Kasus: Narkoba

  • Genting, AS Serukan Warganya Segera Angkat Kaki dari Mali

    Genting, AS Serukan Warganya Segera Angkat Kaki dari Mali

    Jakarta

    Kedutaan Besar Amerika Serikat di Mali pada hari Selasa (28/10) waktu setempat menyerukan warga negara Amerika untuk “segera pergi” dari negara tersebut. Seruan ini disampaikan seiring blokade bahan bakar oleh para militan yang memerangi pemerintahan militer negara itu, membuat kehidupan sehari-hari semakin berbahaya.

    Sejak September lalu, para petempur yang terkait dengan kelompok Al-Qaeda telah menargetkan truk-truk tangki bahan bakar, terutama yang datang dari Senegal dan Pantai Gading, yang menjadi jalur transit sebagian besar barang impor Mali.

    Dilansir kantor berita AFP, Rabu (29/10/2025), Kedutaan Besar AS mengatakan dalam sebuah pernyataan di situs webnya, bahwa warga Amerika “harus segera pergi menggunakan penerbangan komersial”, dengan alasan “ketidakpastian situasi keamanan Bamako”.

    Kesulitan yang dihadapi, menurut Kedutaan Besar AS, termasuk “gangguan pasokan bensin dan solar yang berkelanjutan, penutupan lembaga-lembaga publik seperti sekolah dan universitas di seluruh negeri, dan konflik bersenjata yang sedang berlangsung antara pemerintah Mali dan elemen-elemen teroris di sekitar Bamako”.

    Kedutaan Besar AS mengatakan “rute darat ke negara-negara tetangga mungkin tidak aman untuk perjalanan karena serangan teroris di sepanjang jalan raya nasional”, menambahkan bahwa bandara internasional di Bamako tetap dibuka.

    Para militan dari Kelompok Pendukung Islam dan Muslim atau Group for the Support of Islam and Muslims, yang dikenal dengan akronim Arabnya JNIM, baru-baru ini berusaha mengisolasi ibu kota Mali, Bamako dengan meningkatkan operasi di jalan-jalan sekitarnya.

    Sebelumnya pada hari Jumat lalu, Departemen Luar Negeri AS mengizinkan personel non-darurat dan anggota keluarga pegawai pemerintah AS untuk meninggalkan negara itu karena risiko keselamatan.

    Mali telah berjuang melawan krisis keamanan selama lebih dari satu dekade yang dipicu oleh kekerasan oleh para militan yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan ISIS, serta geng kriminal dan geng lainnya.

    Negara ini juga mengalami kudeta pada tahun 2020 dan 2021 dan saat ini diperintah oleh junta militer, yang telah berjuang untuk melawan kelompok-kelompok bersenjata.

    Tonton juga Video: Detik-detik Militer AS Tembak Kapal Pengangkut Narkoba di Laut Karibia

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • AS Serang 4 Kapal Narkoba di Pasifik Timur, 14 Orang Tewas

    AS Serang 4 Kapal Narkoba di Pasifik Timur, 14 Orang Tewas

    Washington DC

    Militer Amerika Serikat (AS) melancarkan tiga serangan terhadap empat kapal yang diduga terlibat dalam perdagangan narkoba di perairan Pasifik Timur pada Senin (27/10) waktu setempat. Serangkaian serangan militer AS itu menewaskan total sedikitnya 14 orang.

    Serangan terbaru AS itu, seperti dilansir Anadolu Agency, Rabu (29/10/2025), diumumkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) AS Pete Hegseth pada Selasa (28/10) waktu setempat. Hegseth menyebut serangan itu diperintahkan Presiden AS Donald Trump.

    “Kemarin, atas arahan Presiden Trump, Departemen Perang (nama baru Departemen Pertahanan AS-red) melancarkan tiga serangan kinetik mematikan terhadap empat kapal yang dioperasikan oleh Organisasi Teroris yang Ditetapkan (DTO) yang menyelundupkan narkotika di Pasifik Timur,” ujar Hegseth dalam pernyataan via media sosial X.

    Disebutkan oleh Hegseth bahwa kapal-kapal yang menjadi target serangan AS itu dikenal oleh aparat intelijen mereka, sedang melintasi rute perdagangan narkotika yang diketahui, dan membawa narkotika.

    Dia menambahkan bahwa delapan orang berada di kapal pertama yang diserang, empat orang lainnya berada di kapal kedua, dan tiga orang lainnya di kapal ketiga yang diserang. Total sedikitnya 14 orang, yang disebut Hegseth sebagai “narko-teroris”, tewas dalam serangan tersebut, dengan satu orang selamat.

