Kasus: korupsi

  • Bupati Koltim Abdul Azis jadi Tersangka Suap, Surya Paloh Minta Fraksi NasDem DPR Panggil KPK!

    Bupati Koltim Abdul Azis jadi Tersangka Suap, Surya Paloh Minta Fraksi NasDem DPR Panggil KPK!

    GELORA.CO  – Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, menginstruksikan Fraksi Partai NasDem di Komisi III DPR untuk memanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP). Hal ini merespons operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Kolaka Timur (Koltim) Abdul Azis.

    Diketahui, saat ini KPK telah menetapkan Abdul Azis sebagai tersangka suap proyek pembangunan peningkatan fasilitas RSUD Kelas D/Pratama menjadi Kelas C di Kabupaten Kolaka Timur. 

    “Saya menginstruksikan agar Komisi III memanggil KPK dengar pendapat agar terminologi OTT bisa diperjelas OTT itu apa yang dimaksudkan,” ujar Paloh dalam keterangannya, Sabtu (9/8/2025).

    Paloh mempertanyakan penerapan istilah OTT yang dinilainnya tidak tepat. Menurutnya, OTT seharusnya merujuk pada peristiwa di satu lokasi antara pemberi dan penerima yang sama-sama melanggar norma hukum.

    “Yang saya pahami, OTT adalah sebuah peristiwa yang melanggar norma hukum, terjadi di satu tempat antara pemberi maupun penerima. Tapi kalau yang satu melanggar normanya di Sumatera Utara, katakanlah si pemberi, yang menerima di Sulawesi Selatan, ini OTT apa? OTT plus?” kritiknya.

    Ia menilai, penggunaan terminologi yang keliru berpotensi membuat publik bingung dan tidak mendukung penegakan hukum. Untuk itu, ia menilai, RDP dengan KPK bisa memberi kejelasan agar istilah OTT tidak menimbulkan kebingungan masyarakat.

    Lebih lanjut, Paloh menegaskan Partai NasDem konsisten mendukung penegakan hukum. Namun, ia mengingatkan agar proses tersebut tidak didahului dengan drama.

    “Yang NasDem sedih, asalnya ada drama dulu, baru penegakan hukum. Sesudah penegakan hukum nanti mengharap amnesti. Itu tidak bagus juga,” katanya.

    Namun, Paloh berpesan pada kader NasDem untuk tidak terlalu cepat memberikan komentar yang terkesan membela diri. Ia juga mempertanyakan penerapan asas praduga tidak bersalah yang dinilainya mulai diabaikan.

    “Apakah asas praduga tidak bersalah itu sama sekali tidak laku lagi di negeri ini?” ujarnya.

    Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kolaka Timur (Koltim), Abdul Azis sebagai tersangka suap proyek pembangunan peningkatan fasilitas RSUD Kelas D/Pratama menjadi Kelas C di Kabupaten Kolaka Timur. Terungkap, ia meminta fee proyek hingga Rp9 miliar

  • Said Didu Tanggapi Pernyataan Presiden Prabowo Soal Pihak yang Ingin Masuk Kabinet

    Said Didu Tanggapi Pernyataan Presiden Prabowo Soal Pihak yang Ingin Masuk Kabinet

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto menyebut ada orang yang ingin masuk kabinet padahal tidak berkeringat. Hal itu menuai sorotan.

    Eks Sekretaris Badan Usaha Milik Negara Muhammad Said Didu menegaskan, tak semua yang berjuang untuk bangsa mau dapat jabatan.

    “Tidak semua yang berjuang untuk perbaiki bangsanya untuk dapatkan jabatan,” tulis Didu dikutip dari unggahannya di X, Sabtu (9/8/2025).

    Di sisi lain, ia melihat banyak yang menduduki jabatan dan mendapat gaji miliaran rupiah. Tapi kerjanya memaki dan pecah belah bangsa.

    “Justru banyak tukang maki-maki dan pemecah belah bangsa yang diberikan jabatan dengan gaji dari uang rakyat yang bisa mencapai Rp milyaran rupiah per bulan,” terangnya,

    Ia pin merefleksikan arti kata keringat menurut Prabowo.

    “Apakah arti berkeringat adalah menjilat setelah memaki-maki, memecah belah bangsa, bahkan korupsi?” ujarnya.

    Adapun pernyataan Prabowo itu disampaikan pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Rabu 6 Agustus 2025.
    (Arya/Fajar)

  • Abolisi Tom Lembong Masih Timbulkan Tanya, Benarkah Hubungan Prabowo dengan Pihak Tertentu Retak?

