Pro-Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Meski pro dan kontra mengemuka, Kementerian Sosial RI resmi turut mengusulkan nama Presiden Kedua RI, Soeharto, sebagai salah satu pahlawan nasional pada 21 Oktober 2025.
Usulan tersebut diserahkan kepada Kementerian Kebudayaan yang kini memegang mandat untuk menetapkan gelar pahlawan nasional atas usulan yang diberikan.
Menteri Sosial RI, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengatakan, usulan Soeharto jadi ”
National Hero
” sudah melalui proses panjang.
Dia mengatakan, usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah dia terima sejak menjabat sebagai Menteri Sosial.
“Jadi ini juga sudah dibahas oleh tim secara sungguh-sungguh. Berulang-ulang mereka melakukan sidang, telah melalui proses itu,” kata Gus Ipul di Kantor Kemensos, Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional sebenarnya bukan kali pertama mencuat.
Catatan
Kompas.com
, usulan ini juga pernah digaungkan oleh elit politik partai Golkar yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR-RI, Ade Komarudin pada 2016 silam.
Ade mengatakan, Soeharto banyak berbakti pada bangsa, terllepas dari kekurangan yang ada.
Wacana ini kemudian terus bergulir dari tahun ke tahun, bahkan sempat menjadi dagangan politik untuk Partai Berkarya jelang pemilihan umum 2019.
DPP Partai Berkarya Badarudin Andi Picunang mengikrar janji, jika partai pecahan Golkar itu masuk Senayan, maka usulan Soeharto jadi pahlawan nasional bisa diperjuangkan lebih kuat lagi.
Kini usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali mencuat. Partai Golkar konsisten mendukung usulan tersebut.
Golkar yang besar dan dibesarkan Soeharto itu mendorong agar Soeharto bisa menjadi nama yang bersanding dengan pahlawan-pahlawan nasional lainnya karena memiliki jasa yang besar.
“Perdebatan soal pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto tentu wajar. Setiap tokoh besar pasti memiliki sisi yang menuai pro dan kontra. Namun, perbedaan pandangan itu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa Pak Harto memiliki jasa besar bagi bangsa ini,” kata Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, Selasa (21/10/2025).
Sarmuji menilai, generasi muda saat ini mungkin tidak dapat membayangkan kondisi ekonomi Indonesia sebelum Soeharto memimpin.
Dia menyebut, dulu, kondisi rakyat sebenarnya kesulitan pangan.
“Dari kisah orangtua kami dan catatan sejarah, kondisi saat itu sangat berat, banyak rakyat yang kesulitan memperoleh pangan,” ucap dia.
Setelah Soeharto memimpin, ada perubahan besar dalam waktu relatif singkat, terutama di bidang ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi.
“Di bawah kepemimpinan Pak Harto, situasi itu berubah drastis. Indonesia bukan hanya keluar dari krisis pangan, tetapi juga sempat mencapai swasembada yang membanggakan,” kata Sarmuji.
Namun suara lantang penolakan Soeharto sebagai
National Hero
tak kalah konsisten, datang dari para pegiat HAM, aktivis, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Politikus PDI-P, Guntur Romli mengatakan, gelar “hero” untuk Soeharto akan menimbulkan stigma gerakan reformasi sebagai ”
villain
“, penjahat, atau musuh dari pahlawan.
Para korban khususnya mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi pada 1998 akan dianggap sebagai penjahat dan pengkhianat.
“Kalau Soeharto mau diangkat pahlawan, maka otomatis mahasiswa ’98 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Ini tidak bisa dibenarkan,” ujar Guntur saat dihubungi, Kamis (23/10/2025).
Dia menilai pemberian gelar itu juga akan mengaburkan sejumlah catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi sepanjang masa Orde Baru.
Guntur menyebut negara telah mengakui sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di masa pemerintahan Soeharto, mulai dari peristiwa 1965–1966 hingga penghilangan paksa aktivis menjelang kejatuhan rezim pada 1998.
“Kalau Soeharto diangkat pahlawan, maka peristiwa-peristiwa yang disebut pelanggaran HAM seperti peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Rumah Geudong, Penghilangan Paksa 1997–1998, Trisakti, Semanggi I dan II, hingga Kerusuhan Mei 1998 bukan lagi pelanggaran HAM, tapi bisa disebut kebenaran oleh rezim Orde Baru saat itu,” tutur Guntur.
Belum lagi usulan ini disejajarkan dengan para tokoh yang menentang Orde Baru dan kepemimpinan Soeharto, seperti Marsinah, dan Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
“Saya miris, untuk mengangkat Soeharto jadi pahlawan, tapi seakan-akan nama seperti Gus Dur dan Marsinah dijadikan barter. Padahal Gus Dur dan Marsinah dikenal melawan Soeharto dan Orde Baru,” kata Guntur.
Selain melanggar HAM, Soeharto secara spesifik disebut dalam TAP MPR 11/1998 atas perlakuan nepotisme dan tindakan korupsi.
TAP MPR itu mengatakan:
”
Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia
,”
Namun TAP MPR tersebut kini telah berubah, dan nama Soeharto menghilang.
Koordinator untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai pencabutan itu tak lantas membuat Soeharto layak menjadi pahlawan nasional.
Karena meski dibebaskan secara politis atas dugaan nepotisme dan korupsi, nama Soeharto berkelindan dengan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“Pada sekitar Mei sampai dengan Juni, kami bahkan telah menyerahkan kepada Kementerian Kebudayaan maupun kepada Kementerian Sosial terkait catatan-catatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, di mana kita tahu terdapat 5-6 kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di era Orde Baru, dan itu disebabkan karena rezim pada saat itu menggunakan kekuatan militer untuk melakukan kekerasan,” kata Wakil Koordinator Kontras, Andrie Yunus, Kamis.
Selain itu, kaitan erat dengan nepotisme di masa Orde Baru, sudah sepantasnya Soeharto tidak memenuhi syarat pemberian gelar pahlawan.
“Dari syarat-syarat tersebut yang juga tidak terpenuhi, kemudian catatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di era Soeharto, kami tegaskan kembali bahwa Soeharto tidak layak untuk diberikan gelar pahlawan,” ujar dia.
Catatan Kompas.com, terdapat beberapa kejahatan kemanusiaan yang terjadi saat Soeharto memimpin. Pertama, kasus Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985 dengan perintah langsung Soeharto untuk menghukum mati para bromocorah hingga preman tanpa proses peradilan.
Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat bahwa korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung.
Kedua, peristiwa Tanjung Priok 1984-1987. Soeharto disebut menggunakan militer sebagai instrumen kebijakan politiknya.
Akibat dari kebijakan ini, dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekitar lebih dari 24 orang meninggal, 36 terluka berat, dan 19 luka ringan.
Ketiga, peristiwa Talangsari 1984-1987 yang menyebabkan 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran paksa, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.
Keempat, peristiwa 27 Juli 1996 atau lebih dikenal dengan peristiwa Kudatuli yang mencoba mendongkel Megawati sebagai Ketua DPP PDI saat itu.
Peristiwa ini menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 124 orang ditahan.
Kemudian, ada peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang juga terjadi perkosaan massal, dan penculikan para aktivis.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: nepotisme
-

Wali Kota Kediri Tekankan Integritas ASN sebagai Fondasi Kepercayaan Publik
Kediri (beritajatim.com) – Wali Kota Kediri Vinanda Prameswati menegaskan pentingnya integritas sebagai dasar utama dalam membangun kepercayaan publik terhadap aparatur sipil negara (ASN). Hal itu disampaikannya saat memimpin Apel Pagi di Halaman Balai Kota Kediri, Senin (20/10/2025), yang sekaligus menjadi momen penandatanganan pakta integritas oleh ASN, diwakili tiga pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Menurut Vinanda, integritas merupakan fondasi utama untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Ia menekankan bahwa penandatanganan pakta integritas bukan sekadar formalitas di atas kertas, melainkan bentuk nyata dari komitmen moral dan tanggung jawab profesional setiap ASN Kota Kediri.
Dalam pakta tersebut, ASN berjanji untuk tidak menyalahgunakan wewenang, menjauhi praktik korupsi, pungutan liar, gratifikasi, serta nepotisme. Selain itu, ASN juga diingatkan agar tidak hidup hedonis atau memamerkan gaya hidup di media sosial, demi menjaga marwah sebagai pelayan publik yang sederhana, bersih, dan berintegritas.
“Percuma kita punya program yang bagus, teknologi canggih, dan sistem birokrasi modern kalau tidak ada integritas di dalamnya. Masyarakat sekarang semakin kritis dan terbuka. Mereka menilai bukan hanya dari pembangunan fisik, tapi juga dari sikap dan etika pelayanan,” ujar Vinanda, yang akrab disapa Mbak Wali.
Ia menambahkan bahwa keberhasilan pemerintahan tidak dapat dicapai oleh satu orang atau satu organisasi perangkat daerah (OPD) saja, melainkan melalui kolaborasi dan sinergi antarinstansi.
