Kasus: korupsi

  • Tokoh Oposisi Turki Imamoglu Kembali Divonis Penjara

    Tokoh Oposisi Turki Imamoglu Kembali Divonis Penjara

    Jakarta

    Pengadilan Istanbul pada Rabu (16/7) menjatuhkan hukuman penjara terhadap Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, rival utama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Putusan tersebut dilaporkan pertama kali oleh media pemerintah TRT, dan dipahami sebagai isyarat meningkatnya gelombang penindakan terhadap oposisi Turki.

    Imamoglu telah ditahan sejak Maret lalu, sambil menghadapi dakwaan lain dalam kasus dugaan korupsi. Dia kini dijatuhi hukuman penjara satu tahun delapan bulan usai dinilai bersalah menghina dan mengancam kepala kejaksaan Istanbul.

    Putusan tersebut masih harus dikukuhkan oleh dua pengadilan banding.

    Vonis tersebut merupakan putusan kedua, di mana Imamoglu divonis bersalah karena menghina pejabat publik. Pada 2022 lalu, dia dijatuhi hukuman dua tahun enam bulan penjara karena mengkritik pejabat dewan pemilu yang membatalkan hasil Pilkada Istanbul 2019. Saat itu, dia secara mengejutkan mengalahkan kandidat dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa.

    Tokoh partai sekuler CHP itu telah mengajukan banding atas putusan tersebut, namun hingga kini pengadilan belum memberi keputusan.

    Imamoglu bantah semua dakwaan

    “Saya telah berjuang melawan penyalahgunaan sistem peradilan dan penggunaannya sebagai alat politik. Ini sungguh merupakan penghinaan terhadap bangsa kita,” kata Imamoglu, dikutip oleh stasiun Halk TV dan media Turki lainnya.

    Vonis dari tahun 2022 itu, jika dikukuhkan, bisa menghalangi pencalonan Imamoglu dalam pemilu kepresidenan mendatang. Universitas Istanbul pada Maret lalu juga secara sepihak membatalkan ijazah universitas Imamoglu, syarat wajib untuk maju sebagai calon presiden.

    Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersikeras menyebut penyelidikan itu sebagai upaya membongkar jaringan korupsi yang dia ibaratkan seperti “gurita yang menjulur ke berbagai wilayah di dalam dan luar negeri.”

    Pembungkaman oposisi?

    Belum pernah sejak rangkaian kudeta militer pada dekade 1960an, 1970an, dan 1980an, seorang pejabat terpilih dipecat tanpa pembuktian di hadapan publik. Oleh kuasa hukum oposisi, bukti-bukti yang diajukan kejaksaan disebut sebagai rekayasa.

    “Penyelidikan ini lebih digunakan sebagai alat penggerusan politik ketimbang penyidikan objektif terhadap kejadian konkret,” ujar Ertugrul Gunay, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata di kabinet Erdogan antara 2007 hingga 2013.

    Gunay mundur dari Partai AKP setelah pemerintah memenjarakan ribuan warga karena ikut serta dalam unjuk rasa oposisi di Gezi Park tahun 2013. Tapi jika dulu pemerintah membidik warga biasa, kali ini target yang disasar merupakan petinggi CHP yang sedang unggul di berbagai jajak pendapat.

    Hal ini, menurutnya, mencerminkan “kekhawatiran dan kepanikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa, terutama menyangkut pemilu mendatang,” kata Gunay kepada Reuters.

    CHP membantah tuduhan korupsi dan menyebutnya sebagai upaya politisasi hukum oleh pemerintah untuk menyingkirkan ancaman elektoral terhadap Erdogan. Tuduhan ini berulang kali dibantah pemerintah Turki.

    CHP dalam bidikan Erdogan

    Sidang hari Rabu digelar di kompleks pengadilan-penjara di Distrik Silivri, Istanbul — tempat yang kerap digunakan untuk persidangan berprofil tinggi dan sensitif secara politik — dan menjadi lokasi tempat Imamoglu kini ditahan.

