rights Nepal.
“Ini jalan yang licin,” ujarnya memberi kiasan.
Sementara Kathmandu Post mengatakan larangan tersebut menyentuh “saraf yang sensitif” terutama di “kalangan pemuda yang marah”.
“Mereka menggunakan platform ini untuk melampiaskan rasa frustrasi yang terpendam, terhubung dengan teman, dan tetap terhubung dengan dunia,” tulis surat kabar tersebut, yang kantornya dibakar massa pada hari Selasa.
“Mereka sudah gelisah, muak dengan sistem kesehatan dan pendidikan negara yang menyedihkan, serta korupsi dan nepotisme yang merajalela, sedemikian rupa sehingga banyak dari mereka tidak melihat masa depan di negara ini.”
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
-

Nepal Chaos Demo Gen Z, China Beri Warning ke Warganya
Jakarta, CNBC Indonesia – China pada hari Rabu (10/9/2025) mendesak warganya di Nepal untuk memberi perhatian penuh pada keselamatan. Hal ini dikeluarkan setelah para pengunjuk rasa membakar gedung parlemen dan memaksa perdana menteri untuk mundur dalam kekerasan terburuk yang melanda negara Himalaya itu dalam dua dekade terakhir.
Dalam sebuah pernyataan, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian mengatakan bahwa Beijing tidak akan mengganggu hak Kathmandu untuk memulihkan ketertiban dalam negeri.
“Diharapkan agar semua sektor di Nepal dapat menangani masalah dalam negeri dengan baik dan segera memulihkan ketertiban sosial dan stabilitas nasional. China telah mengingatkan warganya di Nepal untuk memberi perhatian penuh pada keselamatan,” kata Jian dalam konferensi pers rutin.
Unjuk rasa massal yang mengguncang Nepal pada awal September 2025 dipicu oleh keputusan pemerintah untuk memblokir puluhan platform media sosial populer seperti Facebook, X, dan YouTube. Pemerintah beralasan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak mendaftar dan mematuhi peraturan yang baru.
Namun, para kritikus dan aktivis hak asasi manusia mengecam langkah ini sebagai upaya pemerintah untuk membungkam kebebasan berpendapat dan membatasi perbedaan pendapat. Gerakan protes ini dipimpin oleh “Gen Z” atau generasi muda Nepal yang terorganisir melalui media sosial, yang juga menyoroti masalah korupsi dan nepotisme yang telah lama mengakar di kalangan elit politik negara itu.
Kemarahan publik memuncak setelah 19 orang tewas dalam bentrokan dengan polisi pada hari Senin, 8 September 2025. Protes yang semula damai berubah menjadi kekerasan ketika pengunjuk rasa berusaha menyerbu gedung parlemen. Polisi menggunakan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam untuk membubarkan massa, yang menyebabkan banyak korban jiwa. Kematian para demonstran ini semakin menyulut kemarahan dan mendorong lebih banyak orang turun ke jalan.
Sebagai tanggapan atas gelombang protes dan kekerasan yang semakin meluas, Perdana Menteri K.P. Sharma Oli mengundurkan diri pada hari Selasa, 9 September 2025. Pengunduran diri ini terjadi setelah menteri dalam negeri dan menteri pertaniannya juga mundur, mengambil “tanggung jawab moral” atas pertumpahan darah yang terjadi. Pengunduran diri Oli, yang menjabat untuk keempat kalinya, menandai titik balik signifikan dalam krisis politik Nepal.
Di tengah kekacauan, pengunjuk rasa melakukan pembakaran terhadap gedung-gedung pemerintah dan kediaman para politikus senior. Mereka membakar gedung parlemen, Mahkamah Agung, dan rumah-rumah milik Perdana Menteri Oli, mantan perdana menteri, dan pejabat lainnya.
Pembakaran ini menunjukkan luapan kemarahan publik terhadap sistem politik yang mereka anggap korup dan tidak peka. Sementara itu, pasukan militer dikerahkan untuk membantu memulihkan ketertiban, dan beberapa menteri harus dievakuasi dengan helikopter dari rumah mereka yang terkepung.
(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
-
/data/photo/2025/09/05/68ba94e1f1d1c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Peran Wakil Presiden yang Mengecil, Menteri yang Membesar Nasional
Peran Wakil Presiden yang Mengecil, Menteri yang Membesar
Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka
DI PANGGUNG
global, nama Indonesia digaungkan oleh seorang menteri. Sementara di panggung lokal, wakil presidennya membagi gula dan kopi ke warga ronda.
