Korupsi yang Dirancang
Guru Besar Ilmu Manajemen, Dosen Program Studi Doktor Manajemen Berkelanjutan Institut Perbanas
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
KORUPSI
di Indonesia bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan hasil dari desain kekuasaan yang keliru.
Setiap kali publik diguncang kasus
korupsi
yang melibatkan pejabat dan jejaring keluarganya, kemarahan muncul, lalu menghilang.
Sistem tetap berjalan, aktor berganti, pola tetap sama. Ini menandakan satu hal penting: korupsi tidak lagi bersifat deviasi, tetapi terinstitusionalisasi.
Dalam teori
institutional corruption
(Lessig, 2011), sistem dapat terlihat sah secara hukum, tapi gagal secara etika dan fungsi karena insentif yang mendorong penyimpangan.
Ketika jabatan publik membuka akses terhadap rente ekonomi—anggaran, izin, proyek—maka korupsi menjadi adaptasi rasional, bukan anomali.
Becker (1968) bahkan menegaskan, kejahatan akan terus terjadi selama manfaatnya lebih besar daripada risikonya. Dalam konteks ini, korupsi bukan soal karakter individu, melainkan logika sistem yang salah arah.
Fenomena proyek ijon memperlihatkan bagaimana korupsi dimulai jauh sebelum kekuasaan dijalankan.
Dalam teori
political finance
(Scarrow, 2007), biaya politik yang mahal menciptakan ketergantungan struktural kandidat pada penyandang dana. Relasi ini melahirkan
quid pro quo:
dukungan hari ini ditukar dengan kebijakan dan proyek esok hari.
Akibatnya, ruang kebijakan publik telah terkunci sejak awal. APBD kehilangan fungsi sebagai instrumen pembangunan dan berubah menjadi alat pembayaran utang politik.
Dalam kerangka
state capture
(Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000), kebijakan negara dibajak oleh kepentingan sempit sebelum negara sempat menjalankan mandatnya. Inilah sebabnya korupsi di tingkat daerah sering bersifat masif, terencana, dan tidak mudah dibongkar.
Negara-negara yang berhasil keluar dari jebakan ini tidak memulai dari moral, tetapi dari pembenahan desain politik.
Jerman dan Kanada, misalnya, menekan korupsi bukan dengan hukuman ekstrem, tetapi dengan membuat biaya politik murah, transparan, dan diaudit ketat.
Dana kampanye dibatasi, dilaporkan
real-time,
dan pelanggaran administratif ditindak cepat. Hasilnya, insentif untuk menjual proyek sebelum berkuasa menjadi tidak rasional.
Keterlibatan keluarga dalam korupsi sering disederhanakan sebagai nepotisme. Padahal, secara teoritik, ia merupakan solusi informal atas lemahnya institusi.
Dalam
principal–agent theory
(Jensen & Meckling, 1976), masalah utama bukan niat, melainkan kepercayaan. Ketika sistem hukum tidak mampu menjamin kepastian dan perlindungan, aktor politik memilih keluarga dan kolega sebagai
trust network.
Di sinilah korupsi berubah menjadi organisasi ekonomi tertutup. Keluarga dan kolega berfungsi sebagai penyimpan aset, perantara proyek, dan pelindung konflik kepentingan.
Hukuman pidana terhadap individu menjadi tidak efektif karena aset dan kendali tersebar. Penindakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan kapasitas negara, tapi teori
deterrence
menegaskan bahwa tanpa pemiskinan aset dan pemutusan jaringan, efek jera hanya bersifat simbolik.
Sebaliknya, Singapura memutus korupsi keluarga dengan pendekatan berbeda. Negara ini tidak hanya menghukum pelaku, tetapi menghilangkan ruang aman bagi aset dan konflik kepentingan.
Transparansi kekayaan, larangan keras keterlibatan keluarga dalam urusan negara, serta kepastian hukum yang cepat membuat korupsi menjadi risiko karier yang permanen, bukan spekulasi sesaat.
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa korupsi tidak diberantas, melainkan digantikan. Digantikan oleh sistem yang membuat korupsi tidak rasional secara ekonomi, politik, dan sosial.
Georgia pasca-2004, misalnya, tidak memulai dengan memburu semua pelaku lama, tetapi dengan memotong total ruang rente melalui digitalisasi layanan publik, deregulasi radikal, dan pemecatan massal aparat korup. Hasilnya, peluang korupsi runtuh karena sistemnya tidak lagi menyediakan celah.
Pelajaran utamanya jelas: negara harus beralih dari pendekatan moralistik ke rekayasa insentif. Pembiayaan politik harus transparan dan murah.
Hukuman harus menargetkan manfaat ekonomi, bukan sekadar badan. Konflik kepentingan keluarga harus ditutup secara sistemik.
Data anggaran dan pengadaan harus terbuka, dapat dilacak, dan diawasi publik. KPK perlu diposisikan bukan hanya sebagai penindak, tetapi sebagai arsitek sistem pencegahan yang mengikat.
