Kasus: korupsi

  • Perjalanan Karir Johan Budi, Eks Jubir KPK Kini Jabat Komisaris TransJakarta – Page 3

    Perjalanan Karir Johan Budi, Eks Jubir KPK Kini Jabat Komisaris TransJakarta – Page 3

    Johan Budi merupakan sosok yang dikenal luas sebagai figur publik yang berpengaruh dalam bidang komunikasi, antikorupsi, dan politik.

    Dia memulai kariernya di dunia jurnalistik sebelum bergabung dengan KPK pada 2006. Di KPK, dia menjabat sebagai Juru Bicara selama delapan tahun, dari 2006 hingga 2014.

    Dalam peran ini, Johan dikenal sebagai wajah publik KPK yang tegas dan komunikatif, menyampaikan berbagai informasi penting terkait pemberantasan korupsi kepada masyarakat.

    Setelah pengabdiannya di KPK, Johan Budi diangkat sebagai Juru Bicara Presiden Joko Widodo pada 2016, posisi yang diembannya hingga 2019. Dalam kapasitas ini, dia menjadi penghubung antara Istana dan publik, menyampaikan kebijakan dan program pemerintah kepada masyarakat.

  • Eks Jubir KPK Johan Budi Ditunjuk Jadi Komisaris TransJakarta – Page 3

    Eks Jubir KPK Johan Budi Ditunjuk Jadi Komisaris TransJakarta – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi mengubah susunan jajaran dewan komisaris PT Transportasi Jakarta (Transjakarta). Eks Juru Bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2006-2014, Johan Budi ditetapkan sebagai Komisaris TransJakarta yang baru.

    Adapun Keputusan ini ditetapkan para pemegang saham di luar Rapat Umum Pemegang Saham (KPPS) pada, Kamis 1 Agustus 2025. Selain Johan Budi, Muhammad Ainul Yakin, Sapto Pribowo dan Zudan Arif Fakrulloh juga mengisi jajaran Komisaris PT TransJakarta.

    Menurut Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan dan Hubungan Masyarakat Transjakarta, Tjahyadi DPM, Pemprov Jakarta telah memberhentikan dengan hormat Bambang Eko Martono yang telah menjabat Komisaris Utama (Komut) TransJakarta sejak 11 Januari 2023.

    Pemprov DKI Jakarta juga telah memberhentikan Mashuri Masyhuda yang telah menjabat sebagai Komisaris Transjakarta sejak 2 September 2022 lalu.

    “Kami menyampaikan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya atas pengabdian dan kontribusi selama menjabat dan menjalankan tugas di Transjakarta kepada Bapak Bambang Eko Martono dan Bapak Mashuri Masyhuda serta selamat bergabung di Transjakarta kepada Bapak Muhammad Ainul Yakin, Bapak Johan Budi Sapto Pribowo dan Bapak Zudan Arif Fakrulloh,” kata Tjahyadi dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (3/8/2025).

  • Tangis Megawati dan Pekikan Merdeka Saat Hasto “Pulang” ke PDI-P…
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 Agustus 2025

    Tangis Megawati dan Pekikan Merdeka Saat Hasto “Pulang” ke PDI-P… Nasional 3 Agustus 2025

