KPK Tetapkan 2 Anggota DPR Jadi Tersangka Korupsi Dana CSR BI
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua anggota DPR sebagai tersangka kasus korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI).
“Ini yang jelas sudah ada dua tersangka,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/8/2025).
Meski demikian, Asep belum mengungkapkan identitas para tersangka.
Dia hanya mengatakan bahwa tersangka tersebut berasal dari kalangan legislatif.
“Ya (tersangka dari legislatif),” ujarnya.
Adapun KPK terus mengusut kasus korupsi dana CSR BI yang disalurkan ke yayasan berdasarkan rekomendasi Komisi XI DPR.
Pengusutannya menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum yang ditandatangani pada minggu ketiga Desember 2024.
Asep mengatakan penyaluran dana CSR BI ke yayasan yang direkomendasikan Anggota Komisi XI DPR tidak sesuai dengan peruntukkannya.
“Kami dapat informasi, juga kami dapat dari data-data yang ada, CSR yang diberikan kepada para penyelenggara negara ini melalui yayasan yang disampaikan, direkomendasikan kepada mereka, tapi tidak sesuai peruntukkannya,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, dikutip Rabu (22/1/2025) lalu.
Asep mengatakan, dana CSR yang dikirim BI ke rekening yayasan diduga diolah dengan beberapa cara, seperti memindahkan ke beberapa rekening lain dan diubah menjadi aset.
“Ada yang kemudian pindah dulu ke beberapa rekening lain. Dari situ nyebar, tapi terkumpul lagi di rekening yang bisa dibilang representasi penyelenggara negara ini, ada yang dalam bentuk bangunan, ada yang dalam bentuk kendaraan, jadi tidak sesuai peruntukkannya,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: korupsi
-
/data/photo/2016/02/23/094719420160222HER261780x390.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Tetapkan 2 Anggota DPR Jadi Tersangka Korupsi Dana CSR BI Nasional 6 Agustus 2025
-

Pengibaran Bendera One Piece, Ini Kata Akademisi
Bisnis.com, MALANG— Akhir-akhir ini, muncul pro dan kontra terkait pengibaran bendera One Piece menjelang 17 Agustus. Ada yang merespon bahwa aksi tersebut merupakan bagian dari makar, ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebebasan berekspresi.
Pakar hukum sekaligus dosen hukum Universitas Brawijaya Muktiono, menilai bahwa pengibaran bendera One Piece merupakan merupakan ekspresi individu pada suatu kegemaran atau kesenangan dan tidak dilarang UU.
”Tindakan tersebut adalah cara untuk mencari kesenangan (pursuing happiness) yang merupakan bagian dari hak asasi seseorang. Bisa juga tindakan ini juga bagian dari bentuk protes, sindiran, atau respon terhadap situasi tertentu yang merupakan hal biasa dari warga negara,” ujarnya, Rabu (6/8/2025).
Dia menilai, hal tersebut lumrah sejauh tidak melanggar hak orang lain, tidak mengganggu ketertiban umum, tidak melanggar aturan hukum, tidak mengancam keselamatan diri dan publik, tidak mengganggu kesehatan diri sendiri dan orang lain, serta bukan tindakan kriminal.
Dari perspektif hukum, kata dia, UU 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, serta Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan Indonesia tidak melarang pengibaran bendera seperti itu.
Selain itu, dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lain juga tidak melarang hal tersebut sejauh tidak ada pelecehan langsung terhadap bendera negara.
”Saya kira negara terlalu bersikap atau bertindak berlebihan, dengan melarang atau mengkriminalisasi pengibaran bendera atau pengecatan lambang One Piece jika tidak ada kebutuhan mendesak yang tidak didasarkan pada ancaman yg nyata,” tambahnya.
Dia khawatir bahwa kriminalisasi terhadap hal-hal yang demikian justru akan akan membuang energi publik dan negara untuk mengurus hal-hal yang lebih esensial.
”Seharusnya negara fokus menyelesaikan masalah esensial, seperti pemberantasan korupsi, perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, mengejar ketertinggalan teknologi, penyediaan lapangan kerja dan upah layak, dan pemerataan pendidikan,” ucapnya. (K24)
-

KPK Sebut Masih Punya ‘Utang’ Tangkap 5 DPO, dari Paulus Tannos hingga Harun Masiku
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan masih ada lima Daftar Pencarian Orang (DPO) yang sampai saat ini masih belum di tangkap.
Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengatakan KPK sudah melakukan berbagai upaya dan koordinasi kepada penegak hukum serta negara lain untuk menangkap lima DPO.
“Hingga saat ini KPK sudah melakukan upaya-upaya, berkoodinasi dengan negara-negara lain untuk bisa menangkap mereka, tetapi hingga saat ini belum berhasil,” katanya di Gedung Juang KPK, Rabu (6/8/2025).
Dirinya pun berharap bisa menangkap para DPO itu agar utang KPK bisa diselesaikan.
“Tetapi hingga hari ini belum berhasil. Mudah-mudahan berkat doa dari seluruh masyarakat Indonesia KPK dapat segera menyelesaikan utang ini,” ucapnya.
Adapun dia menampilkan lima DPO yang dimaksud, yaitu:
1. Paulus Tannos, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra. Paulus merupakan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP).
2. Harun Masiku, calon anggota legislatif PDIP. Harun merupakan tersangka kasus dugaan penyuapan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengenai pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR 2019-2024.
3. Kirana Kotama, pemilik PT Perusa Sejati, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi berupa pemberian hadiah atau janji terkait penunjukan Ashanti Sales Inc. sebagai agen eksklusif PT PAL Indonesia (Persero) dalam Pengadaan Kapal Strategic Sealift Vessel (SSV) untuk Pemerintah Filipina Tahun 2014-2017.
4 dan 5. Emylia Said dan Herwansyah ialah tersangka pemberi suap AKBP Bambang Kayun Bagus Panji Sugiharto. Emilya dan Herwansyah masuk ke DPO di Bareskrim atas kasus dugaan pemalsuan surat terkait perkara perebutan hak ahli waris PT ACM.
-
/data/photo/2025/02/05/67a32266eefbe.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK: Tingkat Kepatuhan LHKPN 91,26 Persen, Legislatif Paling Rendah Nasional 6 Agustus 2025
KPK: Tingkat Kepatuhan LHKPN 91,26 Persen, Legislatif Paling Rendah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, tingkat kepatuhan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) hingga Juli 2025 mencapai 91,26 persen.
Wakil Ketua KPK Ibnu Basuki Widodo mengatakan, sepanjang Semester I Tahun 2025, jumlah wajib LHKPN tercatat 415.805 orang dengan jumlah yang sudah melaporkan sebanyak 406.877 orang.
“Secara umum gambaran kepatuhan yang telah menyampaikan LHKPN dapat dilihat melalui layar. Jadi, pencapaiannya 91,26 persen,” kata Ibnu dalam Konferensi Pers Kinerja Semester I 2025, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/8/2025).
Ibnu mengatakan, yudikatif menjadi lembaga dengan tingkat kepatuhan LHKPN tertinggi, yaitu 98,47 persen.
Kemudian, diikuti oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 95,26 persen, eksekutif pusat 92,33 persen, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) 89,09 persen, dan eksekutif daerah 88,95 persen.
Sementara itu, legislatif pusat dan legislatif daerah menjadi lembaga dengan tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN paling rendah.
“Sedangkan lembaga dengan tingkat kepatuhan terendah yaitu legislatif pusat dan daerah masing-masing 83,97 persen dan 88 persen,” ujar dia.
Ibnu mengatakan, KPK mendorong semua lembaga negara, terutama legislatif, untuk meningkatkan komitmen kewajiban LHKPN sebagai bentuk transparansi dan integritas penyelenggara negara yang bertanggung jawab.
“Selain digunakan sebagai instrumen pencegahan korupsi, KPK juga memanfaatkan hasil analisis LHKPN sebagai bahan masukan dalam memperkaya informasi yang akan digunakan dalam pengembangan suatu perkara tindak pidana,” ucap dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

PPATK Ungkap Rekening Dormant Terindikasi Tindak Pidana Capai Rp 1,15 T
Jakarta –
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap hasil temuan analisis pembolokiran rekening dormant atau rekening yang tidak menunjukkan aktivitas transaksi selama tiga bulan lebih. PPATK mengungkap total saldo rekening dormant terindikasi tindak pidana sebesar Rp 1,15 triliun.
“Temuan rekening dormant terindikasi tindak pidana dengan total Rp 1,15 triliun. Lalu kemudian kita melakukan kajian, ini tersebar pada banyak bank. Kurang lebih seperti itu, di beberapa bank yang kita temukan,” kata Ketua PPATK Ivan Yustiavandana di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2025).