    Direktorat Komunikasi Turki merilis daftar mantan wali kota dari AKP yang pernah divonis dalam penyelidikan serupa, untuk menyangkal klaim bahwa hanya CHP yang menjadi target. Disebutkan, sebagian besar mantan wali kota tersebut diselidiki setelah mereka tidak lagi menjabat, dan tidak ditahan selama proses hukum berlangsung.

    Namun, tinjauan Reuters terhadap dokumen penyelidikan terbaru menunjukkan, tidak ada tindakan hukum yang dilakukan di 14 dari 39 distrik di Istanbul yang dikuasai oleh AKP.

    Mehmet Pehlivan, pengacara Imamoglu yang juga ditahan bulan lalu atas tuduhan keterlibatan dalam organisasi kriminal — yang juga dia bantah — mengatakan dari balik penjara, penyelidikan ini merupakan upaya pertama dalam mengkriminalisasi hak untuk membela dan menjalankan profesi hukum.

    Dia menegaskan, kliennya tidak dihadapkan pada “satu pun bukti konkret.”

    Editor: Agus Setiawan

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • KPK Tetapkan 4 Orang Tersangka di Kasus Suap Pengadaan Katalis Pertamina

    KPK Tetapkan 4 Orang Tersangka di Kasus Suap Pengadaan Katalis Pertamina

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan Katalis sekaligus gratifikasi pada PT Pertamina (Persero) 2012-2014. 

    Dalam catatan Bisnis, kasus pengadaan katalis Pertamina sudah naik ke tahap penyidikan dan diumumkan ke publik pada sekitar 2023 lalu. 

    “KPK juga telah menetapkan empat orang sebagai tersangka,” ungkap Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Kamis (17/7/2025). 

    Empat orang tersebut di antaranya adalah mantan Direktur Pengolahan Pertamina, Chrisna Damayanto. 

    Kemudian, tiga orang lainnya adalah pihak swasta yaitu Direktur PT Melanton Pratama Gunardi Wantjik, pegawai PT Melanton Pratama Frederick Aldo Gunardi serta swasta Alvin Pradipta Adiyota. 

    Penyidik lembaga antirasuah juga sudah melakukan serangkaian upaya paksa pada kasus tersebut.

    Misalnya, pada Selasa (15/7/2025), KPK telah menggedah rumah tersangka Gunardi dan Frederick di Jakarta Utara.

    Penyidik menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik yang diduga memperkuat kontruksi perkara dugaan suap dan gratifikasi itu.

    Sepekan sebelumnya, Selasa (8/7/2025), penyidik juga menggeledah rumah tersangka Chrisna dan Alvin di Kota Bekasi. 

    “Penggeledahan-penggeledahan tersebut merupakan rangkaian kegiatan penyidikan, di mana Penyidik berdasarkan informasi yang diperoleh memandang perlu melakukan penggeledahan di tempat-tempat tersebut untuk mencari dan menemukan barang bukti,” terang Budi. 

    Tidak hanya rumah tersangka, penyidik KPK juga telah menggeledah rumah seorang saksi yang merupakan pengembang atau developer apartemen, Muhammad Aufar Hutapea.

    Penyidik menyita uang Rp1,3 miliar yang diduga berkaitan dengan kasus tersebut dari rumah itu. 

    “Sumber uang diketahui dari Tersangka GW [Gunardi] yang melakukan pembelian apartemen kepada MAH [Aufar],” lanjut Budi.

    Untuk diketahui, katalis adalah zat yang dibutuhkan untuk memproduksi biodiesel atau bahan bakar baru dari minyak sawit.

    Zata katalis diperlukan untuk menghilangkan karbondioksida serta mengganti oksigen dengan hidrogen, pada asam lemak yang terkandung dalam minyak sawit. 

    Tujuannya, agar pengolahan minyak sawit dan minyak inti sawit yang ditambahkan dengan katalis akan menghasilkan produk biohidrokarbon dan bisa mensubstitusi minyak fosil, seperti green diesel, green gasoline serta green avtur. 

  • KPK Panggil Mulyono Kasus Suap Proyek Jalan di Daerah Bobby Nasution

    KPK Panggil Mulyono Kasus Suap Proyek Jalan di Daerah Bobby Nasution

    GELORA.CO – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil delapan orang saksi dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan yang menjerat mantan Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting Cs, yang disebut sebagai orang dekat Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution.