Konstitusi mungkin tidak berubah, tapi praktik kekuasaan jelas sedang diputarbalikkan, potret yang anomali.
Menjadi pemandangan politik yang cukup ironis dalam pemerintahan hari ini. Publik seperti atau seolah menyaksikan “wakil presiden yang tertukar”.
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang sebenarnya hanya Menteri Koordinator, justru tampil di forum internasional strategis: Forum Urbanisasi BRICS ke-4 di Brasil, akhir Juni lalu.
Ia berpidato tentang kota berkelanjutan, perumahan layak, hingga adaptasi perubahan iklim—isu global yang biasanya jadi panggung presiden atau wakil presiden.
Kehadirannya di forum sebesar itu tentu menimbulkan tafsir politik: mengapa AHY yang tampil, bukan Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Republik Indonesia saat ini?
Sebaliknya, Gibran justru tampak sibuk dengan agenda-agenda yang relatif kecil. Awal September lalu, ia berkeliling Jakarta, meninjau pos ronda, membagi senter, kopi, dan gula kepada warga yang berjaga atau ronda malam.
Memang, secara simbolik kegiatan itu bisa dibaca sebagai upaya mendekatkan diri dengan rakyat. Namun, dalam hierarki kenegaraan, seorang wakil presiden mengurusi pos ronda jelas menimbulkan pertanyaan serius pada khalayak.
Kontras ini tidak berhenti di situ. Presiden Prabowo Subianto bahkan secara terbuka memuji AHY di panggung internasional.
Dalam sambutan penutupan International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 di Jakarta, Prabowo menyebut AHY sebagai sosok yang mampu menerjemahkan arahannya dengan baik dalam pembangunan infrastruktur.
Ia menilai AHY tanggap, tidak perlu banyak instruksi, dan berhasil membawa Indonesia berbicara dengan bahasa visi besar di hadapan dunia atau mimbar internasional.
Bahkan, Prabowo menekankan pentingnya memilih “tim terbaik”, dan di hadapan ribuan peserta dari puluhan negara, ia menilai AHY berhasil memainkan peran itu.
Pujian seperti ini jarang sekali dilontarkan presiden kepada menterinya, termasuk untuk wapres Gibran—dan ketika itu terjadi, publik tentu membaca ada makna atau pesan politik di baliknya.
AHY sendiri turut menegaskan pembangunan infrastruktur di bawah kepemimpinan Prabowo kini berorientasi pada keberlanjutan, keadilan, dan kemakmuran jangka panjang.
Ia bicara lantang dan fasih soal kolaborasi global, menyebut dukungan World Bank, ADB, dan IFC sebagai bukti dunia menghormati Indonesia.
Sekali lagi, peran ini biasanya dimainkan atau domain presiden atau wakil presiden.
Fakta lain memperkuat kesan itu. Akhir Agustus lalu, ketika Presiden Prabowo harus memilih siapa yang mewakilinya dalam misi diplomatik ke China, pilihannya jatuh pada AHY, bukan Gibran.
Keputusan ini kembali memicu spekulasi atau pertanyaan publik: mengapa wakil presiden justru tidak dipercaya atau diberikan kesempatan menjalankan agenda strategis luar negeri?
Di saat AHY menjalankan misi kenegaraan di Beijing, Gibran malah menerima perwakilan pengemudi ojek online di Istana Wapres.
Agenda ini tentu penting dalam perspektif sosial, apalagi ia berjanji mengawal kasus kematian Affan Kurniawan, driver ojol yang tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob saat unjuk rasa.
Namun, dibanding diplomasi internasional, pertemuan semacam itu membuat publik makin melihat jurang perbedaan antara panggung politik yang dimiliki AHY dan Gibran.
Sepulang dari Beijing, AHY langsung melaporkan hasil kunjungannya kepada Presiden Prabowo di Istana. Sementara Gibran tetap tenggelam dalam agenda-agenda domestik yang relatif kecil.
Kontras peran ini melahirkan persepsi publik yang sulit ditepis. Seolah AHY yang sesungguhnya menjalankan fungsi kenegaraan tingkat tinggi, sementara Gibran sekadar mengisi ruang kosong dengan aktivitas seremonial.
Tentu pemerintah bisa berkilah. AHY hadir di Brasil dan Beijing dalam kapasitasnya sebagai Menko yang membidangi infrastruktur dan tata kota.