    “Semua serangan terjadi di perairan internasional tanpa ada pasukan AS yang terluka,” sebut Hegseth.

    Pernyataan Hegseth itu juga menyebut bahwa Komando Selatan AS segera memulai protokol pencarian dan penyelamatan (SAR) standar untuk satu korban selamat tersebut. Disebutkan juga bahwa otoritas SAR Meksiko telah menerima kasus tersebut dan bertanggung jawab mengkoordinasikan upaya penyelamatan.

    “Departemen telah menghabiskan lebih dari DUA DEKADE membela tanah air orang lain. Sekarang, kita akan membela tanah air kita sendiri,” tegas Hegseth.

    “Para narko-teroris ini telah membunuh lebih banyak warga Amerika dibandingkan Al-Qaeda, dan mereka akan diperlakukan sama. Kita akan melacak mereka, kita akan membangun jaringan dengan mereka, lalu, kita akan memburu dan membunuh mereka,” ujarnya.

    Serangan di Pasifik Timur tersebut menandai serangan terbaru AS terhadap kapal-kapal yang diduga menyelundupkan narkoba, yang merupakan bagian dari kampanye pemerintahan Trump melawan “terorisme narkotika”.

    Sejak September lalu, pasukan AS telah melancarkan rentetan serangan terhadap setidaknya 10 kapal penyelundup narkoba — yang terdiri atas sembilan kapal biasa dan satu kapal semi-submersible. Menurut penghitungan kantor berita AFP berdasarkan data AS, sedikitnya 43 orang tewas dalam serangan-serangan itu.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Curi Mobil Perwira Polisi, Sindikat Pencuri Ditangkap saat Pesta Sabu

    Curi Mobil Perwira Polisi, Sindikat Pencuri Ditangkap saat Pesta Sabu

    Liputan6.com, Jakarta Satreskrim Polresta Bandar Lampung menangkap sindikat pencurian kendaraan mobil milik seorang perwira polisi. Salah satu pelaku berstatus sebagai anggota Polri aktif.

    Awalnya, Polisi menangkap sembilan orang yang diduga terlibat dalam kasus pencurian. Tujuh di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. 

    “Tujuh tersangka ini khusus kejadian pencurian. Ya, ada anggota aktif satu inisal Aipda AGM,” kata Kapolresta Bandar Lampung, Kombes Pol Alfret Jacob Tilukay, Rabu (29/10).

    Selain Aipda AGM, enam pelaku lain berinisial DB, T, H, Z, F, dan A. Seluruhnya kini ditahan di Mapolresta Bandar Lampung untuk pemeriksaan lebih lanjut. 

    Komplotan pencurian kendaraan itu berbagi peran. Ada yang menjadi otak pencurian, mengambil mobil, hingga bertugas mengkoordinir aksi kejahatan tersebut. 

    Kompolotan ini tertangkap basah tengah bersama-sama mengonsumsi narkoba jenis sabu di salah satu hotel Bandar Lampung. 

    “Kami menangkap para pelaku ini di salah satu hotel, mereka sedang berkumpul sedang menghisap narkoba jenis sabu dan langsung kami amankan ke Polresta Bandar Lampung,” tegas Kasatreskrim Polresta Bandar Lampung, Kompol Faria Arista.

    Faria menjelaskan kronologi pencurian. Korbannya adalah perwira pertama berinisal AKP FN. Saat itu, AKP FN tengah menginap di salah satu hotel berbintang Bandar Lampung, Minggu (26/10/2025). 

    Awalnya, korban mengaku kehilangan kunci mobil Toyota Innova Reborn warna silver. Kunci itu ditemukan oleh salah satu tersangka berinisal T yang kebetulan tengah bersama-sama menginap di hotel tersebut.  

    “Kunci mobil itu ditemukan di lift hotel. Awalnya dia kira milik salah satu rekannya, namun setelah dikonfirmasi ternyata bukan. Kemudian T mengecek ke parkiran dan benar ada mobil korban tersebut,” ungkapnya. 

    Alih-alih mengembalikan kunci mobil korban ke pihak hotel, T lantas berkoordinasi dengan tersangka lainnya inisal DB. 

    “Para pelaku ini langsung menyusun niat jahat, karena mereka kebetulan pemain mobil bodong dan membawa kabur mobil tersebut dari hotel,” lanjut dia. 

