Kasus: mafia tanah

  • Senator desak pemerintah bongkar mafia tanah berkaca dari kasus JK

    Senator desak pemerintah bongkar mafia tanah berkaca dari kasus JK

    Jakarta (ANTARA) – Anggota DPD RI Irman Gusman mendesak pemerintah membongkar akar mafia tanah setelah mencuatnya kasus dugaan penyerobotan lahan milik Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar.

    Ia menilai kasus tersebut menjadi momentum penting untuk mereformasi total sistem pertanahan nasional.

    “Kasus yang menimpa Pak JK ini bukan perkara kecil, tetapi sinyal bahaya atas lemahnya tata kelola pertanahan di Kementerian ATR/BPN. Negara tidak boleh tunduk pada mafia tanah,” ucap Irman dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat.

    Mantan Ketua DPD RI itu menilai praktik mafia tanah telah menjadi penyakit kronis yang melibatkan oknum pejabat, aparat, dan korporasi besar.

    “Selama sistem pertanahan tidak dibenahi, selama celah hukum dibiarkan, mafia tanah akan terus hidup,” ujarnya.

    Irman menegaskan kasus yang menimpa JK harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk membongkar jaringan mafia tanah dari hulu ke hilir.

    Ia meminta aparat kepolisian dan Kementerian ATR/BPN menuntaskan kasus tersebut tanpa tebang pilih.

    “Jika penegakan hukumnya setengah hati, publik akan menilai negara kalah oleh mafia tanah. Ini soal keadilan dan martabat hukum, bukan sekadar sengketa sertifikat,” kata Irman.

    Menurutnya, praktik mafia tanah tumbuh subur karena adanya kolusi antara pejabat, aparat, dan korporasi yang memanfaatkan kelemahan sistem.

    Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah melakukan reformasi total pertanahan melalui digitalisasi data, keterbukaan kepemilikan serta sistem pengawasan lintas lembaga yang transparan.

    “Meskipun kini BPN telah beralih ke sistem sertifikat digital, kasus seperti ini menunjukkan bahwa digitalisasi belum otomatis menutup celah manipulasi. Integritas data, validasi kepemilikan, dan pengawasan lintas instansi tetap harus diperkuat agar mafia tanah tidak memanfaatkan sistem dari balik layar,” tuturnya.

    Irman juga menyoroti kasus serupa telah menimpa sejumlah tokoh mulai dari mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal hingga ibunda artis Nirina Zubir.

    “Kini korbannya mantan wakil presiden dua periode. Ini bukti betapa rapuhnya perlindungan hukum atas hak kepemilikan tanah di negeri ini,” ucapnya.

    Ia menekankan pemberantasan mafia tanah tidak bisa dilakukan oleh satu lembaga saja, melainkan harus melibatkan semua pihak mulai dari RT/RW, notaris dan PPAT, BPN, aparat penegak hukum hingga lembaga peradilan.

    “Semua harus berada dalam sistem yang bersih dan terintegrasi. Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan bisnis,” katanya.

    Irman juga menyerukan political will yang kuat dari pemerintah untuk menindak siapa pun yang terlibat, termasuk korporasi besar.

    “Kalau negara kalah, yang dirampas bukan hanya tanah rakyat, tetapi juga martabat hukum kita,” kata dia.

    Sebelumnya, JK meninjau langsung lahan seluas 16,5 hektare miliknya di kawasan GMTD, Makassar, Rabu (5/11). Ia menemukan lahannya diklaim oleh seseorang bernama Manjung Ballang yang disebut berprofesi sebagai penjual ikan.

    “Masa penjual ikan punya tanah seluas ini,” ujar JK.

    Ia menjelaskan bahwa tanah tersebut dibelinya sejak lama dari anak Raja Gowa, jauh sebelum wilayah itu masuk administrasi Kota Makassar.

    Sementara itu, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid memastikan PT Hadji Kalla, perusahaan milik JK memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB) yang sah atas lahan bersengketa tersebut.

    Pewarta: Benardy Ferdiansyah
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Hadji Kalla Beberkan Bukti HGB Lahan 16,4 Ha yang Bersengketa

    Hadji Kalla Beberkan Bukti HGB Lahan 16,4 Ha yang Bersengketa

    Bisnis.com, MAKASSAR – Kuasa Hukum PT Hadji Kalla Azis Tika menegaskan bahwa lahan seluas 16,4 hektare yang sedang bersengketa dengan PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk. (GMTD), secara sah milik Kalla Group.