    Abolisi Tom Lembong Masih Timbulkan Tanya, Benarkah Hubungan Prabowo dengan Pihak Tertentu Retak?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar mengatakan amnesti dan abolisi umumnya diberikan untuk melakukan rekonsiliasi kondisi politik, sedangkan abolisi pada alasan kemanusiaan.

    “Amnesti dan abolisi itu bahasa politik, bukan hukum. Penggunaannya di Indonesia dalam perkembangannya digunakan pada kasus politik. Ada motif rekonsiliasi dalam kepentingan nasional,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Sabtu (9/8/2025).

    Namun pada kasus Tom Lembong, Zainal tidak melihat ada kondisi yang mengharuskan proses rekonsiliasi itu dilakukan. Abolisi seharusnya tidak perlu diberikan jika proses hukum sudah berjalan sesuai dengan kaidah hukum nasional.

    Alasan pemberian abolisi pada kasus Tom Lembong masih menimbulkan pertanyaan besar.

    “Ini jelas masalah politik, tapi masalahnya apa yang mau direkonsiliasi? Mungkin Presiden punya keretakan hubungan dengan pihak tertentu, tapi salah kalau itu diukur dengan skala nasional,” tegasnya.

    Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar

    Ia khawatir jika ini terus terjadi, akan ada banyak kebijakan yang dilandaskan pada motif politik dibandingkan kepentingan publik.

    “Harus ada parameter hukum yang jelas dalam pemberian amnesti dan abolisi. Apakah ada kepentingan nasional atau motif politik di balik kasus tersebut,” ungkapnya.

    Selain itu, perlu ada limitasi kasus tertentu yang bisa diberikan amnesti dan abolisi. Terlebih dalam kasus tindak pidana korupsi tidak seharusnya unsur politik bermain di dalamnya.

    Sementara itu, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto merupakan pelaksanaan hak prerogatif Presiden RI sesuai dengan konstitusi, bukan suatu kebijakan istimewa. Menurutnya, hal itu sudah lazim dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya dan merupakan bagian dari pertimbangan yang lebih luas demi kepentingan negara.

  • 122 Juta Rekening Nganggur Dibuka Lagi! Ada yang Tidur 35 Tahun

    122 Juta Rekening Nganggur Dibuka Lagi! Ada yang Tidur 35 Tahun

    Jakarta

    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan seluruh proses analisis atas rekening dormant (tidak aktif/nganggur) yang dilakukan secara bertahap bersama perbankan sejak 15 Mei 2025 telah tuntas dilakukan pada 31 Juli 2025. Sebanyak 122 juta rekening dormant yang terdampak dipastikan aktif kembali.

    PPATK mengungkap mayoritas rekening dormant adalah rekening yang tidak aktif dalam waktu cukup lama yakni 5 tahun hingga 35 tahun. Sejak Mei 2025 secara bertahap, telah memberikan arahan resmi kepada perbankan untuk melakukan pencabutan penghentian sementara transaksi (cabut Hensem) atas rekening dormant, sesuai prosedur yang berlaku.

    “Hingga saat ini, lebih dari 100 juta rekening atau 90% rekening telah kembali aktif, mayoritas rekening dormant adalah rekening yang tidak aktif dalam waktu 5 tahun hingga 35 tahun. Proses aktivasi rekening sepenuhnya diserahkan kepada pihak bank sesuai dengan mekanisme dan kebijakan internal masing-masing bank,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam keterangan resmi PPATK, Sabtu (9/8/2025).

    Sebagai bentuk tindalanjut dari hasil analisis, sejumlah rekomendasi perbaikan penanganan dan mitigasi risiko penyalahgunaan rekening dormant telah disiapkan oleh PPATK untuk diserahkan kepada otoritas yang berwenang.

    “Peta risiko akan menjadi rujukan bagi semua pihak terkait, baik regulator maupun industri jasa keuangan, untuk mengambil langkah yang tepat untuk melindungi kepentingan nasabah,” lanjut dia

    Sebagai upaya pelindungan bagi masyarakat dari penyalahgunaan rekening dormant, PPATK meminta perbankan untuk mendapatkan secara proaktif informasi terkini mengenai identitas dan keberadaan nasabahnya melalui kontak langsung dengan nasabah baik secara tatap muka, maupun secara online.

