Kasus: korupsi

  • Jubir Eks Menag Yaqut Sebut Pembagian Kuota Haji Sesuai Perundangan

    Jubir Eks Menag Yaqut Sebut Pembagian Kuota Haji Sesuai Perundangan

    JAKARTA – Juru Bicara eks Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, Anna Hasbi mengatakan pembagian kuota haji 2024 oleh Kementerian Agama sudah sesuai perundangan yang berlaku.

    Hal ini disampaikan Anna saat mendampingi Yaqut menjalani permintaan keterangan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Agustus. Awalnya, ia menjelaskan proses pembagian haji reguler maupun khusus itu memang rumit dan akan dijelaskan di hadapan penyidik.

    “Jadi di dalam beliau akan memberikan keterangan dan menjelaskan soal proses bagaimana kuota itu dibagi karena pembagian kuota itu memang hal yang cukup rumit,” kata Anna kepada wartawan di lokasi.

    Anna kemudian menyebut harusnya pembagian kuota yang diduga bermasalah hingga diselidiki KPK sudah sesuai.

    “Pembagian haji itu sudah dilaksanakan menurut undang-undang yang berlaku. Jadi memang prosesnya cukup panjang,” tegas dia.

    “Itu sebabnya beliau memberikan keterangan, akan menjelaskan bagaimana proses itu dilakukan karena itu bukan proses yang sekali jadi. Jadi itu memang proses yang panjang,” sambung Anna.

    Adapun Yaqut datang ke kantor KPK sekitar pukul 09.30 WIB. Dia tiba bersama sejumlah orang yang mendampingi di kantor komisi antirasuah.

    “Alhamdulillah sehat,” kata Yaqut kepada wartawan.

    Dirinya mengatakan akan dimintai keterangan terkait dugaan korupsi yang sedang diselidiki KPK. “Nanti saya sampaikan di dalam,” tegasnya.

    Lebih lanjut, Yaqut membawa berkas berupa surat keputusan untuk dijelaskan kepada penyelidik. Tapi, ia tak memerinci lebih lanjut perihal surat tersebut.

    Sementara soal tekanan politik, dia tak mau menjawab lebih lanjut. Yaqut hanya memastikan akan memberi penjelasan kepada KPK.

    Diberitakan sebelumnya, KPK mengisyaratkan penyelidikan korupsi penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama segera memasuki babak baru. Dugaan ini diketahui beberapa kali dilaporkan dan menyeret nama eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

    Adapun pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menyebut dugaan ini bermula dari permintaan penambahan kuota haji yang dikomunikasikan antara pemerintah Indonesia-Arab Saudi. Langkah ini untuk mengurangi antrian jamaah.

    “Ini untuk memperpendek, memangkas itu, kan kuotanya harus diperbesar, yang berangkatnya harus lebih banyak. Nah, di sana diberikanlah kalau tidak salah 20 ribu, ya, 20 ribu,” kata Asep kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan yang dikutip Jumat, 25 Juli.

    Penambahan kuota dari pemerintah Arab Saudi inilah yang kemudian bermasalah. “Ada aturannya bahwa untuk kuotanya itu 8 sama 92. Kalau tidak salah, mohon dikoreksi saya, 8 persen untuk haji khusus dan 92 persen untuk reguler,” tegasnya.

    “Tetapi kemudian ternyata dibagi dua, 50-50 seperti itu,” sambung Asep.

    Dalam penyelidikan, KPK sudah memanggil sejumlah pihak. Selain agen perjalanan haji dan umrah atau travel agent, turut dipanggil RFA, MAS, dan AM selaku pihak Kemenag.

  • Heri Gunawan dan Satori Diduga Terima Rp 28,38 Miliar Terkait Korupsi CSR BI-OJK 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 Agustus 2025

    Heri Gunawan dan Satori Diduga Terima Rp 28,38 Miliar Terkait Korupsi CSR BI-OJK Nasional 7 Agustus 2025