Sedangkan Gibran meninjau pos ronda atau bertemu driver ojol sebagai bagian dari fungsi menjaga stabilitas sosial yang lagi riskan.
Namun, publik tidak membaca politik sebatas administrasi atau prosedural. Yang mereka tangkap adalah simbol, kesan, dan persepsi.
Dan bila ditelisik kesan yang muncul hari ini amat kuat dan jelas: panggung besar diberikan kepada AHY, sementara Gibran lebih sering tampil dalam peran-peran kecil.
Ini ironis, mengingat Gibran menempati jabatan politik tertinggi kedua atau boleh disebut orang nomor dua di republik ini.
Posisi yang dalam sejarah selalu diasosiasikan dengan kapasitas kenegaraan—dari Mohammad Hatta, Adam Malik, hingga Jusuf Kalla. Kini, jabatan itu justru dipersepsikan “dikecilkan” hanya menjadi simbol seremonial, tanpa membawa narasi.
Konteks politik juga memperburuk keadaan. Gibran sejak awal dipandang sarat kontroversi—mulai dari revisi mendadak aturan usia calon, tudingan nepotisme, hingga gugatan soal legitimasi.
Maka, ketika ia tampak “dipinggirkan” dari agenda strategis, kecurigaan publik kian menguat bahwa ia memang tidak disiapkan untuk benar-benar menjalankan fungsi kenegaraan sesuai kapasitas.
Sementara AHY, yang secara politik merupakan representasi Partai Demokrat dan bagian dari konsolidasi pemerintahan, justru diberi ruang yang luas dan lebar di panggung internasional.
Dalam jangka panjang, ini bisa memperkuat citra AHY sebagai figur kenegaraan berkelas global, sekaligus menempatkan Gibran sekadar sebagai wakil presiden yang tidak menjalankan peran substansial, nir proporsional.
Pertanyaan kemudian adalah, apakah ini terjadi secara kebetulan? Ataukah memang merupakan strategi politik yang sengaja dirancang?
Apapun jawabannya, publik berhak bertanya: apakah konstitusi yang menempatkan wakil presiden sebagai posisi penting dalam negara benar-benar dijalankan, ataukah kita sedang menyaksikan praktik politik yang hanya menjadikan jabatan wakil presiden sekadar pelengkap dinasti?
Pada akhirnya, politik adalah soal persepsi. Dan persepsi yang kini menguat adalah kita sedang menyaksikan anomali: seorang menteri tampil layaknya wakil presiden, sementara wakil presiden sendiri sibuk mengurus pos ronda.
Pertanyaan selanjutnya: sampai kapan demokrasi kita akan membiarkan ironi ini? Apakah bangsa sebesar Indonesia rela mengerdilkan jabatan wakil presiden hanya menjadi pajangan politik?
Atau akankah publik harus menuntut agar jabatan itu dikembalikan ke marwah aslinya: posisi terhormat yang benar-benar menjalankan mandat konstitusi, bukan sekadar simbol dinasti?
Apa jadinya bila jabatan wakil presiden—kursi politik tertinggi kedua di republik ini—lebih sibuk mengurusi senter dan kopi di pos ronda, ketimbang berbicara di forum dunia?
Sementara seorang menteri justru tampil gagah di forum internasional yang bergengsi. Jika ini bukan ironi politik, lalu apa namanya?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Jangan lelah dan jangan putus asa mencintai Indonesia
Jakarta (ANTARA) – Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam akun Facebook-nya menuliskan,”Tetap Jangan Lelah Mencintai Indonesia”. Sementara itu beberapa pengguna media sosial menggunakan ungkapan berbeda: “Jangan putus asa mencintai Indonesia”.
Kedua ungkapan yang bermunculan di berbagai platform media sosial ini berbeda, tapi saling melengkapi dalam menyikapi situasi dan kondisi Indonesia, akhir-akhir ini.
Mencintai Indonesia hari ini tampaknya bukan perkara mudah. Demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini kerap dirasakan hanya sebagai ritual prosedural.
Pemilu sering direduksi menjadi perebutan kekuasaan, bukan perebutan gagasan. Politik uang masih terasa, nepotisme dan korupsi masih terus terjadi.
Sementara itu, hukum terasa masih timpang, kesenjangan sosial-ekonomi kian melebar. Dalam situasi seperti ini, wajar bila banyak orang merasa lelah, bahkan putus asa.