    Prosedur reaktivasi rekening dormant ini merupakan salah satu proses mengenali pengguna jasa atau Know Your Customer (KYC). PPATK berharap rekening nasabah terbebas dari jual beli rekening ataupun potensi peretasan, penyalahgunaan serta penyimpangan yang beberapa waktu ini sangat marak terjadi dan tentunya akan mengorbankan hak serta kepentingan pemilik rekening yang sah.

    “Proses di PPATK sudah selesai. Selanjutnya, mekanisme aktivasi kembali sepenuhnya berada di masing-masing bank, sesuai kebijakan internal mereka. Kami terus mendorong percepatan layanan ini, sambil memastikan bahwa kedepan rekening yang dilepas benar-benar aman dari potensi penyalahgunaan,” jelasnya.

    Lebih lanjut dijelaskan, kebijakan penghentian sementara bukanlah bentuk hukuman atau penghapusan hak, melainkan langkah preventif untuk melindungi dana nasabah dan menjaga integritas sektor jasa keuangan dan stabilitas ekonomi.

    Kebijakan ini berbasis pada laporan perbankan dan hasil pengkinian informasi nasabah yang dilakukan oleh perbankan langsung. Hal ini merupakan upaya pemerintah dalam mencegah penyalahgunaan rekening dormant dari berbagai kejahatan seperti penipuan, jual beli rekening, judi online, korupsi, narkotika, peretasan, serta tindak pidana lainnya yang sangat merugikan nasabah pemilik sah rekening.

    Bagi masyarakat yang rekeningnya masih berstatus dormant atau terhenti sementara, langkah yang dapat dilakukan adalah:

    1. Nasabah diminta untuk mengunjungi kantor pusat atau kantor cabang bank terdekat.

    2. Apabila tidak memungkinkan untuk hadir secara tatap muka maka nasabah menghubungi layanan nasabah resmi bank (telepon, email, live chat, aplikasi mobile banking).

    3. Nasabah mempersiapkan dokumen identitas dan bukti kepemilikan rekening sesuai ketentuan bank.

    PPATK mengimbau agar masyarakat, pertama memastikan data dan identitas di bank selalu mutakhir dengan melakukan kontak langsung dengan Bank. Kedua, tidak meminjamkan atau menjual identitas pribadi dan rekening kepada pihak lain. Ketiga, segera melapor jika menemukan aktivitas dan transaksi mencurigakan pada rekeningnya.

    “Dengan koordinasi erat antara PPATK, perbankan, regulator, dan masyarakat, kita dapat membangun sistem keuangan yang tangguh, aman, dan terpercaya,” tutupnya.

    (ada/fdl)

  • Fakta-fakta Baru Dana Kasus CSR BI-OJK, Banyak Komisi XI DPR Terlibat

    Fakta-fakta Baru Dana Kasus CSR BI-OJK, Banyak Komisi XI DPR Terlibat

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendalami aliran dana CSR BI-OJK. Tersangka yang diperiksa KPK menyebutkan bahwa banyak anggota Komisi XI juga mendapatkan dana tersebut.

    Hal itu disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers penetapan tersangka terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) program CSR BI dan OJK

    “Bahwa menurut pengakuan tersangka ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut,” kata Asep, Kamis (7/8/2025).

    Asep menekankan penyidik akan mengembangkan kasus tersebut untuk menemukan fakta-fakta baru. Adapun aliran dana CSR BI-OJK dibahas dalam rapat tertutup di DPR.
    “Tentunya kami akan mendalami keterangan dari saudara ST ini siapa saja yang menerima dana bantuan sosial dari Komisi XI ini,” jelas dia.

    Dari hasil penyidikan sementara, KPK menemukan ada dugaan korupsi dalam penyaluran dana CSR BI-OJK. Selain tersangka ST (Satori), KPK juga menetapkan HG (Heri Gunadi). Keduanya merupakan anggota Komisi XI periode 2019-2024. Mereka menggunakan uang untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan hingga showroom.

    Asep menuturkan, HG diduga menerima Rp15,8 miliar yang digunakan untuk kebutuhan pribadi, seperti seperti pembangunan rumah, pengelolaan outlet minuman, hingga pembelian tanah dan kendaraan.

    Sementara total ST menerima uang Rp12,52 miliar. Uang itu digunakan untuk deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, hingga pembelian kendaraan.

    Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    Selain itu, mereka juga dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHP.

  • Tersangka Kasus Korupsi CSR BI-OJK, Berakhir di DPR?

    Tersangka Kasus Korupsi CSR BI-OJK, Berakhir di DPR?

