Kasus: korupsi

  • Era Yaqut, Persentase Kuota Haji Khusus dan Reguler Sengaja Diubah

    Era Yaqut, Persentase Kuota Haji Khusus dan Reguler Sengaja Diubah

    GELORA.CO –  Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menyatakan bahwa persentase kuota haji khusus dan juga reguler era mantan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Quomas sengaja diubah untuk menguntungkan pihak tertentu. 

    Hal itu terungkap dalam penyelidikan dugaan korupsi kuota haji di Kemenag. Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan aturan resmi menetapkan 8% untuk haji khusus dan 92% untuk reguler. Namun pelaku mengubah proporsi menjadi 50% untuk masing-masing kuota.

    Penyimpangan itu terjadi setelah Pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan 20 ribu kuota haji bagi Indonesia yang sebenarnya ditujukan untuk mempercepat antrean haji reguler menjadi 20 hingga 21 tahun.

    Korupsi tersebut dinilai merugikan jemaah reguler dan menguntungkan haji khusus. KPK telah menerima lima laporan dugaan korupsi kuota haji. Salah satu laporan menyasarkan bekas Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

    “Untuk kuotanya itu 8 sama 92 kalau tidak salah. Jadi 8 persen untuk haji khusus itu ya 92 persen untuk reguler. Tapi kemudian ternyata dibagi dua 50-50 seperti itu yang seharusnya kan pembagiannya itu dan seharusnya juga kalau itu kan kuota memang kuota yang reguler,” kata Asep Guntur dikutip Minggu (27/7/2025).

    Pada 20 Juni 2025, KPK mengonfirmasi telah mengundang dan memanggil sejumlah pihak untuk dimintai keterangan dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi kuota haji khusus.

    KPK sempat memanggil sejumlah pihak, seperti Ustaz Khalid Basalamah hingga Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Fadlul Imansyah.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan pemeriksaan terhadap Khalid Basalamah baru pada tahap penyelidikan. “Benar, yang bersangkutan diperiksa, serta dimintai keterangannya terkait dengan perkara haji,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (23/6/2025).

    Budi mengatakan bahwa Khalid Basalamah kooperatif saat diperiksa penyelidik KPK terkait kasus dugaan korupsi haji khusus tersebut. “Dia menyampaikan informasi dan pengetahuannya sehingga sangat membantu penyelidik,” kata Budi.

    Budi menjelaskan bahwa Khalid Basalamah didalami pengetahuannya terkait pengelolaan ibadah haji. Dia meminta semua pihak untuk dapat memenuhi panggilan penyelidik KPK pada tahap penyelidikan kasus dugaan korupsi kuota haji khusus tersebut, seperti yang dilakukan Khalid Basalamah.

    “Supaya penanganan perkara terkait dengan haji ini dapat secara efektif dan bisa segera terang begitu penanganan perkaranya,” kata budi.

    Berdasarkan informasi yang dihimpun Monitorindonesia.com, Khalid Basalamah disebut memiliki agensi umrah dan haji bernama Uhud Tour.

    Pada kesempatan berbeda, Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan bahwa kasus dugaan korupsi terkait kuota haji khusus tidak hanya terjadi pada tahun 2024, tetapi juga tahun-tahun sebelumnya.

    Untuk tahun 2024, Pansus Angket Haji DPR RI mengklaim menemukan sejumlah kejanggalan yang terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji pada tahun 2024. Titik poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50:50 pada alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Arab Saudi.

    Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

  • Motor Sitaan Atas Nama Ajudan, KPK: Ridwan Kamil Bukan Samarkan Kepemilikan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Juli 2025

    Motor Sitaan Atas Nama Ajudan, KPK: Ridwan Kamil Bukan Samarkan Kepemilikan Nasional 27 Juli 2025