    Tangis Megawati dan Pekikan Merdeka Saat Hasto “Pulang” ke PDI-P…
    Tim Redaksi
    NUSA DUA, KOMPAS.com
    – Tangis haru dan pekikan “merdeka” menggema di ruang utama Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Sabtu (2/8/2025), ketika
    Hasto Kristiyanto
    melangkah di tengah ruang kongres ke-6 partai, untuk kembali ke panggung politik partai berlambang banteng.
    Suasana yang semula hening berubah menjadi riuh dan penuh emosi di tengah pidato politik Ketua Umum PDI-P
    Megawati Soekarnoputri
    dalam penutup kongres ke-6 partai.
    Suara Megawati mendadak terhenti saat dia tengah menyampaikan pesan tentang pentingnya keberanian dan kejernihan dalam menghadapi tantangan bangsa.
    “Kita tidak boleh menutup mata, kita harus menghadapi kenyataan ini dengan keberanian, kejernihan pikiran dan hati nurani, serta keteguhan sikap. Tetap berdiri tegak sebagai kesatria,” ujar Megawati.
    Namun, kalimat itu belum sempat dirampungkan oleh Megawati.
    Teriakan “Merdeka!” dari sejumlah orang memotong suasana.
    Spontan, seluruh kader berdiri dari tempat duduk masing-masing, tepuk tangan bergemuruh.
    Megawati, yang duduk di bangku di atas panggung, sempat bingung. Pandangannya celingukan.
    Ekspresi haru pun mencuat dari wajah Megawati kala matanya menangkap sosok seseorang yang berjalan ke arah panggung.
    Saat itulah, Sekjen Demisioner PDI-P Hasto Kristiyanto muncul di tengah-tengah peserta kongres.
    Dengan mengenakan kemeja merah khas PDI-P dan kopiah berhias pin wajah Bung Karno, Hasto melangkah mantap menuju panggung utama.
    Di tangan kiri, dia menggenggam buku berjudul “Spiritualitas PDI Perjuangan.”
    Karya yang ditulis dan dipersembahkan untuk Megawati dari balik jeruji ruang tahanan KPK.
    Megawati terdiam dan matanya mulai berkaca-kaca. Tatapannya mengikuti langkah Hasto.
    Air mata Megawati pun perlahan jatuh membasahi pipi.
    Dia menyeka wajahnya, sebelum akhirnya berdiri menyambut Hasto yang naik ke atas panggung.
    Sambil menangis, Megawati pun memeluk erat Hasto.
    Di hadapan ribuan kader, Hasto tampak berusaha menenangkan ketua umumnya yang diliputi haru.
    Hasto kemudian membungkuk dan mencium tangan Megawati.
    Pekikan “Merdeka!” pun kembali menggema.
    Para kader yang menyaksikan momen itu dari berbagai penjuru ruangan meneriakkannya sambil bertepuk tangan.
    Setelah itu, Hasto langsung berbalik badan, lalu mengepalkan tangan ke udara dan berteriak “Merdeka!” sebelum turun dari panggung.
    Pekikan itu serempak diikuti oleh para peserta kongres.
    Usai turun panggung, Hasto bersalaman dengan dua tokoh PDI-P yang duduk di barisan depan: Prananda Prabowo dan Puan Maharani.
    Hasto kemudian menempati kursi yang baru saja disiapkan oleh panitia di sisi kanan barisan terdepan.
    Sementara itu, Megawati kembali duduk dengan penuh keharuan.
    Dia pun tak langsung melanjutkan pidatonya karena masih diselimuti emosi.
    Melihat hal itu, para kader berinisiatif menyanyikan yel-yel penyemangat dengan lirik “Megawati siapa yang punya, Megawati siapa yang punya, yang punya kita semua!”.
    Yel-yel itu pun memecah keheningan dan menghangatkan suasana.
    Perlahan, Megawati kembali mengambil alih suasana.
    “Ternyata yang saya katakan, Satyam Eva Jayate. Ternyata kebenaran itu pasti menang. Alhamdulillah, Tuhan memberikan apa yang telah diinginkan oleh beliau,” ucap Megawati, dengan suara bergetar.
    Dia mengaku selalu mendoakan Hasto, namun tak pernah menyangka bahwa pria yang menjadi tangan kanannya itu bisa hadir secara langsung dalam forum penting partai, hanya sehari setelah dibebaskan.
    Untuk diketahui, Hasto baru saja bebas dari rumah tahanan KPK setelah mendapat amnesti dari
    Presiden Prabowo Subianto
    , dalam kasus penyuapan terkait perkara korupsi Harun Masiku, Jumat (1/8/2025) kemarin.
    “Tadi saya berdoa. Tapi saya tidak terlalu berharap, bahwa yang namanya Pak Hasto berada kembali di keliling kita,” tuturnya disambut tepuk tangan.
    Dalam pidatonya, Megawati juga mengungkap bahwa Hasto adalah satu dari sekian nama tokoh dan kader yang kerap ia sebut saat berdzikir.
    “Kalau saya sedang berdzikir, saya sebut semua nama, termasuk Pak Hasto,” ucap Megawati.
    “Saya minta kepada Yang Di Atas. Bukan karena apa-apa, (tetapi untuk) keadilan yang hakiki pada orang-orang yang dari sisi hukum diperlakukan tidak adil,” lanjut Presiden ke-5 RI itu.
    Menurut Megawati, Hasto hanyalah contoh dari sekian banyak warga yang menjadi korban ketidakadilan hukum.
    Dia pun menyerukan agar keadilan ditegakkan setegak-tegaknya.
    “Apakah kalian tidak punya anak-anak, tidak punya saudara? Kalau diperlakukan seperti itu lalu bagaimana, di mana kalian akan mencari keadilan yang hakiki?” ucap dia.
    Dalam kesempatan yang sama, Megawati juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.
    Dia menyatakan, lembaga yang dulu turut digagasnya itu kini membuatnya sedih.
    “Kalau saya lihat KPK sekarang, sedihnya bukan main. Saya lah yang membuat yang namanya Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Megawati.
    “Kalau sekarang modelnya kayak begini, lalu bagaimana? Coba saja pikir. Saya merasa aneh kok,” sambung dia.
    Megawati pun menyinggung peran Presiden Prabowo Subianto yang harus turun langsung menangani persoalan KPK.
    “Masa urusan begini saja, Presiden harus turun tangan? Coba pikirkan,” kata dia.
    Sebagai mantan kepala negara, Megawati menegaskan bahwa dirinya memahami dinamika kekuasaan.
    Namun, dia menyayangkan jika penegakan hukum justru makin kehilangan kepercayaan publik.
    “Saya kan pernah presiden, jadi saya tahu liku-likunya. Coba kalau kalian, lucu ya. Kenapa sih kok KPK jadi begitu? Itulah,” ujar Megawati.
    Megawati menutup pidatonya dengan menyampaikan janji setia kepada Pancasila yang dia layangkan kepada almarhum ayahnya yang juga Presiden Pertama RI, Soekarno.
    “Kepada Bung Karno, izinkan kami berjanji, di Kongres-6 ini, kami akan terus setia pada Pancasila, pada Trisakti yang akan kami wujudkan melalui pola pembangunan nasional semesta berencana,” katanya dengan suara bergetar.
    Megawati juga berjanji bahwa dia dan partainya akan setia pada ajaran kebenaran yang diberikan oleh ayahnya tersebut.
    Baginya, ajaran kebenaran Soekarno perlu diterapkan demi terwujudnya Indonesia yang sejati.
    “Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, dengan berakhirnya pidato ini, maka dengan resmi Kongres keenam PDI-P secara resmi saya tutup,” kata Megawati.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 Agustus 2025

    Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum Nasional 3 Agustus 2025

    Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    DALAM
    panggung sejarah kekuasaan, keputusan politik kerap menjadi penentu arah nasib individu, bahkan bangsa.
    Ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, publik terbelah antara lega dan gusar, antara optimisme dan skeptisisme.
    Di satu sisi, tindakan ini dibaca sebagai bentuk keberanian politik untuk memutus lingkaran balas dendam kekuasaan. Di sisi lain, keputusan ini diselubungi tanda tanya: mengapa mereka yang terkena hukuman? Mengapa bukan yang lain?
    Amnesti dan abolisi bukan sekadar tindakan administratif, melainkan simbol kebijakan negara dalam memaknai keadilan.
    Dalam pengertian hukum positif, amnesti adalah pengampunan yang diberikan kepada individu atau kelompok atas tindakan pidana tertentu, biasanya bermuatan politik, yang menghapuskan segala akibat hukum.
    Abolisi, sebaliknya, adalah penghapusan proses hukum terhadap seseorang dan diberikan atas dasar pertimbangan politik tertentu.
    Keduanya diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi.
    Dalam kasus Hasto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang terjerat tuduhan
    obstruction of justice
    dan suap dalam perkara Harun Masiku dengan vonis 3,5 tahun penjara; amnesti menjadi pilihan untuk memulihkan martabat seorang politikus yang dianggap menjadi korban kriminalisasi.
    Sementara itu, Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan (2015-2016) terdakwa kasus impor gula dengan vonis hukuman 4,5 tahun penjara, mendapat abolisi yang menghapus semua proses dan putusan hukum.
    Kedua tindakan ini, secara hukum sah, tapi secara moral dan politik memanggil renungan lebih dalam.
    Apresiasi atas amnesti dan abolisi tak boleh membutakan kita dari ketimpangan hukum yang telah lama menjadi borok tak tersembuhkan dalam demokrasi Indonesia.
    Ketika keputusan hakim tampak seperti salinan naskah kekuasaan, dan ketika tuntutan jaksa mencerminkan atmosfer politik ketimbang asas legalitas, maka kita sedang menyaksikan bagaimana keadilan kehilangan sakralitasnya.
    Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diam pada kasus-kasus korupsi yang nilainya jauh lebih besar, bahkan seukuran gajah?
    Mengapa kejaksaan lamban dalam mengusut skandal-skandal besar yang menguapkan triliunan rupiah uang rakyat?
    Di saat yang sama, aparat penegak hukum tampak sangat aktif ketika berhadapan dengan figur-figur yang berada di luar lingkar kekuasaan.
    Pola ini mengulangi siklus gelap dalam sejarah penegakan hukum di negeri ini: selektif, transaksional, dan sarat kepentingan.
    Buku Daniel S. Lev berjudul “Legal Evolution and Political Authority in Indonesia” (Equinox Publishing, 2000) menjadi titik awal refleksi penting.
    Lev menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak pernah menjadi entitas otonom, melainkan selalu dibentuk dan dibelokkan oleh agenda kekuasaan.
    Hal ini masih relevan hingga hari ini. Ketika figur seperti Hasto dan Tom Lembong dijerat atau dibebaskan berdasarkan kalkulasi politik, bukan semata prosedur hukum, maka jelas bahwa supremasi hukum masih menjadi ideal yang jauh dari kenyataan.
    Penegakan hukum di Indonesia semakin diragukan setelah KPK dilemahkan melalui revisi Undang-Undang No. 19 Tahun 2019. KPK yang dahulu independen dan progresif, kini berada di bawah kendali dewan pengawas yang berafiliasi dengan pemerintah.
    Hukum menjadi sunyi ketika pelakunya adalah kroni atau bagian dari sistem kekuasaan. Padahal, dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jelas bahwa setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok wajib dihukum berat.
    Namun, teks hukum kehilangan makna jika aparatnya tunduk pada perintah kekuasaan.
    Hal ini dipertegas oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan” (Kompas, 2008), bahwa hukum di Indonesia terlalu kaku pada prosedur tetapi gagal pada substansi keadilan.