Namun, di tengah kelelahan dan keputusasaan itu, dua ajakan yang diungkapkan tokoh-tokoh publik dan masyarakat bisa menjadi pegangan moral kita: “Jangan lelah mencintai Indonesia” dan “Jangan putus asa mencintai Indonesia.” Meski mirip, keduanya memiliki makna yang berbeda dan saling melengkapi.
“Jangan lelah” adalah seruan agar kita tetap tekun dalam tindakan sehari-hari. Cinta pada Tanah Air bukan sekadar kata-kata, melainkan kerja nyata yang sering kali melelahkan.
Guru yang tetap mengajar meski gaji pas-pasan, tenaga kesehatan yang melayani masyarakat di pelosok, warga kampung yang gotong royong menjaga kebersihan lingkungan, itulah wujud cinta yang tidak boleh berhenti.
Filsuf politik Hannah Arendt pernah menekankan bahwa manusia sungguh hadir di dunia melalui tindakan (vita activa). Politik, dalam makna sejati, bukan hanya urusan parlemen atau istana, melainkan ruang tindakan bersama, ruang publik tempat warga hadir sebagai pelaku, bukan sekadar penonton.
Karena itu, jangan lelah, berarti jangan berhenti bertindak. Sebab, ketika warga berhenti, ruang publik menjadi kosong. Dan kosongnya ruang publik berarti kematian demokrasi.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

26 Medsos yang Sempat Diblokir di Nepal hingga Picu Ricuh, Instagram-YouTube Cs
Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah Nepal sempat melakukan pemblokiran terhadap 26 platform media sosial. Larangan tersebut kini telah dicabut lantaran memicu demonstrasi besar-besaran di sana.
Adapun daftar media sosial tersebut antara lain Facebook, Messenger, Instagram, YouTube, WhatsApp, X (sebelumnya Twitter), LinkedIn, Snapchat, Reddit, Discord, Pinterest, Signal, Threads, WeChat, Quora, Tumblr, Clubhouse, Mastodon, Rumble, VK, Line, IMO, Zalo, Soul, Hamo Patro, dan BeReal.
Menurut laporan Kathmandu Post, Rabu (10/9/2025) pemblokiran tersebut awalnya dilakukan karena sejumlah platform besar tidak mematuhi kewajiban registrasi dengan pemerintah.
Tenggat waktu pendaftaran selama tujuh hari telah berakhir pada pekan lalu.
Perdana Menteri Nepal KP Sharma Oli yang kini telah mundur dari jabatannya, menekankan langkah tersebut bukan soal sensor, melainkan masalah kedaulatan dan penegakan hukum.
“Kemandirian bangsa lebih penting daripada kehilangan pekerjaan segelintir orang. Tidak bisa diterima jika ada pihak yang melawan hukum, mengabaikan konstitusi, dan meremehkan martabat serta kedaulatan negara,” kata Oli dikutip dari laman The Economic Times.
Tidak semua platform terkena dampak larangan. Beberapa aplikasi masih beroperasi karena telah memenuhi aturan registrasi, seperti halnya Viber, TikTok, Wetalk, hingga Nimbuzz.
Sementara itu, Telegram dan Global Diary sedang dalam proses pendaftaran dan berpotensi segera kembali tersedia secara resmi.
Pemerintah berdalih sudah sejak lama meminta perusahaan media sosial mendirikan entitas hukum di Nepal. Namun, kritik menyebut pemblokiran ini terlalu tergesa-gesa, apalagi rancangan undang-undang yang menjadi dasar kebijakan Operation, Use, and Regulation of Social Media in Nepal belum disahkan oleh parlemen.
Sebelumnya, Nepal diguncang gelombang protes besar yang menyebabkan belasan orang tewas dan memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur dari jabatannya.
Aksi ini dipicu protes pemblokiran media sosial, namun itu hanya sebagai pemicu. Alasan utama gelombang protes ini mirip dengan demonstrasi besar di Indonesia beberapa waktu lalu, yakni ketidakpuasan terhadap pemerintah dan maraknya korupsi di Nepal.
Pemerintah Nepal pekan lalu memutuskan memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Alasannya, untuk menekan penyalahgunaan platform digital seperti penyebaran ujaran kebencian, hoaks, hingga kejahatan siber. Namun, kebijakan itu justru menyulut kemarahan publik, khususnya generasi muda.