    Motor Sitaan Atas Nama Ajudan, KPK: Ridwan Kamil Bukan Samarkan Kepemilikan
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa mantan Gubernur Jawa Barat
    Ridwan Kamil
    (RK) bukan menyamarkan kepemilikan kendaraan berupa sepeda motor. 
    KPK pun masih menyusuri faktanya sebelum membuat kesimpulan itu. 
    “Jadi kami sedang susuri ini sebetulnya. Jadi bukan Pak RK menyamarkan kepemilikan motornya, bukan. Sedang kami susuri,” kata Asep saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (27/7/2025).
    Asep menerangkan sepeda motor yang disita penyidik Komisi Antirasuah dari Ridwan Kamil diketahui bukan atas nama RK. Nama yang tertera dalam dokumen kepemilikan kendaraan tersebut adalah ajudan Ridwan Kamil.
    “Saya jelaskan bahwa barang-barang yang disita khususnya motor itu, itu dari kepemilikannya, bukti kepemilikan dalam hal ini dari STNK-nya, surat-suratnya BPKB Itu bukan atas nama beliau. Itu atas nama orang lain, dalam hal ini ajudannya,” ujarnya.
    Lebih lanjut, Asep menjelaskan bahwa RK akan diperiksa KPK terkait penyitaan sepeda motor tersebut lantaran kendaraan itu disita dari rumahnya.
    “Kalau penyidik menyita itu dari mana barang itu berada, dari siapa barang itu berada, seperti itu. Jadi penjelasannya sampai saat ini kami sedang mendalaminya,” kata Asep.
    Sebelumnya, KPK pada 10 Maret 2025 menggeledah rumah Ridwan Kamil terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan iklan pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) periode 2021–2023, dan menyita sejumlah kendaraan dari penggeledahan tersebut.
    Sejak saat itu hingga Minggu (27/7), tercatat sudah 139 hari Ridwan Kamil belum dipanggil KPK sebagai saksi kasus tersebut.
    Sementara itu, penyidik KPK telah menetapkan lima orang tersangka kasus tersebut yang pada tahun perkara menjabat sebagai berikut, yakni Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi (YR) dan pejabat pembuat komitmen (PPK) sekaligus Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan Bank BJB Widi Hartoto (WH).
    Selain itu, Pengendali Agensi Antedja Muliatama dan Cakrawala Kreasi Mandiri, Ikin Asikin Dulmanan (IAD), Pengendali Agensi BSC Advertising dan Wahana Semesta Bandung Ekspress Suhendrik (SUH), dan Pengendali Agensi Cipta Karya Sukses Bersama Sophan Jaya Kusuma (SJK).
    Penyidik KPK memperkirakan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi di Bank BJB tersebut sekitar Rp222 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Uji Materi UU Kementerian Negara, MK Diminta Tegaskan Larangan Rangkap Jabatan Wakil Menteri

    Uji Materi UU Kementerian Negara, MK Diminta Tegaskan Larangan Rangkap Jabatan Wakil Menteri

    Bisnis.com, JAKARTA — Advokat konstitusi Viktor Santoso Tandiasa akan secara resmi mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 23 Undang-Undang No. 39/2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (28/7/2025) pukul 13.00 WIB besok.

    Gugatan ini bertujuan meminta MK menyatakan larangan rangkap jabatan menteri juga berlaku bagi wakil menteri dan termuat secara eksplisit dalam amar putusan.

    Viktor menilai praktik rangkap jabatan yang dilakukan oleh setidaknya 30 wakil menteri sebagai komisaris di perusahaan milik negara telah menimbulkan konflik kepentingan dan melemahkan tata kelola serta pengawasan dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dia menganggap hal ini berdampak langsung terhadap pelayanan publik dan kualitas produk BUMN yang dinikmati masyarakat.

    “Dengan dirangkapnya jabatan komisaris oleh wakil menteri, pengawasan di perusahaan negara tidak optimal, bahkan berpotensi menimbulkan praktik korupsi dan suap. Saya sendiri pernah mengalami kerugian sebagai konsumen, misalnya mendapatkan BBM oplosan,” ujar Viktor melalui rilisnya, Minggu (27/7/2025).

    Pasal 23 UU Kementerian Negara secara eksplisit hanya melarang menteri merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris atau direksi perusahaan negara/swasta, maupun pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD.

    Menurut Viktor, ketentuan ini bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai mencakup wakil menteri.

    Lebih lanjut, dia meminta Mahkamah Konstitusi tidak sekadar menyebut penafsiran larangan itu dalam pertimbangan hukum seperti dalam Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019, melainkan secara tegas memuatnya dalam amar putusan. Putusan sebelumnya itu dinilai tidak mengikat karena hanya menguji Pasal 10 UU 39/2008 tentang kedudukan wakil menteri, bukan Pasal 23 tentang larangan rangkap jabatan.