    Ia menyerukan agar aparat hukum lebih berpihak kepada nilai keadilan sosial daripada sekadar teks hukum.
    Dalam konteks Prabowo, pemberian amnesti dan abolisi bisa dibaca sebagai upaya koreksi terhadap praktik hukum yang telah kehilangan arah moral.
    Sebastian Pompe (2012) juga mencatat bahwa hukum di Indonesia sangat rentan digunakan sebagai alat politik.
    Dari Mahkamah Konstitusi hingga Mahkamah Agung, Pompe menunjukkan bahwa tekanan kekuasaan menjadi bagian inheren dalam pengambilan keputusan.
    Dengan itu, maka yang dibutuhkan bukan hanya pemimpin yang berani memberikan pengampunan, tetapi sistem hukum yang berani berdiri sendiri.
    Apa arti keadilan dalam sistem hukum yang telah dibajak oleh logika kekuasaan? Ketika hukum tidak memberi perlindungan kepada yang lemah, dan justru menjadi senjata untuk menundukkan lawan politik, maka legitimasi hukum pun runtuh.
    Rakyat melihat bahwa keadilan hanyalah milik mereka yang dekat dengan kekuasaan, dan hukum adalah panggung sandiwara tanpa penonton yang percaya.
    Keputusan Presiden Prabowo memberikan amnesti dan abolisi dapat dipandang sebagai gestur moral yang melampaui prosedur teknis hukum.
    Namun, hal ini tak cukup jika tidak diikuti reformasi institusional. KPK harus dikembalikan kepada independensinya.
    Jaksa Agung harus benar-benar bebas dari kendali partai politik. Hakim harus memperoleh jaminan keamanan politik dan kesejahteraan agar tidak mudah dibeli atau ditekan. Dan yang terpenting, semua proses hukum harus terbuka untuk diawasi rakyat.
    Konstitusi memberikan ruang untuk koreksi politik terhadap kesewenang-wenangan hukum, sebagaimana Pasal 14 UUD 1945 yang menjadi dasar pemberian amnesti dan abolisi.
    Namun, koreksi itu tidak boleh menjadi pengganti dari sistem hukum yang rusak. Ia hanya boleh menjadi intervensi moral ketika hukum telah dibajak oleh tirani prosedural.
    Di sinilah refleksi penting kita: bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak gagal karena kekurangan undang-undang, melainkan karena lemahnya komitmen politik dan keberanian moral para penyelenggara negara.
    Hukum dipakai bukan untuk membangun keadilan, tetapi untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan jejaring ekonomi politik para elite. Inilah yang melahirkan krisis sistem penegakan hukum kita.
    Apresiasi terhadap keputusan Presiden Prabowo mesti diikuti oleh dorongan publik untuk terus memperjuangkan sistem hukum yang rasional, independen, dan berpihak kepada rakyat.
    Jika tidak, maka amnesti dan abolisi hanya akan dipahami sebagai strategi kompromi politik, bukan jalan menuju keadilan sejati.
    Dan selama hukum masih berpihak pada mereka yang kuat, bukan pada kebenaran, maka keadilan akan tetap menjadi angan yang dituliskan dalam pasal-pasal undang-undang, tetapi tak pernah benar-benar hidup dalam kenyataan.
    Hal ini tentu bertentangan dengan sifat dasar Indonesia yang merupakan negara hukum, bukan negara kekuasaan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemesan Kasus Hasto dan Tom Lembong Tak Nyenyak Tidur

    Pemesan Kasus Hasto dan Tom Lembong Tak Nyenyak Tidur

    GELORA.CO -Siapa pun yang mengorder kasus mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto agar masuk perangkap hukum tidak akan tenang hidupnya saat ini.

    Hal ini menyusul keptusan Presiden Prabowo Subianto yang membebaskan Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dari penjara usai memperoleh abolisi dan amnesti.

    “”Pengorder” kasus Hasto dan Tom Lembong pasti tidak nyenyak tidur. Mungkin berandai-andai tentang nasibnya ke depan,” kata Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi dikutip dari akun X pribadinya, Minggu 3 Juli 2025.

    Bukan cuma itu, Islah juga menyoroti aparat penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung) dan juga para hakim yang memutus perkara Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto.