    Heri Gunawan dan Satori Diduga Terima Rp 28,38 Miliar Terkait Korupsi CSR BI-OJK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, dua Anggota DPR, Heru Gunawan (HG) dan Satori (ST), menerima uang total sebesar Rp 28,38 miliar terkait kasus Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan penyaluran dana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tahun 2020-2023.
    Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut pada Kamis (7/8/2025).
    “Menetapkan 2 orang sebagai tersangka, yaitu HG (Heri Gunawan) selaku Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024 dan ST (Satori) selaku Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.
    Asep mengatakan, Heri Gunawan diduga menerima uang Rp 15,86 miliar.
    Rinciannya, sebanyak Rp 6,26 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta senilai Rp 1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    Heri Gunawan juga diduga melakukan dugaan pencucian uang dengan memindahkan seluruh penerimaan melalui yayasan yang dikelolanya ke rekening pribadi melalui metode transfer.
    “Di mana HG kemudian meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai,” ujar dia.
    Di sisi lain, Satori diduga menerima uang senilai Rp 12,52 miliar.
    Rinciannya, sejumlah Rp 6,30 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta sejumlah Rp 1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    KPK mengatakan, dari seluruh uang yang diterima, Satori diduga melakukan pencucian uang dengan menggunakannya untuk keperluan pribadi.
    “Seperti deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya,” tutur dia.
    KPK menduga Satori melakukan rekayasa transaksi perbankan dengan meminta salah satu bank daerah untuk menyamarkan penempatan deposito serta pencairannya agar tidak teridentifikasi di rekening koran.
    “Bahwa menurut pengakuan ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut. KPK akan mendalami keterangan ST tersebut,” kata Asep.
    Atas perbuatannya, Heri Gunawan dan Satori disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
    Tak hanya itu, keduanya juga dikenakan pasal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Selidiki Kasus Dugaan Korupsi Dana Investasi ke Kimia Farma

    Kejagung Selidiki Kasus Dugaan Korupsi Dana Investasi ke Kimia Farma

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah melakukan penyelidikan terkait dengan dugaan korupsi pemberian dana investasi ke PT Kimia Farma Tbk. (KAEF).

    Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna menyatakan bahwa perkara tersebut baru masuk tahap penyelidikan. Artinya, penyidik masih mencari peristiwa pidana pada perkara ini.

    “Itu masih dalam tahap penyelidikan,” ujar Anang di Kejagung, Kamis (7/8/2025).

    Dia menambahkan, penyidik pada Jampidsus Kejagung RI juga telah melakukan klarifikasi ke sejumlah pihak terkait dengan perkara ini. 

    Hanya saja, Anang belum menjelaskan secara detail terkait pihak-pihak yang diklarifikasi itu.

    “Beberapa pihak sudah diminta klarifikasi,” pungkasnya.

    Adapun, Bisnis juga telah menghubungi Corporate Secretary PT Kimia Farma Tbk (KAEF) Ganti Winarno Putro melalui pesan WhatsApp untuk meminta klarifikasi terkait perkara ini.

    Namun hingga berita ini dipublikasikan, Bisnis belum mendapatkan jawaban dari Ganti Winarno.

  • KPK Ungkap Tersangka Kasus CSR BI dan OJK Terima Suap hingga Rp15,86 Miliar

    KPK Ungkap Tersangka Kasus CSR BI dan OJK Terima Suap hingga Rp15,86 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan dua tersangka terkait kasus dugaan Program Sosial Bank Indonesia (BI) dan Penyuluh Jasa Keuangan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

    Adapun, keduanya merupakan anggota Komisi Keuangan atau XI DPR periode 2019-2024. Hal ini disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers, Kamis (7/8/2025). 

    “Penyidik telah menemukan sekurang-sekurangnya dua alat bukti yang cukup dan kemudian dua hari ke belakang menetapkan dua orang tersangka sebagai berikut yaitu HG anggota Komisi XI periode 2019-2024, kemudian ST anggota Komisi XI periode 2019-2024,” paparnya.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan HG menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Asep menjelaskan HG diduga melakukan dugaan tindak pidana pencucian uang, dengan memindahkan seluruh uang yang diterima melalui yayasan yang dikelolanya, ke rekening pribadi melalui metode transfer. 

    HG kemudian meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru, yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai.

    “HG menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya; pembangunan rumah makan; pengelolaan outlet minuman; pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” jelasnya.

    Lalu, tersangka berinisial ST menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.

    Sama seperti HG, ST menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti deposito, pembelian tanah pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan aset lainnya.

    ST melakukan rekayasa perbankan dengan cara meminta salah satu bank menyamarkan penempatan deposito sehingga pencairan tidak teridentifikasi di rekening koran.