    Salah satu saksi yang dipanggil adalah mantan Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, Mulyono (MUL).

    “Pemeriksaan dilakukan di Kantor BPKP Perwakilan Medan atas nama MUL, Mantan Kadis PUPR Provinsi Sumatera Utara,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, melalui keterangan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Kamis (17/7/2025).

    Selain Mulyono, saksi lain yang turut dipanggil yaitu Winda, staf Dinas PUPR Kabupaten Mandailing Natal; Ryan Lubis, Kasi UPT Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas Utara; Suryadi Gozali, pemilik sparepart Daihatsu Motor di Kota Padangsidimpuan; Andi Junaedi, dari UPTD Paluta/Gunung Tua; Addi Mawardi Harahap, Kabid Binamarga Padangsidimpuan; Abdul Azis, staf PU Padangsidimpuan; dan Mardiah, staf honorer Dinas PUPR Kabupaten Mandailing Natal.

    “Hari ini, Kamis (17/7), KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait proyek pembangunan jalan di Provinsi Sumatera Utara (Sumut),” ujar Budi.

    Sebelumnya diberitakan, pada Kamis malam, 26 Juni 2025, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Sumatera Utara. Dalam OTT tersebut, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dan Satker PJN Wilayah I Sumut. Total nilai proyek yang menjadi sorotan mencapai Rp231,8 miliar dari enam proyek jalan yang dikondisikan. KPK menyatakan, penyidikan masih terus dikembangkan terhadap proyek-proyek lain yang diduga bermasalah.

    Kelima tersangka yang telah diumumkan dan ditahan adalah Topan Obaja Putra Ginting selaku Kepala Dinas PUPR Sumut; Rasuli Efendi Siregar sebagai Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); Heliyanto sebagai PPK Satker PJN Wilayah I Sumut; M. Akhirun Efendi Siregar sebagai Direktur Utama PT Daya Nur Global (PT DNG); dan M. Rayhan Dulasmi Piliang sebagai Direktur PT Rukun Nusantara (PT RN).

    KPK memperkirakan total suap dalam kasus ini mencapai sekitar Rp2 miliar dan akan didalami lebih lanjut. Dalam OTT tersebut, penyidik turut mengamankan uang tunai sebesar Rp231 juta yang diduga merupakan bagian dari komitmen fee.

    Dalam konstruksi perkara, kasus pertama terjadi di lingkungan Dinas PUPR Sumut. Topan Obaja Putra Ginting bersama Rasuli Efendi Siregar dan M. Akhirun Efendi Siregar diduga merekayasa pengadaan proyek pembangunan Jalan Sipiongot–Batas Labuhanbatu Selatan dan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot senilai Rp157,8 miliar. PT Daya Nur Global ditunjuk sebagai pelaksana proyek tanpa melalui prosedur yang sah. Dalam pelaksanaannya, Akhirun bersama putranya, Rayhan, diduga memberikan uang kepada Rasuli dan Topan sebagai imbalan atas pengaturan proyek tersebut.

    Sementara itu, dalam kasus kedua yang melibatkan Satker PJN Wilayah I Sumut, Heliyanto selaku PPK diduga menerima suap sebesar Rp120 juta dari Akhirun dan Rayhan sebagai balas jasa atas pengaturan proyek melalui sistem e-katalog. Akibatnya, PT DNG dan PT RN memenangkan sejumlah proyek sepanjang 2023 hingga 2025.

    Gubernur Sumut, Bobby Nasution, mengaku siap jika dipanggil oleh KPK terkait kasus yang menyeret Topan Obaja Putra Ginting.

    “Namanya proses hukum kita bersedia saja, apalagi kalau tadi katanya ada aliran uang,” ujar Bobby di Kantor Gubernur Sumut, Medan, Senin (30/6/2025).