    “Bagaimana perasaanmu setelah sempat dibuat “dungu” oleh pusaran politik seperti ini?” tanya Islah.

    Pekan lalu, Hasto divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait perkara korupsi Harun Masiku. 

    Sementara itu, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula kristal mentah pada 18 Juli silam.

    Presiden Prabowo kemudian melalui Surat Presiden Nomor R43/Pres/072025 tertanggal 30 Juli 2025 meminta pertimbangan DPR untuk pemberian amnesti dan abolisi terhadap 1.178 narapidana. Dalam dokumen itu terdapat nama Tom dan Hasto

  • Jokowi Gagal Ganggu PDIP Usai Hasto Peroleh Amnesti

    Jokowi Gagal Ganggu PDIP Usai Hasto Peroleh Amnesti

    GELORA.CO -Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto resmi bebas dari Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, pada Jumat 1 Agustus 2025.

    Hasto mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto, sehingga proses hukum kasus dugaan suap mantan komisioner KPU dihentikan.

    Presidium Forum Alumni Kampus Seluruh Indonesia (Aksi) Nurmadi H. Sumarta mengatakan, amnesti yang diperoleh Hasto merupakan kegagalan Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi untuk mengganggu PDIP.

    “Jokowi sangat dendam gara-gara dipecat PDIP,” kata Nurmadi. 

    Menurut Nurmadi, amnesti merupakan pengampunan, artinya diakui pidananya tetapi sekedar menghilangkan hukuman pidananya.

    Nurmadi melihat remisi yang diberikan kepada Hasto lebih bersifat politis untuk menjaga hubungan baik Presiden Prabowo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. 

    Saya ikut ucapkan selamat untuk Hasto Kristianto. Terima kasih kepada Presiden yang sudah bijak,” kata Nurmadi.

    Dalam kasus suap pergantian antarwaktu anggota DPR RI, Hasto divonis 3,5 tahun penjara. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yakni tujuh tahun penjara. KPK pun telah menyatakan banding atas vonis Pengadilan Tipikor Jakarta tersebut.

  • Dendam Jokowi Dihadang Prabowo

    Dendam Jokowi Dihadang Prabowo

       

    Oleh: Tony Rosyid*

    KETIKA Nelson Mandela jadi Presiden Afrika Selatan, seorang wartawan bertanya: “Kenapa anda tidak penjarakan orang-orang yang dulu telah memenjarakan anda?”. Nelson menjawab: “27 tahun saya menderita di penjara. Saya tidak ingin menambah penderitaan saya dengan memenjarakan mereka (dendam)”.

    Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dinilai publik sebagai bentuk balas dendam Joko Widodo alias Jokowi. Tom Lembong adalah eks Menteri Perdagangan dan orang yang menyiapkan teks pidato Presiden Jokowi. Di Pilpres 2024, Tom Lembong balik arah dan mendukung Anies Baswedan. Anies adalah “musuh” dan tokoh yang paling “dikuyo-kuyo” dimasa kekuasaan Jokowi. 

    Sementara Hasto adalah Sekjen PDIP yang paling bersemangat menyerang Jokowi. Bahkan menyiapkan sejumlah dokumen dan video terkait dosa Jokowi. Meski sampai sekarang tak pernah dia bisa buktikan.

    Dalam persidangan terakhir, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara. Vonis ini membuat marah hampir seluruh masyarakat Indonesia. Sebab, Tom Lembong tak terbukti menerima uang dan tak ada mens rea (niat jahat). 

    Tidak terima uang dan tak ada niat jahat, tapi divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara. Vonis ini melukai perasaan, mengguncang nalar dan menodai rasionalitas publik. Publik marah. Vonis ini semakin menguatkan dugaan adanya faktor non hukum yang ikut menentukan keputusan.

    Soal intervensi hukum di Indonesia, ini sudah hal biasa. Yang nggak biasa itu kalau ada aparat hukum jujur dan elite anti korupsi. Ini baru barang langka.

    Presiden Prabowo Subianto membaca situasi ini. Dengan sabar dan tekun mengikuti proses persidangan Tom Lembong. Ketika Tom Lembong divonis, tak lama kemudian Presiden Prabowo memberikan abolisi. Menghapus semua keputusan hakim terkait vonis terhadap Tom Lembong. 

    Di waktu yang sama, Presiden Prabowo juga memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Amnesti itu pengampunan. Ya, semacam pengampunan dosa. Supaya tidak terlihat vulgar, amnesti untuk Hasto dikeluarkan berbarengan dengan 1.116 terpidana 

    Silahkan para ahli hukum berdebat soal substansi dari dua kasus yang diberi abolisi dan amnesti ini. Saya hanya ingin menyoroti dari sisi politik.

    Pemberian abolisi dan amnesti oleh Prabowo merupakan langkah politik yang cukup cerdas dan taktis. Saat publik sedang masif memberikan empatinya kepada Tom Lembong, Presiden Prabowo hadir. Gelombang empati akhirnya juga mengalir ke Prabowo. Abolisi seperti mata air yang muncul di saat rakyat sedang kehausan atas keadilan hukum. Prabowo hadir di saat yang paling tepat.

    Di saat yang bersamaan, Prabowo juga memberikan amnesti kepada Hasto. Ini langkah politik lainnya. Urusannya bukan kepada publik, karena publik tidak ada hubungannya dengan kasus Hasto. Tom Lembong dan Hasto adalah dua kasus yang berbeda.

    Jika kasus Tom Lembong berkaitan dengan empati dan simpati publik, sedangkan kasus Hasto berkaitan dengan kebutuhan Prabowo terhadap dukungan dari PDIP.

    Informasi yang beredar ke publik: PDIP siap bergabung dengan Prabowo dengan dua syarat. Salah satunya: Hasto dibebaskan. Benarkah?

    Yang pasti, dengan pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto, Prabowo mendapat tiga keuntungan sekaligus. 

    Pertama, Prabowo mendapatkan simpati publik. Publik mengapresiasi langkah Prabowo yang berpihak dengan amat cerdas kepada Tom Lembong. Kali ini, simpati publik tidak lagi dimonopoli oleh Tom Lembong. Tom Lembong harus berbagi dengan Prabowo. 

    Kedua, amnesti kepada Hasto menjadi ruang baru bagi rekonsiliasi Prabowo dengan Megawati. 

    Ketiga, abolisi dan amnesti menjadi pukulan telak Prabowo kepada Jokowi. Ini pukulan yang kesekian kali yang dimainkan Prabowo secara softly, sistemik dan konsisten.

    Abolisi kepada Tom Lrmbong dan terutama amnesti kepada Hasto akan membuka konstalasi baru dalam land scape perpolitikan Indonesia kedepan. Prabowo akan melangkah semakin kuat karena dukungan PDIP, seiring dengan melemahnya pengaruh Jokowi.

    Apakah dukungan PDIP kepada Parbowo, jika ini benar-benar terjadi, akan membuat Indonesia lebih stabil? Apakah bergabungnya PDIP ke koalisi Prabowo akan membuat demokrasi kita lebih hidup? Pertanyaan ketiga, dan ini paling substansial: Apakah merapatnya PDIP ke Prabowo akan membuat Indonesia lebih baik?

    Tiga pertanyaan ini seiring berjalannya waktu akan terjawab. Butuh beberapa tahun kedepan untuk kita mendapatkan jawabannya.

    Era balas dendam boleh jadi lambat laun akan menghilang. Apakah era baru akan memberi jaminan?

    Kita tunggu.

    *(Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

  • 3 Agustus Memperingati Sindrom Cloves Hingga Kasus Korupsi Soeharto

    3 Agustus Memperingati Sindrom Cloves Hingga Kasus Korupsi Soeharto

    Bisnis.com, JAKARTA – Tanggal 3 Agustus adalah hari memperingati sindrom cengkih atau cloves di dunia. Sindrom ini biasanya muncul saat sejak lahir. 

    Sindrom CLOVES adalah singkatan dari Congenital Lipomatous Overgrowth, Vascular Malformations, Epidermal Nevis, Spinal/Skeletal Anomalies/Skoliosis) adalah kelainan bawaan (yang muncul sejak lahir) yang sangat langka. Sindrom ini ditandai dengan kombinasi kelainan vaskular (melibatkan pembuluh darah), kulit, tulang belakang, dan tulang atau sendi.

    Hingga saat ini, tercatat sekitar 200 kasus sindrom cloves telah teridentifikasi di seluruh dunia. CLOVES diduga disebabkan oleh mutasi pada gen yang disebut PIK3CA.

    Gambaran jangka panjang, biasanya, anak dengan sindrom CLOVES bergantung pada usia dan tingkat keparahan gejalanya. Semakin cepat penyakit ini terdeteksi dan pengobatan yang tepat dimulai, semakin baik prognosisnya.

    Apa penyebab sindrom CLOVES?

    Penelitian oleh Matthew Warman, MD, direktur Boston Children’s Orthopedic Research Laboratories, dan ahli patologi Kyle Kurek, MD, telah mengungkapkan bahwa CLOVES disebabkan oleh mutasi pada gen yang disebut PIK3CA.

    Mutasi ini muncul secara spontan di dalam rahim, saat bayi sedang berkembang. Sejauh ini, belum ada faktor risiko yang diketahui yang dapat meningkatkan atau menurunkan kemungkinan terjadinya mutasi ini.