Namun, desain negara tidak akan bekerja tanpa masyarakat. Dalam teori
collective action
(Olson, 1965), kejahatan sistemik bertahan karena publik tidak bertindak serempak.
Normalisasi korupsi kecil, toleransi politik uang, dan cepatnya publik melupakan skandal membuat korupsi hidup dari kelelahan sosial.
Negara-negara yang berhasil menekan korupsi membangun ingatan publik yang panjang, bukan sekadar kemarahan sesaat.
Korupsi di Indonesia tidak akan berhenti karena kita membencinya. Ia berhenti ketika sistem membuatnya bodoh untuk dilakukan.
Ketika biaya politik transparan, ketika hukuman finansial melampaui hasil kejahatan, ketika keluarga tidak lagi menjadi benteng, dan ketika publik tidak mudah lupa.
Selama jabatan masih diperlakukan sebagai investasi, proyek sebagai panen, dan kekuasaan sebagai warisan, korupsi akan terus hidup. Bukan sebagai kecelakaan, tetapi sebagai konsekuensi desain yang belum kita berani ubah.
Pertanyaannya kini tinggal satu: apakah negara siap mengganti korupsi dengan sistem yang lebih rasional, atau terus hidup dalam korupsi yang ia rancang sendiri?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: nepotisme
-
/data/photo/2025/12/20/6945d644038b0.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Korupsi yang Dirancang
-

Dugaan Mafia Hutan Kuasai 27 Ribu Hektare Lahan di Blitar, Warga Gelar Unjuk Rasa
Blitar (beritajatim.com) – Momentum Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) di Kabupaten Blitar tidak dirayakan dengan seremoni formalitas. Sebaliknya, jalanan kota bergetar oleh aksi unjuk rasa ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pendukung Reforma Agraria (Ampera), Kamis (18/12/2025).
Mereka mengepung dua titik saraf penegakan hukum dan pemerintahan, yakni Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Blitar dan Kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blitar. Misinya hanya satu, yakni menagih janji negara untuk memberantas trinitas haram, yakni mafia tanah, mafia hutan, dan mafia hukum yang dinilai telah menjerat leher rakyat kecil selama puluhan tahun.
Konsultan hukum dari Revolutionary Law Firm, Mohammad Trijanto, yang menjadi motor aksi ini, melontarkan kritik pedas terhadap tata kelola lahan di Blitar. Ia mengungkapkan adanya ketimpangan tajam dalam pemanfaatan kawasan hutan.
“Dari total 57 ribu hektare kawasan hutan, hanya sekitar 30 ribu hektare yang dikhususkan untuk pemanfaatan masyarakat. Sisanya? Sebanyak 27 ribu hektare diduga dikuasai oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab yang merampas hak rakyat tanpa membayar pajak sepeser pun kepada negara,” tegas Trijanto dengan nada tajam.
Trijanto menyoroti wilayah Jolosutro sebagai salah satu bukti nyata keberanian mafia hutan melanggar aturan secara terang-terangan. “Mereka menikmati hasil bumi, sementara rakyat hanya menonton di tanahnya sendiri,” tambahnya.
Taktik ‘Membuat Rakyat Lelah’ di Meja Hukum
Ampera juga membongkar adanya indikasi mandeknya berbagai laporan dugaan korupsi dan mafia tanah di meja penyidik. Trijanto menuding adanya praktik sistematis untuk melemahkan semangat juang rakyat melalui proses hukum yang bertele-tele.“Kami menolak praktik ‘membuat rakyat lelah’ dalam mencari keadilan. Rakyat punya hak konstitusional untuk mengetahui status kasus yang dilaporkan. Jika prosesnya terus dibiarkan menggantung tanpa kepastian, jangan salahkan jika kepercayaan publik kepada institusi hukum akan runtuh total,” cetus peraih gelar Magister Hukum tersebut.
7 Poin Tuntutan: Ultimatum untuk Penegak Hukum
Dalam aksi tersebut, Ampera menyerahkan tujuh poin tuntutan krusial sebagai syarat mutlak terciptanya reforma agraria yang bersih, di antaranya:Pertama, penyelesaian total konflik agraria di kawasan PT Rotorejo Kruwuk dan PT Veteran Sri Dewi. Kedua, sertifikasi lahan PPTPKH yang transparan dan bebas pungli/korupsi.
Ketiga, audit transparansi di Kejaksaan terkait laporan korupsi yang mandek. Keempat, hentikan operasi mafia hutan yang menguasai lahan lebih dari 2 hektare secara ilegal.
Kelima, pembersihan Kantor ATR/BPN dari praktik nepotisme. Keenam, penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap aktor intelektual mafia tanah dan hutan.
Ketujuh, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang pro-rakyat dan demokratis. “Kami berharap tujuh tuntutan kami bisa ditindaklanjuti,” imbuhnya.