  • Kronologi Kakak di Malang Sekap dan Cekoki Adik dengan Narkoba, Dipicu Sakit Hati
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        29 Oktober 2025

    Kronologi Kakak di Malang Sekap dan Cekoki Adik dengan Narkoba, Dipicu Sakit Hati Surabaya 29 Oktober 2025

    Kronologi Kakak di Malang Sekap dan Cekoki Adik dengan Narkoba, Dipicu Sakit Hati
    Tim Redaksi
    MALANG, KOMPAS.com
    – Belasan warga bersama aparat kepolisian menggerebek sebuah rumah yang berada di Kelurahan Lawang, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (11/10/2025).
    Rumah itu merupakan tempat tinggal pasangan suami istri atas nama HLF (28) dan DAC (30).
    Siang itu, keduanya digerebek karena diduga menyekap adik kandungnya sendiri yang masih berusia 17 tahun, berinisial ECA. Bahkan, selama penyekapan, pasutri itu juga mencoba mencekoki ECA dengan narkoba jenis sabu.
    Kapolres Malang, AKBP Danang Setyo PS mengatakan, penggerebekan itu dilakukan atas laporan dari ayah ECA sekaligus HLF.
    “Ayah korban mendapat telepon dari ECA secara diam-diam, melaporkan peristiwa yang ia alami di rumah kakaknya,” jelasnya.
    Sebelumnya, pada Kamis (9/10/2025), ECA dibawa oleh kakak kandung dan kakak iparnya dengan modus ingin mengajak liburan ke pantai.
    “Orangtuanya pun tidak menaruh curiga, karena yang mengajak liburan adalah kakak kandungnya sendiri,” jelasnya.
    Bukannya diajak ke pantai, ECA justru disekap di rumah HLF dan DAC. Di sana, HLF dan DAC ternyata telah merancang kejahatan kepada adiknya sendiri, yakni akan mencekokinya dengan narkoba jenis sabu.
    Sabu itu disiapkan oleh DAC. Ia membeli sabu kepada tersangka atas nama MVF (27), warga Desa Sentul, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, seharga Rp 300.000, lengkap dengan dua buah alat suntik di apotik.
    DAC kemudian meracik sabu itu. Ia memasukkan sabu yang telah dihaluskan ke dalam dua jarum suntik. Lalu keduanya memegangi tubuh ECA dan berusaha menyuntikkan sabu ke tangan ECA. Hanya saja, ECA memberontak sehingga sabu yang disuntikkan tidak masuk ke urat nadi tangannya.
    “Keduanya beberapa kali berusaha menyuntikkan sabu ke punggung tangan kanan dan siku bagian dalam lengan kanan ECA. Tapi gagal sampai megakibatkan darah korban masuk ke dalam suntikan,” jelas Danang.
    Akibat gagal menyuntikan sabu menggunakan jarum suntik, keesokan harinya, Jumat (10/10/2025), DAC kembali memesan sabu ke MVF dengan harga Rp 150.000.
    Bahkan, MVF juga datang ke rumah tersebut untuk membantu merakit sedotan dan botol kaca dan meracik sabu agar bisa masuk ke dalam alat hisap.
    “Ketiganya kemudian kembali memaksa korban menghisap sabu tersebut melalui alat yang dirakit oleh MVF tesebut. Akan tetapi korban menolak, sampai mereka putus asa. Alhasil ketiganya menghisap sendiri sabu tersebut, hingga beberapa kali,” tuturnya.
    Pada Jumat (10/10/2025) malam sekitar pukul 21.00 WIB, HLF mengembalikan ponsel ECA yang sebelumnya sempat disita. Lantas ia secara diam-diam menghubungi ayahnya dan minta tolong untuk dijemput.
    “Akhirnya, pada Sabtu (11/10/2025) sekitar jam 13.00 WIB, ayah korban bersama dengan petugas kepolisian Polsek Lawang dan warga sekitar menggerebek rumah tersangka dan mengamankan kedua tersangka,” jelasnya.
    Penggerebekan itu berjalan dramatis, beberapa anggota yang tidak berseragam sampai memanjat rumah tersangka dari belakang, dengan tujuan agar pelaku tidak melarikan diri.
    “Dalam proses penggerebekan itu, selain tersangka, polisi juga menemukan barang bukti berupa dua buah alat suntik yang berisi cairan narkoba jenis sabu, sebuah pipet kaca dan alat bong dari botol air mineral,” ujarnya.
    Kini, pasutri beserta MVF sudah ditahan. Mereka dikenakan pasal berlapis, yakni Pasal 89 ayat (1) juncto Pasal 76 J UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 133 ayat (2) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun.
    “Motif pelaku menyekap dan mencekoki adiknya dengan narkoba karena DAC merasa sakit hati dengan mertuanya, akibat merasa tidak diperlakukan dengan baik. Sehingga melakukan balas dendam kepada adik iparnya,” pungkasnya.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • El Fasher Jatuh, ‘Neraka Baru’ di Jantung Darfur Sudan