    Bisnis.com, JAKARTA – Tersangka kasus korupsi CSR Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai terkuak. KPK mendapati tersangka berasal dari anggota DPR yang menyelewengkan dana.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan penyidik sedang mengembangkan kasus tersebut untuk menemukan fakta-fakta baru. KPK menetapkan dua anggota DPR sebagai tersangka terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) program CSR BI dan OJK

    “Bahwa menurut pengakuan ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut,” kata Asep, Kamis (7/8/2025).

    Temuan KPK adalah 2 anggota Komisi XI periode 2019-2024 ditetapkan tersangka terduga kasus pencucian uang yakni Heri Gunawan alias HG dan Satori alias ST. Mereka menggunakan uang untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan hingga showroom.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan HG menerima total uang Rp15,58 miliar, sedangkan ST sebesar Rp12,52 miliar.

    “Penyidik telah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup dan kemudian dua hari ke belakang menetapkan dua orang tersangka sebagai berikut yaitu HG anggota Komisi XI periode 2019-2024, kemudian ST anggota Komisi XI periode 2019-2024,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (7/8/2025).

    Asep menyebutkan HG dan ST mengantongi total uang yang berbeda. HG menerima Rp15,86 miliar, sedangkan ST Rp12,52 miliar. Uang korupsi CSR BI dan OJK, diduga digunakan untuk keperluan pribadi, bukan penyaluran kegiatan sosial sebagaimana ketentuan yang berlaku. 

    Lebih rinci, tersangka HG menggunakan dana tersebut untuk pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian mobil.

    Selanjutnya, ST menerima Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI.

    Asep menuturkan tersangka ST menggunakan uang kegiatan sosial untuk deposito pribadi, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan pembelian aset lainnya

    Meski telah menetapkan tersangka, Asep mengatakan penyidik masih melakukan pendalaman kasus karena diduga ada pihak-pihak lain yang terlibat.

    “Tentunya kami akan mendalami keterangan dari saudara ST ini siapa saja yang menerima dana bantuan sosial dari Komisi XI ini,” jelas dia.

    Adapun KPK menjerat tersangka dengan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Kronologi Dana CSR BI dan OJK, Mengalir ke Yayasan Fiktif 

    Kejahatan korupsi terselubung ini bermula dari pembentukan Panitia Kerja (Panja) Komisi XI DPR untuk membahas pendapatan dan pengeluaran anggaran mitra kerja, termasuk BI dan OJK. Mereka membahas ini dalam rapat-rapat tertutup sejak 2020.

    Anehnya, sejak 2020, pembahasan dan kesepakatan penyaluran dana CSR dari OJK dan BI untuk kegiatan sosial juga lahir di dalam rapat tertutup. BI mengalokasikan sekitar 10 kegiatan per tahun, sedangkan OJK 18–24 kegiatan CSR. 

    Namun, menurut KPK, alokasi tersebut justru menjadi celah. HG dan ST diduga memanfaatkan yayasan yang mereka kelola—empat milik HG dan delapan milik ST—sebagai penampung dana. Proposal diajukan, dana dicairkan, lalu mengalir ke rekening pribadi atau rekening baru yang dibuka oleh staf kepercayaan mereka.

    “Uang yang seharusnya untuk memperbaiki rumah rakyat, pendidikan, atau kesehatan, malah digunakan untuk kepentingan pribadi,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Jakarta, Kamis (7/8/2025).

    Dari hasil penyidikan, HG menerima total Rp15,86 miliar, yang terdiri dari Rp6,26 miliar dari BI, Rp7,64 miliar dari OJK, dan Rp1,94 miliar dari mitra kerja lainnya.

    Uang ini digunakan HG untuk membangun rumah makan, membeli mobil, tanah, bangunan, hingga mengelola outlet minuman.

    ST, di sisi lain, mengantongi Rp12,52 miliar: Rp6,30 miliar dari BI, Rp5,14 miliar dari OJK, dan Rp1,04 miliar dari mitra kerja lain. Modusnya lebih rumit sebab dia meminta salah satu bank menyamarkan transaksi deposito sehingga pencairan tak terdeteksi di rekening koran.

    “Dana itu kemudian dipakai untuk membeli tanah, membangun showroom, hingga kendaraan bermotor,” ujar Asep. 

    KPK belum berhenti pada dua nama ini. Penyidik tengah menelusuri kemungkinan keterlibatan pejabat BI, OJK, dan anggota DPR lain. Sejumlah saksi sudah dipanggil, termasuk mantan pejabat BI, pejabat aktif OJK, dan anggota DPR dari berbagai fraksi.