Bupati Rijanto: “Masalah di Lapangan Memang Rumit”
Menanggapi gelombang aspirasi tersebut, Bupati Blitar Rijanto menemui massa dan mengakui bahwa penyelesaian isu agraria, khususnya redistribusi tanah (ridis), adalah tantangan yang kompleks.“Permasalahan ridis itu memang tidak mudah. Di lapangan sering ada kepentingan-kepentingan luar yang masuk, sehingga proses yang seharusnya selesai malah menjadi berkepanjangan. Kasus Karangnongko dan Kruwuk Rotorejo adalah contoh konkret hambatan komunikasi antarkelompok,” jelas Bupati Rijanto.
Meski demikian, Bupati berjanji akan terus memproses melalui Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) jika semua persyaratan sudah dinyatakan clear and clean.
“Untuk tahun 2025, akan ada sertifikat yang diserahkan melalui program PPTKH untuk masyarakat yang sudah menempati lahan perhutanan puluhan tahun. Namun, untuk sengketa bekas perkebunan yang HGU-nya habis, prosesnya berbeda dan terus kami upayakan,” tandasnya. (owi/kun)
-

Korupsi Bisa Hancurkan Pembangunan Daerah, Ini Penyebabnya
Jakarta, Beritasatu.com – Korupsi merupakan hambatan besar dalam mewujudkan pembangunan daerah yang maju, merata, dan berkelanjutan.
Praktik ini tidak hanya muncul dari tindakan individu yang menyalahgunakan kewenangan, tetapi juga berakar pada persoalan struktural dalam birokrasi, budaya politik, serta sistem sosial yang memungkinkan penyimpangan terjadi berulang.
Akibatnya, kerugian tidak hanya dirasakan negara secara finansial, tetapi juga berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Apa Itu Korupsi menurut Hukum Indonesia?
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi mencakup berbagai tindakan melanggar hukum yang merugikan negara.
Tindakan tersebut meliputi perilaku memperkaya diri sendiri atau orang lain secara tidak sah, penyalahgunaan wewenang yang merugikan publik, penerimaan suap dan gratifikasi yang tidak dilaporkan, penggelapan aset milik negara, serta berbagai bentuk tindakan lain yang menguntungkan kelompok tertentu dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.
Bentuk Korupsi yang Menghambat Pembangunan Daerah
Berbagai bentuk korupsi dapat merusak kualitas pembangunan di daerah. Berikut ini jenis yang paling sering terjadi:
1. Suap dan gratifikasi
Praktik suap muncul ketika pejabat menerima imbalan untuk mengeluarkan keputusan tertentu, termasuk memenangkan tender proyek. Proyek akhirnya diberikan bukan berdasarkan kualitas atau kebutuhan daerah, tetapi kedekatan dan kepentingan pihak tertentu.
2. Penggelapan anggaran
Dana publik yang dialokasikan untuk pembangunan daerah kerap diselewengkan dan digunakan untuk kepentingan pribadi, sehingga dana tidak pernah benar-benar sampai kepada masyarakat.
3. Penyalahgunaan wewenang
Jabatan digunakan untuk mengatur perizinan, anggaran, atau proyek demi keuntungan kelompok tertentu. Keputusan yang seharusnya dibuat berdasarkan kebutuhan publik berubah menjadi alat untuk memperkaya pihak tertentu.
4. Nepotisme dan kolusi
Pejabat menunjuk kerabat atau orang dekat untuk mengisi jabatan atau memenangkan proyek tertentu. Kualitas dan kompetensi bukan lagi pertimbangan utama, sehingga kualitas pembangunan ikut terpengaruh.
5. Korupsi pengadaan barang dan jasa
Korupsi dalam pengadaan proyek sering melibatkan permainan harga, pengaturan pemenang tender, dan penggunaan material berkualitas rendah. Jenis korupsi ini menjadi salah satu penyebab terbesar rusaknya infrastruktur daerah.
6. Korupsi birokrasi kecil (pungli)
Pungutan liar yang terjadi di berbagai layanan publik membuat pelayanan lambat, merepotkan, dan membebani masyarakat kecil meski nilainya tampak kecil.
Faktor Utama Pemicu Korupsi
Korupsi tumbuh dari kombinasi faktor individu dan faktor sistemik dalam pemerintahan.
Faktor Individu
Kasus korupsi sering dipicu oleh integritas yang rendah, keserakahan, gaya hidup konsumtif, hingga persepsi korupsi adalah hal yang lumrah dilakukan.
Faktor Sistemik
Korupsi juga berkembang karena pengawasan internal yang lemah, birokrasi yang rumit dan tidak transparan, minimnya akuntabilitas, serta budaya politik transaksional. Ketimpangan ekonomi dan beban sosial menambah kompleksitas masalah ini, sehingga korupsi semakin mudah terjadi.
Bagaimana Korupsi Menghambat Pembangunan Daerah?
1. Membocorkan anggaran publik
Ketika korupsi merampas dana publik, anggaran pembangunan seperti sekolah, fasilitas kesehatan, hingga perbaikan jalan tidak dapat terlaksana dengan maksimal.