    Adapun para tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • Anggota DPR Heri Gunawan Diduga Pakai CSR BI-OJK Beli Rumah dan Mobil

    Anggota DPR Heri Gunawan Diduga Pakai CSR BI-OJK Beli Rumah dan Mobil

    Jakarta

    Anggota DPR RI Heri Gunawan ditetapkan sebagai tersangka perkara dugaan korupsi terkait penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Heri Gunawan diduga menggunakan dana CSR BI dan OJK untuk bangun rumah makan hingga membeli mobil.

    Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan kasus bermula saat BI dan OJK sepakat memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI DPR RI untuk 10 kegiatan per tahun dari BI dan 18 sampai 24 kegiatan dari OJK per tahun. Di mana, Komisi XI DPR memiliki kewenangan terkait penetapan anggaran untuk BI dan OJK.

    Kesepakatan itu dibuat usai rapat kerja Komisi XI DPR bersama pimpinan BI dan OJK pada November 2020, 2021 dan 2022. Rapat itu pun digelar tertutup.

    KPK mengatakan dana itu diberikan kepada anggota Komisi XI DPR untuk dikelola lewat yayasan masing-masing anggota Komisi XI DPR saat itu. Penyaluran itu dibahas lebih lanjut oleh tenaga ahli masing-masing anggota Komisi XI DPR dan pelaksana dari OJK dan BI.

    Uang tersebut pun kemudian dicairkan. KPK menduga Heri Gunawan dan Satori tidak menggunakan uang itu sesuai ketentuan.

    “Bahwa pada periode tahun 2021 sampai dengan 2023, yayasan-yayasan yang dikelola oleh HG (Heri Gunawan) dan ST (Satori) telah menerima uang dari mitra Kerja Komisi XI DPR RI, namun tidak melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana dipersyaratkan dalam proposal permohonan bantuan dana sosial,” ujar Asep saat jumpa pers di kantor KPK, Jakarta Selatan, Kamis (7/8/2025).

    Asep mengatakan Heri Gunawan diduga menerima Rp 15,86 miliar. Dari jumlah tersebut rinciannya Rp 6,26 miliar dari BI melalui kegiatan program bantuan sosial Bank Indonesia, Rp 7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan penyuluhan keuangan dan Rp 1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Heri Gunawan diduga meminta anak buahnya membuka rekening baru untuk memindahkan seluruh pencarian uang itu ke rekening pribadi. Heri Gunawan diduga menggunakan uang itu untuk membeli rumah makan, outlet minuman, rumah, hingga mobil.

    “HG menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” ujar Asep.

    KPK menjerat Heri dengan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHP.

    Selain Heri, KPK juga menetapkan Anggota DPR RI Satori sebagai tersangka. Satori diduga menerima total mencapai Rp12,52 miliar.

    Halaman 2 dari 2

    (whn/haf)

  • Dicecar KPK 8 Jam Soal Kasus Google Cloud, Nadiem Makarim: Alhamdulillah Lancar

    Dicecar KPK 8 Jam Soal Kasus Google Cloud, Nadiem Makarim: Alhamdulillah Lancar

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meminta keterangan kepada Mantan Menteri Pendidikan dan Budaya, Nadiem Makarim terkait kasus dugaan korupsi Google Cloud.

    Nadiem diperiksa hampir 8 jam atau tepatnya keluar dari Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 18.35 WIB. Nadiem mengapresiasi KPK karena telah diberikan kesempatan untuk menjelaskan terkait pengadaan google cloud.

    “Tadi baru saja alhamdulillah sudah selesai saya diminta memberikan keterangan mengenai pengadaan Cloud di Kemendikbud. Alhamdulillah lancar saya bisa berikan keterangan dan saya ingin berikan apresiasi sebesar-besarnya kepada KPK juga telah berikan kesempatan untuk melakukan keterangan,” kata Nadiem.

    Meski begitu, Nadiem enggan menanggapi pertanyaan wartawan, terutama tentang hubungan kasus Google Cloud dengan investasi perusahaan Google ke GoTo.

    Setelah memberikan pernyataan itu, Nadiem berpamitan kepada awak media dan petugas KPK karena ingin bertemu keluarganya setelah diperiksa lebih dari 5 jam.

    “Sekarang permisi dulu saya mau kembali ke keluarga terima kasih sekali lagi kepada rekan-rekan media,” ucapnya.