    El Fasher Jatuh, ‘Neraka Baru’ di Jantung Darfur Sudan

    Jakarta

    Sekitar 260.000 warga sipil terjebak di El Fasher di timur Sudan, separuh dari mereka adalah anak-anak. Selama berbulan-bulan kota itu telah dikepung oleh milisi Rapid Support Forces (RSF) dan terputus dari segala bentuk kontak dengan dunia luar.

    Bahkan pasokan makanan pun sudah lama tidak lagi masuk ke kota yang terletak sekitar 200 kilometer dari perbatasan dengan Chad di Provinsi Darfur. Menurut saksi mata, banyak orang kini bertahan hidup dengan memakan pakan ternak.

    Pada hari Senin (27/10), Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan keprihatinannya yang mendalam. Pengambilalihan itu merupakan “eskalasi mengerikan dari konflik,” kata Guterres. “Tingkat penderitaan yang kita saksikan di Sudan sungguh tak tertahankan.”

    Guterres bereaksi terhadap pernyataan dari RSF yang bersifat paramiliter. Mereka pada hari Minggu (26/10) mengumumkan bahwa mereka telah memperoleh kendali penuh atas kota tersebut. Sementara itu, menurut pernyataan dari Asosiasi Jurnalis Sudan, seluruh komunikasi di kota itu telah diputus, termasuk jaringan satelit.

    Dikhawatirkan terjadi peningkatan tajam situasi

    Para ahli kini memperkirakan akan terjadi peningkatan tajam dalam situasi, yang ditandai dengan kekerasan besar-besaran terhadap penduduk sipil yang terjebak di kota.

    Selama berbulan-bulan warga sipil, begitu pula para tentara Sudanese Armed Forces (SAF) yang ada di sana, hampir tidak memiliki kebutuhan dasar, ujar Ketua Forum Sudan dan Sudan Selatan Jerman, Marina Peter, dalam wawancaranya dengan DW. “Selama berminggu-minggu warga sipil yang terjebak telah mencoba meninggalkan kota. Sejak mulai terlihat bahwa RSF dapat sepenuhnya merebut kota itu, upaya pelarian meningkat kembali.”

    Namun peluang mereka sangat kecil, lanjut Peter: “Memang, beberapa orang masih bisa melarikan diri hingga baru-baru ini. Namun yang lain ditembak mati saat mencoba melarikan diri.”

    Perebutan kekuasaan terbuka

    Konflik di Sudan berakar pada berakhirnya pemerintahan Presiden otoriter Omar al-Bashir pada tahun 2019. Ia membangun kekuasaannya di atas angkatan bersenjata resmi, Sudanese Armed Forces (SAF), yang kini berada di bawah komando penguasa de facto Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Namun, Al-Bashir juga mengandalkan beberapa milisi yang berafiliasi dengan tentara, termasuk yang disebut Rapid Support Forces (RSF), yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Daglo, dikenal sebagai “Hemeti.”

    Kelompok Hemeti, sama seperti SAF, menjadi bagian dari dewan transisi sipil yang dibentuk setelah tergulingnya Al-Bashir. Namun pada Oktober 2021, kedua kelompok tersebut melakukan kudeta bersama. Hemeti menjadi wakil Al-Burhan. Namun kemudian kedua komandan itu berselisih tentang struktur dan hierarki dari sebuah tentara gabungan. Hemeti menolak untuk mengintegrasikan militianya ke dalam angkatan bersenjata nasional.

    Pada bulan April 2023, hal ini berujung pada perebutan kekuasaan terbuka di antara keduanya. Sejak saat itu, negara tersebut berada dalam keadaan perang.

    Pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan

    Rapid Support Forces berasal dari apa yang disebut Janjaweed, milisi berkuda beretnis Arab yang pada awal tahun 2000-an juga digunakan untuk melawan kelompok pemberontak beretnis non-Arab, seperti Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice and Equality Movement (JEM) di Darfur Barat. Bahkan saat itu, milisi-milisi tersebut telah menggunakan kekerasan ekstrem, termasuk terhadap warga sipil.