Ivan mengatakan Rp 1,15 triliun itu merupakan saldo dari 1.155 rekening dormant yang terindikasi tindak pidana. Dia mengatakan mayoritas rekening itu sudah menganggur di atas 5 tahun.
“Lalu, mayoritas rekening dormant 1-5 tahun terindikasi pidana 1.155 tadi itu mayoritas di atas 5 tahun. Dormantnya itu di atas 5 tahun,” ujarnya.
Ivan mengklaim jumlah deposit perjudian online pada periode Januari hingga Juni 2025 mengalami penurunan usai dilakukan pembolokiran sementara rekening dormant, yakni dari Rp 2,96 triliun menjadi Rp 1,50 triliun. Sebagai informasi, pengenaan henti rekening dormant dilakukan per 16 Mei 2015.
PPATK mencatat rekening dormant terindikasi tindak pidana korupsi menempati posisi jumlah saldo terbanyak yakni Rp 548,2 miliar dari total 280 rekening. Kemudian, disusul tindak pidana perjudian sebesar Rp 540,6 miliar dari total 517 rekening.
1. Korupsi
280 rekening, saldo per 5 Februari 2025 sebesar Rp 7,5 triliun, saldo dormant terkini Rp 548,2 miliar2. Perjudian
517 rekening, saldo per 5 Februari 2025 sebesar Rp 1 triliun, saldo dormant terkini Rp 540, 6 miliar3. Penggelapan
16 rekening, saldo per 5 Februari 2025 sebesar Rp 527,4 miliar, saldo dormant terkini Rp 31,3 miliar4. Penipuan dan/atau penggelepan
3 rekening, saldo per 5 Februari 2025 sebesar Rp 6,4 miliar, saldo dormant terkini Rp 12,8 miliar5. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
67 rekening, saldo per 5 Februari 2025 sebesar Rp 200,3 miliar, saldo dormant terkini Rp 7,2 miliar(mib/dek)
-
/data/photo/2025/08/06/689316e0c35ac.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 KPK Rilis 5 Foto Buronan Kasus Korupsi, Ada Harun Masiku hingga Paulus Tannos Nasional
KPK Rilis 5 Foto Buronan Kasus Korupsi, Ada Harun Masiku hingga Paulus Tannos
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis lima orang dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) yang terlibat dalam kasus korupsi pada Rabu (6/8/2025).
“Saat ini KPK masih terus melakukan pencarian untuk 1 orang DPO sejak tahun 2017 dan 4 orang DPO tahun 2019-2024,” kata Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto dalam Konferensi Pers Kinerja Semester I 2025 di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu.
Fitroh mengatakan, KPK terus berupaya mencari keberadaan seluruh DPO dengan berkoordinasi dengan negara-negara lain dan institusi terkait lainnya.
Namun, hingga saat ini, pihaknya belum berhasil menangkap seluruh DPO.
“Mudah-mudahan berkat doa dari seluruh masyarakat Indonesia, KPK dapat segera menyelesaikan utang ini,” ujarnya.
Berikut lima DPO yang terjerat kasus korupsi:
1. Paulus Tannos
Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin berstatus buron sejak Agustus 2019 dalam perkara korupsi pengadaan e-KTP.
Hingga 7 Juni 2025, Paulus telah ditangkap dan ditahan oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura dan telah menjalani sidang pendahuluan (committal hearing) terkait proses ekstradisi pada 23–25 Juni 2025.
2. Harun Masiku
Harun Masiku terjerat perkara suap penetapan anggota DPR RI 2019-2024.
3. Kirana Kotama
Kirana Kotama berstatus buron sejak 2017, dalam perkara pengadaan kapal di PT PAL tahun 2014.
4. Emylia Said
Emylia Said, dalam perkara dugaan tindak pidana pemalsuan surat terkait dengan Perkara Perebutan Hak Ahli Waris PT Aria Citra Mulia (DPO tahun 2022).
5. Herwansyah
Herwansyah, dalam perkara dugaan tindak pidana pemalsuan surat terkait dengan Perkara Perebutan Hak Ahli Waris PT Aria Citra Mulia (DPO tahun 2022).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4013681/original/040038300_1651631501-WhatsApp_Image_2022-05-03_at_2.04.45_PM.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