    “Penjelasan Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum itu bukan ratio decidendi, melainkan obiter dicta, sehingga tidak mengikat. Karena itu, perlu ditegaskan secara eksplisit dalam amar putusan,” tegas Viktor.

    Dia juga membantah anggapan bahwa permohonannya masuk kategori nebis in idem (perkara yang sama tidak boleh diajukan kembali), karena Mahkamah belum pernah menguji substansi konstitusionalitas Pasal 23 secara khusus.

    Dalam petitumnya, Viktor meminta Mahkamah menyatakan Pasal 23 UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai mencakup larangan bagi “menteri dan wakil menteri” untuk merangkap jabatan sebagai Pejabat negara lainnya, Komisaris atau direksi perusahaan negara/swasta, Pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD.

    Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk tanggung jawab warga negara untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum, kepastian hukum, dan pemerintahan yang baik, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Menyatakan Pasal 23 UU 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap frasa “Menteri dilarang merangkap jabatan bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai: Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan,” pungkasnya.

  • Kasus Segede Gajah Seperti Itu Lewat

    Kasus Segede Gajah Seperti Itu Lewat

    GELORA.CO –  Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat menyinggung kasus yang menimpa mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong dan Kasus Sekretaris Jendral (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.

    Menurut Djarot kasus yang menjerat kedua orang tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap orang-orang yang mengkritik dan berbeda pandang politik. 

    Hal ini disampaikan Djarot saat memberikan sambutannya di acara peringatan peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Minggu (27/7/2025) hari ini. 

    “Kemarin terjadi kasusnya Tom Lembong dan Mas Hasto Kristiyanto, cari sampai ketemu (kesalahan) masukan penjara,” kata Djarot.

    Menurut Djarot, sedangkan kasus-kasus besar seperti kasus minyak goreng hingga blok Medan luput dari pandangan aparat penegak hukum. Ia mengatakan bahwa ada banyak kasus-kasus besar yang seakan-akan tidak tersentuh oleh hukum. 

    “Sedangkan kasus-kasus yang besar seperti kasus minyak goreng lewat, kasus pesawat jet lewat, kasus korupsi infrastruktur di Sumatra Utara lewat, kasus blok apa?, Medan. Banyak banget kasus-kasus yang segede-gede gajah seperti itu lewat,” ungkapnya.

    “Seperti kata pepatah, gajah di pelupuk mata tidak tetlihat, kutu di seberang pulau kelihatan. Itu yang terjadi sekarang,” tambahnya. 

  • Dulu Bela Kejaksaan, Sekarang Mahfud Sebut Vonis Tom Lembong Salah: Dia Tak Langgar Hukum

    Dulu Bela Kejaksaan, Sekarang Mahfud Sebut Vonis Tom Lembong Salah: Dia Tak Langgar Hukum

    GELORA.CO  – Mantan Menteri Koorinator Politik, Husum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengkritik Kejaksaan hingga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atas vonis yang dijatuhkan keypads eks Menteri Perdagangan (Mendag), Tom lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016.

    Mahfud mengatakan, putusan vonis 4 tahun 6 bulan Tom Lembong itu salah karena eks Co-Captain Tim Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar tersebut tidak terbukti melanggar hukum.

    Dulu, Mahfud memang sempat mendukung langkah Kejaksaan yang pada saat itu mentersangkakan Tom Lembong, meski tidak menerima aliran dana dari korupsi yang dituduhkan.

    Sebab, dijelaskan Mahfud, seseorang juga bisa disebutkan korupsi Mika dia memperkaya orang lain, sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tipikor: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya  diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara  minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah  dan paling banyak 1 miliar rupiah.

    “Untuk kasus Tom Lembong ini saya sudah melihat prosesnya, proses peradilan dan vonisnya. Kemudian saya harus mengkritik kejaksaan maupun pengadilan dengan kata bahwa putusan itu salah. Salah dalam pengertian kalau dalam hukum putusan yang salah itu harus dilawan dengan banding gitu,” ungkap Mahfud, dikutip dari YouTube Mahfud MD Official, Minggu (27/7/2025).