2. Menurunkan kualitas infrastruktur
Material yang dikurangi, proses yang dipersingkat, atau proyek yang dikerjakan asal-asalan menjadi akibat umum korupsi. Dampaknya terlihat pada jalan cepat rusak, jembatan tidak kokoh, gedung sekolah tidak aman, dan proyek yang berakhir mangkrak.
3. Menghambat investasi
Investor menghindari daerah dengan reputasi korup karena birokrasi tidak pasti, biaya suap tinggi, dan risiko hukum besar. Akibatnya, daerah kehilangan peluang lapangan kerja dan pendapatan baru.
4. Menurunkan kualitas layanan publik
Korupsi di sektor layanan dasar membuat masyarakat tidak menerima haknya. Anggaran obat hilang, sekolah kekurangan fasilitas, dan bantuan sosial salah sasaran.
5. Merusak kepercayaan publik
Ketika masyarakat tidak percaya pada pemerintah daerah, tingkat partisipasi publik menurun dan konflik sosial rentan muncul. Kondisi ini menghambat stabilitas dan pembangunan jangka panjang.
6. Memperlebar ketidakadilan sosial
Kelompok miskin menjadi korban paling terdampak karena layanan publik sering dipersulit dengan biaya tambahan. Pembangunan pun hanya dinikmati kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan.
Contoh Hambatan Pembangunan Akibat Korupsi
Banyak daerah mengalami kemunduran akibat praktik korupsi. Proyek infrastruktur sering mangkrak karena dana dikorupsi atau di-mark up, pembangunan jalan desa menjadi cepat rusak akibat penggunaan material berkualitas rendah, bantuan sosial tidak tepat sasaran karena permainan elite lokal, dan perizinan usaha dipersulit karena adanya pungutan liar. Akibatnya, daerah sulit berkembang meski anggaran terus digelontorkan setiap tahun.
Bagaimana Cara Mencegah Korupsi?Penguatan regulasi dan penegakan hukum
Pencegahan korupsi memerlukan kerangka hukum yang kuat, seperti UU Tipikor, UU Pengelolaan Keuangan Negara, UU Keterbukaan Informasi Publik, dan UU Pelayanan Publik. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten memberi efek jera bagi pelaku korupsi dan mempertegas pelanggaran tidak dapat ditoleransi.
Penanaman nilai integritas sejak dini sangat penting untuk membentuk generasi yang jujur dan bertanggung jawab. Pendidikan antikorupsi membantu masyarakat mengenali dan menolak praktik koruptif.
Perubahan pola pikir masyarakat menjadi fondasi penting dalam pemberantasan korupsi. Praktik seperti toleransi terhadap suap kecil atau pemberian hadiah kepada pejabat harus dihentikan. Budaya transparansi dan keberanian menolak pungli perlu dibangun secara kolektif.
Reformasi pengadaan barang dan jasa
Sektor pengadaan pemerintah merupakan titik paling rawan korupsi. Reformasi perlu dilakukan dengan meningkatkan transparansi di setiap tahapan dan melibatkan masyarakat serta lembaga independen untuk memantau pelaksanaan proyek agar celah penyimpangan dapat ditutup.
Pemanfaatan teknologi untuk transparansi
Sistem digital, seperti e-government, e-budgeting, dan e-procurement mempersempit peluang korupsi. Teknologi memungkinkan publik mengawasi setiap alur anggaran dan realisasi proyek secara terbuka sehingga manipulasi data, mark up, dan penyimpangan menjadi lebih sulit dilakukan.
Korupsi adalah ancaman nyata bagi pembangunan daerah yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tanpa komitmen kuat dari pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan, berbagai program pembangunan tidak akan berjalan optimal.
-
/data/photo/2025/12/09/6937ae74b90d5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hasto Sebut Korupsi Kini Makin Besar, Soroti Lemahnya Etika dan Moral Bangsa
Hasto Sebut Korupsi Kini Makin Besar, Soroti Lemahnya Etika dan Moral Bangsa
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menyinggung korupsi yang saat ini dianggap kian besar dibandingkan sebelumnya.
Hal tersebut disampaikan Hasto saat mengisi seminar nasional Refleksi Hari Anti
Korupsi
Sedunia, di Sekolah Partai PDI-P, Selasa (9/12/2025).
“Jadi, kalau kita melihat persoalan-persoalan korupsi sekarang justru makin besar, itu juga tidak bisa terlepas dari potret diri terhadap etika, moral, nilai-nilai yang diyakini oleh suatu bangsa. Korupsi makin membesar, artinya nilai-nilai etika moral itu juga mulai menurun,” kata Hasto, Selasa.
Hasto menyinggung hal tersebut saat awalnya berbicara mengenai Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, yang ketika menjabat sebagai Presiden ke-5 RI bertindak sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
“Sebagai Mandataris MPR, Megawati terikat pada seluruh keputusan-keputusan MPR yang harus dijalankan. Dan di situlah bagaimana seluruh TAP MPR pascakejatuhan Soeharto, di situ sangat jelas menggambarkan bahwa apa yang disebut sebagai nepotisme, kolusi, dan korupsi harus, harus, dan harus dihancurkan dari muka Republik ini,” ujar dia.