    “RSF dan milisi-milisi sekutunya telah secara luas menargetkan dan membunuh warga sipil, banyak di antaranya karena etnis mereka,” demikian bunyi laporan organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) pada Juni tahun ini. “RSF juga melakukan kekerasan seksual yang meluas, terutama pemerkosaan berkelompok, serta penjarahan. Mereka juga menghancurkan kota dan desa, sering kali dengan cara membakar, serta menjarah bantuan kemanusiaan dalam skala besar.” Mahkamah Pidana Internasional menemukan adanya indikasi kejahatan perang di Sudan.

    Tujuan: Mematahkan semangat musuh

    Pola ini, menurut Peter, dikhawatirkan akan terulang dalam beberapa hari mendatang di El Fasher. Para komandan kerap memerintahkan tentara yang berada di bawah pengaruh narkoba berat. Sebagian dari mereka bahkan adalah tentara anak-anak.

    “Kami mengenali pola dan logika yang kini diterapkan di El Fasher dari tempat-tempat lain di Sudan,” lanjut Peter. “Tujuannya adalah untuk, dalam arti tertentu, mematahkan semangat musuh. Dan hal itu dilakukan paling efektif dengan memperkosa perempuan — dan semakin sering juga laki-laki. Selain itu, RSF telah menggali parit-parit di sekitar kota sehingga tidak ada yang bisa melarikan diri. Tujuannya adalah untuk membuat kota itu kelaparan secara sistematis. Nyawa manusia tidak berarti apa-apa dalam konflik ini.”

    Hal serupa juga dilaporkan oleh Arjan Hehenkamp dari organisasi bantuan International Rescue Committee (IRC), kepala penanganan krisis untuk Darfur. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke Kota Tawila, di mana sudah ratusan ribu orang mencari perlindungan. “Orang-orang yang melarikan diri dari El Fasher datang dari neraka,” kata Hehenkamp di situs organisasi tersebut. “Mereka tidak memiliki apa-apa selain pakaian yang mereka kenakan. Banyak dari mereka sangat trauma dan mencari perlindungan serta harapan.” Namun Tawila pun kini berada di ambang batas kemampuannya. “Tanpa perluasan besar-besaran bantuan kemanusiaan, penderitaan ini akan terus meningkat.”

    Namun bukan hanya RSF yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Sudanese Armed Forces (SAF) juga melakukan “serangan brutal terhadap penduduk sipil,” demikian isi laporan HRW. “Daftar kekejaman mereka semakin panjang, hampir setiap hari.”

    Selama berbulan-bulan, kekhawatiran meningkat bahwa Sudan dapat terpecah akibat perang ini. “Bahaya ini,” pungkas Marina Peter, “menjadi semakin nyata setiap hari perang ini berlangsung.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Rizki Nugraha

    (ita/ita)

  • Perang Baru Trump Makin Ngeri, Jet Bomber Turun-Negara Deportasi Warga

    Perang Baru Trump Makin Ngeri, Jet Bomber Turun-Negara Deportasi Warga

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perang narkoba Presiden Amerika Serikat (AS) terhadap Venezuela di Laut Karibia makin ngeri. Data dari situs web pelacakan Flightradar24, menunjukkan dua bomber AS B-1B, lepas landas dari sebuah pangkalan di negara bagian Dakota Utara, terbang sejajar dengan pantai Venezuela.

    Hal ini menyusul penerbangan lain di dekat Venezuela oleh setidaknya satu pesawat B-1B minggu lalu dan satu lagi oleh beberapa pesawat pengebom B-52 minggu sebelumnya Sebelumnya, AS juga telah memerintahkan gugus tugas tempur kapal induk USS Gerald R. Ford ke Amerika Latin, dengan mengerahkan 10 jet tempur siluman F-35 ke Puerto Riko, Kamis lalu.

    Mengutip AFP, Rabu (29/10/2025), saat ini, ada total tujuh kapal Angkatan Laut AS di Karibia. Kapal induk lain, USS Gravely juga bertengger di Trinidad dan Tobago sejak akhir pekan di mana marinir AS disebut akan melakukan latihan gabungan dengan pasukan pertahanan lokal.

    Militer AS juga telah melakukan serangan terhadap setidaknya 10 kapal yang diduga sebagai penyelundup narkoba, sembilan kapal dan satu kapal semi-submersible, sejak awal September. Perang baru Trump itu menewaskan sedikitnya 43 orang.

    Perlu diketahui, Washington dan Caracas telah berselisih selama bertahun-tahun. AS menolak kemenangan pemilu Maduro pada tahun 2018 dan 2024 sebagai penipuan.

    Deportasi Warga

    Sementara konflik AS dan Venezuela ini menyeret Trinidad dan Tobago. Tetangga Caracas yang kini menjadi tempat singgah militer Washington tersebut, tengah mempertimbangkan “deportasi massal” migran tak berdokumen di wilayahnya, yang sebagian besar adalah warga Venezuela.

    Dalam memorandum pemerintah, Menteri Keamanan dalam Negeri Trinidad dan Tobago memerintahkan penghentian rencana pembebasan imigran ilegal yang ditahan. Ia mengatakan negara mempertimbangkan pelaksanaan deportasi massal.

    AS sendiri sudah sejak September menggencarkan perang terahadp narkoba dengan target Venezuela. Trump menyebut Presiden Nicolas Maduro terlibat mafia obat-obatan terlarang itu.

    Sementara itu, pada Senin, Maduro menangguhkan perjanjian gas dengan Trinidad dan Tobago, menyebut Perdana Menteri (PM) Persad-Bissessar mengubah negaranya menjadi kapal induk kekaisaran Amerika. Ia mengatakan keduanya tengah melakukan “pemerasan” ke Venezuela.

    Parlemen Venezuela pada hari Selasa menyatakan Persad-Bissessar sebagai “persona non grata” di negara itu. Persona Non Grata, merujuk negara berhak untuk menolak atau mengusir diplomat di negara penerima.

    Perlu diketahui, AS baru-baru ini mengizinkan Trinidad dan Tobago untuk mengeksploitasi ladang gas Dragon di perairan Venezuela meskipun ada embargo minyak dan gas AS. Hal ini pun memperdalam ketegangan antara kedua negara tetangga tersebut.

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Australia Kirimkan Imigran ke Negara Terpencil di Samudra Pasifik

    Australia Kirimkan Imigran ke Negara Terpencil di Samudra Pasifik

    Canberra

    Otoritas Australia mulai mengirimkan para imigran ke Nauru, negara kepulauan kecil yang terpencil di Samudra Pasifik, berdasarkan kesepakatan kontroversial antara kedua negara yang ditandatangani tahun ini.

    Sekitar 350 imigran, yang sebagian besar dihukum atas tindak kejahatan serius termasuk penyerangan, penyelundupan narkoba, dan bahkan pembunuhan, seperti dilansir AFP, Selasa (28/10/2025), akan dikirimkan ke Nauru setelah otoritas Australia gagal menempatkan mereka di lokasi mana pun.

    Mereka yang dikirimkan ke Nauru itu merupakan para imigran yang tidak bisa dideportasi ke negara asalnya dan tidak bisa ditahan tanpa batas waktu di penjara Australia.

    “Nauru telah mengonfirmasi pada Jumat (24/10) lalu bahwa pemindahan pertama telah dilakukan,” kata Menteri Dalam Negeri Australia, Tony Burke, dalam pernyataannya.

    Namun Burke tidak menyebutkan lebih lanjut soal berapa banyak imigran yang telah dikirimkan ke Nauru.

    Selama bertahun-tahun, kelompok imigran itu mendekam di dalam sistem penahanan imigrasi Australia setelah visa mereka dibatalkan karena mereka terlibat kejahatan kekerasan, atau karena para pejabat Canberra memiliki kekhawatiran lain.

    Australia tidak dapat mendeportasi mereka kembali ke negara-negara asal mereka karena mereka menghadapi risiko serius seperti perang atau persekusi agama.

    Putusan Pengadilan Tinggi yang bersejarah pada tahun 2023 menyatakan bahwa pemerintah Canberra telah melanggar hukum karena menahan kelompok imigran tersebut tanpa batas waktu karena tidak ada tempat untuk mengirimkan mereka.

    Menghadapi reaksi politik yang tajam saat mereka dibebaskan dari penahanan ke masyarakat, Australia meminta bantuan kepada negara tetangga di Pasifik, Nauru. Canberra akan membayar Nauru ratusan juta dolar Australia untuk memukimkan kembali para imigran itu berdasarkan kesepakatan rahasia, yang sebagian besar ketentuannya dirahasiakan.