Sekitar 90% dari 30 juta penduduk Nepal terhubung dengan internet, sehingga pemblokiran tersebut dinilai membatasi ruang berekspresi dan menambah daftar panjang kekecewaan publik atas maraknya korupsi serta terbatasnya lapangan kerja.
Kritikus menilai kebijakan itu bukan sekadar soal regulasi, melainkan upaya membungkam kampanye antikorupsi yang kian menguat. Walau larangan tersebut dicabut pada Senin malam, amarah massa terlanjur meledak.
Senin lalu, bentrokan pecah di Kathmandu dan sejumlah kota lain. Polisi menembakkan gas air mata, meriam air, hingga peluru karet untuk membubarkan ribuan pengunjuk rasa. Sedikitnya 19 orang tewas dalam satu hari, dan jumlah korban jiwa meningkat menjadi 22 orang pada Selasa. Sejumlah demonstran berhasil menembus pagar gedung parlemen, memaksa aparat memberlakukan jam malam di sekitar pusat pemerintahan.
Gelombang aksi tak berhenti. Selasa, massa membakar gedung parlemen di Kathmandu, markas partai politik, serta rumah beberapa tokoh, termasuk mantan perdana menteri Sher Bahadur Deuba. Laporan menyebutkan tiga orang tambahan tewas dan puluhan lainnya terluka. Rumah sakit kewalahan menangani korban dengan luka tembak dan cedera akibat peluru karet.
Panglima Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, menyatakan bahwa demonstran telah melakukan penjarahan dan pembakaran, serta memperingatkan bahwa semua institusi keamanan, termasuk militer, siap turun tangan penuh jika kerusuhan berlanjut.
Meski begitu, ia juga menyerukan dialog dengan para pengunjuk rasa sebagai jalan menuju penyelesaian politik atas krisis terburuk Nepal dalam beberapa dekade terakhir.
Pemblokiran Medsos Bukan Isu Utama
Kerusuhan besar di Nepal tidak semata-mata dipicu oleh pemblokiran media sosial. Melansir India Times, salah satu unggahan panjang di platform Reddit yang ditulis oleh seorang warga Nepal mengungkap bahwa larangan itu hanyalah pemicu dari ketidakpuasan yang jauh lebih dalam atas praktik korupsi, nepotisme, dan jurang ketidaksetaraan ekonomi.
Menurut unggahan tersebut, pemerintah beralasan bahwa pembatasan akses berkaitan dengan masalah pajak dan registrasi. Namun, dugaan sebenarnya adalah upaya penyensoran, yakni memberi ruang bagi pemerintah untuk menghapus kritik di dunia maya sekaligus menjerat para pengkritik dengan hukuman penjara.
-

Korlabi akan full dukung Jokowi-Gibran diadili
Oleh: Damai Hari Lubis
Ketua Korlabi
Terhadap sepak terjang maupun hasil pencapaian dan dampak kepemimpinan Jokowi, maka Koordinator Pelaporan Bela Islam (KORLABI) akan berada pada sisi objektif dalam makna netral, oleh sebab latarbelakang track record dirinya saat berkuasa, ‘cenderung’ hasilnya dominan negatif daripada positif, maka demi tercapainya tujuan dan fungsi hukum Korlabi berkesiapan memberi dukungan moril dalam bentuk fisik (tenaga) kepada kelompok masyarakat yang menginginkan Jokowi diproses hukum untuk diadili di meja hijau oleh sebab berbagai bukti temuan hukum.
Selain perilaku Jokowi yang “abnormal” dalam perspektif jatidiri pemimpin, Jokowi pun gagal dalam mengelola negara, Jokowi banyak menghambur hamburkan uang negara saat menjadi Presiden RI ke 7, sehingga ‘Jokowi effect’ atau the impact Jokowi’s of leadership melahirkan beban kepada negara dan rakyat Indonesia serta berkepanjangan.
Jokowi, sesuai data empirik sejak berkuasa hingga kini masih hobi berbohong, bahkan kontemporer Jokowi ditengarai tengah berupaya memperalat oknum aparat untuk mengkriminalisasi para aktivis yang menginginkan dirinya tunduk kepada hukum dengan pola transparansi, lalu meminta maaf andai benar ijazah S1 nya palsu.