    Pada tanggal 3 Agustus, dunia tidak hanya memperingati sindrom cloves, tetapi ada beberapa peristiwa, mulai dari perjalanan Christopher Colombus dan kasus korupsi mantan Presiden Soeharto.

    Ini Deretan Peristiwa Tanggal 3 Agustus:

    3 Agustus 1492

    Pelaut Italia, Christopher Colombus melakukan perjalanan bersejarahnya ari Pelabuhan Palos de La Frontera, Spanyol. Ini merupakan pelayaran pertamanya untuk mencari rute baru ke Asia.

    Tujuan Columbus adalah untuk menemukan Selat Malaka dan Samudra Hindia. Selat Malaka berada di Semenanjung Malaysia dan Pulau Sumatra.

    3 Agustus 2000

    Tepat 25 tahun silam, Presiden Kedua Indonesia, Soeharto resmi menjadi tersangka dalam kasus korupsi, terkait penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya. 

    Saat itu, dia diduga melakukan korupsi besar dengan menggunakan kekuasaan dan kekayaan negara demi kepentingan pribadi. Dugaan ini muncul setelah adanya krisis moneter pada 1999 dan demonstrasi besar-besaran.

  • Ribka Tjiptaning soal Megawati Rangkap Sekjen: Ibu Punya Perhitungan Politik Sendiri
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Agustus 2025

    Ribka Tjiptaning soal Megawati Rangkap Sekjen: Ibu Punya Perhitungan Politik Sendiri Nasional 2 Agustus 2025

    Ribka Tjiptaning soal Megawati Rangkap Sekjen: Ibu Punya Perhitungan Politik Sendiri
    Tim Redaksi
    NUSA DUA, KOMPAS.com
    – Ketua DPP PDI-P
    Ribka Tjiptaning
    meyakini keputusan
    Megawati Soekarnoputri
    merangkap jabatan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) bukan tanpa alasan. Menurutnya, langkah itu diambil atas dasar perhitungan politik pribadi Megawati.
    Ribka juga menduga rangkap jabatan tersebut hanya bersifat sementara dan tidak akan berlangsung hingga akhir periode kepengurusan.
    “Iya, pasti Ibu punya kebijakan, punya perhitungan sendiri,” ujar Ribka saat ditemui di Bali Nusa Dua Convention Center, Sabtu (2/8/2025).
    Menurut dia, salah satu pertimbangan Megawati mengambil keputusan tersebut adalah untuk merehabilitasi nama
    Hasto Kristiyanto
    .
    Sebab, Sekjen demisioner PDI-P itu sempat dijatuhi vonis dalam kasus suap, namun akhirnya dibebaskan setelah memperoleh amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
    “Ibu kan orangnya ingin merehabilitasi juga kan. Hasto tidak terstigma karena korupsi. Itu penting ya. Ini kan pembelajaran politik juga,” ujar Ribka saat ditemui di Bali Nusa Dua Convention Center, Sabtu (2/8/2025).
    Oleh karena itu, Ribka menegaskan bahwa Megawati ingin memastikan posisi Hasto saat ini dipahami dengan benar oleh publik.
    Dalam kesempatan itu, Ribka juga membantah anggapan bahwa Megawati kesulitan mencari sosok pengganti Hasto.
    “Jangan dong dianggap nanti, kan di luar beda nanti digorengnya, Pak Hasto enggak jadi Sekjen karena persoalan tahanan korupsi. Itu harus clear dulu. Kalau itu sudah, itu Ibu merehabilitasi,” kata Ribka.
    Sebelumnya, Megawati resmi melantik jajaran pengurus DPP PDI-P periode 2025–2030 dalam Kongres VI di BNDCC, Sabtu (2/8/2025).
    Sebanyak 37 nama diumumkan untuk menempati posisi strategis di partai, namun posisi Sekjen masih diisi oleh Megawati sendiri.
    “Sekretaris Jenderal belum diputuskan oleh Ibu. Jadi Ibu masih merangkap,” ujar Ketua Steering Committee Kongres, Komarudin Watubun.
    Komarudin menyatakan tidak mengetahui secara pasti alasan Megawati belum menunjuk Sekjen baru, namun ia meyakini keputusan itu diambil dengan pertimbangan politik yang cermat. “Pasti Ibu punya pertimbangan yang lebih matang untuk kepentingan internal partai ataupun yang lebih besar,” kata Komarudin.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ramai Sorotan Media Asing pada Pengampunan Prabowo ke Tom Lembong dan Hasto

    Ramai Sorotan Media Asing pada Pengampunan Prabowo ke Tom Lembong dan Hasto

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah media asing menyoroti pemberian pengampunan khususnya kepada mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dan mantan Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto.

    Presiden Prabowo Subianto melalui Keputusan Presiden (Keppres) memberikan abolisi kepada Tom Lembong sehingga membebaskannya dari jerat pidana 4,5 tahun penjara atas perkara korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag).