  • 2
                    
                        KPK Sita Uang Rp 1,3 Miliar dari Mantan Suami Olla Ramlan di Kasus Pertamina
                        Nasional

    2 KPK Sita Uang Rp 1,3 Miliar dari Mantan Suami Olla Ramlan di Kasus Pertamina Nasional

    KPK Sita Uang Rp 1,3 Miliar dari Mantan Suami Olla Ramlan di Kasus Pertamina
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) menyita uang senilai Rp 1,3 miliar dari
    Muhammad Aufar Hutapea
    , selaku developer atau pengembang pembangunan apartemen.
    Aufar merupakan mantan suami dari aktris Olla Ramlan.
    KPK mengatakan, sumber uang tersebut berasal dari salah satu tersangka kasus
    gratifikasi
    pengadaan katalis di
    PT Pertamina
    (Persero) tahun 2012, yakni Gunardi Wantjik (GW) selaku Direktur PT Melanton Pratama.
    “Di dalam penyidikan perkara ini, penyidik juga telah menyita uang senilai Rp 1,3 miliar dari MAH (Muhammad Aufar Hutapea) selaku pihak swasta–developer pembangunan apartemen,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Kamis (17/7/2025).
    “Sumber uang diketahui dari tersangka GW (Gunardi Wantjik, Direktur PT Melanton Pratama) yang melakukan pembelian apartemen kepada MAH,” sambung dia.
    Adapun KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus ini.
    Keempat tersangka adalah Gunardi Wantjik (GW) selaku Direktur PT Melanton Pratama, Frederick Aldo Gunardi (FAG) selaku pegawai pada PT Melanton Pratama, Chrisna Damayanto (CD) selaku Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero), dan Alvin Pradipta Adiyota (APA) selaku pihak swasta.
    Budi mengatakan, penyidik melakukan penggeledahan di rumah tersangka Gunardi Wantjik (GW) dan Frederick Aldo Gunardi (FAG) yang berada di wilayah Jakarta Utara, pada Selasa (15/7/2025).
    Dari penggeledahan itu, KPK menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) terkait dugaan suap dalam pengadaan katalis di PT Pertamina (Persero).
    “Penyidik telah menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) yang memperkuat konstruksi perkara suap terkait pengadaan katalis di PT Pertamina (Persero) tahun 2012-2014 serta terkait penerimaan gratifikasi tersangka CD (Mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina),” ujar dia.
    Sebelumnya, pada 6 November 2023, KPK menetapkan tersangka dugaan gratifikasi pengadaan katalis di lingkungan PT Pertamina (Persero).
    Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengatakan, pihaknya telah membuka penyidikan baru perkara dugaan gratifikasi di PT Pertamina itu.
    “Adapun nilai gratifikasi yang diduga diterima oleh pihak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini sebagai bukti permulaan awal senilai belasan miliar rupiah,” kata Ali, dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin (6/11/2023).
    Menurut Ali, pihaknya telah mengantongi cukup bukti untuk meminta pertanggungjawaban secara hukum dalam perkara ini.
    Meski demikian, pihaknya belum bisa mengumumkan identitas para tersangka.
    Dalam perkara ini, KPK juga telah meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk melarang empat orang bepergian ke luar negeri agar proses penyidikan perkara ini bisa berjalan lancar.
    “Pihak dimaksud salah satunya yaitu pejabat di PT Pertamina (Persero),” kata Ali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Tetapkan 4 Tersangka Gratifikasi Pengadaan Katalis di Pertamina