    “Orang melakukan banding itu karena putusannya dianggap salah. Menurut saya memang salah. Karena apa? Karena dulu ketika Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka pada bulan November tahun lalu, saya membela kejaksaan. Ketika kejaksaan disudutkan tidak boleh menjadikan seseorang sebagai tersangka kalau yang bersangkutan tidak menerima aliran dana dari korupsi yang dituduhkan.”

    “Waktu itu saya katakan, penersangkaan Tom Lembong kalau hanya karena dia tidak menerima aliran dana, maka dia bisa ditersangkakan. Saya katakan, korupsi itu dananya, satu mengalir ke diri sendiri atau mengalir ke orang lain atau mengalir ke korporasi. Tom Lambong tidak ada bukti memperkaya diri sendiri sehingga ada mengalir ke situ, menurut saya tepat pada waktu itu ditetapkan sebagai tersangka, pada waktu konteksnya ketersangkaan ya, bukan Tonis” jelasnya.

    Namun, seiring berjalannya waktu melihat proses peradilan Tom Lembong hingga putusan vonis ini, Mahfud merasa aneh.

    Mahfud pun menjelaskan bahwa dalam hukum pidana, ada dua unsur utama yang harus sama-sama terbukti, yakni Actus Reus dan Mens Rea.

    “Sekarang vonisnya itu aneh karena dalam hukum pidana itu ada dua unsur utama yang harus sama-sama terbukti. Satu namanya Actus Reus, jenis perbuatan yang bisa dihitung, bisa didengar, bisa disaksikan oleh logika-logika biasa. Ada barangnya. Actus Reus itu ya ada perbuatannya, kalau di pidana itu perbuatannya satu, memperkaya diri sendiri atau orang lain, caranya melawan hukum. Lalu yang ketiga merugikan keuangan negara. Itu Actus Reus untuk korupsi,” Kata Mahfud.

    “Nah, yang kedua ada unsur lain yang lebih penting dari itu, namanya Mens Rea, artinya niat jahat. Niat jahat itu terjadi kalau dia melakukan itu karena ada niat. Apa ukurannya niat itu? Pertama tujuan, purpose, miming bertujuan melakukan itu. Yang kedua tahu dia bahwa itu tidak benar dan dia tahu bahwa itu tidak boleh terjadi. Yang ketiga karena lalai, lalai termasuk unsur Mens Rea. Yang keempat karena sembrono,” sambungnya.

    Tom lembong dalam kasus ini pun tidak terbukti terdapat niat jahat, maka dari itu Mahfud pun bertanya-tanya kenapa eks Mendag tersebut dihukum.

    Selain Mens Rea yang tidak terbukti, Jaksa juga tidak bisa membuktikan adanya Actus Reus, karena Tom Lembong tidak terbukti melanggar hukum.

    Tom Lembong, kata Mahfud, hanya melaksanakan perintah. Hal tersebut juga didukung dengan bukti-bukti dokumen, bahkan ada rapat-rapat yang terselenggara untuk membahas cara menangani kelangkaan gula pada waktu itu.

    Mahfud pun menegaskan, bukti-bukti yang ada itu juga tidak bisa dibantah oleh Jaksa di pengadilan.

    “Kalau tidak ada mens kenapa dihukum? Tidak boleh, dalilnya yang paling dasar itu adalah geen straf zonder schuld, ini bahasa Belanda, tidak boleh ada pemidanaan kalau tidak ada kesalahan. Kesalahan itu mens rea itu kesalahan,” jelas Mahfud.

    “Actus Reus-nya pun tidak terbukti toh, karena pertama dia tidak melanggar hukum. Dia melaksanakan perintah. Dana yang mengalir betul menguntungkan, tapi dia kan melaksanakan perintah tidak melanggar hukum.”

    “Ada dokumen-dokumen bahwa diperintahkan untuk menangkal kelangkaan gula kan pada waktu itu dan ada rapat-rapatnya, ada perintahnya yang tidak dibantah di dalam persidangan,” tegasnya.

    Tom Lembong Ajukan Banding

    Atas vonis 4 tahun 6 bulan penjara yang telah dijatuhkan, Tom pun secara resmi mengajukan banding.