Hasto menuturkan, saat itu lahirlah
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada masa awal reformasi.
Ia menyebut, KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum saat itu, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan peradilan, dinilai berada di bawah kendali kekuasaan.
“Maka KPK dibentuk dalam suatu konsideran bahwa ketika aparat penegak hukum masih dikuasai oleh penguasa, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kewenangan yang begitu besar,” ujar dia.
Ia juga menyinggung Ketua KPK pertama, Taufiequrachman Ruki, yang disebutnya kerap menjadi mitra dialog.
Hasto kemudian mengaitkan kondisi tersebut dengan pandangan ilmiah dalam buku “How Democracies Die” karya Steven Levitsky, yang menurutnya menggambarkan terbentuknya rezim otoriter, terutama ketika negara mengalami krisis.
“Di dalam buku itu digambarkan bagaimana rezim otoriter itu terbentuk. Secara empiris sangat jelas, seringkali ada yang diwarnai dengan krisis,” ucap dia.
Menurut Hasto, fenomena serupa terlihat saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19, di mana kekuasaan semakin terpusat pada eksekutif dan kemudian tidak dikoreksi saat situasi kembali normal.
“Di dalam buku itu juga dijelaskan bagaimana negara-negara bisa membentengi terhadap otoriter, termasuk wajahnya yang populis. Itu karena suatu etika, moral, nilai yang menjadi
values
dari bangsa itu,” tegas Hasto.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Bupati Sidoarjo Beri Pesan Penting pada Peserta Retret Kades
Sidoarjo (beritajatim.com) – Seluruh Kepala Desa/Kades se Kabupaten Sidoarjo mengikuti Retret di Puslat Rindam V/Brawijaya Malang selama dua hari ke depan atau penutupan pada hari Jumat (5/12/2025).
Ratusan Kades tersebut digembleng untuk menjadi pemimpin yang berintegritas dan kapabel. Mereka dilatih dan dididik sendiri oleh para pelatih anggota TNI Rindam V/Brawijaya Malang.
Selain itu mereka juga akan dibekali materi oleh Polresta, Kejaksaan dan Komisi Pemberantadan Korupsi (KPK). Retret tersebut merupakan Program Pelatihan Desa Beraksi atau Desa Bersih dan Anti Korupsi yang digelar Pemkab Sidoarjo.
Pelatihan Desa Beraksi tersebut dibuka oleh Bupati Sidoarjo H. Subandi. Bupati mengatakan Program Desa Beraksi sebagai upaya pencegahan korupsi di tingkat desa. Oleh karenanya lewat program tersebut diharapkan terwujud tata kelola desa yang bersih, transparan, partisipatif, dan akuntabel.
“Program ini selaras dengan kebijakan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2018 tentang strategi nasional pencegahan korupsi yang menegaskan pentingnya pencegahan melalui penguatan tata kelola dan partisipasi masyarakat,” ucapnya, Kamis (4/11/2025).
Bupati berharap, Program Desa Bersih dan Anti Korupsi bukan hanya sekadar slogan. Namun menjadi kewajiban moral dan administratif untuk mewujudkannya bersama. Oleh karenanya ia menekankan beberapa hal yang harus menjadi perhatian bersama.
Pertama, transparansi dan akuntabilitas. Bupati meminta semua perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan kegiatan desa harus terbuka untuk publik dan terdokumentasi dengan baik. “Laporan keuangan dan penggunaan anggaran wajib dapat diakses oleh masyarakat dan aparat pengawas,” pintanya.
Kedua, partisipasi masyarakat. Bupati H. Subandi meminta pemerintah desa melibatkan warga dalam perencanaan dan pengawasan program desa sehingga keputusan yang diambil benar-benar untuk kepentingan bersama. Dan yang ketiga, penguatan kapasitas aparatur desa.
Harapan dia kepada kepala desa dan perangkat desa agar terus meningkatkan kompetensi administrasi, pengelolaan keuangan, dan etika publik seperti halnya mengikuti kegiatan pelatihan seperti ini.
“Kepada seluruh peserta ikutilah pelatihan ini dengan sungguh-sungguh, menerapkan ilmu yang diperoleh, dan menjadi teladan bagi masyarakat. Bersama kita wujudkan desa yang bersih, akuntabel, dan berdaya demi kesejahteraan warga Kabupaten Sidoarjo,” terang H. Subandi.
H. Subandi menegaskan Program Pelatihan Desa Beraksi merupakan bentuk komitmen bersama untuk memperkuat integritas pemerintahan desa. Kepala desa harus mampu meningkatkan etos kerja dan menjaga kedisiplinannya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Jangan sampai ada penyelewengan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara atau masyarakat. Ia ingatkan bahwa setiap bentuk penyalahgunaan anggaran, kolusi, atau nepotisme akan ditindak sesuai aturan hukum dan peraturan yang berlaku.
“Pemerintah kabupaten akan mendukung mekanisme pengawasan, pelaporan, dan sanksi untuk menjaga integritas pemerintahan desa,” imbuhnya. (isa/but)
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4567057/original/000898700_1694077845-20230907-Direktur-Utama-ASDP-Ira-Puspadewi-Herman-B.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
MA Sebut Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Cs Hak Prerogatif Prabowo: Untuk Kepentingan Besar
Mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi divonis penjara 4 tahun dan 6 bulan dalam kasus dugaan korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN). Ira dinilai terbukti bersalah melakukan korupsi.
“Menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kedua,” kata Hakim Ketua Sunoto pada sidang pembacaan vonis majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2025).
Selain Ira, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP periode 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono juga dijatuhi pidana masing-masing 4 tahun penjara. Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda.
Untuk Ira Puspadewi, denda yang dikenakan sebesar Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Sementara untuk Yusuf Hadi dan Harry Muhammad dijatuhi pidana denda masing-masing sebesar Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan.
Ketiga terdakwa dinyatakan telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelum menjatuhkan putusan, majelis hakim mempertimbangkan perbuatan para terdakwa yang tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sebagai hal pemberat.
Begitu pula dengan perbuatan para terdakwa yang menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan negara sebagai direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta dampak perbuatan para terdakwa yang mengakibatkan ASDP terbebani utang dan kewajiban yang besar, menjadi pertimbangan memberatkan.
Sementara hakim ketua menyatakan perbuatan para terdakwa yang bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, tetapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan iktikad baik dalam prosedur serta tata kelola aksi korporasi ASDP dipertimbangkan sebagai alasan meringankan vonis.
Selain itu, hal meringankan lainnya yang dipertimbangkan, yakni para terdakwa berhasil memberikan warisan untuk ASDP, tidak terbukti menerima keuntungan finansial, memiliki tanggungan keluarga, serta terdapat beberapa aksi korporasi yang dapat dioperasikan untuk kepentingan publik.
-

Kapolres Sumenep Pastikan Seleksi Penerimaan Bintara Brimob Tanpa Pungutan
Sumenep (beritajatim.com) – Polres Sumenep mulai melaksanakan Pemeriksaan Administrasi (Rikmin) awal Penerimaan Bintara Brimob TA 2026 Panda Jawa Timur, di Aula Trawang Polres Sumenep pada Kamis (20/11/2025).
Kegiatan ini merupakan tahapan awal dalam proses seleksi calon Bintara Brimob yang digelar secara serentak di jajaran Polda Jawa Timur.
Pemeriksaan administrasi awal meliputi pengecekan berkas, kelengkapan dokumen persyaratan, legalitas identitas, serta kesesuaian data yang telah diunggah peserta pada sistem pendaftaran. Setiap calon peserta diperiksa secara teliti oleh panitia untuk memastikan seluruh persyaratan terpenuhi sebelum mengikuti tahapan seleksi berikutnya.
Kapolres Sumenep AKBP Rivanda mengatakan, proses seleksi dilaksanakan secara profesional dan berpegang pada prinsip BETAH (Bersih, Transparan, Akuntabel, dan Humanis).
“Seluruh rangkaian penerimaan anggota Polri, termasuk Bintara Brimob, wajib dilaksanakan tanpa pungutan biaya dan bebas dari praktik percaloan. Kami pastikan setiap peserta mendapatkan kesempatan yang sama sesuai ketentuan,” katanya.
Sebagai bagian dari komitmen Polri dalam menjamin proses yang transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), maka telah dilakukan penandatanganan Pakta Integritas dan pengambilan Sumpah Penerimaan Bintara Brimob Polri.
“Penandatanganan Pakta Integritas ini adalah bukti komitmen kita bahwa proses seleksi berlangsung bersih. Tanpa suap, tanpa titipan, dan tanpa intervensi apa pun. Kami ingin memastikan bahwa mekanisme berjalan transparan dan hanya mereka yang benar-benar memenuhi syarat yang bisa melanjutkan tahapan,” tandasnya.
Menurutnya, pengawasan ketat dilakukan untuk menjaga objektivitas seleksi, sekaligus memberikan pemahaman kepada peserta tentang pentingnya kejujuran dan disiplin sejak tahap awal rekrutmen.
“Polres Sumenep terus memperkuat sistem pengawasan internal untuk menjaga integritas lembaga dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses rekrutmen maupun kegiatan operasional lainnya,” ungkapnya.