    KPK Tetapkan 4 Tersangka Gratifikasi Pengadaan Katalis di Pertamina

    KPK Tetapkan 4 Tersangka Gratifikasi Pengadaan Katalis di Pertamina
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) menetapkan empat tersangka dalam dugaan gratifikasi pengadaan katalis di lingkungan
    PT Pertamina
    Persero.
    Keempat tersangka adalah Gunardi Wantjik (GW) selaku Direktur PT Melanton Pratama; Frederick Aldo Gunardi (FAG) selaku pegawai pada PT Melanton Pratama; Chrisna Damayanto (CD) selaku Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero); dan Alvin Pradipta Adiyota (APA) selaku pihak swasta.
    “Dalam perkara ini, KPK juga telah menetapkan empat orang,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis (17/7/2025).
    Budi mengatakan, penyidik melakukan penggeledahan di rumah tersangka Gunardi Wantjik (GW) dan Frederick Aldo Gunardi (FAG) yang berada di wilayah Jakarta Utara pada Selasa (15/7/2025).
    Dari penggeledahan itu, KPK menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) terkait dugaan suap dalam pengadaan katalis di PT Pertamina Persero.
    “Penyidik telah menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) yang memperkuat konstruksi perkara suap terkait pengadaan katalis di PT Pertamina (Persero) tahun 2012-2014 serta terkait penerimaan gratifikasi tersangka CD (Mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina),” ujarnya.
    Dalam penyidikan perkara ini, KPK juga telah menyita uang senilai Rp1,3 miliar dari mantan suami selebritas Olla Ramlan sekaligus pengusaha, yaitu Muhammad Aufar Hutapea (MAH).
    Budi mengatakan, sumber uang tersebut berasal dari Gunardi Wantjik (GW) yang melakukan pembelian apartemen kepada MAH.
    “Penyidik juga telah menyita uang senilai Rp1,3 miliar dari MAH (Muhammad Aufar Hutapea), selaku pihak swasta – developer pembangunan apartemen,” tuturnya.
    Budi mengatakan, KPK akan terus memberikan informasi terkait perkembangan penyidikan perkara ini sebagai bentuk transparansi publik dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
    Sebelumnya, pada 6 November 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka dugaan gratifikasi pengadaan katalis di lingkungan PT Pertamina Persero.
    Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengatakan, pihaknya telah membuka penyidikan baru perkara dugaan gratifikasi di PT Pertamina tersebut.
    “Adapun nilai gratifikasi yang diduga diterima oleh pihak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini sebagai bukti permulaan awal senilai belasan miliar rupiah,” kata Ali dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin (6/11/2023).
    Menurut Ali, pihaknya telah mengantongi cukup bukti untuk meminta pertanggungjawaban secara hukum dalam perkara ini.
    Meski demikian, pihaknya belum bisa mengumumkan identitas para tersangka.
    Dalam perkara ini, KPK juga telah meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) atas nama empat orang.
    Mereka dilarang bepergian ke luar negeri agar proses penyidikan perkara ini bisa berjalan lancar.
    “Pihak dimaksud salah satunya yaitu pejabat di PT Pertamina (Persero),” kata Ali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Laporkan Potensi Korupsi di Perusahaan BUMN, Komut Dicopot Erick Thohir