    Adapun, bukti kepemilikan empat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan pada 8 Juli 1996 oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar:

    1. Bidang tanah yang diuraikan di dalam sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor : 695/Maccini Sombala. Surat Ukur tanggal 4 Nopember 1993 seluas 41.521 m2, tercatat An. PT Hadji Kalla;

    2. Bidang tanah yang diuraikan di dalam sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor : 696/Maccini Sombala. Surat Ukur tanggal 4 Nopember 1993 seluas 38.549 m2, tercatat An. PT Hadji Kalla;

    3. Bidang tanah yang diuraikan di dalam sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor : 697/Maccini Sombala. Surat Ukur tanggal 4 Nopember 1993 seluas 14.565 m2, tercatat An. PT Hadji Kalla;

    4. Bidang tanah yang diuraikan di dalam sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor : 698/Maccini Sombala. Surat Ukur tanggal 4 Nopember 1993 seluas 40.290 m2, tercatat An. PT Hadji Kalla.

    General Consul Division Head Kalla Ruly Ermawan (kanan), Kuasa Hukum PT. Hadji Kalla Azis Tika  (tengah) dan Ahli Waris Andi Idris Mangenrurung A. Idjo memperlihatkan Sertifikat saat konfrensi pers terkait sengketa lahan KALLA dengan PT GMTD Tbk di Makassar, Sulawesi Selatan./Bisnis-Paulus Tandi Bone. 

    Selain itu ada juga bukti dokumen Akta Pengalihan Hak Atas tanah Nomor 37 tertanggal 10 Maret 2008 seluas 2,9 hektare. Jadi total luas keseluruhannya 16,4 hektare.

    Azis Tika juga mengatakan bahwa kliennya telah menguasai lahan tersebut sejak 1993 dan tidak pernah terputus sampai saat ini, yaitu sejak terjadinya transaksi jual beli pada 20 November 1993.

    Masing-masing nomor 931/KT/XI/1993 seluas 41.521 meter persegi dari Andi Erni, nomor 932/KT/XI/1993 seluas 38.459 meter persegi dari pihak Andi Pangurisang, nomor 933/KT/XI/1993 seluas 14.565 meter persegi dari pihak Andi Pallawaruka, dan nomor 934/KT/XI/1993 seluas 40.290 meter persegi dari pihak A. Batara Toja.

    “Selanjutnya pada tahun 2016 pihak BPN telah menerbitkan keputusan perpanjangan HGB klien kami sampai dengan tanggal 24 September 2036,” ucap Azis di Makassar, Jumat (7/11/2025).

    Chief Legal & Sustainability Officer Kalla Subhan Djaya Mappaturung mengatakan bahwa lahan tersebut telah direncanakan untuk pembangunan proyek properti terintegrasi.

    Namun, sejak adanya aktivitas pematangan lahan dan pemagaran yang dimulai pada 27 September 2025, pihaknya mengaku mengalami banyak gangguan fisik yang diduga dilakukan oleh pihak GMTD.

    Belakangan baru diketahui GMTD ternyata telah mengajukan permohonan eksekusi atas lahan tersebut pada objek tanah seluas 16,3 hektare.

    Anehnya, ditambahkan Subhan, permohonan eksekusi tersebut berdasarkan perkara yang melibatkan GMTD melawan Manyombalang Dg Solong, bukan Kalla Group.

    “Kami membeli tanah ini dari orang tua Karaeng Ici’, ahli waris dari Pallawaruka, bukan dari Manyombalang. Sertifikat kami tidak pernah digugat tapi tiba-tiba tanah itu mau dieksekusi,” ungkap Subhan.

    Sementara itu, Andi Idris Mangenrurung A. Idjo (Karaeng Ici’), yang mengaku sebagai ahli waris pemilik lahan awal mengatakan bahwa Manyombalang bukan merupakan keluarganya. Tidak ada hubungannya dengan lahan tersebut dan tidak pernah menguasainya sampai sekarang.

    “Jadi saya menganggap bahwa putusan ini ada kaitannya dengan mafia tanah karena akan dieksekusi tanpa sepengetahuan pemilik tanah. Makanya saya juga akan lanjutkan ke proses hukum,” tegasnya.

    Bisnis telah menghubungi pihak GMTD. Namun hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan dari GMTD.