    Bahkan, ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo sempat digeledah pada Desember 2024. Meski begitu, Perry hingga kini belum dipanggil untuk dimintai keterangan. BI sendiri menyatakan menghormati proses hukum dan berkomitmen mendukung penyidikan.

    “Kami akan mendalami peran gubernur BI, deputi gubernur, juga pihak OJK. Tidak menutup kemungkinan ada temuan tindak pidana korupsi lainnya,” kata Asep.

    Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan dana CSR di lembaga negara. Dana yang diharapkan menjadi motor kegiatan sosial ternyata rawan diselewengkan lewat pertanggungjawaban fiktif.

    Contoh yang diungkap KPK: satu proposal pengajuan dana PSBI senilai Rp250 juta untuk membangun 50 rumah rakyat, namun di lapangan hanya terbangun 8–10 unit. Sisa anggaran miliaran rupiah menguap.

    Pengamat tata kelola publik menilai skema penyaluran melalui yayasan tanpa verifikasi independen membuat program CSR rentan menjadi “ladang basah” bagi oknum.

    “Tanpa transparansi dan kontrol publik, dana sosial bisa berubah menjadi dana pribadi,” ujar seorang akademisi.

  • Bancakan Dana CSR BI-OJK dan Bantahan Anggota Komisi XI soal Tuduhan Terima Uang
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Agustus 2025

    Bancakan Dana CSR BI-OJK dan Bantahan Anggota Komisi XI soal Tuduhan Terima Uang Nasional 9 Agustus 2025

    Bancakan Dana CSR BI-OJK dan Bantahan Anggota Komisi XI soal Tuduhan Terima Uang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pada Kamis (7/8/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua Anggota DPR, yakni Heri Gunawan (HG) dan Satori (ST), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2020-2023.
    Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menuturkan, perkara ini bermula dari Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK dan Pengaduan Masyarakat.
    Komisi XI DPR pernah membentuk Panitia Kerja (Panja) dan mengadakan rapat tertutup.
    Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi XI memiliki beberapa mitra kerja, di antaranya BI dan OJK.
    “Adapun khusus terhadap BI dan OJK, Komisi XI memiliki kewenangan tambahan yaitu mewakili DPR memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran masing-masing lembaga tersebut setiap tahunnya,” ujar Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.
    KPK mengatakan, rapat tertutup menghasilkan sejumlah kesepakatan, di antaranya sebagai berikut:
    1. BI dan OJK memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI DPR RI dengan alokasi kuota yaitu dari BI sekitar 10 kegiatan per tahun dan OJK sekitar 18 sampai dengan 24 kegiatan per tahun.
    2. Dana program sosial diberikan kepada anggota Komisi XI DPR RI melalui yayasan yang dikelola oleh anggota DPR Komisi XI.
    3. Teknis pelaksanaan penyaluran dana bantuan sosial dibahas lebih lanjut oleh Tenaga Ahli (TA) dari masing-masing anggota DPR Komisi XI dan pelaksana dari BI dan OJK dalam rapat lanjutan.
    Kemudian, rapat lanjutan dilakukan untuk membahas beberapa hal, di antaranya jumlah yayasan, teknis pengajuan proposal, teknis pencairan uang, dokumen laporan pertanggungjawaban (LPJ), serta alokasi dana yang diperoleh dari setiap anggota DPR RI Komisi XI per tahunnya.
    Setelah rapat panja, Komisi XI DPR RI akan melaksanakan rapat kerja terkait persetujuan rencana anggaran.
    Dari rapat ini, Heri Gunawan dan Satori melancarkan aksinya.
    Heri disebut menugaskan tenaga ahli, sedangkan Satori menugaskan orang kepercayaannya.
    Heri mengajukan 4 yayasan, sementara Satori mengajukan 8 yayasan.
    Namun, keduanya tidak melaksanakan kegiatan sosial seperti yang disyaratkan dalam proposal.
    Asep mengatakan, Heri Gunawan diduga menerima uang Rp 15,86 miliar.
    Politikus Partai Gerindra ini disebut meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai.
    Rincian uang yang diterima Heri sebanyak Rp 6,26 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta senilai Rp 1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    “HG (Heri Gunawan) menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” ujar dia.
    Sementara, Satori diduga menerima uang senilai Rp 12,52 miliar.
    Ia diduga melakukan pencucian uang dengan menggunakannya untuk keperluan pribadi.
    Dengan rincian, sejumlah Rp 6,30 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta sejumlah Rp 1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    “Seperti deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya,” tutur dia.
    Perkara ini tidak berhenti di Heri dan Satori.
    KPK mendalami dugaan bahwa mayoritas Anggota Komisi XI DPR menerima CSR dari BI dan OJK untuk periode 2020-2023.
    Dugaan tersebut didalami KPK berangkat dari pengakuan Satori yang menyebut sebagian besar anggota Komisi XI DPR juga menerima dana tersebut.
    “Bahwa menurut pengakuan ST (Satori), sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut. KPK akan mendalami keterangan ST tersebut,” kata Asep.
    Menanggapi dugaan itu, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan, pihaknya menghormati langkah KPK menetapkan Heri Gunawan dan Satori sebagai tersangka.
    “Kita hormati proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK terkait penetapan tersangka dua anggota DPR RI yang berkaitan dengan Program Sosial Bank Indonesia,” kata Misbakhun, Kamis malam.
    Namun, Misbakhun belum menjelaskan lebih lanjut apakah Komisi XI bakal memanggil BI dalam rapat di DPR RI untuk evaluasi atau penjelasan.
    Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Fraksi Golkar Melchias Markus Mekeng membantah dugaan tersebut.
    Mekeng mengeklaim bahwa anggaran CSR tidak pernah dibagikan kepada anggota Komisi XI DPR, tetapi langsung dibagikan kepada pihak yang meminta.
    “Jadi, anggaran CSR itu tidak dibagikan ke anggota. Itu dibagikan langsung kepada yang minta, misalnya rumah ibadah, gereja, masjid, atau UMKM. Anggota tidak pernah megang uang sama sekali,” ujar Mekeng, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (8/8/2025).
    Mekeng mengatakan, anggota hanya menyampaikan kepada Bank Indonesia terkait rumah ibadah yang membutuhkan dana untuk renovasi.
    “Itu diproses langsung oleh Bank Indonesia, uangnya langsung ke masjidnya. Jadi, enggak ada anggaran dikasih ke anggota,” sambung Mekeng.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Tangkap 12 Orang Terkait Dugaan Korupsi RSUD Kolaka Timur, 5 Tersangka Termasuk Bupati Abdul Azis, Ini Perannya