Jokowi sampai saat ini nampak ngotot untuk mempertahankan anaknya Gibran sebagai pejabat publik penyelenggara negara (wapres) walau tak berkualitas selain pendidikannya “tidak jelas” disertai sejarah hukum terkait usianya yang belum cukup, namun Ia beri jalan melalui adik Iparnya Anwar Usman untuk mengacak acak sistem hukum melalui pola “pembiaran” sehingga menjadi bakal cawapres di 2024 dan terhadap hal nepotisme ini KORLABI dkk sudah melaporkan Anwar Usman melalui Dumas RESKRIMUM Polda Metro Jaya pada November 2023.
Refleksi selainnya dari pada pola kepemimpinan Jokowi dibidang pembangunan ekonomi;
1. Projek IKN gagal;
2. Bandara Kerta Jati gagal fungsi;
3. Sirkuit Mandalika Lombok gagal. Dan banyak lagi projek lainnya yang juga gagal
Jokowi diduga kuat ‘memperdaya’ bangsa ini tentang biografinya atau asal usul keluarganya, selanjutnya selain banyak menumpuk dusta kepada rakyat bangsa Indonesia, Jokowi juga banyak menimbun hutang.
Jokowi tidak serius memberantas korupsi, justru anak anak dan menantunya tersandung beberapa laporan di KPK.
Sehingga kasat mata Jokowi tidak obstruktif terhadap perilaku KKN pejabat publik di kabinetnya, malah seolah menyuburkan KKN.
Jokowi telah melakukan pembiaran (disobedient) atau tidak ditegakannya hukum dengan pola tidak memerintahkan dilakukannya diagnosis medis melalui laboratorium forensik kriminal terkait kematian 854 orang petugas KPPS pada tahun 2019 dan membiaran tidak tuntasnya penyelidikan tentang keterlibatan aparatur atau para oknum pelaku korban tragedi pembunuhan di Tol KM 50 Cikampek tahun 2020
Untuk itu ‘andai’ada pihak pihak masyarakat yang ingin agar Jokowi-Gibran diadili dengan “alat bukti yang cukup”, Korlabi siap volunteer, membantu pihak berwenang secara objektif hingga tuntas.
Disimpulkan oleh Korlabi, dari deskripsi perjalananan kepemimpinan Jokowi selama 1 (satu) dekade 90 persen lebih tidak berkualitas atau gagal total, selain akibat karakteristik kepribadiannya yang buruk, sehingga hasil kepemimpinannya serba minus di semua sektor, baik dari sisi ekonomi, penegakan hukum dan politik, maka alhasil sepeninggal kekuasaannya “mayoritas adab atau moralitas” pejabat publik menjadi bobrok. Karena karakter Jokowi tidak role model melainkan melulu bertolak belakang dari sistim pemerintahan yang baik (good government).
Penulis adalah:
● Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
● Anggota Penasihat DPP. KAI
● Jurnalis dan KabidHum dan HAM & Ketua LBPH KWRI.
-

DPRD Surabaya Minta Pemkot Tegas Terapkan Perwali Gratifikasi
Surabaya (beritajatim.com) – DPRD Kota Surabaya meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tegas dalam menerapkan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 29 Tahun 2025 tentang Pencegahan, Pelaporan, dan Pengendalian Gratifikasi. Aturan ini dinilai penting untuk memperkuat pencegahan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan birokrasi.
Anggota Komisi A DPRD Surabaya, Mohammad Saifuddin, mengatakan pihaknya mendukung penuh langkah Pemkot Surabaya. Namun, dia menegaskan bahwa peraturan tersebut tidak boleh berhenti di atas kertas semata.
“Komitmen ini patut diapresiasi, tetapi yang lebih penting adalah memastikan aturan ini benar-benar dijalankan hingga level kelurahan dan kecamatan. Jangan sampai hanya jadi slogan tanpa ada tindakan di lapangan,” kata Saifuddin, Rabu (3/9/2025).
Saifuddin juga meminta Pemkot memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berani melaporkan dugaan gratifikasi. Menurutnya, perlindungan ini penting agar warga tidak takut untuk melapor.
“Masyarakat harus merasa aman saat melapor. Jika tidak ada perlindungan, dikhawatirkan mereka enggan bersuara karena takut ada tekanan atau ancaman,” ujar politisi Demokrat ini.
Mantan aktivis ini menilai langkah Pemkot memasang banner, poster, dan flyer di berbagai titik pelayanan publik merupakan langkah awal yang baik. Namun, pengawasan internal dan evaluasi berkala tetap dibutuhkan.
“Transparansi laporan gratifikasi yang masuk juga harus dilakukan. Dengan begitu, masyarakat bisa melihat perkembangan dan percaya bahwa Pemkot serius memberantas KKN,” tegas dia.
Sebelumnya, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menegaskan bahwa Perwali ini menjadi pedoman bagi seluruh pegawai untuk menolak dan melaporkan gratifikasi.
“Kami ingin membangun birokrasi yang bersih, transparan, dan akuntabel,” kata Eri.
Inspektur Kota Surabaya, Ikhsan, menambahkan bahwa Inspektorat telah membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) yang memfasilitasi pelaporan melalui aplikasi eAudit.
“Harapan kami, upaya-upaya ini bisa didukung oleh seluruh pegawai dan masyarakat agar Surabaya bebas dari praktik KKN,” pungkasnya. [adv/but]
-

Media Asing Soroti IHSG dan Rupiah Ambles Gegara Demo DPR Ricuh
Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah media asing menyoroti nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan IHSG yang merosot sehubungan dengan aksi demo terhadap DPR RI berujung rusuh pada beberapa hari terakhir.
Reuters dalam laporan bertajuk “Indonesia Stocks, Rupiah Dive as Political Unrest Jolts Investors” menyebut saham-saham Indonesia merosot dan nilai rupiah melemah seiring dengan bentrok aksi demonstrasi anti-pemerintah di dekat Gedung DPR Jakarta, dengan ribuan pekerja menuntut upah yang lebih tinggi dan pajak yang lebih rendah.
Indonesia disebut bersiap menghadapi protes yang semakin intensif setelah seorang pengemudi ojek tewas dalam bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa, yang juga mempertanyakan tunjangan tinggi yang diberikan kepada anggota DPR.
Hal serupa juga diberitakan oleh Forbes dalam laporan bertajuk “Indonesian Stocks, Rupiah Drop As Jakarta Protests Escalate” yang menyebut bahwa ketegangan politik akan menekan saham Indonesia dan rupiah. Hal tersebut juga sejalan dengan aliran modal asing yang keluar makin deras.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan hari ini, Jumat (29/8/2025) ditutup melemah. Longsornya nilai tukar mata uang Garuda tehadap dolar terjadi di tengah situasi sosial-politik yang memanas di dalam negeri akibat demonstrasi yang berujung jatuhnya korban sipil.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah terdepresiasi 0,90% ke Rp16.499,50 per dolar AS. Sedangkan, indeks dolar AS menguat 0,12% ke 97,93.
Pengamat Mata Uang dan Komoditas, Ibrahim Assuaibi memprediksi pelemahan rupiah terhadap dolar AS akan berlanjut pada perdagangan Senin pekan depan. Menurutnya, sentimen yang menyertai pergerakan mata uang rupiah di perdagangan adalah kondisi sosial dan politik dalam negeri yang memanas sejak Kamis lalu.
“Ketegangan sosial dan politik dalam negeri yang memanas sejak Kamis (28/8/2025) terus akan memanas. Apalagi, bumbu-bumbu sebelumnya di mana pemerintah akan memberikan tunjangan untuk perumahan terhadap DPR, ini pun juga membuat satu ketegangan tersendiri,” ujar Ibrahim dalam analisanya, Jumat (29/8/2025).
Ibrahim melihat kondisi ini akan semakin panas, imbas adanya korban jiwa pada aksi demonstrasi kemarin. Selain itu, menurutnya birokrasi yang kental dengan kolusi dan nepotisme juga membuat kecemburuan tersendiri bagi para profesional lainnya yang selama ini masih belum memiliki pekerjaan.
Sementara itu menilik data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG melemah sebesar 1,53% atau 121,59 poin menuju posisi 7.830,49. Sepanjang hari ini, indeks komposit bergerak pada level terendahnya di 7.765,59 dan sempat menyentuh level tertingginya 7.913,86.
Meski demikian, 122 saham masih mampu menguat di zona hijau. Terdapat 610 saham berakhir turun, dan 70 saham stagnan. Sementara itu, kapitalisasi pasar alias market cap mencapai Rp14.211 triliun.
Di tengah gejolak pasar saham, Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menyatakan bahwa fundamental pasar modal Indonesia masih solid.
“Kalau dari otoritas bursa, kami melihat fundamental pasar saham kita masih kuat. Kalau ada koreksi teknikal itu wajar,” ujarnya di Jakarta, Jumat (29/8/2025).