    Laporkan Potensi Korupsi di Perusahaan BUMN, Komut Dicopot Erick Thohir

    Laporkan Potensi Korupsi di Perusahaan BUMN, Komut Dicopot Erick Thohir
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisaris Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Ferry Indonesia 2015-2020,
    Lalu Sudarmadi
    , dicopot dari jabatannya satu bulan setelah melaporkan potensi korupsi di perusahaan pelat merah itu kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
    Erick Thohir
    .
    Keterangan ini terungkap saat Lalu dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Ferry yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.
    Pada persidangan itu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi bahwa Lalu pernah melaporkan proses KSU dan akuisisi PT JN yang bisa merugikan perusahaan dan memperkaya orang lain pada Maret 2020, jauh sebelum kasus ini diusut lembaga antirasuah.
    “Yang paling penting sebenarnya kami melaporkan bahwa akuisisi, ini proses KSU menjadi akuisisi, ini akan berisiko. Itu saja intinya, karena kami pernah menolak 2016, itu saja,” kata Lalu, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025).
    Lalu mengatakan, sedianya ia hendak menyampaikan laporan itu secara informal.
    Namun, deputi di BUMN menyarankan agar mengirim surat resmi kepada Erick.
    Jaksa lalu menunjukkan surat yang dikirim Lalu kepada Erick selaku Menteri BUMN.
    “Ini yang dikirimkan itu? Perihal laporan kepada menteri BUMN saat itu Pak Erick Thohir?” tanya jaksa KPK.
    “Iya,” jawab Lalu.
    Jaksa kemudian membacakan materi surat tersebut yang menyatakan bahwa Dewan Komisaris PT ASDP tidak diberikan informasi yang maksimal terkait kerja sama dengan PT JN, perusahaan yang bergerak di penyeberangan seperti halnya PT ASDP Ferry.
    Komisaris tiba-tiba diundang untuk menghadiri acara penandatanganan
    memorandum of understanding
    (MoU) KSU antara PT ASDP Ferry dengan PT JN.
    Padahal, komisaris meminta agar kerja sama itu dikaji terlebih dahulu agar Dewan Komisaris bisa memberikan saran.
    Selanjutnya, kepada Erick, Lalu memperingatkan bahwa rencana yang disampaikan Direktur Utama PT ASDP Ferry saat itu, Ira Puspadewi, tidak akan menguntungkan
    perusahaan BUMN
    tersebut.
    “Apa yang dikemukakan Dirut akan menguntungkan ASDP hanya sebagai rencana yang tidak akan tercapai, dan berpotensi menimbulkan kerugian serta tindakan memperkaya badan atau orang lain,” kata jaksa KPK membaca surat Lalu.
    Lalu menyebut, KSU itu diduga menjadi modus agar PT ASDP mengakuisisi atau membeli kapal bekas PT JN.
    “Kami laporan kepada Bapak Menteri bahwa kami pada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) 2019 menolak
    akuisisi kapal
    PT JN yang dijadikan agenda RUPS pada waktu itu,” kata dia.
    Jaksa KPK lalu mengonfirmasi, setelah surat itu dikirimkan kepada Erick Thohir pada Maret 2020, dirinya justru dicopot dari kursi Komisaris Utama PT ASDP Ferry pada April.
    Menurut Lalu, ia berharap dipanggil Erick untuk memberikan penjelasan.
    Namun, dirinya justru dicopot tanpa alasan yang jelas.
    Penjelasan dari Deputi di BUMN pun mengambang.
    “Dibilang ‘oh, kesalahannya Pak Menteri, Pak Lalu berprestasi, ini penataan. Nanti Pak Lalu ditempatkan, dicarikan tempat yang lain’. ‘Betul itu?’ ‘Betul’,” ungkap Lalu.
    Tidak hanya dirinya, jajaran komisaris maupun direksi yang menolak menghalangi keinginan Ira mengakuisisi PT JN juga dicopot.
    Hal ini sebagaimana tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Lalu yang dibacakan jaksa KPK.
    “Susunan direksi ataupun komisaris PT ASDP yang menjadi penghalang rencana saudari Ira Puspadewi akan dilakukan pemberhentian, dipecat,” kata jaksa, membacakan BAP Lalu.
    Mereka yang dipecat adalah Wing Antariksa dan Lamane selaku Direktur PT ASDP Ferry.
    Kemudian, Lalu di jajaran komisaris utama dan VP bidang Hukum ASDP Dewi Andriyani yang mengundurkan diri.
    Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa tiga mantan direksi PT ASDP Ferry melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.
    Mereka adalah eks Direktur Utama PT ASDP Ferry, Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono.
    Korupsi dilakukan dengan mengakuisisi PT JN, termasuk kapal-kapal perusahaan itu yang sudah rusak dan karam.
    “Berdasarkan laporan uji tuntas
    engineering
    (due diligence) PT BKI menyebut, terdapat 2 unit kapal yang belum siap beroperasi, yaitu KMP Marisa Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku, dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” ujar jaksa.
    Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp 1,25 triliun dan memperkaya pemilik PT JN, Adjie, Rp 1,25 triliun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Periksa Eks Dirut Allo Bank Indra Utoyo di Kasus EDC

    KPK Periksa Eks Dirut Allo Bank Indra Utoyo di Kasus EDC

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk. atau Allo Bank (BBHI), Indra Utoyo pada kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture atau EDC di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI (BBRI) tahun 2020-2024. 

    Indra terkonfirmasi hadir memenuhi panggilan pemeriksaan oleh penyidik KPK pagi ini. Dia hadir dalam kapasitasnya sebagai saksi. Terdapat total 20 orang saksi yang diperiksa KPK hari ini. 