    KPK Tangkap 12 Orang Terkait Dugaan Korupsi RSUD Kolaka Timur, 5 Tersangka Termasuk Bupati Abdul Azis, Ini Perannya

    “Jadi untuk pemenangnya pun sudah ditentukan gitu ya, sudah ditentukan yaitu PT PCP,” tuturnya.

    Kemudian, pada bulan Maret 2025, Saudara AGD selaku PPK melakukan penandatanganan kontrak pekerjaan pembangunan RSUD Kabupaten Kolaka Timur dengan PTP senilai Rp126,3 miliar.

    Pada akhir April 2025, Saudara AGD berkonsultasi dan memberikan uang senilai Rp30 juta kepada Saudara ALH di Bogor.

    Pada periode Mei sampai dengan Juni, PT PCP melalui Saudara DK melakukan penarikan uang sekitar Rp2,09 miliar.

    Di mana uang tersebut selanjutnya diserahkan kepada Saudara AGD senilai R500 juta di lokasi pembangunan RSUD Kabupaten Koltim.

    Selain itu, Saudara DK juga menyampaikan permintaan dari Saudara AGD kepada rekan-rekan di PTP terkait dengan komitmen fee sebesar 8% dari sejumlah tadi anggaran Rp126,3 miliar.

    “Pihak AGD ini meminta komitmen fee sebesar 8% ya, Saudara ABZ dengan Saudara AGD mintanya 8% dari sananya itu kira-kira sekitar Rp9 miliar lah. Kemudian pada Agustus 2025, Saudara DK melakukan penarikan cek sebesar Rp1,6 Miliar,” ungkapnya.

    Uang itu lalu diserahkan kepada Saudara AGD, di mana Saudara AGD kemudian menyerahkan kepada Saudara YS selaku staf dari Saudara ABZ.

    “Penyerahan dan pengelolaan uang tersebut diketahui oleh Saudara ABZ yang di antaranya untuk membeli kebutuhan atau keperluan Saudara ABZ. Jadi uangnya dikelola oleh Saudara YS tapi atas pengetahuan dan digunakan untuk keperluan Saudara ABZ,” jelasnya.