    Kuasa hukum mantan Tom, Zaid Mushafi mengatakan bahwa pertimbangan majelis hakim menurut nalar hukum tidak sesuai dengan fakta persidangan.

    Melalui upaya hukum ini, tim kuasa hukum akan membantah pendapat yang disampaikan hakim dalam pertimbangan putusannya.

    Vonis Tom, kata Zaid, hanya berdasarkan keterangan saksi semata.

    “Saya terangkan bahwasanya pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa ada pertemuan, ada korelasinya antara Pak Tom dengan perusahaan swasta itu hanya didasarkan pada keterangan saksi yang pada saat persidangan menyatakan lupa,” katanya.

    Selain itu, menurut Zaid, tidak ada mens rea atau niat jahat Tom yang bisa dibuktikan dalam perkara korupsi impor gula.

    “Untuk itu, kita melihat, mendengarkan semua putusannya itu tidak cermat, teliti dan tidak didasarkan pada fakta-fakta persidangan,” ucapnya.

    Tentang banding ini, Jubir Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Andi Saputra mengungkapkan bahwa permohonan banding atas vonis Tom itu telah tercatat di Kepaniteraan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Permohonan banding tersebut tercatat nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst atas nama terdakwa Thomas Trikasih Lembong.

    “Permohonan banding diajukan oleh penasihat hukum terdakwa yaitu Rifkho Achmad Bawazir pada Selasa,” kata Andi dalam keterangannya, Rabu.

    Selanjutnya, kata Andi, pembanding akan diberikan waktu maksimal 14 hari, terhitung sejak 25 Juli 2025, untuk mengajukan memori banding.

    “Setelah itu, berkas akan dikirim ke Pengadilan Tinggi Jakarta untuk diproses guna diperiksa dan diadili oleh majelis banding,” kata Andi.

    Oleh sebab itu, dijelaskan Andi, maka putusan nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst belum berkekuatan hukum tetap.

    “Dan status yang bersangkutan masih sebagai terdakwa,” tandasnya

  • MAKI Ungkap Info Riza Chalid Kini Tinggal di Johor, Diduga Nikahi Kerabat Sultan

    MAKI Ungkap Info Riza Chalid Kini Tinggal di Johor, Diduga Nikahi Kerabat Sultan

    GELORA.CO – Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) memastikan tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Muhammad Riza Chalid saat ini berada di Malaysia dan diduga sudah menikahi kerabat sultan dari salah satu negara bagian Negeri Jiran. Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman di Kuala Lumpur, Sabtu (26/7/2025), menyampaikan pernikahan itu ditengarai telah dilakukan sejak empat tahun lalu.

    “Dalam konteks ini saya sudah memastikan Riza Chalid ada di Malaysia, dan diduga sudah menikah dengan orang yang punya kekerabatan dengan raja atau sultan di Malaysia, empat tahun lalu,” kata Boyamin.

    Menurut informasi yang diperoleh Boyamin, Riza Chalid menikah dengan kerabat sultan dari negara bagian berinisial J atau negara bagian berinisial K. “Sultan itu kalau tidak dari negara bagian J, dari negara bagian K,” ungkapnya.

    Dia mengatakan Riza Chalid saat ini lebih banyak tinggal di Johor, Malaysia. Berdasarkan temuannya ini, Boyamin menyatakan akan merekomendasikan Kejaksaan Agung untuk segera mengajukan permohonan resmi red notice. Menurutnya melalui red notice, kepolisian Malaysia akan tunduk dengan aturan Interpol sehingga memudahkan penangkapan Riza Chalid.

    “Walau upaya ekstradisi tetap bisa dilakukan, tetapi tetap harus mengupayakan red notice,” kata Boyamin.

    Di sisi lain, apabila red notice tidak dapat dilakukan, Boyamin mendorong agar dilakukan sidang in absentia tanpa kehadiran Riza Chalid, agar harta atau aset Riza Chalid di dalam negeri maupun di luar negeri bisa disita dan atau dibekukan, karena dapat dikenakan pasal pencucian uang.

    Adapun Kejaksaan Agung menyatakan Muhammad Riza Chalid mangkir dari panggilan pertama, Kamis (24/7/2025), sebagai tersangka dalam kasus yang menjeratnya. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna mengatakan penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sedang mengagendakan pemanggilan kedua terhadap Riza Chalid sebagai tersangka.

    Terkait keberadaan Riza Chalid di Malaysia, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemen Imipas) telah menggandeng Kejagung serta pihak imigrasi dan polisi Malaysia untuk memantau Riza Chalid. Menteri Imipas Agus Andrianto mengatakan Riza sudah meninggalkan Indonesia sejak Februari 2025 untuk datang ke Malaysia.

  • Mirip Kasus Thomas More vs Raja Inggris

    Mirip Kasus Thomas More vs Raja Inggris

    GELORA.CO  – Pakar hukum tata negara Feri Amsari menuding ada sosok “raja Jawa” di balik vonis pidana 4,5 tahun yang didapatkan oleh mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.

    Feri adalah staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas di Sumatra Barat. Dia meraih gelar sarjana dan magister hukum di kampus yang sama.

    Tom divonis oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada hari Jumat, (18/7/2025), dalam kasus korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015—2016.

    Vonis itu menimbulkan reaksi beragam. Ada pihak yang sangat kontra lantaran tidak ditemukan mens rea atau niat jahat dari Tom. Di samping itu, Tom tidak terbukti mendapat keuntungan pribadi dalam kasus itu.

    Seperti banyak pakar hukum lainnya, Feri menganggap ada kejanggalan dalam kasus Tom.

    Menurut Feri, para hakim dan jaksa di Indonesia mengetahui kejanggalan yang terjadi. Mereka memberikan clue atau petunjuk kepada masyarakat Indonesia mengenai “kekonyolan hukum” dalam kasus Tom.

    “Jadi, ngasih tahu kami (hakim dan jaksa) sebenarnya kami diperintah orang, maka lahirlah kekonyolan itu, paham kapitalisme dijadikan argumentasi,” ujar Feri dalam podcast yang tayang di kanal YouTube Forum Keadilan, Minggu, (27/7/2025).

    Feri menduga para hakim dan jaksa yang menangani kasus Tom sedang ditekan atau dipaksa oleh pihak tertentu.

    Kata dia, ada dugaan kuat bahwa peradilan terhadap Tom adalah political trial atau peradilan sesat. Dia menyebut peradilan sesat adalah peradilan yang menargetkan dan membungkam lawan politik.

    Feri berujar peradilan seharusnya bersih dari politik.

    “Peradilan harus bebas dari kepentingan politik, emosi, nuansa-nuansa yang mengganggu kemurnian,” kata Feri.

    Akademisi itu lalu menyinggung banyaknya rakyat kecil yang diadili pada masa Orde Baru karena kepentingan politik kekuasaan.

    Adapun saat ini pihak Tom sudah memutuskan mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Feri berharap pihak Tom dalam memori bandingnya bisa membuktikan bahwa putusan terhadap Tom adalah putusan peradilan sesat.

    Feri menyebut kasus Tom mirip dengan kasus yang menimpa Sir Thomas More, seorang penasihat Raja Inggris Henry VIII yang bertakhta dari tahun 1491 hingga 1547.

    Awalnya More bersahabat baik dengan Henry. Namun, More dihukum oleh Henry setelah keduanya memiliki pandangan berbeda mengenai pernikahan Henry. More didakwa melakukan pengkhianatan dan berujung dieksekusi.

    “Ceritanya agak mirip-mirip Tom Lembong. Orang dekat raja yang berkuasa, lalu berbeda pandangan, dan dihukum,” kata Feri.

    Feri lalu mengatakan yang menghukum Tom adalah raja Jawa. Namun, dia tidak menjelaskan identitas raja Jawa yang disebutnya.

    Istilah raja Jawa pernah pula disebut oleh Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia saat menyampaikan pidato perdananya sebagai ketua umum di JCC, Jakarta, (21/8/2024).

    Saat itu di depan kader Golkar, Bahlil meminta agar kader tidak bermain-main dengan raja Jawa karena bisa memunculkan celaka.

    Adapun mengenai peradilan politik, Feri mengatakan peradilan seperti itu lumrah dalam peradaban politik ketatanegaraan.