  • Nusron Wahid Pastikan PT Hadji Kalla Pemilik Sah Lahan di Makassar yang Disengketakan

    Nusron Wahid Pastikan PT Hadji Kalla Pemilik Sah Lahan di Makassar yang Disengketakan

    Ia menegaskan bahwa lahan tersebut dibeli secara sah lebih dari tiga dekade lalu dan tidak pernah bermasalah sebelumnya.

    “35 tahun lalu saya sendiri yang beli dan tidak ada (pernah bermasalah). Kami tidak ada hubungan hukum dengan GMTD, tidak,” tegas JK di lokasi, Rabu (5/11/2025).

    JK juga mempertanyakan dasar gugatan yang disebut-sebut berasal dari pihak Manyombalang, yang menurutnya tidak memiliki kapasitas hukum atas lahan tersebut.

    “Karena yang dituntut Manyombalang. Itu penjual ikan, masa penjual ikan punya tanah seluas ini,” cetusnya.

    Ia menduga klaim tersebut sebagai bentuk rekayasa dan kebohongan.

    “Jadi itu kebohongan rekayasa macam-macam. Jadi jangan main-main di sini, di Makassar ini,” tegas mantan Wakil Presiden RI dua periode itu.

    Ketika ditanya apakah ada dugaan perampokan lahan oleh pihak GMTD, JK memberikan penegasan.

    “Iya, karena kita punya, ada suratnya, sertifikatnya. Tiba-tiba diajukan mengaku, itu perampokan namanya,” tegasnya.

    Lebih lanjut, JK juga menyinggung kemungkinan adanya praktik mafia tanah dalam kasus ini.

    “Iya, cuma yang kita beli dulu dari Hj Najmiah, dulu dia yang punya tanah di sini. Jadi mungkin dia ditipu ambil ini tanah. Dia belum datang ke Makassar, kita sudah punya,” ungkapnya.

    Ia khawatir, jika praktik seperti ini dibiarkan, maka bisa menjadi preseden buruk bagi siapa pun yang memiliki lahan di Makassar.

    “Kalau begini, nanti seluruh kota dia akan mainkan seperti ini, perampokan seperti ini. Kalau Hadji Kalla saja mau main-main, apalagi yang lain,” tukasnya.

  • JK Marah-marah Sebut Tanahnya 16,4 Ha Dirampok Perusahaan Ini

    JK Marah-marah Sebut Tanahnya 16,4 Ha Dirampok Perusahaan Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mantan Wakil Presiden RI sekaligus Founder PT Hadji Kalla, Jusuf Kalla, tengah bersengketa dengan PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (GMTD). JK menyebut tanah seluas 16,4 hektare di kawasan Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) dirampok oleh GMTD.

    “Padahal ini tanah saya sendiri yang beli dari Raja Gowa, kita beli dari anak Raja Gowa. Ini (lokasi) kan dulu masuk Gowa ini. Sekarang (masuk) Makassar,” kata JK mengutip detik.com saat meninjau langsung lokasi lahan sengketa di Jalan Metro Tanjung Bunga, Rabu (5/11/2025).

    JK menilai lahan yang dimiliki Hadji Kalla tersebut sah dengan kepemilikan sertifikat resmi. Tanah itu juga katanya sudah dikuasai selama 30 tahun.

    “(Punya) sertifikat, dibeli, tiba-tiba ada yang datang, merekayasa, segala macam. Sok-sokan, pendatang lagi, tiba-tiba merampok. Mereka omong kosong semua,” katanya.

    JK pun menilai tindakan GMTD sebagai penghinaan terhadap warga Bugis-Makassar yang menjaga kehormatan lewat perjuangan mempertahankan hak atas tanah. Dia menilai kasus ini bukan hanya soal kepemilikan, tetapi juga soal harga diri masyarakat Makassar.

    “Ini kehormatan untuk orang Makassar, kehormatan untuk orang Bugis-Makassar. Yang punya tanah selama 30 tahun tiba-tiba ada yang datang merampok. Kehormatan kita semua,” ucapnya

    JK juga menyoroti klaim GMTD yang menyebut telah melakukan eksekusi atas lahan tersebut. Dia menilai tindakan itu tidak sah karena tidak memenuhi syarat hukum sebagaimana ketentuan Mahkamah Agung (MA).

    JK menegaskan MA mewajibkan proses eksekusi dilakukan dengan pengukuran resmi oleh BPN. Karena itu, dia menyebut langkah GMTD tersebut sebagai bentuk kebohongan dan rekayasa hukum.

    “Ini Mahkamah Agung (sesuai aturan) mengatakan harus diukur oleh BPN. Jadi, pembohong semua mereka itu,” lanjutnya.

    JK bahkan menyebut mempertahankan hak atas tanah ini sebagai jihad melawan ketidakadilan. Dia menilai kasus ini sarat rekayasa yang terstruktur dan merugikan pihak Hadji Kalla.

    JK menegaskan Hadji Kalla tidak memiliki hubungan hukum apa pun dengan GMTD dalam perkara yang diklaim dimenangkan di pengadilan. Menurutnya, pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan itu tidak memiliki dasar hukum yang sah dan hanya melakukan klaim sepihak.

    “Kami tidak ada hubungan (persoalan) hukum dengan GMTD. Karena yang dituntut Manyombalang (Dg Solong). Itu penjual ikan kan? Masa penjual ikan punya tanah seluas ini? Jadi, itu kebohongan, rekayasa semua. Itu permainan Lippo (Group), ciri Lippo begitu,” tuturnya.

    JK juga menuding ada indikasi praktik mafia tanah di balik langkah GMTD tersebut. Dia menilai jika dirinya saja bisa menjadi korban, masyarakat kecil bisa lebih mudah dirampas haknya.

    “Kalau begini, nanti seluruh kota (Makassar) dia akan mainkan seperti itu, merampok seperti itu. Kalau Hadji Kalla saja dia mau main-maini, apalagi yang lain,” ketusnya.

    JK memastikan akan terus melawan dugaan ketidakadilan dalam kasus ini melalui jalur hukum. Dia juga mendesak aparat pengadilan untuk berlaku adil dan tidak berpihak pada kepentingan tertentu.

    “Mau sampai ke mana pun, kita siap untuk melawan ketidakadilan, ketidakbenaran. Dan juga aparat pengadilan itu berlaku adillah. Jangan dimainin,” ungkapnya.

    Menteri ATR/BPN Nusron Wahid Buka Suara

    Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, buka suara tentang kasus sengketa tanah tersebut. Nusron menilai, polemik tersebut muncul lantaran adanya eksekusi dari pengadilan atas konflik antara GMTD dengan pihak lain. Namun demikian, proses eksekusi ini belum melalui proses konstatering.

    Konstatering adalah proses pencocokan atau pengamatan resmi terhadap suatu objek sengketa dengan kondisi di lapangan untuk memastikan kesesuaiannya dengan amar putusan pengadilan.

    “Itu karena ada eksekusi pengadilan konflik antara GMTD dengan orang lain, tiba-tiba dieksekusi dan proses eksekusinya itu belum melalui proses konstatering. Salah satu metode konstatering itu adalah pengukuran ulang,” ujar Nusron mengutip detik.com di Hotel Sheraton Gandaria, Jakarta Selatan, Kamis (6/11/2025).

    Kementerian ATR/BPN sudah bersurat kepada Pengadilan Negeri Makassar sebagai respons atas polemik tersebut. Dalam surat itu, Nusron mempertanyakan proses eksekusi yang dilakukan oleh pengadilan.

    “Kamu sudah kirim surat kepada pengadilan di Kota Makassar bahwa intinya mempertanyakan proses eksekusi tersebut karena belum ada konstatering, mengingat di atas tanah tersebut itu masih ada dua masalah,” ujarnya.

    Nusron menyebut, terdapat sejumlah persoalan yang melingkupi tanah tersebut. Pertama, gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dari pihak atas nama Mulyono. Kedua, HGB dari PT Hadji Kalla.

    “Nomor dua, di atas tanah tersebut ada sertifikat tanah HGB atas nama PT Hadji Kalla. Jadi, ada tiga pihak ini, kok tiba-tiba langsung dieksekusi? Jadi, kita mempertanyakan itu saja,” kata dia.

    (wur/wur)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Geram Tanah Miliknya Diklaim, JK Ingatkan Lippo Group: Jangan Main-main di Makassar!

    Geram Tanah Miliknya Diklaim, JK Ingatkan Lippo Group: Jangan Main-main di Makassar!

    GELORA.CO – Pendiri PT Hadji Kalla, Jusuf Kalla (JK), mengaku geram terhadap pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan yang sudah dia beli di Jalan Metro Tanjung Bunga, Kota Makassar.

    JK mengatakan, lahan seluas 16,4 hektare di kawasan Tanjung Bunga sudah dibeli Hadji Kalla sejak 30 tahun lalu, sebelum para pengembang datang ke Makassar.

    “Dia belum datang ke Makassar, kita sudah punya,” ujar Jusuf Kalla di Kawasan Metro Tanjung Bunga, Kota Makassar, Rabu (5/11/2025).