Jumlah pendaftar Bintara Brimob Polri secara online dari Kabupaten Sumenep sebanyak 49 orang dan sudah terverifikasi sebanyak 36 orang. Para peserta yang dinyatakan memenuhi syarat administrasi akan melanjutkan proses seleksi selanjutnya di tingkat Panda Jatim. (tem/but)
-
/data/photo/2023/09/11/64fe8285acaaa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Benang Kusut Persoalan PPPK Jadi PNS Nasional
Benang Kusut Persoalan PPPK Jadi PNS
Mahasiswa Magister FIA UI
TUNTUTAN
untuk mengangkat tenaga kontrak – dahulu tenaga honorer, saat ini Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) – menjadi tenaga tetap (Pegawai Negeri Sipil) adalah kisah yang tidak ada habisnya dalam birokrasi kita.
Belakangan, isu ini kembali mencuat tatkala DPR RI membuka wacana peralihan status PPPK menjadi PNS dalam revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 (
Kompas.com
, 31/10/25).
Telah menjadi rahasia umum bahwa mandeknya penyelesaian penataan tenaga honorer berakar dari praktik nepotisme serta politik balas budi dalam proses rekrutmen tenaga non-ASN.
Fenomena ini sebelumnya juga disinggung oleh Rini Widyantini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR RI (5/3/2025).
Ia menyampaikan bahwa pegawai non-ASN muncul salah satunya akibat ketidakdisiplinan instansi di dalam rekrutmen terutama karena Pilkada. Kepala daerah cenderung melakukan perekrutan tenaga honorer sebagai imbas dari proses pemenangan Pilkada. Hal ini juga berlaku kepada kementerian/lembaga dalam skala lebih kecil.
Dalam kesempatan sama, Rini juga menyoroti bahwa “pelarangan rekrutmen tenaga honorer pada peraturan yang lalu tidak dilengkapi dengan sanksi yang kuat”.
Akibatnya, seperti menimba air dengan ember bocor, meskipun telah dilakukan berbagai upaya penataan dan pengangkatan tenaga honorer secara bertahap menjadi pegawai tetap, praktik rekrutmen tenaga honorer baru terus berulang di waktu yang sama.
Pemerintah sebenarnya telah berulang kali berupaya menyelesaikan problematika penataan tenaga honorer melalui berbagai kebijakan dan regulasi.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 yang mengatur mekanisme pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS secara bertahap.
Namun, regulasi tersebut belum sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan tenaga honorer sehingga menjadi warisan bagi pemerintahan berikutnya.
Pada era Jokowi, kebijakan penataan tenaga non-ASN dilakukan melalui UU Nomor 20 Tahun 2023 yang secara tegas, dalam pasal 66, menyatakan bahwa penataan pegawai non-ASN atau sebutan lainnya wajib diselesaikan paling lambat Desember 2024, serta melarang instansi pemerintah untuk mengangkat pegawai non-ASN.
Sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang tersebut, Kementerian PAN-RB kemudian merumuskan kebijakan rekrutmen PPPK yang diperuntukkan hanya untuk tenaga non-ASN yang telah bekerja di instansi pemerintah.
Meskipun penataan tenaga non-ASN melalui pengangkatan menjadi PPPK telah terlaksana, kebijakan ini justru memunculkan permasalahan baru di kemudian hari.
Hal tersebut disebabkan oleh manajemen PPPK yang belum memiliki jenjang karier, jaminan pensiun, serta mekanisme mutasi kerja yang setara dengan PNS.
Kondisi ini menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan PPPK dan mendorong munculnya tuntutan agar status mereka dapat diubah secara otomatis menjadi PNS.
Tuntutan tersebut tercermin dalam petisi berjudul “Jadikan PPPK Menjadi PNS Demi Keadilan dan Kepastian Karier” di platform Change.org, yang hingga artikel ini ditulis telah ditandatangani oleh 13.547 orang.
Berlawanan dengan petisi tersebut, muncul pula “Petisi Tolak Pengalihan PPPK Menjadi PNS di Indonesia” yang sudah sudah memperoleh 12.232 tanda tangan.
Reformasi birokrasi yang bergulir sejak era reformasi telah melahirkan prinsip
meritokrasi
dalam penyelenggaraan manajemen ASN. Namun, tanpa keberanian dan komitmen politik yang kuat, sistem merit hanya akan menjadi jargon kosong.
Perjalanan panjang kebijakan penataan tenaga honorer yang telah dilakukan sejak 2005, tapi masih menyisakan polemik hingga hari ini, menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah berani.
Selama ini, pemerintah cenderung memilih solusi jangka pendek guna menghindari gejolak politik, ekonomi, dan sosial.
Hal ini tampak dari berbagai kebijakan yang justru menurunkan standar kompetensi dalam proses rekrutmen ASN melalui jalur khusus tenaga non-ASN.
Misalnya, penetapan formasi afirmasi sehingga seleksi hanya menjadi formalitas; peniadaan
passing grade;
hingga penerbitan regulasi baru yang berulang untuk melonggarkan aturan.
Kondisi ini seakan menunjukkan tunduknya kebijakan pemerintah pada jerat kepentingan di balik pengangkatan tenaga non-ASN.
Padahal, jika pemerintah berkomitmen mewujudkan visi tata kelola pemerintahan kelas dunia, maka dibutuhkan keberanian untuk menerapkan rekrutmen berbasis kompetensi melalui proses seleksi yang objektif dan kompetitif.
Kita patut mengambil pelajaran dari Vietnam tentang bagaimana mengambil kebijakan yang berani demi tujuan jangka panjang.
Pada 2025, pemerintah Vietnam melakukan reformasi besar-besaran dengan memangkas sekitar 15–20 persen aparatur negara.
Menurut Pemerintah Vietnam, badan atau lembaga negara tidak boleh menjadi tempat berlindung yang aman bagi para pejabat yang tidak kompeten. (
Kompas.id
, 18/2/2025)
Restrukturisasi birokrasi besar-besaran tersebut diperkirakan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi politik Vietnam. (Nguyen Khac Giang, 2025).
Meskipun sistem politik Vietnam berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem multi-partai, komitmen dan keseriusan pemerintah Vietnam dalam meningkatkan efisiensi pemerintahan serta mengurangi hambatan birokrasi patut menjadi contoh yang layak ditiru, mengingat dampaknya yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah perlu melakukan kajian komprehensif terhadap keberlanjutan skema PPPK dalam sistem kepegawaian nasional.
Konsep PPPK yang saat ini dijalankan telah melenceng jauh dari desain awalnya, yang sejatinya dimaksudkan sebagai mekanisme untuk merekrut talenta unggul dari luar pemerintahan melalui sistem kontrak yang fleksibel.
Momentum revisi UU ASN perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menata kembali manajemen kepegawaian.
Jika pemerintah ingin mempertahankan keberadaan PPPK dalam kerangka UU ASN, maka diperlukan desain ulang terhadap skema PPPK, terutama dari aspek pengadaannya yang berbasis pada kebutuhan jabatan tertentu yang sesuai dengan karakteristiknya — bukan melalui rekrutmen massal yang menyamaratakan seluruh jabatan dapat diisi oleh PPPK seperti dilakukan saat ini.
Paling penting, pelaksanaan rekrutmen PPPK harus dikembalikan pada filosofi awal untuk menarik talenta profesional dari luar instansi pemerintah.
Selanjutnya, untuk memastikan terpenuhinya prinsip keadilan, desain manajemen PPPK yang baru turut memasukkan aspek pemberian jaminan pensiun serta peluang pengembangan karier yang disesuaikan dengan karakteristik kepegawaian PPPK.
Sebaliknya, apabila pemerintah ingin menerapkan sistem kepegawaian tunggal yang hanya mengenal PNS, maka kebijakan tersebut harus diiringi dengan komitmen dan kedisiplinan tinggi dalam penyelenggaraan seleksi PNS yang berbasis sistem merit.
Ide mengangkat PPPK menjadi PNS tanpa tes merupakan bentuk pengabaian terhadap sistem merit yang telah dibangun dengan susah payah.
Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas dengan menerapkan standar kompetensi yang jelas, sekaligus memastikan adanya mekanisme seleksi yang dapat menilai secara adil pengalaman berharga PPPK yang selama ini telah berkontribusi terhadap kinerja organisasi.
Pemerintah dapat mengadaptasi langkah strategis yang telah ditempuh oleh Vietnam dalam upaya memangkas
red tape
dan menciptakan birokrasi yang lincah, yakni dengan berani mengurangi pegawai yang tidak memiliki kompetensi atau tidak menunjukkan kinerja memadai.
Apabila terdapat PPPK yang tidak lulus seleksi, maka pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk memberhentikan pegawai tersebut secara profesional, tanpa memandang pengaruh politik yang mungkin mendukungnya.
Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi PPPK yang telah lama mengabdi, tapi belum lulus seleksi, guna menghindari gejolak berkepanjangan, pemerintah dapat menyediakan pemberian pesangon yang layak.
Kebijakan seperti ini jauh lebih menguntungkan dalam jangka panjang dibandingkan mempertahankan pegawai yang tidak memenuhi kriteria maupun standar kompetensi.
Proses rekrutmen merupakan tahap awal yang menentukan kualitas birokrasi. Pasalnya, manajemen kepegawaian mencakup siklus panjang mulai dari perencanaan kebutuhan, rekrutmen, pengembangan kompetensi, pemberian kompensasi baik finansial maupun nonfinansial, hingga pemenuhan hak atas jaminan pensiun.
Kesalahan dalam proses rekrutmen akan berdampak fatal – bukan hanya menurunkan kinerja organisasi, tetapi juga membebani anggaran negara yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kepentingan publik yang lebih produktif.
Persis seperti apa yang dikatakan oleh Jim Collins dalam bukunya
Good to Great
(2014), orang yang tepat merupakan aset terpenting organisasi.
Transformasi menuju organisasi yang hebat dimulai dengan upaya mencari dan menempatkan orang yang tepat. Sebab, sisi yang hebat sekalipun akan menjadi sia-sia tanpa kehadiran orang-orang hebat di dalamnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2023/01/19/63c8ee5f1f55f.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