    “Selalu dianggap perbuatan yang zalim karena raja atau penguasa tidak nyaman dengan perbedaan cara pandang dan melakukan berbagai cara untuk menghentikan lawan politik,” kata Feri menjelaskan.

    Vonis Tom

    Majelis hakim telah memvonis Tom dengan hukuman 4,5 tahun.

    “Mengadili terdakwa Thomas Trikasih Lembong telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer,” kata hakim ketua.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Thomas Trikasih Lembong oleh karena itu dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan.”

    Selain dijatuhi pidana kurungan, Tom juga dijatuhi pidana denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara. 

    Adapun vonis Tom Lembong yang diputus oleh majelis hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa.

    Sebelumnya, dalam sidang di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat pada Jumat, (4/7/2025), jaksa penuntut umum (JPU) menuntut agar Tom dihukum dengan 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Dalam amar tuntutannya Jaksa penuntut umum (JPU) menilai Tom terbukti terlibat dalam kasus dugaan korupsi importasi gula  tersebut.

    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Thomas Trikasih Lembong oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 tahun,” kata jaksa membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (4/7/2025).

    Tak hanya itu, jaksa juga meminta agar majelis hakim menjatuhkan pidana denda kepada Tom Lembong sebesar Rp750 juta. Apabila denda tersebut tak dibayar, akan diganti dengan kurungan selama 6 bulan.

    Tom dinilai jaksa telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Kasus korupsi impor gula ini telah merugikan keuangan negara sebesar Rp578 miliar dan memperkaya 10 orang akibat menerbitkan perizinan importasi gula periode 2015-2016.

    Dalam dakwaannya, jaksa menyebut kerugian negara itu diakibatkan adanya aktivitas impor gula yang dilakukan Tom Lembong dengan menerbitkan izin impor gula kristal mentah periode 2015-2016 kepada 10 perusahaan swasta tanpa adanya persetujuan dari Kementerian Perindustrian

  • Mahfud MD Bongkar Gaji Pejabat: Gak Ngapa-ngapain Saja Sudah Kaya!

    Mahfud MD Bongkar Gaji Pejabat: Gak Ngapa-ngapain Saja Sudah Kaya!

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof. Mahfud MD, blak-blakan mengungkap betapa menggiurkannya posisi pejabat di Indonesia.

    Bahkan menurutnya, tidak ngapa-ngapain saja seorang pejabat sudah bisa kaya.

    “Saya diberi tahu, kenapa sih orang masih korupsi? Gaji resmi menteri memang Rp18 juta, tapi yang bisa dibawa pulang itu Rp150 juta, minimal. Dan itu bersih,” kata Mahfud dalam videonya yang beredar (27/7/2025).

    Ia menambahkan, ada pula uang operasional yang nilainya fantastis dan bisa dipakai untuk apa saja.

    “Ditambah uang operasional, itu Rp125 juta. Saya sendiri menjabat lebih dari 20 tahun, saya simpan semua, bisa lebih dari Rp30 miliar,” ungkapnya.

    Mahfud bahkan mengaku terkejut saat menyadari besarnya kekayaan yang ia miliki usai menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

    Sidang itu dapat duit juga. Satu kasus dibayar Rp5 juta, dan satu perkara bisa ada lima sidang. Bayangkan! Satu periode Ketua MK bisa dapat Rp10 miliar,” ungkapnya.

    Bukan hanya itu, Mahfud juga menyentil fenomena rangkap jabatan di kalangan pejabat tinggi, seperti Dirjen yang sekaligus menjadi komisaris BUMN.

    “Gaji sebagai Dirjen paling Rp50 juta. Tapi kalau jadi komisaris BUMN, gajinya bisa Rp1,19 miliar per bulan,” bebernya.

    Kata Mahfud, praktik-praktik seperti ini menjadi celah kekayaan luar biasa para pejabat, bahkan tanpa harus melakukan korupsi secara langsung.

    Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto berencana membangun penjara khusus di lokasi terpencil bagi para koruptor.

  • KPK Serahkan Hasil Penyelidikan Korupsi Laptop Era Nadiem Makariem ke Kejagung

    KPK Serahkan Hasil Penyelidikan Korupsi Laptop Era Nadiem Makariem ke Kejagung

    GELORA.CO -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk saling sokong mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Kemendikbudristek era Nadiem Makarim.

    Begitu disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu merespons upaya penyelidikan KPK yang hampir sama dengan penyidikan yang dilakukan Kejagung yakni terkait pengadaan laptop Chromebook.

    “Kita akan support penuh yang sudah kita misalkan tangani. Penyelidikannya kita sudah penyelidikan pernah chromebook disini. Terus penyelidikan di sana sudah lebih maju sudah ditingkatkan ke penyidikan, tentu kita akan serahkan yang sudah kita ketemu di sini,” kata Asep seperti dikutip RMOL, Minggu, 27 Juli 2205.

    Asep menerangkan, KPK sebelumnya sudah melakukan pengusutan terkait pengadaan laptop Chromebook. Namun karena Kejagung lebih cepat maka data-data yang sudah diperoleh KPK akan diserahkan untuk membantu Kejagung.

    “Supaya penyelidikan di Kejaksaan bisa lebih cepat lagi. Kita akan saling mendukung upaya pengungkapan hukum tindak pidana korupsi itu,” terang Asep.

    Penyelidikan KPK saat ini berfokus kepada pengadaan Google Cloud di Kemendikbudristek era Nadiem Makarim. Tempus perkara terjadi ketika pandemi Covid-19.

  • Hasto Kristiyanto Seperti Tahanan Politik

    Hasto Kristiyanto Seperti Tahanan Politik

    GELORA.CO -Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti melakukan suap pergantian anggota DPR periode 2019-2024.

    Putusan atau vonis itu disampaikan langsung Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 25 Juli 2025.

    Menyikapi putusan ini, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat memandang peradilan yang dijalani Hasto sarat unsur politik.

    “Kita tetap hargai, kita tetap hormati Tapi kita bisa melihat bahwa forum pengadilan kemarin itu lebih banyak kepada forum pengadilan yang politik ini persoalan politik,” katanya di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu, 27 Juli 2025.

    Selain divonis 3,5 tahun penjaram Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada Hasto sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.

    “Pak Sekjen itu adalah menjadi tahanan politik,” sambung Djarot yang merupakan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

    Menurutnya, kasus yang dijalani Hasto akan berbeda jika dialami oleh para penguasa. Sebab, kasus yang dialami Sekjen PDIP itu dipolitisir dan putusan hakim hanya merujuk pada pesan singkat WA.

    “Karena berbeda dengan penguasa, berbeda dengan raja yang tidak mau dikritik gitu ya, maka dicari-carilah kesalahannya,” katanya.

    Ia menambahkan jika ingin adil, hakim juga harus menangkap Harun Masiku.

    “Kalau mau fair betul, ya tangkaplah Harun Masiku, jangan kemudian Mas Hasto dikorbankan,” tutupnya.

    Putusan itu diketahui lebih ringan dari tuntutan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut agar Hasto dipidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Dalam surat dakwaan, Hasto didakwa melakukan perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku berdasarkan Surat Perintah Penyidikan nomor Sprin.Dik/07/DIK.00/01/01/2020 tanggal 9 Januari 2020.

    Perintangan penyidikan itu dilakukan Hasto dengan cara memerintahkan Harun Masiku melalui Nurhasan untuk merendam telepon genggam milik Harun Masiku ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan KPK kepada Wahyu Setiawan selaku anggota KPU periode 2017-2022.

    Selain itu, Hasto juga memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK pada saat pemeriksaan sebagai saksi pada 10 Juni 2024. Perbuatan Hasto itu mengakibatkan penyidikan atas nama tersangka Harun Masiku terhambat.

    Atas perbuatannya, Hasto Kristiyanto didakwa dengan dakwaan Kesatu Pasal 21 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.

    Selanjutnya, Hasto juga didakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah memberikan uang sebesar 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan.

    Uang tersebut diberikan dengan maksud supaya Wahyu Setiawan selaku anggota KPU periode 2017-2022 mengupayakan agar KPU menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Atas perkara suap itu, Hasto didakwa dengan dakwaan Kedua Pertama Pasal 5 Ayat 1 huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP atau dakwaan Kedua-Kedua Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.