    Lalu, DK juga melakukan penarikan tunai sebesar Rp200 juta yang kemudian diserahkan kepada AGD. Selain itu, PT PCP juga melakukan penarikan cek sebesar Rp3,3 miliar.

  • Tanggapi Surya Paloh, KPK Anggap OTT Bupati Kolaka Timur Sesuai Aturan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Agustus 2025

    Tanggapi Surya Paloh, KPK Anggap OTT Bupati Kolaka Timur Sesuai Aturan Nasional 9 Agustus 2025

    Tanggapi Surya Paloh, KPK Anggap OTT Bupati Kolaka Timur Sesuai Aturan
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang mempersoalkan terminologi operasi tangkap tangan (OTT) dalam penangkapan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis (ABZ). KPK menganggap OTT Bupati Abdul Azis telah sesuai aturan.
    “Tangkap tangan itu sendiri misalkan karena ditemukan pada saat terjadinya tindak pidana orang itu, atau sesaat setelahnya diteriakkan oleh khalayak ramai bahwa dia adalah pelakunya, atau pada saat ditemukan bukti-bukti padanya,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (9/8/2025) dini hari.
    Menurut Asep, KPK mulanya menerbitkan surat perintah penyelidikan kasus dugaan korupsi terkait pembangunan rumah sakit umum daerah di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, pada awal 2025.
    Pada pertengahan Juli 2025 hingga beberapa waktu lalu, kata dia, KPK mendapatkan informasi terjadi peningkatan komunikasi dan terdapat proses penarikan sejumlah uang untuk diberikan kepada sejumlah pihak.
    “Menindaklanjuti hal tersebut, kami melakukan atau membagi tim menjadi tiga tim,” katanya.
    Tiga tim tersebut bertugas untuk melakukan OTT di tiga lokasi, yakni Jakarta; Kendari, Sulawesi Tenggara; dan Makassar, Sulawesi Selatan.
    “Jakarta disentuh dulu dapat orangnya, kemudian di Kendari disentuh dulu dapat orangnya. Dari situ didapatkan informasi bahwa penyerahan uang maupun barang kemudian juga perintah-perintah yang diberikan itu kepada saudara ABZ juga. Walaupun memang dari informasi awal sudah kami ketahui,” ujarnya.
    “Informasi tambahan dari para terduga yang kami amankan di Jakarta maupun Kendari membuat kami sangat yakin bahwa saudara ABZ ini adalah juga terduga yang harus kami amankan. Untuk itu, tim yang ada di Makassar bergerak untuk melakukan kegiatan tangkap tangan kepada saudara ABZ,” tambah dia.
    Sebelumnya, Surya Paloh setelah menghadiri Rakernas NasDem di Makassar, Jumat (8/8), menginstruksikan kadernya di Komisi III DPR RI untuk memanggil KPK dalam rapat dengar pendapat dan memperjelas terminologi OTT.
    Menurut dia, OTT semestinya merupakan peristiwa penangkapan yang terjadi di satu tempat, dan ada transaksi antara pemberi dan penerima yang melanggar norma hukum.
    “Akan tetapi, kalau yang satu melanggar normanya di Sulawesi Utara, katakanlah si pemberi, dan yang menerima di Sulawesi Selatan, ini OTT apa? OTT plus?,” katanya.
    Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit umum daerah (RSUD) Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara (Sultra).
    Abdul Azis ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lainnya usai serangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Sulawesi Tenggara (Sultra), Jakarta, dan Sulawesi Selatan (Sulsel) pada Kamis (7/8/2025).
    Di antaranya, Andi Lukman Hakim selaku PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD; Ageng Dermanto selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek Pembangunan RSUD di Kolaka Timur; Deddy Karnady selaku pihak swasta PT PCP; dan Arif Rahman selaku pihak swasta PT PCP.
    “Menetapkan lima orang tersangka sebagai berikut: ABZ (Bupati Kolaka Timur Abdul Azis), ALH (Andi Lukman Hakim), AGD (Ageng Dermanto), DK (Deddy Karnady), AR (Arif Rahman),” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Sabtu (9/8/2025).
    Bupati Kolaka Abdul Azis, Andi Lukman Hakim, dan Ageng Dermanto selaku tersangka penerima suap dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sementara itu, para tersangka pemberi suap, yakni Deddy Karnady dan Arif Rahman, dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jadi Tersangka Suap, Bupati Koltim Abdul Azis Minta Fee Proyek Rp9 Miliar

    Jadi Tersangka Suap, Bupati Koltim Abdul Azis Minta Fee Proyek Rp9 Miliar

    GELORA.CO  – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Kolaka Timur (Koltim), Abdul Azis sebagai tersangka suap proyek pembangunan peningkatan fasilitas RSUD Kelas D/Pratama menjadi Kelas C di Kabupaten Kolaka Timur. Terungkap, ia meminta fee proyek hingga Rp9 miliar.

    Menurut Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu kejadian ini bermula pada Desember 2024. Saat itu, diduga terjadi pertemuan antara pihak Kemenkes dengan lima konsultan perencana untuk membahas Basic Design RSUD yang didanai oleh dana alokasi khusus (DAK). 

    Pihak Kemenkes kemudian membagi pekerjaan pembuatan basic design 12 RSUD ke para rekanan, dengan cara penunjukkan langsung di masing-masing daerah. Sedangkan, basic design proyek pembangunan RSUD Kab. Koltim dikerjakan oleh Nugroho Budiharto selaku pihak swasta dari PT Patroon Arsindo. 

    Lalu, pada Januari 2025 terjadi pertemuan antara Pemkab Koltim dengan pihak Kemenkes untuk membahas pengaturan lelang pembangunan rumah sakit tipe C di Kolaka Timur. 

    Diketahui, PPK proyek pembangunan RSUD di Koltim, Ageng Dermanto (AGD) juga memberikan sejumlah uang kepada PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD, Andi Lukman Hakim. 

    Setelah itu, Abdul Azis bersama Kepala Bagian PBJ Pemkab Koltim Gusti Putu Artana, Kasubbag TU Pemkab Koltim Danny Adirekson, dan Kepala Dinas Kesehatan Koltim Nasri menuju ke Jakarta untuk melakukan pengkondisian agar PT PCP agar memenangkan lelang Pembangunan RSUD.

    “Pada Maret 2025, AGD selaku PPK melakukan penandatanganan Kontrak Pekerjaan Pembangunan RSUD Kab. Koltim dengan PT PCP senilai Rp126,3 miliar,” kata Asep. 

    “Pada akhir April 2025, Sdr. AGD berkonsultasi dan memberikan uang senilai Rp30 juta kepada ALH di Bogor. Kemudian, pada periode Mei Juni, PT PCP melalui DK (Deddy Karnadi) melakukan penarikan uang sekitar Rp2,09 miliar,” sambungnya.

    Asep menjelaskan, uang tersebut selanjutnya diserahkan kepada Ageng Dermanto senilai Rp500 juta, di lokasi pembangunan RSUD Kab. Koltim. 

    Selain itu, Deddy Karnadi juga menyampaikan permintaan dari AGD kepada rekan-rekan di PT PCP, terkait komitmen fee sebesar 8 persen. Pada Agustus 2025, Deddy Karnadi kemudian melakukan penarikan cek Rp1,6 miliar yang selanjutnya diserahkan kepada Ageng Darmanto. 

    “AGD kemudian menyerahkannya kepada YS selaku staf saudara ABZ. Penyerahan dan pengelolaan uang tersebut diketahui oleh saudara ABZ, yang diantaranya untuk membeli kebutuhan saudara ABZ,” ucapnya. 

    Deddy Karnadi juga melakukan penarikan tunai sebesar Rp200 juta yang kemudian diserahkan kepada Ageng Dermanto. Selain itu, PT PCP juga melakukan penarikan cek sebesar Rp3,3 miliar.

    “Tim KPK kemudian menangkap saudara AGD dengan barang bukti uang tunai sejumlah Rp200 juta, yang diterimanya sebagai kompensasi atau bagian dari komitmen fee sebesar 8 persen atau sekitar Rp9 miliar, dari nilai proyek pembangunan RSUD Kab. Koltim sebesar Rp126,3 miliar,” tuturnya. 

    Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka, salah satunya Bupati Kolaka Timur (Koltim), Abdul Azis. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lain, yakni PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD, Andi Lukman Hakim (ALH); PPK proyek pembangunan RSUD di Koltim, Ageng Dermanto (AGD); serta dua orang pihak swasta yang terdiri dari Deddy Karnadi (DK) dan Arif Rahman (AR). 

    Dalam perkara ini, tersangka DK dan AR sebagai pihak pemberi, diduga melakukan perbuatan TPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sementara itu, tersangka ABZ, AGD, dan ALH, sebagai pihak penerima, diduga melakukan perbuatan TPK sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.