    Sebagai imbalannya, Nauru setuju untuk memberikan visa jangka panjang dan mengizinkan para imigran itu berbaur dan bergaul bebas dengan 12.500 jiwa penduduknya.

    Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese sebelumnya, seperti dilansir Associated Press, mengakui adanya pembayaran kepada Nauru, namun dia tidak mengonfirmasi besaran pembayaran yang dilaporkan media-media lokal.

    Laporan media lokal menyebut pemerintah Australia akan membayar otoritas Nauru sebesar AU$ 400 juta, atau setara Rp 4,2 triliun, untuk mencapai kesepakatan, kemudian membayar sebesar AU$ 70 juta, atau setara Rp 750,2 miliar, per tahun untuk mempertahankan kesepakatan itu.

    Pada akhir Agustus lalu, Burke mengejutkan media Australia dengan mengunjungi Nauru, di mana dia menandatangani nota kesepahaman dengan Presiden Nauru David Adeang.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Kepala Imigrasi Batam Buka Suara Usai Viral Pegawainya Disebut-sebut Terlibat Kasus Narkoba

    Kepala Imigrasi Batam Buka Suara Usai Viral Pegawainya Disebut-sebut Terlibat Kasus Narkoba

    Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam, Hajar Aswad, buka suara soal kabar tersebut. Dia mengatakan, pihaknya sedang melakukan pendalaman internal sekaligus berkoordinasi dengan Polda Kepulauan Riau (Kepri) terkait informasi tersebut.

    “Kami menghormati dan akan mengikuti seluruh proses hukum yang berlaku. Penanganan terhadap dugaan keterlibatan pegawai yang nge-pos di Batu Ampar akan dilakukan secara profesional dan transparan,” ujar Hajar Aswad melalui siaran tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa (28/10/2025).

    Namun perihal adanya permintaan sejumlah uang agar pegawai itu dibebaskan dari jeratan kasus narkoba, dia membantah tegas. Menurutnya, kabar itu tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

    “Kantor Imigrasi Batam akan bekerja sama dengan pihak berwenang dan bersikap kooperatif jika ditemukan adanya tindakan yang melanggar hukum,” tegasnya.

    Hajar Aswad mengimbau masyarakat untuk tidak mudah percaya atau terpancing oleh isu yang belum jelas kebenarannya. Ia memastikan bahwa Imigrasi Batam tetap berkomitmen menjaga integritas, transparansi, dan profesionalitas dalam setiap pelayanan publik.

    “Kami terus mendukung upaya pemberantasan segala bentuk pelanggaran hukum, termasuk di lingkungan internal kami sendiri,” ujarnya.

  • Venezuela Gagalkan Operasi CIA untuk Provokasi Perang

    Venezuela Gagalkan Operasi CIA untuk Provokasi Perang

    Caracas

    Pemerintah Venezuela mengklaim telah menggagalkan operasi yang direncanakan oleh badan intelijen pusat Amerika Serikat (AS), CIA, untuk memprovokasi perang di kawasan Karibia, saat ketegangan kedua negara semakin meningkat.

    Caracas menyebut serangan itu melibatkan kelompok yang didanai CIA, yang merencanakan serangan “false flag” atau serangan “bendera palsu” terhadap kapal-kapal perang AS yang dikerahkan ke kawasan Karibia bagian selatan, untuk kemudian secara keliru menyalahkan Venezuela.

    Serangan atau operasi bendera palsu merujuk pada operasi kambing hitam untuk menyamarkan pihak yang sebenarnya bertanggung jawab dan menjadikan pihak lain sebagai kambing hitam.

    Otoritas Venezuela, seperti dilansir AFP, Selasa (28/10/2025), mengatakan mereka telah membongkar sebuah operasi yang menargetkan kapal perang AS, USS Gravely, yang berlabuh di Trinidad dan Tobago untuk latihan militer gabungan pada Minggu (26/10) waktu setempat.

    Trinidad dan Tobago yang merupakan negara pulau kembar berpenduduk 1,4 juta jiwa di kawasan Karibia, terletak di dekat lepas pantai Venezuela dan berada dalam jarak tembak dari daratan utama Caracas.

    Menteri Dalam Negeri Venezuela, Diosdado Cabello, mengatakan pada Senin (27/10), bahwa sebuah sel yang “didanai oleh CIA” berencana menyerang USS Gravely dan menyalahkan Caracas.

    Cabello menyebut empat orang telah ditangkap oleh otoritas Venezuela, namun identitas mereka yang tidak ditangkap tidak diungkap ke publik. Caracas diketahui secara rutin mengklaim telah menangkap tentara-tentara bayaran yang didukung AS yang diklaim bekerja untuk mengganggu stabilitas pemerintahan Presiden Nicolas Maduro.

    Kedatangan kapal perang AS itu ke dekat wilayahnya itu memicu kemarahan Venezuela, yang menyebutnya sebagai “provokasi” dan mengklaim pengerahan kapal itu “bertujuan untuk memprovokasi perang di Karibia”.

    Sebagai bagian dari kampanye militer Presiden AS Donald Trump, Pentagon sejauh ini telah mengerahkan tujuh kapal perang AS ke Karibia dan satu kapal perang lainnya ke Teluk Meksiko. Washington juga telah mengumumkan kedatangan segera kapal induk USS Gerald R Ford, kapal induk terbesar di dunia, beserta armada pendampingnya.

    Venezuela dan beberapa pengamat meyakini pemerintahan Trump menggunakan pengerahan militer ini untuk menekan pemerintah Caracas dan menggulingkan Maduro, yang tidak diakui oleh Washington sebagai presiden yang sah.

    Selain meningkatkan pengerahan militer, Trump baru-baru ini mengonfirmasi dirinya memberikan izin untuk operasi CIA di Venezuela dan mempertimbangkan serangan darat terhadap kartel di negara tersebut.

    Sejak September lalu, pasukan AS telah menghancurkan setidaknya 10 kapal yang diduga menyelundupkan narkoba, dan menurut penghitungan AFP berdasarkan data AS, telah menewaskan sedikitnya 43 orang di perairan internasional di kawasan Karibia.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • 2 Pesawat Pengebom AS Kembali Melintas di Dekat Venezuela

    2 Pesawat Pengebom AS Kembali Melintas di Dekat Venezuela

    Washington DC

    Dua pesawat pengebom B-1B milik Amerika Serikat (AS) kembali mengudara di atas Laut Karibia, tepatnya di lepas pantai Venezuela, pada Senin (27/10) waktu setempat. Ini menjadi aksi pamer kekuatan ketiga yang dilakukan pesawat-pesawat militer AS di kawasan tersebut dalam beberapa pekan terakhir.

    Penerbangan pesawat pengebom supersonik jarak jauh itu terjadi saat AS menggencarkan operasi militer terhadap para terduga pengedar narkoba di kawasan Karibia, dengan mengerahkan pasukan yang telah memicu kekhawatiran di Caracas bahwa perubahan rezim menjadi tujuan akhir Washington.

    Data pelacakan penerbangan dari situs Flightradar24, seperti dilansir AFP, Selasa (28/10/2025), menunjukkan dua pesawat pengebom B-1B terbang sejajar dengan pantai Venezuela sebelum menghilang dari pandangan. Kedua pesawat itu lepas landas dari sebuah pangkalan di North Dakota, AS.

    Aksi pamer kekuatan ini menyusul penerbangan lainnya di dekat Venezuela oleh setidaknya satu pesawat pengebom B-1B pekan lalu, dan satu penerbangan lainnya oleh beberapa pesawat pengebom B-52 pada awal bulan ini.

    Washington juga mengerahkan kelompok tempur kapal induk AS, USS Gerald R Ford, ke kawasan Amerika Latin, setelah mengerahkan 10 jet tempur siluman F-35 ke Puerto Rico, dan saat ini menempatkan tujuh kapal Angkatan Laut AS di Karibia, sebagai bagian dari apa yang disebutnya sebagai upaya menangkal narkotika.

    Pasukan AS telah melancarkan serangan terhadap setidaknya 10 kapal yang diduga penyelundup narkoba — yang terdiri atas sembilan kapal biasa dan satu kapal semi-summersible — sejak awal September lalu.

    Menurut penghitungan AFP berdasarkan data AS, sedikitnya 43 orang tewas dalam serangan-serangan itu.

    Namun Washington belum juga merilis bukti untuk menunjukkan kapal-kapal yang menjadi targetnya digunakan untuk menyelundupkan narkoba.

    Ketegangan regional telah meningkat akibat kampanye dan peningkatan pengerahan aset militer yang menyertainya, dengan Venezuela menuduh AS berkomplot untuk menggulingkan Presiden Nicolas Maduro, yang menuduh Washington “merekayasa perang”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)