    Tidak hanya itu, Presiden turut memberikan amnesti kepada mantan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang sebelumnya dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara usai terbukti memberikan suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) DPR 2019—2024.

    Media-media asing seperti Aljazeera, Reuters, Associated Press (AP), dan The Star yang berbasis di Malaysia, memberitakan bahwa pengampunan dari Prabowo itu dalam rangka HUT ke-80 RI. Abolisi untuk Tom dan amnesti kepada Hasto dipandang sebagai langkah Prabowo untuk menyatukan elemen bangsa, apalagi keduanya dinilai sebagai figur ‘oposisi’.

    Aljazeera, dengan judul berita ‘Indonesian president frees hundres of prisoners as part of unity plan’, mengaitkan Tom dan Hasto sebagai rival politik Prabowo ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Saat itu, Tom merupakan salah satu petinggi Timnas AMIN, yang mendukung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

    Sementara itu, PDIP merupakan partai pengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Hasto sebelumnya menjabat sekjen pada partai berlogo banteng moncong putih itu. Partai itu adalah satu-satunya partai politik di DPR yang tidak secara resmi menyatakan dukungan kepada pemerintah atau berkoalisi dengan Prabowo.

    Aljazeera juga mengaitkan Tom dan Hasto sebagai figur yang dulunya dekat dengan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), dan akhirnya berubah menjadi pengkritik bahkan rival politik. Tom menjabat Mendag dan Kepala BKPM Kabinet Kerja Jokowi, sedangkan Hasto dan PDIP mendukung Jokowi dua kali Pilpres.

    Sementara itu, Reuters juga menyoroti pengampunan kepada Tom dan Hasto yang dianggap sebagai pihak ‘oposisi’ pemerintahan Prabowo saat ini. Media tersebut juga menyoroti perbedaan abolisi dan amnesti yang keduanya dapat.

    Abolisi yang didapatkan Tom itu membebaskannya dari segala tuntutan dan hukuman pidananya. Sedangkan, amnesti kepada Hasto hanya membebaskannya dari hukuman pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim.

    Pemberitaan di AP dan The Star juga menyoroti hal serupa. Pengampunan dari Presiden Prabowo itu turut diberikan kepada ribuan orang narapidana yang dipenjara akibat di antaranya perkara penghinaan presiden.

    Tom Lembong dan Hasto Bebas

    Pada Jumat (1/8/2025), Tom dan Hasto sama-sama dibebaskan menyusul pemberian Keppres yang sudah ditandatangani oleh Presiden Prabowo. Keduanya dibebaskan sehari setelah Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco mengumumkan parlemen menyetuji pemberian amnesti dari Prabowo kepada keduanya dan ribuan orang lainnya.

    Tom, yang disambut oleh istrinya, mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, serta penasihat hukumnya Ari Yusuf Amir, resmi bebas dari Lapas Cipinang, Jakarta Timur di mana dia telah ditahan sejak akhir 2024 lalu.

    “Saya tidak ingin kemerdekaan saya hari ini menjadi akhir dari cerita. Saya ingin ini menjadi awal dan tanggung jawab bersama,” ujar Tom.

    Sementara itu, Hasto mengucapkan terima kasih kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Presiden Prabowo Subianto, DPR, tim penasihat hukumnya serta seluruh kader PDIP.

    Pada malam yang sama, dia dibebaskan dari Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih, di mana dia mendekam sejak 20 Februari 2025.

    “Yang kedua tentu saja kepada yang terhormat Bapak Presiden Prabowo atas keputusan yang memberikan amnesti tersebut yang artinya apa yang kami suarakan di dalam pledoi, di dalam duplik tentang keadilan yang hakiki dijawab oleh beliau, dengan menggunakan hak prerogatif dari Bapak Presiden,” ucapnya.

    Keppres yang ditandatangani Prabowo sebelumnya telah diserahkan ke pihak KPK maupun Kejagung yang menangani perkara Hasto dan Tom. Sehari sebelumnya, Kamis (31/7/2025), Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan bahwa telah menyetujui amnesti dan abolisi tersebut berdasarkan hasil konsultasi antara pemerintah dan DPR.

    Sebagai informasi, abolisi merupakan hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan tuntutan pidana terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana, serta menghentikan proses hukum yang sedang berjalan.

    Adapun, amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.

    “DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap surat presiden […] tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi atas nama Tom Lembong,” ujar Dasco pada konferensi pers di Gedung DPR, Kamis (31/7/2025).

    Kemudian, DPR juga membahas tentang persetujuan atas surat presiden mengenai pemberian amnesti kepada 1.116 orang. Termasuk di antaranya adalah Hasto Kristiyanto.

    “Tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana diberikan amnesti termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” lanjut Dasco.