    Jawaban Nadiem di KPK, tidak jauh berbeda ketika diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait kasus laptop Chromebook. Kala ditanya wartawan bagaimana proses pemeriksaan, Nadiem mengucapkan terima kasih karena dapat menyampaikan informasi tentang kasus tersebut.

    “Assalamualaikum. Saya baru saja selesai panggilan kedua saya. Dan saya ingin berterima kasih sebesar-besarnya kepada pihak kejaksaan karena memberikan saya kesempatan untuk memberikan keterangan terhadap kasus ini,” ujar Nadiem kepada awak media usai diperiksa penyidik Jampidsus Kejagung, Selasa (15/7/2025).

    “Terima kasih sekali lagi untuk teman-teman media, izinkan saya kembali ke keluarga saya,” sambung Nadiem

    Sebagaimana diketahui, KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi pengadaan layanan Google Cloud yang merupakan bagian dari program digitalisasi pendidikan Kemendikbudristek di masa kepemimpinan Nadiem, yang kala itu sedang dilanda wabah Covid-19.

    Dari informasi yang dihimpun, Kemendikbudristek menyewa layanan Google Cloud senilai Rp400 miliar untuk satu tahun. Namun, kontrak disebut telah berlangsung selama tiga tahun dan masih berjalan hingga kini.

  • KPK Tetapkan Anggota DPR Nasdem dan Gerindra Tersangka Kasus Korupsi CSR BI dan OJK

    KPK Tetapkan Anggota DPR Nasdem dan Gerindra Tersangka Kasus Korupsi CSR BI dan OJK

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan dua orang anggota Komisi Keuangan atau XI DPR periode 2019-2024 sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Program Sosial Bank Indonesia (BI) dan Penyuluh Jasa Keuangan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

    Selain dugaan korupsi berupa penerimaan gratifikasi terkait dengan pengelolaan dana CSR BI dan OJK, lembaga antirasuah juga mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada kasus tersebut.

    Dua orang itu ditetapkan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) No.52 dan No.53, dan diterbitkan pada. Sebelumnya, kasus tersebut sudah naik ke tahap penyidikan per Desember 2024.

    Adapun dua orang tersebut adalah Satori dari Fraksi Partai Nasdem dan Heri Gunawan dari Fraksi Partai Gerindra. “Penyidik telah menemukan sekurang-sekurangnya dua alat bukti yang cukup dan kemudian dua hari ke belakang menetapkan dua orang tersangka sebagai berikut yaitu HG anggota Komisi XI periode 2019-2024, kemudian ST anggota Komisi XI periode 2019-2024,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (7/8/2025).

    Pada keterangan sebelumnya, Asep menyebut lembaganya juga tengah mendalami dugaan keterlibatan pihak lainnya termasuk dari pihak BI, OJK, maupun anggota DPR lainnya.

    “Sedang kita dalami masing-masing. Yang sudah ada, sudah firm itu dua [tersangka] seperti itu. Yang lainnya kita akan dalami,” terang Asep.

    Lembaga antirasuah sebelumnya menduga terdapat modus penyelewengan hingga pertanggungjawaban fiktif terhadap penggunaan dana Program Sosial BI dan OJK.

    Dana yang disalurkan itu dianggarkan secara resmi oleh bank sentral. Dana PSBI itu lalu diberikan ke yayasan-yayasan yang mengajukan untuk berbagai program kemasyarakatan, seperti perbaikan rumah tidak layak huni (rutilahu), pendidikan dan kesehatan.

    Asep menyebut suatu yayasan dalam satu proposal bisa mengajukan dana PSBI bisa senilai sekitar Rp250 juta. Bahkan, ada yang diduga menerima miliaran rupiah.

    “Ini untuk beberapa, karena di antaranya itu miliaran yang diterimanya, pengajuan itu,” terangnya pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (25/7/2025).

  • Panjang Lebar Penjelasan Pimpinan KPK Tanak Usai Bupati Koltim Bantah Kena OTT

    Panjang Lebar Penjelasan Pimpinan KPK Tanak Usai Bupati Koltim Bantah Kena OTT

    Jakarta

    Wakil Ketua KPK Johanis Tanak kini mengeluarkan pernyataan terbaru terkait kabar operasi tangkap tangan (OTT) yang menyeret nama Bupati Kolaka Timur (Koltim) Abdul Aziz. Usai sebelumnya menyebut KPK menangkap Bupati Koltim dalam OTT, Tanak kini membantah pernyataannya tersebut.