    Mantan Wakil Presiden RI itu menegaskan tak punya urusan dengan PT GMTD Tbk yang memenangkan sengketa atas kepemilikan lahan yang diklaim Hadji Kalla.

    Menurut JK, GMTD menggugat seseorang penjual ikan, bukan perusahaannya. Ia pun mempertanyakan bagaimana seorang penjual ikan bisa memiliki lahan seluas 16 hektare.

    “Kami tidak ada hubungan hukum dengan GMTD, tidak. Karena yang dituntut itu, siapa namanya? Itu penjual ikan kan? Iya, penjual ikan. Masa’ penjual ikan punya tanah seluas ini,” katanya.

    Meski begitu, JK menduga ada pihak yang merekayasa kepemilikan lahan milik Hadji Kalla.

    JK menyebut Lippo Group atau Lippo Karawaci yang merupakan induk usaha PT GMTD ikut terlibat dalam rekayasa kepemilikan lahan.

    “Jadi itu kebohongan dan rekayasa [kepemilikan], itu permainan Lippo, itu ciri Lippo itu. Jadi jangan main-main di sini, di Makassar ini,” tegas JK, mengingatkan.

    Menurut JK, dugaan praktik mafia tanah tersebut perlu diwaspadai karena bisa merugikan masyarakat.

    “Kalau begini, nanti seluruh kota dia akan memainkan seperti itu, rampok seperti itu. Kalau Hadji Kalla ada yang mau main-main, apalagi sama rakyat lain,” ujar JK.

    Ia menegaskan PT Hadji Kalla akan melawan setiap upaya dugaan rekayasa kepemilikan lahan dan mengingatkan lembaga peradilan untuk bersikap adil.

    “Mau sampai ke mana pun, kita siap untuk melawan ketidakadilan, tidak kebenaran. Dan jangan juga, aparat pengadilan itu berlaku adillah dukung kebenaranlah, jangan dimainin,” pungkas JK. (*)

  • Sidang Mafia Tanah di Gresik, Terdakwa Minta Bebas

    Sidang Mafia Tanah di Gresik, Terdakwa Minta Bebas

    Gresik (beritajatim.com) — Sidang lanjutan perkara mafia tanah atau pemalsuan dokumen pengurusan sertifikat hak milik (SHM) di Kabupaten Gresik segera memasuki babak akhir.

    Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Gresik dijadwalkan membacakan vonis putusan terhadap terdakwa Resa Andrianto pada Kamis (23/10/2025) mendatang. Mantan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu disidangkan bersama Adhienata Putra Deva, asisten surveyor kadastral (ASK) pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Gresik.

    Dalam sidang lanjutan tersebut, kedua terdakwa menyampaikan tanggapan atas jawaban Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebelumnya, JPU bersikukuh menuntut Resa dengan hukuman 4 tahun penjara, dan Deva dengan hukuman 3 tahun penjara. “Kami sangat memohon Majelis Hakim membebaskan terdakwa dari tuntutan,” ujar Johan Avie, penasihat hukum terdakwa, Senin (20/10/2025).

    Menurut Johan, pasal 263 ayat (2) jo pasal 56 ke-2 KUHP yang digunakan untuk menjerat kliennya terkesan dipaksakan. Ia menjelaskan bahwa pihak korban, Tjong Cien Sing, dan PT Kodaland Inti Properti, sebenarnya telah bersepakat untuk melakukan pelurusan batas tanah senilai Rp60 juta.

    “Kami sudah melampirkan bukti transfer atas kesepakatan dua pihak, di mana pelapor membayar Rp25 juta dan perusahaan Rp35 juta,” ungkapnya.

    Johan menegaskan, tanggapan itu merupakan bagian dari pledoi pembelaan yang disampaikan dalam sidang sebelumnya, serta menolak adanya keterlibatan terdakwa sejak awal perkara. “Apabila Majelis Hakim PN Gresik memiliki pendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya,” ujarnya.

    Sementara itu, JPU Imamal Muttaqin tetap pada tuntutannya. Ia menilai, alat bukti, keterangan saksi, serta fakta persidangan sudah cukup kuat membuktikan dakwaan. “Terdakwa secara sah dan meyakinkan melanggar pasal yang kami dakwakan,” tegasnya.