“Kita harus saling mendukung dalam kebaikan. Pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan profesional hanya bisa terwujud jika semua ASN berkomitmen bekerja untuk kepentingan masyarakat, bukan diri sendiri,” tegasnya.
Apel pagi tersebut turut dihadiri Wakil Wali Kota Kediri Qowimuddin, Pj Sekda M. Ferry Djatmiko, para asisten, staf ahli, kepala OPD, camat, direktur BUMD, serta tamu undangan lainnya.
Langkah Wali Kota Vinanda Prameswati ini menjadi wujud komitmen Pemerintah Kota Kediri dalam memperkuat budaya kerja yang bersih, transparan, dan beretika di lingkungan birokrasi. Upaya ini sekaligus mendukung agenda reformasi birokrasi nasional yang menempatkan integritas ASN sebagai pilar utama pelayanan publik yang profesional. [nm/beq]
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5385472/original/034487200_1760933315-9__1_.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Dorong Transformasi dan Integritas, Wamenaker Afriyansyah Tekankan Peran Strategis Pengawas Ketenagakerjaan – Page 3
Oleh karena itu, Kementerian Ketenagakerjaan secara konsisten mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan sesuai dengan regulasi serta peraturan perundang-undangan.
“Kementerian Ketenagakerjaan, sesuai mandat undang-undang, senantiasa melakukan edukasi dan komunikasi, serta memberikan kepercayaan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk memperkuat fungsi pengawasan di wilayah masing-masing,” jelasnya.
Lebih lanjut, Afriansyah menegaskan bahwa acara ini merupakan wujud komitmen bersama seluruh jajaran pengawas ketenagakerjaan dalam menjalankan tugas secara sungguh-sungguh demi melindungi pekerja dan buruh secara menyeluruh.
“Integritas dan keselarasan ini harus sejalan dengan tugas serta fungsi kita sebagai pengawas ketenagakerjaan di setiap daerah. Integritas menjadi komitmen kuat untuk mencegah berbagai bentuk penyimpangan yang mengarah pada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal ini dapat diwujudkan melalui pelayanan yang transparan, profesional, bebas intervensi, serta selalu dievaluasi pelaksanaannya,” tegasnya.
Ia juga menyoroti keterbatasan jumlah pengawas ketenagakerjaan di sejumlah daerah. Beberapa kabupaten dan kota hanya memiliki sumber daya manusia yang terbatas, namun harus mengawasi puluhan hingga ratusan perusahaan dari berbagai skala usaha.
“Tugas ini memang berat, tetapi sebagai abdi negara kita harus menaatinya. ASN di lingkungan Kemnaker harus mengutamakan pelayanan prima sesuai dengan Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023. Pelayanan publik tidak boleh hanya bersifat formalitas, melainkan harus cepat, tanggap, dan peduli terhadap kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Afriansyah juga menyampaikan bahwa Sarasehan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 ke-3 membahas berbagai upaya nyata transformasi pengawasan ketenagakerjaan dan K3 melalui penegakan integritas dengan pendekatan Mean, Money, and Method. Pendekatan ini diharapkan mampu memperkuat koordinasi dan membangun kolaborasi antara pengawas ketenagakerjaan dengan aparatur pemerintah daerah.
Menurutnya, transformasi pengawasan ketenagakerjaan perlu diwujudkan melalui kebijakan operasional yang kredibel dan berstandar internasional, serta memperkuat peran pengawas sebagai aktor penting dalam pembangunan daerah. Ia juga menekankan pentingnya dukungan anggaran bagi penyelenggaraan pengawasan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota agar fungsi pengawasan berjalan optimal.
“Penekanannya jelas, kita tidak boleh melakukan hal-hal yang menyimpang. Jauhkan dari praktik KKN. Pengembangan kompetensi fungsional pengawasan ketenagakerjaan juga harus terus dilakukan agar layanan publik semakin adil, berintegritas, dan berkualitas,” pungkas Wamenaker.
-

Statemen ‘Babu Masyarakat’ Wali Kota Blitar Disorot, Pengamat: Tantangan Bebas KKN
Blitar (beritajatim.com) – Statemen Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin (Mas Ibin), yang menyebut dirinya sebagai “pembantu atau babu masyarakat” mendapat sorotan tajam dari pengamat sosial dan politik, Trijanto.
Alih-alih sekadar apresiasi, Trijanto menilai pernyataan tersebut adalah sebuah “tantangan nyata” bagi seluruh elit pemerintahan Kota Blitar untuk membuktikan kepemimpinan yang bersih total dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Trijanto memperingatkan agar simbol kerakyatan itu tidak berubah menjadi “sandiwara” untuk merangkul rakyat. Sementara di baliknya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang notabene adalah uang rakyat, justru menjadi “ladang subur bagi kongkalikong dan nepotisme.”
Bagi Trijanto harus ada tolak ukur yang jelas untuk membuktikan keseriusan statemen tersebut. Komitmen itu, menurutnya, baru akan bermakna jika dalam lima tahun kepemimpinan tidak ada bukti kuat terjadinya praktik “pembagian proyek” atau pungutan liar (pungli).
“Namun, jika justru ada indikasi pengondisian kebijakan atau proyek demi keuntungan pribadi atau kelompok, maka simbol itu hanyalah kamuflase retorika basi yang menipu rakyat,” ujarnya kritis Trijanto pada Senin (20/10/2025).
Secara sosial dan budaya, Trijanto mengingatkan bahwa masyarakat Blitar mengharapkan pemimpin yang benar-benar memposisikan diri sebagai pelayan, bukan penguasa di atas rakyak. Ia menekankan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah soal pencitraan atau trending topic media sosial melainkan aksi nyata memberantas praktik koruptif.
Tantangan terberatnya, lanjut Trijanto, adalah memenuhi janji moral kepada rakyat dan menolak segala godaan tarik-menarik kepentingan. Bagi Trijanto statement dari Wali Kota Blitar itu adalah pernyataan luar biasa jika dibuktikan dengan tindakan nyata.
“Jika tidak, itu hanyalah sinetron politik yang bisa dipandang sinis oleh rakyat yang sangat cerdas dan kritis. Sudah waktunya mengakhiri drama dan memulai era baru kepemimpinan yang benar-benar melayani, bersih, dan bertanggung jawab,” pungkasnya.
Sebelumnya, kisruh antara Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin dengan Wakil Wali Kota (Wawali) Blitar, Elim Tyu Samba kian memanas. Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin menyebut bahwa sang wakil adalah pembantu.
Perkataan itu pun kemudian bergulir membuat gaduh. Pasalnya statement pembantu yang dilontarkan Wali Kota Blitar tersebut dianggap merendahkan posisi Wakil Wali Kota (Wawali) Kota Blitar, Elim Tyu Samba.
Namun persepsi itu dibantah oleh Syauqul Muhibbin. Orang nomor satu di Kota Blitar itu pun menegaskan bahwa statemen itu tidak ada niatan apapun untuk merendahkan posisi Wakil Wali Kota (Wawali) Blitar.
“Jadi Wali Kota itu, saya itu ya juga pembantu ya pelayan ya babu masyarakat,” ucap Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin pada Rabu (15/10/2025).
Wali Kota Blitar pun menegaskan bahwa sebagai pejabat publik dirinya dan para aparatur sipil negara (ASN) tidak boleh alergi dengan sebutan pembantu atau babu. Pasalnya memang tugas sebagai pejabat publik harus melayani dan membantu masyarakat.
“Saya tidak merendahkan, kan saya juga pembantu masyarakat, tidak ada statement yang merendahkan,” tegasnya. (owi/ted)
-

TGUPP Era Anies 73 Orang, Gerakan Rakyat Sebut Bukan Bagi-bagi Jabatan
FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Organisasi Masyarakat (Ormas) Gerakan Rakyat membantah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terkait tudingan Anies Baswedan bagi-bagi jabatan di Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta.
Bantahan itu diungkapkan Anggota Dewan Pakar Gerakan Rakyat, Nandang Sutisna. Dia mengatakan tuduhan tersebut menunjukkan ketidakpahaman terhadap fungsi dan struktur TGUPP yang bukan lembaga jabatan struktural atau fungsional pemerintahan.
“TGUPP itu bukan posisi birokrasi, tidak memiliki kewenangan administratif, dan tidak bisa disamakan dengan jabatan pejabat daerah. Mereka adalah para ahli yang memberikan masukan berbasis data dan riset. Jadi, keliru besar kalau disebut bagi-bagi jabatan,” ujarnya dalam keterangan resminya, dikutip pada Kamis (16/10).
Dirinya menjelaskan, komposisi TGUPP di era Anies justru mencerminkan meritokrasi, bukan nepotisme.
Tim tersebut, diisi oleh kalangan profesional, akademisi, teknokrat, serta mantan pejabat berpengalaman di bidang tata kota, transportasi, ekonomi, dan hukum.
“Kalau dilihat satu per satu, mayoritas anggota TGUPP berasal dari kalangan profesional yang punya rekam jejak panjang. Jadi meritokrasi justru tampak jelas di sana,” tuturnya.
Nandang juga menyoroti, bahwa anggaran TGUPP pada masa Anies hanya sekitar Rp28 miliar untuk 73 anggota, jauh lebih kecil dibandingkan standar biaya pejabat struktural eselon di Pemprov DKI.
Sebelumnya, tudingan terhadap Anies itu diungkapkan Ketua DPP PSI Bestari barus. Dia menegaskan tiap zaman ada orangnya. Lalu tiap orang, beda gayanya.
-

Wali Kota Kediri Tegaskan Larangan Gaya Hidup Hedon bagi Pejabat
Kediri (beritajatim.com) – Wali Kota Kediri Vinanda Prameswari menegaskan pentingnya integritas dan profesionalitas bagi seluruh pejabat struktural di lingkungan Pemerintah Kota Kediri.
Arahan tersebut disampaikan dalam kegiatan pengarahan dan penandatanganan pakta integritas yang digelar di Ruang Joyoboyo, Balai Kota Kediri, Selasa (14/10/2025).
Dalam acara yang dihadiri para kepala dinas, camat, lurah, serta pejabat pengawas ini, dilakukan penandatanganan pakta integritas sebagai bentuk komitmen pejabat untuk mendukung visi-misi Wali Kota, memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, bekerja sesuai koridor hukum, bersinergi antarorganisasi perangkat daerah (OPD), serta tidak bergaya hidup hedon dan melakukan flexing di media sosial.
Isi pakta integritas tersebut menegaskan delapan poin komitmen, di antaranya menjaga integritas, menolak praktik korupsi, suap, gratifikasi, kolusi, dan nepotisme, serta siap menerima konsekuensi hukum apabila melanggar sumpah jabatan.
Secara simbolis, dokumen pakta integritas ditandatangani oleh Kepala Bappeda M. Ferry Djatmiko, Kepala Bagian Hukum Anita Puji, Camat Pesantren Judi Kuntjoro, Lurah Tempurejo Sri Handayani, dan Kasi Ekbang Kelurahan Sukorame Wildan Mukholadun.
“Dengan acara ini, ke depan Kota Kediri bisa lebih kuat dalam menerapkan good and clean governance. Harapannya para pejabat menambah wawasan agar dalam melaksanakan tugas tepat waktu, tepat sasaran, dan sesuai aturan hukum yang berlaku,” ujar Wali Kota Kediri.
Vinanda menjelaskan bahwa rotasi jabatan yang dilakukan merupakan bagian dari upaya penyegaran organisasi. Ia berharap para pejabat dapat segera beradaptasi dengan tanggung jawab baru dan mampu menemukan solusi efektif terhadap berbagai tantangan yang dihadapi.
“Saya minta program dan kegiatan dilaksanakan dengan optimal, bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tapi memperhatikan output dan outcome-nya,” tegasnya.
Wali Kota termuda di Indonesia itu juga mengingatkan bahwa para pejabat yang mengikuti arahan ini adalah wajah Pemerintah Kota Kediri. Ia meminta agar seluruh ASN menjaga profesionalitas dan tidak melakukan pamer kekayaan di media sosial.
“Saya mohon jangan sampai flexing dan viral. Mari kita gotong royong membangun dan mewujudkan Kota Kediri yang MAPAN,” ujarnya.
Vinanda menambahkan bahwa Pemkot Kediri telah memiliki Peraturan Wali Kota (Perwali) terkait gratifikasi, dan dalam waktu dekat akan dilakukan revisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
“Sementara pakta integritas ini disesuaikan dengan aturan hukum agar pejabat melaksanakan amanahnya sesuai peraturan dan mencegah hal-hal yang berlawanan dengan hukum,” imbuhnya.
Usai pengarahan, para pejabat menerima materi good governance dan implementasi merit system dari akademisi Universitas Brawijaya, Priya Djatmika. Camat Pesantren, Judi Kuntjoro, mengapresiasi kegiatan ini dan menilai bahwa penandatanganan pakta integritas dapat memperkuat komitmen pejabat dalam menjaga tanggung jawab publik.
“Dengan adanya pakta integritas tadi, semua pejabat akan lebih berhati-hati. Kita tidak boleh terpancing dengan iming-iming apa pun agar tidak terjadi KKN,” katanya.
Acara turut dihadiri Wakil Wali Kota Qowimuddin, Pj Sekda M. Ferry Djatmiko, para asisten, staf ahli, kepala OPD, camat, lurah, serta tamu undangan lainnya. [nm/suf]
/data/photo/2025/08/15/689ecd174d71e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2025/10/09/68e7b91aec797.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2025/10/13/68ed016d3e753.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)