    “Hingga saat ini pihak KPK tidak pernah menginformasikan bahwa Abdul Aziz terjaring operasi tangkap tangan (OTT),” kata Tanak kepada wartawan, Kamis (7/8/2025).

    Tanak lantas menjelaskan panjang lebar mengenai penanganan kasus korupsi di KPK, termasuk pelaksanaan OTT. Dia mengatakan KPK melakukan pengusutan kasus dugaan korupsi salah satunya melalui laporan masyarakat.

    “Sepengetahuan saya, aparat penegak hukum, khusus KPK, telah melaksanakan tugas penegakkan hukum dalam upaya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan baik dan benar serta penuh rasa tanggung jawab,” jelas Tanak.

    “KPK melakukan tindakan hukum terukur setelah mendapat laporan informasi dari masyarakat sesuai dengan peran serta masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 41 UU Tipikor yang mengatur tentang peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,” sambungnya.

    Tanak melanjutkan penjelasannya mengenai mekanisme pengusutan kasus dugaan korupsi di KPK. Berbekal laporan dari masyarakat, sambung Tanak, KPK lalu membentuk tim untuk menganalisis laporan tersebut.

    “Bila hasil analisis yuridis yang dibuat ternyata perbuatan terlapor terindikasi sebagai perbuatan tindak pidana korupsi, maka KPK akan membentuk tim penyelidik yang professional yang didukung oleh personel operator intersep/alat sadap yang dimiliki KPK agar dapat melakukan pengumpulan data dan informasi dengan lebih teliti dan cermat,” paparnya.

    “Hingga dapat mengetahui dengan pasti adanya perbuatan tindak pidana korupsi yang didukung dengan bukti awal yang cukup tentang adanya peristiwa pidana. Dan tugas tersebut dilaksanakan secara professional dan proporsional dengan mengedepankan hak asasi manusia,” sambung Tanak.

    Tanak tidak menjelaskan lebih lanjut informasi yang disampaikannya mengenai Bupati Koltim terjaring OTT. Saat ditanya keterangan awal yang disampaikannya keliru, Tanak membantah menyampaikan Abdul Azis sebagai pihak yang ditangkap KPK.

    “Saya tidak pernah menulis nama beliau. Kalau ada pertanyaan tentang OTT, saya jawab iya ada, tapi tidak pernah saya menulis nama orang,” ujar Tanak.

    Informasi Awal OTT

    Informasi mengenai OTT ini awalnya dibenarkan oleh Tanak siang tadi. Saat ditanya tentang adanya OTT di Sultra, Tanak mengamini.

    “Iya (benar),” kata Tanak.

    Setelahnya, Tanak mengamini pula ketika wartawan bertanya lebih lanjut tentang siapa yang terjaring OTT, apakah seorang bupati atau bukan. “Koltim,” kata Tanak melalui pesan singkat ketika ditanya identitas bupati yang terjaring OTT.

    Kubu Bupati Koltim Membantah

    Namun belakangan Abdul Azis dan partai yang menaunginya yaitu NasDem menepis. Abdul Azis tengah berada di Makassar mengikuti kongres NasDem.

    “Kami menghormati hukum dan proses penyelidikan, tapi jangan lakukan drama dalam ruang terbuka di media sosial. Abdul Azis ada di sebelah saya dan sedang mengikuti Rakernas. Kalau berita yang tidak ada menjadi ada, itu jadi pertanyaan. Sangat disayangkan jika drama ini dimainkan oleh pihak yang kita tidak tahu maksud dan tujuannya,” tegas Ahmad Sahroni dalam kesempatan yang sama.

    Bendahara NasDem Ahmad Sahroni menilai bahwa OTT semestinya terjadi dalam satu tempat dan waktu saat tindak pidana dilakukan. Dalam kasus ini, menurut dia, pernyataan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak tidak sesuai dengan fakta karena Abdul Azis sedang berada di Makassar untuk mengikuti agenda partai secara resmi.

    Sahroni juga menyayangkan framing yang menciptakan kegaduhan publik, padahal belum ada proses hukum yang berjalan secara formal. “Kalau Bupati ini menjadi target penegakan hukum, silakan lakukan sesuai proses. Tapi jangan buat kegaduhan seolah-olah OTT. Orang sekarang lebih pintar, tidak bisa dibodohi,” imbuh Sahroni.