    Usai sidang, Hakim Ketua Sarudi menjadwalkan pembacaan vonis pada Kamis (23/10). Sidang tersebut menjadi puncak dari 15 kali persidangan yang telah berlangsung sejak 21 Agustus 2025. “Seluruh alat bukti dan fakta persidangan akan menjadi pertimbangan kami dalam menjatuhkan putusan,” pungkas Sarudi. [dny/kun]

  • Sidang Mafia Tanah di Gresik, Terdakwa Laporkan Ayah Kandung ke Pihak Berwajib

    Sidang Mafia Tanah di Gresik, Terdakwa Laporkan Ayah Kandung ke Pihak Berwajib

    Gresik (beritajatim.com) – Sidang lanjutan kasus mafia tanah di Gresik kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Gresik. Dalam persidangan kali ini, terdakwa Resa Andrianto menyampaikan pledoi (pembelaan) di hadapan majelis hakim.

    Dalam pledoinya, Resa menyampaikan permintaan mengejutkan—ia meminta agar ayah kandungnya, Budi Riyanto, ditindak tegas dan dilaporkan ke pihak berwajib.

    Resa mengaku sudah lebih dari dua tahun berjuang mencari keadilan setelah dirinya dicatut dalam kasus pemalsuan dokumen batas tanah atas nama Tjong Cien Sing, pihak pelapor dalam perkara ini.

    “Saya tidak tahu apa-apa, tiba-tiba dituduh membuat surat palsu. Karena itu, saya mohon kepada majelis hakim agar melaporkan ayah saya ke pihak berwajib,” ujar Resa, Selasa (14/10/2025).

    Menurut Resa, peran ayahnya—yang merupakan mantan pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Gresik—membuat dirinya terseret dalam kasus hukum tersebut. “Benar, beliau ayah saya. Tapi tega sekali mengorbankan anaknya. Sakit rasanya. Akhirnya, mau tidak mau, saya harus melaporkan orang tua saya sendiri,” ungkap pria berusia 37 tahun itu dengan nada getir.

    Resa pun berharap majelis hakim dapat memberi keadilan seadil-adilnya. Ia juga menyampaikan rasa terima kasih kepada keluarga dan istrinya yang tetap setia mendampinginya selama proses hukum berjalan. “Saya pasrah kepada Allah SWT. Terima kasih kepada istri yang selalu setia, dan titip salam untuk ibu saya,” ujarnya lirih.

    Sementara itu, penasihat hukum terdakwa, Johan Avie, membacakan pledoi setebal 50 halaman yang menyoroti banyaknya kejanggalan dalam proses hukum sejak penyidikan di kepolisian hingga perkara bergulir di pengadilan. “Tuntutan 4 tahun atas pasal 263 ayat 2 jo pasal 56 ke-2 KUHP sangat dipaksakan. Kami meminta majelis hakim membebaskan terdakwa dari seluruh tuntutan,” tegas Johan.

    Ia menambahkan, dari 10 saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), tidak satu pun mampu menjelaskan peran terdakwa secara jelas. Bahkan, sebagian besar saksi dan pelapor mengaku tidak mengenal Resa. “Tidak ada pidana tanpa pelaku dan niat jahat. Berdasarkan fakta persidangan, klien kami bukan keduanya,” ujarnya menegaskan.

    Menanggapi hal itu, Hakim Ketua Sarudi memberikan waktu kepada JPU untuk menyiapkan tanggapan terhadap pledoi tersebut. “Sidang ditunda hingga Kamis (16/10). Kami tegaskan, dalam perkara ini tidak boleh ada intervensi dari pihak mana pun. Bila ditemukan, akan kami laporkan ke aparat berwenang,” tegasnya. (dny/kun)

  • Sidang Mafia Tanah di PN Gresik Ungkap Peran Budi dalam Pemalsuan SHM

    Sidang Mafia Tanah di PN Gresik Ungkap Peran Budi dalam Pemalsuan SHM

    Gresik (beritajatim.com) – Sidang mafia tanah terkait pemalsuan dokumen pengurusan Sertifikat Hak Milik (SHM) terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Gresik. Dalam sidang yang berlangsung Kamis (2/10/2025), semakin terkuak peran Budi Riyanto yang kini menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) dan diduga sebagai otak dari rekayasa yang memanipulasi tanah milik Tjong Cien Sing.

    Dalam agenda kali ini, dua terdakwa yang dihadirkan, Resa Andrianto dan Adhienata Putra Deva, memberikan keterangan sebagai saksi di hadapan Ketua Majelis Hakim Sarudi. Resa, yang juga anak kandung Budi, mengungkapkan bahwa dirinya baru mengetahui ada masalah dengan berkas tersebut setelah penyidik memeriksanya pada Desember 2024.

    “Saya baru mengetahui berkas tersebut bermasalah ketika diperiksa penyidik pada Desember 2024. Saat itu juga saya ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Resa.

    Lebih lanjut, Resa menjelaskan bahwa ayahnya, Budi Riyanto, meski sudah purna tugas sebagai pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Gresik, masih sering terlibat dalam pengurusan SHM atas nama pemohon. Namun, Resa menegaskan bahwa dirinya tidak pernah ikut menandatangani dokumen permohonan tersebut.

    “Saat itu saya sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bisa dipastikan semuanya persyaratan sudah dipalsukan,” ungkapnya.

    Selain itu, Resa juga menyebutkan bahwa sering kali terjadi ketegangan antara dirinya dengan Budi terkait urusan pekerjaan, yang mana statusnya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kerap dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

    Ketua Majelis Hakim Sarudi, setelah mendengarkan keterangan Resa, sempat memeriksa tanda tangan terdakwa. Hasilnya, ditemukan perbedaan mencolok antara tanda tangan Resa yang ada dalam berkas permohonan dengan tanda tangan asli yang dikenalnya. “Fakta ini bisa menjadi pertimbangan terdakwa dalam mengajukan pledoi pembelaan,” jelas Hakim Sarudi.

    Sarudi juga menyinggung bahwa proses permohonan yang dilakukan Budi dapat selesai dalam waktu yang sangat singkat, sehingga mencurigakan adanya pihak lain yang terlibat. “Kami segera menjadwalkan ulang permohonan saksi ahli dari JPU pada pekan depan. Harap bisa dipastikan untuk hadir agar perkara bisa diputuskan,” imbuh Sarudi.

    Peristiwa ini mengungkapkan bukan hanya tentang manipulasi dokumen semata, namun juga menunjukkan potensi adanya kolaborasi dengan oknum dalam internal BPN Gresik, yang memungkinkan proses pengurusan sertifikat tanah bisa berlangsung dengan sangat cepat dan lancar, meskipun ada kejanggalan dalam persyaratannya. [dny/suf]

  • Anggota DPR: Perusahaan sawit wajib jalankan aturan dalam kegiatannya

    Anggota DPR: Perusahaan sawit wajib jalankan aturan dalam kegiatannya

    pemerintah saat ini sedang berupaya menghidupkan perekonomian rakyat dan membangkitkan kesejahteraan masyarakat desa, namun cita-cita tersebut sulit tercapai apabila perusahaan tidak patuh pada regulasi

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Soedeson Tandra menegaskan perusahaan sawit wajib menjalankan aturan dalam kegiatannya dan jangan sampai merampas hak rakyat.

    Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Jakarta, Rabu (1/10), ia menyebutkan kewajiban perusahaan, termasuk perusahaan sawit, sudah diatur jelas dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya mengenai setiap perusahaan perkebunan yang wajib menyerahkan 20 persen lahan plasma untuk masyarakat.

    “Kalau sampai perusahaan menanam di luar batas Hak Guna Usaha (HGU) itu bukan hanya melanggar aturan, tetapi sama saja merampok uang rakyat dan uang negara,” ucap Soedeson, seperti dikutip dari keterangan di Jakarta, Kamis.

    Adapun RDPU Komisi III DPR dilakukan bersama masyarakat Desa Teluk Bayur, Desa Pelanjau Jaya, dan Desa Suka Karya, kembali menyoroti praktik perusahaan sawit yang diduga merugikan masyarakat adat di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

    Menanggapi berbagai pokok masalah yang disampaikan oleh DPP Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) RDPU, ia mengatakan pemerintah saat ini sedang berupaya menghidupkan perekonomian rakyat dan membangkitkan kesejahteraan masyarakat desa, namun cita-cita tersebut sulit tercapai apabila perusahaan tidak patuh pada regulasi.

    Dia menekankan perusahaan asing yang beroperasi di Tanah Air seharusnya tunduk pada hukum dan aturan pemerintah.

    “Kalau mereka tidak patuh, itu sama saja menghina bangsa ini. Kita tidak boleh biarkan rakyat terus diperlakukan tidak adil,” ujarnya.

    Maka dari itu, Soedeson mendukung langkah Panja Mafia Tanah Komisi III DPR untuk segera memanggil direksi PT Prakarsa Tani Sejati (PTS), PT Budidaya Agro Lestari (BAL), dan PT Sandika Nata Palma (SNP), bersama Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kalimantan Barat dan Kepala Kantor BPN Kabupaten Ketapang.

    Menurutnya, perjuangan masyarakat tiga desa yang bersatu melawan kesewenang-wenangan perusahaan merupakan bagian dari upaya menegakkan keadilan agraria di Indonesia.

    Bersama masyarakat Desa Suka Karya, Teluk Bayur, Pelanjau Jaya, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat dalam agenda RDPU, hadir pula perwakilan mahasiswa Universitas Pamulang (Unpam), Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Pembangunan Nasional (UPN), dan Universitas Atmajaya.

    Perwakilan dari Unpam, Irwansyah menjelaskan langkah tersebut merupakan bentuk komitmen mahasiswa dalam mengadvokasi masyarakat yang terganggu berbagai hak konstitusinya.

    Dia mengungkapkan masyarakat pada ketiga desa tersebut sudah puluhan tahun hidup dengan kekhawatiran karena lahan adat mereka dengan luas ribuan hektare sampai hari ini dieksploitasi oleh perusahaan yang melanggar batas-batas pada HGU yang diterbitkan.

    Dalam kesempatan yang sama, perwakilan UPN, Joxin menyatakan pendampingan tersebut bentuk solidaritas mahasiswa sebagai implementasi Tridharma Perguruan Tinggi untuk turun langsung kepada masyarakat.

    Bagi pihaknya, perjuangan masyarakat selaras dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam menegaskan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

    “Hal ini tentunya merupakan landasan utama yang menggariskan arah pembangunan nasional demi menjamin keselamatan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,” ucap Joxin.

    Ia pun menegaskan kembali bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan milik seluruh rakyat Indonesia, dikuasai negara, dan wajib dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir oligarki maupun korporasi asing.

    Oleh karenanya, kata dia, Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi suatu kepastian dalam pelaksanaan yang konkret sebagai semangat keadilan sosial sesuai amanat pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa tujuan bernegara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tantangan Penerapan Sertifikat Tanah Elektronik, Pakar: Raih Kepercayaan Publik

    Tantangan Penerapan Sertifikat Tanah Elektronik, Pakar: Raih Kepercayaan Publik

    Bisnis.com, JAKARTA —Transformasi digital yang tengah digencarkan oleh pemerintah di sektor pertanahan melalui penerbitan sertifikat tanah elektronik berpotensi menghadapi tantangan dari sisi kepercayaan masyarakat.

    Advokat dan praktisi hukum perumahan,  Muhammad Joni menjelaskan secara legal formal, dokumen digital ini memiliki kedudukan hukum setara dengan sertifikat konvensional berbentuk buku. 

    Namun, dari sisi sosiologis, penerimaan masyarakat masih penuh keraguan. Dia menilai tantangan terbesar sertifikat elektronik bukan terletak pada regulasi, melainkan pada aspek kepercayaan publik atau public trust.

    Dia melanjutkan dalam perspektif sosiologi hukum, masyarakat belum akrab dengan digitalisasi untuk urusan tanah. Ada kelekatan emosional bahwa hak atas tanah harus bisa dipegang secara fisik. 

    “Jika buku sertifikat saja sering tumpang tindih dan jadi objek sengketa, publik makin ragu dengan bentuk digital yang tidak kasat mata,” ujarnya kepada Bisnis dikutip, Selasa (30/9/2025).

    Joni yang juga Ketua Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat menilai bahwa kepercayaan publik tidak cukup dibangun dengan sosialisasi atau promosi belaka. Menurutnya, jaminan negara menjadi faktor penentu agar masyarakat yakin hak atas tanah benar-benar terlindungi.

    “Publik tidak butuh janji, publik butuh bukti. Sertifikat elektronik hanya akan dianggap ilusi jika negara tidak hadir menyelesaikan sengketa secara cepat, menindak mafia tanah dengan tegas, dan memastikan data pertanahan aman dari manipulasi,” tegasnya.

    Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa konflik agraria yang masih marak di berbagai daerah membuat penerapan sertifikat elektronik berpotensi menghadapi pesimisme publik. Dalam bayangan masyarakat, digitalisasi bukan solusi, melainkan sekadar memindahkan masalah lama ke layar baru.

    “Esensinya, sertifikat tanah, baik dalam bentuk kertas maupun digital adalah janji negara. Jika janji itu ditepati, publik akan percaya. Jika tidak, teknologi secanggih apa pun tidak ada artinya,” kata Joni.