    Adapun, Indra telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Dia ditetapkan tersangka atas dugaan keterlibatannya dalam proyek pengadaan EDC BRI, saat menjabat Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI 2017-2022.

    “Hari ini Kamis (17/7), KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait proyek pengadaan mesin EDC di lingkungan Bank BRI periode 2020-2024: IU Mantan Direktur Digital & Teknologi Informasi PT BRI (Maret 2017 s.d Maret 2022),” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan melalui keterangannya, Kamis (17/72025). 

    Selain Indra, terdapat satu orang tersangka lagi yang turut diperiksa sebagai saksi hari ini yaitu dari pihak swasta, Rudy Suprayudi Kartadidjaja. 

    Sebelumnya, KPK telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin EDC BRI pada 2020-2024. Kasus itu diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp744,5 miliar dari nilai anggaran pengadaan Rp2,1 triliun. 

    Dari lima orang tersangka, beberapa di antarannya diduga turut menerima keuntungan atau hadiah maupun janji atas pengadaan mesin digitalisasi perbankan itu. 

    Dari lima orang tersangka, tiga di antaranya berasal dari bank BUMN itu yakni Catur Budi Harto (mantan Wakil Direktur Utama BRI), Indra Utoyo (mantan Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI) serta Dedi Sunardi (mantan SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI). 

    Dalam catatan Bisnis, Catur sudah tidak lagi menjabat sebagai wakil direktur utama BRI, sedangkan Indra juga telan mengundurkan diri dari jabatan terakhirnya yaitu Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk. atau Allobank. 

    Kemudian, dua tersangka lain adalah dari pihak swasta atau vendor pengadaan EDC yaitu Elvizar dan Rudy Suprayudi Kartadidjaja. “Yang memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara, yang dihitung dengan metode real cost, sekurang-kurangnya sebesar Rp744,54 miliar,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK pada konferensi pers, Rabu (9/7/2025). 

  • Diburu Kejagung, Kemlu Singapura Pastikan Riza Chalid Tak Ada di Negaranya

    Diburu Kejagung, Kemlu Singapura Pastikan Riza Chalid Tak Ada di Negaranya

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Luar Negeri Singapura merespon kabar keberadaan saudagar minyak Muhammad Riza Chalid yang saat ini menjadi tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina.

    Dalam keterangan resmi Kementerian Luar Negeri Singapura, otoritas Negeri Singa itu memastikan bahwa Riza Chalid tidak berada di Singapura. Bahkan, dia sudah lama tidak mengunjungi negara tersebut.

    “Catatan imigrasi kami menunjukkan bahwa Muhammad Riza Chalid tidak berada di Singapura dan sudah lama tidak memasuki Singapura,” jelasnya, dikutip pada Kamis (17/7/2025). 

    Lanjutnya, pihaknya menuturkan bahwa dirinya terbuka untuk bantuan jika nantinya Indonesia membutuhkan bantuan dari Singapura. 

    “Jika diminta secara resmi, Singapura akan memberikan bantuan yang diperlukan kepada Indonesia, sesuai dengan hukum dan kewajiban internasional kami,” tulis keterangan tersebut. 

    Diberitakan sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna menjelaskan bahwa penyidik belum berencana melakukan penjemputan paksa terhadap tersangka Riza Chalid, namun dipanggil secara patut terlebih dulu.

    “Ada tahapannya nanti, kami berharap sih dia kooperatif ya,” kata Anang, dikutip Kamis (17/7/2025). 

    Anang menuturkan bahwa tim penyidik Kejagung sudah mengirimkan surat panggilan pemeriksaan perdana sebagai tersangka ke kediaman pribadinya.

    Dia juga meminta tersangka Riza Chalid agar kooperatif dan memenuhi panggilan tim penyidik Kejagung untuk diperiksa sebagai tersangka korupsi di PT Pertamina pada pekan depan. 

    Menurut Anang, tersangka Riza Chalid saat ini tengah berada dan tinggal di luar negeri. Namun Anang masih belum mengetahui secara persis di negara mana tersangka itu tinggal.