    Berkaitan dengan hal itu, Ketua KPK juga sempat memberikan penjelasan. Ketua bilang saat OTT di Sultra berlangsung, Bupati Koltim tidak ada di tempat.

    “Memang Bupati sedang tidak di tempat, tapi ada beberapa pihak (swasta dan PNS) yang diamankan,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto kepada wartawan, Kamis (7/8/2025).

    Setyo menegaskan OTT tersebut memang benar terjadi. Dia belum menjelaskan kasus yang membuat KPK melakukan OTT itu.

    “Penjelasan awal KPK hanya membenarkan adanya OTT, belum menyebutkan orang yang terlibat,” ucapnya.

    Halaman 2 dari 3

    (ygs/dhn)

  • Komentar Nadiem Usai 9 Jam Diperiksa KPK Kasus Korupsi Google Cloud

    Komentar Nadiem Usai 9 Jam Diperiksa KPK Kasus Korupsi Google Cloud

    Jakarta, CNBC Indonesia – Nadiem Makarim keluar dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah selesai memberikan keterangan selama sekitar 9 jam. Ini dilakukan terkait dugaan korupsi pengadaan Google Cloud saat dia masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

    Dia terlihat keluar dari Gedung KPK, Jakarta pukul 18:46 WIB. Di depan awak media, Nadiem hanya mengatakan telah menyelesaikan pemberian keterangan dengan lancar.

    “…selesai memberikan keterangan mengenai pengadaan Google Cloud di Kemendikbud. Alhamdulillah lancar, saya bisa memberi keterangan,” kata Nadiem.

    Dia juga memberikan apresiasi kepada KPK karena memberikan kesempatan untuk dirinya bisa memberikan keterangan terkait kasus ini.

    “Sekarang permisi dulu, saya mau kembali ke keluarga,” ucapnya.

    Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan pihaknya juga telah meminta keterangan dari berbagai pihak terkait. Semua pihak itu dinilai kooperatif saat memberikan informasi dan keterangan kepada KPK.

    “Dan seluruh proses penyelidikan berlangsung dengan baik, dengan efektif, karena pihak-pihak juga kooperatif memberikan informasi dan keterangan yang dibutuhkan,” jelas Budi.

    “Sehingga dengan demikian, tentu kami berharap proses penyelidikannya bisa berlangsung secara efektif. Dan tentu nanti jika sudah lengkap, nanti akan kami sampaikan update-nya,” imbuhnya.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bendahara KONI Lampung Tengah Diduga Palsukan Tanda Tangan untuk Cairkan Dana Hibah Rp1 Miliar

    Bendahara KONI Lampung Tengah Diduga Palsukan Tanda Tangan untuk Cairkan Dana Hibah Rp1 Miliar

    Liputan6.com, Jakarta Belum tuntas perkara korupsi dana hibah tahun 2022, Bendahara Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Lampung Tengah, ES (40), kembali dijerat pidana. Kali ini, ES ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan tanda tangan Ketua Harian KONI demi mencairkan dana hibah senilai Rp1 miliar.

    Kasatreskrim Polres Lampung Tengah AKP Devrat Aolia Afran, menyebut pemalsuan tanda tangan itu terjadi pada tahun 2024. Dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Lampung, kerugian negara akibat pencairan dana tersebut mencapai Rp800 juta.

    “ES diduga memalsukan tanda tangan Ketua Harian KONI untuk mencairkan dana hibah. Dana itu kemudian digunakan tanpa persetujuan pengurus lainnya,” ujar Devrat, Kamis (7/8).

    Kasus itu terkuak ketika Ketua Harian KONI berinisial SO hendak mencairkan dana untuk salah satu cabang olahraga pada Juni lalu. Namun, saat mengakses rekening organisasi, saldo telah nihil.

    Investigasi internal pun membawa temuan mengejutkan, dana telah dicairkan lebih dulu oleh ES tanpa sepengetahuan pengurus.

    Penyidik Polres Lampung Tengah telah memeriksa 64 saksi dalam perkara ini.

    “ES kini dijerat Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 jo Pasal 18 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara,” tegas dia.

    Sebelumnya, pada akhir Juli 2025, Kejaksaan Negeri Lampung Tengah menetapkan ES bersama Ketua KONI Lampung Tengah, DW, sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana hibah tahun anggaran 2022. Kala itu, keduanya diduga menggelapkan dana senilai Rp 1,1 miliar dari total hibah sebesar Rp 5,8 miliar.