    “Dari informasi yang kami terima, memang ada di negara lain. Tapi nanti kami coba pastikan lagi ke negara-negara tetangga,” ungkapnya. 

  • Iwan Kurniawan Lukminto Diperiksa Kejagung untuk Keenam Kalinya

    Iwan Kurniawan Lukminto Diperiksa Kejagung untuk Keenam Kalinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali memeriksa bos PT Sri Rejeki Isman Tbk. alias Sritex (dalam status bangkrut) Iwan Kurniawan Lukminto di kasus dugaan korupsi pemberian kredit Sritex.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi, Iwan Kurniawan tiba di Kejagung sekitar 09.20 WIB. Dia tiba di Gedung Bundar Kejagung dengan mengenakan jaket abu dan kemeja putih.

    Selain itu, dia tak sendiri datang ke Kejagung. Pasalnya, Iwan ditemani dengan kuasa hukumnya dalam panggilan korps Adhyaksa tersebut.

    Tak banyak pernyataan yang disampaikan Iwan dalam pemeriksaan kali ini. Dia hanya menyampaikan bahwa dirinya membawa dokumen dalam pemanggilan tersebut.

    “Ya ada, ada dokumen,” singkat Iwan di Kejagung, Kamis (17/7/2025).

    Dalam catatan Bisnis, setidaknya ini kali keenam Iwan Kurniawan diperiksa oleh penyidik Jampidsus Kejagung RI. Terakhir, Iwan diperiksa pada Rabu (9/7/2025).

    Dalam pemeriksaan itu, Harli Siregar yang saat itu menjabat sebagai Kapuspenkum Kejagung RI menyatakan bahwa pemeriksaan Iwan itu berkaitan dengan penyitaan 72 unit kendaraan dari Sritex.

    “Kami sudah sampaikan bahwa karena sifatnya barang bukti itu bisa sebagai alat kejahatan atau bisa menjadi hasil kejahatan atau, karena di bawah penguasaan yang bersangkutan,” ujar Harli di Kejari Jaksel, Kamis (10/7/2025) 

  • Geisz Skeptis Tom Lembong Akan Bebas Meski Dakwaan Jaksa Cacat

    Geisz Skeptis Tom Lembong Akan Bebas Meski Dakwaan Jaksa Cacat

    GELORA.CO -Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat dijadwalkan akan membacakan vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula pada Jumat, 18 Juli 2025.

    Menanggapi hal itu, penggiat demokrasi Geisz Chalifah mengaku skeptis atas proses hukum yang tengah berlangsung, meskipun meyakini Tom Lembong tidak bersalah.

    “Fakta-fakta persidangan telah mengungkap dengan seterang-terangnya. Dakwaan Jaksa terhadap Tom Lembong tak dapat dibuktikan,” ujar Geisz seperti dikutip redaksi, melalui akun X miliknya, Kamis, 17 Juli 2025.

    Ia menilai bahwa penetapan tersangka terhadap Tom Lembong janggal sejak awal. Tom ditetapkan sebagai tersangka pada November 2024, sementara audit BPKP yang menjadi dasar tuduhan baru keluar pada Juni 2025.

    “Tom ditetap sebagai tersangka dulu baru dicarikan bukti,” tegas mantan komisaris Ancol tersebut.

    Meski secara hukum ia optimistis Tom seharusnya divonis bebas, Geisz mengaku tetap ragu. 

    “Bukan karena Tom bersalah, tapi karena hukum telah menjadi alat kekuasaan,” ujarnya.

    Tom Lembong dituntut penjara selama 7 tahun dalam kasus korupsi impor gula di Kemendag tahun 2015-2016. Selain 7 tahun penjara, menteri era Presiden Joko Widodo ini juga dituntut membayar denda Rp750 juta. Jika tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara 6 bulan.

    Tom Lembong didakwa terlibat kasus dugaan impor gula yang merugikan negara Rp578 miliar. Mantan Timses Capres Anies Baswedan di Pilpres 2024 ini disebut-sebut menyetujui impor gula tanpa melalui rapat koordinasi dengan kementerian atau lembaga.

    Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP