Kasus: korupsi

  • Top 3 News: Penampakan Terbaru Setya Novanto saat Bebas dari Lapas Sukamiskin – Page 3

    Top 3 News: Penampakan Terbaru Setya Novanto saat Bebas dari Lapas Sukamiskin – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Wajah eks Ketua DPR, Setya Novanto, berseri-seri. Dia berdiri di Bapas Kelas 1 Bandung sambil menerima map berisi dokumen-dokumen. Itulah top 3 news hari ini.

    Foto itu diambil saat proses serah terima Setya Novanto dari Lapas Sukamiskin kepada Balai Pemasyarakatan Bandung.

    Ya, tepat sehari menjelang perayaan HUT RI ke-80, Setya Novanto akhirnya menghirup udara kebebasan. Dia keluar dari Lapas Sukamiskin, Bandung, melalui program pembebasan bersyarat. Hal itu dibenarkan oleh Kalapas Sukamiskin Fajar Nur Cahyono.

    Sementara itu, sejumlah artis papan atas turut menghadiri upacara Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI di halaman Istana Merdeka Jakarta, Minggu 17 Agustus 2025

    Dari pantauan, mereka mulai berdatangan sejak pukul 07.35 WIB dengan mengenakan baju adat Nusantara.

    Pasangan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina tampil kompak memakai busana adat Jawa. Raffi mengenakan beskap hitam, sementara Nagita memilih kebaya putih sederhana.

    Berita terpopuler lainnya di kanal News Liputan6.com adalah terkait Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka bersama istri, Selvi Gibran Rakabuming menghadiri Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia (HUT ke-80 RI) di Halaman Istana Merdeka, Jakarta, Minggu 17 Agustus 2025.

    Pada momentum tahun ini, Wapres Gibran mengenakan busana adat Kerawang Gayo. Diketahui, pilihan busana ini tidak semata-mata untuk penampilan seremonial, melainkan sarat dengan nilai filosofis yang mendalam.

    Selain itu, tampak keserasian dari teluk belanga hitam yang dikenakan Gibran, dipadu dengan kain songket merah-emas-hitam yang melingkar sebagai ikat pinggang, serta penutup kepala adat yang kian menegaskan wibawa dan kharisma.

    Berikut deretan berita terpopuler di kanal News Liputan6.com sepanjang Minggu 17 Agustus 2025:

    Presiden Joko Widodo atau Jokowi mempertanyakan motif dibalik pengakuan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2014-2019, Agus Rahardjo yang menyebut dirinya meminta agar kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto dihentikan. Jokowi pun…

  • Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, UGM: Demokrasi Memang Mahal

    Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, UGM: Demokrasi Memang Mahal

    Namun perlu dicermati, semakin tinggi keterlibatan publik, maka demokrasi yang dibangun akan semakin kuat sehingga negara menjadi lebih inklusif dan mampu memenuhi hak-hak rakyatnya secara berkeadilan.

    “Harga “mahal” tersebut sangat pantas untuk memastikan proses politik yang lebih partisipatif,” tegasnya.

    Jika melihat evaluasi pelaksanaan Pilkada yang sebelumnya banyak praktik politik uang dan politik dinasti, setidaknya terdapat tiga persoalan yang muncul, yakni tingginya ongkos politik, korupsi, dan politisasi birokrasi.

    Menurut Alfath, solusinya bukanlah memotong hak masyarakat untuk memilih, melainkan membenahi desain dan pengawasan Pilkada.

    “Pemerintah perlu memahami bahwa persoalan dana pemilihan bukan berarti hambatan untuk mendorong partisipasi politik masyarakat. Harus ada evaluasi menyeluruh mengenai biaya mana yang perlu dan tidak perlu dikeluarkan demi pemilihan yang adil,” jelasnya.

    Selain itu, aspek pengawasan perlu ditekankan sejak awal pencalonan, tidak hanya ketika Pilkada dan pasca pelaksanaan. Secara aturan, Pilkada maupun Pemilu sebetulnya sudah memiliki berbagai aturan mengikat yang sesuai.

    Sayangnya, implementasi aturan tersebut justru masih membutuhkan banyak evaluasi. Alfath juga berpesan agar pengkhususan atau priviledge pejabat dapat dikurangi agar individu yang terpilih menjadi kepala daerah adalah seseorang yang memang sesuai dengan bidang tersebut.

    “Demokrasi akan bergeser ke arah lebih elitis. Publik makin jauh dari proses pengambilan keputusan,” ucap Alfath.

  • Mereka yang Merdeka dan Bebas dari Tahanan

    Mereka yang Merdeka dan Bebas dari Tahanan

    Bisnis.com, JAKARTA – Perayaan Peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI turut menjadi momen menghirup udara bebas bagi mereka yang mendekam di balik jeruji penjara.

    Pasalnya, tidak sedikit para narapidana yang merasakan udara bebas karena mendapatkan remisi khusus dalam rangka momen tersebut.

    Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan memberi 179.312 narapidana di seluruh Indonesia menerima remisi umum dan 192.983 narapidana menerima remisi dasawarsa.

    Pada momentum yang sama, sebanyak 1.369 anak binaan menerima pengurangan masa pidana umum (PMPU) dan 1.361 anak binaan lainnya memperoleh pengurangan masa pidana dasawarsa (PMPD).

    Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Mashudi memaparkan dari total 179.312 narapidana yang menerima remisi umum, sebanyak 175.395 narapidana di antaranya menerima remisi umum I, sementara 3.917 narapidana lainnya menerima remisi umum II sehingga langsung bebas.

    Adapun narapidana yang menerima remisi dasawarsa terdiri atas 182.857 narapidana menerima remisi dasawarsa I dan 4.186 narapidana langsung bebas karena menerima remisi dasawarsa II.

    Kemudian, 5.626 narapidana menerima remisi dasawarsa pidana penjara pengganti denda kategori I dan 314 narapidana menerima remisi dasawarsa pidana pengganti denda II atau langsung bebas.

    Sementara itu, dari total 1.369 anak binaan menerima PMPU, sebanyak 1.336 anak binaan di antaranya menerima PMPU I dan 33 anak binaan sisanya menerima PMPU II atau langsung bebas dari tahanan.

    Di sisi lain, rincian anak binaan yang menerima PMPD terdiri atas 1.326 anak binaan menerima PMPD I dan 35 anak binaan langsung bebas setelah menerima PMPD II sehingga totalnya adalah 1.361 orang.

    Pemberian remisi narapidana tertuang dalam Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan RI Nomor PAS-1360.PK.05.03 TAHUN 2025 dan Nomor PAS-1361.PK 05.03 Tahun 2025 Tanggal 17 Agustus 2025 Tentang Pemberian Remisi Umum Tahun 2025 Kepada Narapidana dan Remisi Dasawarsa Tahun 2025 kepada Narapidana.

    Sementara itu, pemberian PMPU dan PMPD anak binaan tertuang dalam Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan RI Nomor PAS-1369.PK.05.03 Tahun 2025 dan PAS-1361.PK 05.03 Tahun 2025 Tanggal 17 Agustus 2025 tentang Pemberian PMPU Tahun 2025 Kepada Anak Binaan dan PMPD Tahun 2025 Kepada Anak Binaan.

    “Jadikan momentum ini sebagai titik balik untuk terus berbenah, meningkatkan kualitas diri, dan menjadi insan yang telah bertanggung jawab. Bagi yang bebas, kembalilah ke masyarakat sebagai pribadi yang taat hukum, aktif berkontribusi, dan tidak mengulangi kesalahan yang masa lalu,” ujar Mashudi dikutip dari Antara, Senin (18/8/2025).

    Selain para narapidana yang mendapatkan remisi, ada pula Setya Novanto yang kembali menghirup udara bebas setelah mendapatkan bebas bersyarat oleh Lapas Sukamiskin, Jawa Barat.

    Mantan terpidana kasus korupsi E-KTP itu resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin pada 16 Agustus 2025. Bebasnya mantan Ketua DPR RI itu berdasarkan surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tanggal 15 Agustus 2025 No. PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025.

    Status Setnov berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan Bandung.

    Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Rika Aprianti menjabarkan bahwa salah satu alasan Setnov dapat menghirup udara bebas di luar penjara adalah menjadi inisiator klinik hukum.

    “Aktif dalam program kemandirian di bidang pertanian dan perkebunan, dan inisiator program klinik hukum di Lapas Sukamiskin,” jelasnya kepada wartawan di Lapas Kelas IIA Salemba, Minggu (17/8/2025).

    Setnov juga telah menjalani 2/3 dari masa tahanan. Diketahui, masa penahanan Setnov telah dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.

    Di sisi lain, Setnov telah membayar denda sebesar Rp500 juta dan membayar uang pidana pengganti Rp43 miliar dengan sisa Rp5,3 miliar subsider 2 bulan 15 hari.

    Rika menekankan bahwa pemberian keringanan hukum berlaku untuk seluruh narapidana jika dirasa memenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku.

    “Itu jadi pertimbangan dan semua warga binaan yang diberikan program kebebasan bersyarat. Itu juga dicek pertimbangan-pertimbangannya seperti itu. Jadi bukan hanya Setnov,” paparnya. 

    Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Mashudi mengatakan meskipun Setnov telah bebas, dia tetap harus wajib lapor sampai 2029.

    “Dia melaporkan ke lapas yang ada terdekat itu bisa, ke Bandung juga bisa. Ya sebulan sekali [wajib lapor hingga 2029],” ujarnya.

    Adapun Setnov telah mendapatkan remisi semasa masa pidananya sebanyak 28 bulan 15 hari.

    Abolisi Tom Lembong

    Masih pada suasana Peringatan Kemerdekaan, Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong turut menghirup udara bebas usai mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.

    Tom Lembong resmi bebas dari Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang, Jakarta Timur, pada Jumat malam (1/8/2025).

    Berdasarkan pantauan Bisnis pada pukul 22.00 WIB, Tom Lembong terlihat keluar dari Rutan dengan mengenakan baju berwarna dongker. Dia didampingi sang istri, Franciska Wiharjda, dan mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, yang juga kompak menggunakan baju biru dongker gelap tersebut.

    Momen kebebasannya disambut oleh para pendukung yang telah menunggu di depan Rutan. Tom tampak tersenyum saat berjalan keluar dari gerbang rutan sembari melambaikan kedua tangannya kepada para awak media.

    “Teman-teman, hari ini saya kembali menghirup udara bebas. Saya sekarang kembali ke rumah, kembali dipersatukan keluarga tercinta,” jelas Tom Lembong.

    Tom Lembong kemudian menuturkan rasa terima kasihnya. Dia juga memberikan apresiasi atas keputusan Prabowo dan DPR atas persetujuan keputusan ini.

    Dia juga menuturkan, bahwa keputusan ini bukan hanya membebaskan secara fisik, namun juga memulihkan nama baiknya dan kehormatannya sebagai seorang warga negara.

    “Saya tahu keputusan ini tidak mudah dan saya menghormatinya sebagai sebuah keputusan konstitusional yang lahir dari pertimbangan yang mendalam,” ucapnya.

    Amnesti Hasto

    Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto akhirnya juga kembali menghirup udara bebas. Dia mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto, berbarengan dengan abolisi Tom Lembong.

    Hasto bebas setelah menjalani penahanan sebagai tersangka hingga terdakwa kasus Harun Masiku. Dia hanya menjalani penahanan kurang dari enam bulan lamanya, sebelum diberikan amnesti.

    Berdasarkan catatan Bisnis, Hasto ditahan sebagai tersangka kasus suap dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku pada 20 Februari 2025. Kemudian, hanya 22 hari setelahnya, penyidikan Hasto dinyatakan rampung dan dilimpahkan ke tim jaksa penuntut umum (JPU) KPK, dan akhirnya disidangkan pada 14 Maret 2025. 

    Sekitar empat bulan lamanya persidangan, Hasto akhirnya diputus bersalah. Dia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum memberikan suap kepada anggota KPU 2017-2022 Wahyu Setiawan, terkait dengan pengurusan PAW DPR 2019-2024 untuk Harun Masiku, sebagaimana dakwaan alternatif jaksa. 

    Putusan Hasto dibacakan 25 Juli 2025. Kurang dari satu pekan putusan Hakim, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk memberinya amnesti. Pengampunan itu telah melalui pertimbangan DPR dan diumumkan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Kamis (31/7/2025).

    Pada Jumat (1/8/2025), Hasto akhirnya dibebaskan. Dia terlihat keluar dari rutan sekitar pukul 21.22 WIB. Elite PDIP itu disambut oleh sejumlah anggota tim penasihat hukumnya di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta. Beberapa yang hadir adalah Maqdir Ismail dan Febri Diansyah, yang pernah menjabat Juru Bicara KPK.

    Saat keluar dari rutan, Hasto terlihat mengenakan jas hitam yang melapisi kaos merah di badannya. Dia turut membawa tas ransel hitam bersamanya. Dia sempat melambaikan tangan kepada awak media dan simpatisan di area luar rutan.

    “Saya pulang ke rumah dulu” ujarnya kepada wartawan saat ditanya apa yang akan dilakukannya usai bebas malam ini.

  • Ekspresi Setya Novanto saat Bebas Bersyarat dari Lapas Sukamiskin

    Ekspresi Setya Novanto saat Bebas Bersyarat dari Lapas Sukamiskin

    GELORA.CO  – Mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung pada Sabtu (16/8/2025). Momen kebebasan terpidana kasus korupsi e-KTP itu menarik perhatian publik.

    Dalam foto yang diterima iNews.id, Setnov tampil mengenakan pakaian hitam dengan jaket berwarna biru. Dia terlihat berdiri bersama tiga orang lainnya.

    Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini memegang map biru dan dokumen administrasi.

    Ekspresi wajah Setnov tampak serius. Sorot matanya tertuju lurus ke depan.

    Sebelumnya, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Agus Andrianto menjelaskan alasan Setnov bisa mendapatkan bebas bersyarat. Menurutnya, Setnov sudah memenuhi syarat administratif dan hukum berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK).

    “Iya, karena sudah melalui proses asesmen, dan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PK itu sudah melampaui waktunya. Harusnya tanggal 25 yang lalu,” kata Agus di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (17/8/2025).

    Agus menambahkan, Setnov juga telah melunasi kewajiban denda. Putusan Mahkamah Agung (MA) melalui PK sebelumnya mengurangi masa hukuman Setnov dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara.

    “Denda subsider sudah dibayar. Putusan PK kan kalau nggak salah. Putusan peninjauan kembali kepada yang bersangkutan dikurangi masa hukumannya,” katanya.

  • 10
                    
                        Gaji Rp 100 Juta Wakil Rakyat
                        Nasional

    10 Gaji Rp 100 Juta Wakil Rakyat Nasional

    Gaji Rp 100 Juta Wakil Rakyat
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    KABAR
    bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat menerima
    take-home pay
    yang menembus angka seratus juta rupiah per bulan, kembali menampar nurani publik.
    Angka itu muncul setelah adanya tambahan tunjangan perumahan yang menggantikan rumah dinas.
    Dengan tambahan puluhan juta rupiah per bulan, penghasilan wakil rakyat disebut bisa menyentuh Rp 100 juta, setara Rp 3 juta per hari.
    Kabar ini segera bergulir menjadi polemik. Media sosial penuh dengan komentar sinis, rakyat berang, dan akademisi geleng kepala.
    Angka itu bukan sekadar soal matematika gaji, melainkan simbol jurang yang kian menganga antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.
    Bagaimana mungkin, di tengah harga beras yang terus melonjak, gizi anak yang masih bermasalah, dan rakyat yang kesulitan mengakses pekerjaan layak, para legislator justru tenang duduk di kursi empuk dengan jaminan penghasilan yang tak masuk akal bagi banyak warga?
    Polemik gaji wakil rakyat bukanlah cerita baru. Sejak era Orde Baru hingga pasca-Reformasi, isu penghasilan pejabat publik kerap menjadi bahan perdebatan.
    Secara resmi, gaji pokok anggota DPR hanya Rp 4,2 juta sesuai PP Nomor 75 Tahun 2000. Angka ini kecil. Namun publik tahu, yang membuat penghasilan mereka gemuk adalah aneka tunjangan: tunjangan jabatan, komunikasi intensif, kehormatan, hingga bantuan listrik dan telepon.
    Dulu, polemik soal rumah dinas sempat merebak. Ada anggota DPR yang tak mau menempati rumah dinas, memilih menyewakan, atau malah membiarkan kosong.
    Akhirnya, kebijakan bergeser: rumah dinas kini diganti dengan tunjangan perumahan, dengan angka fantastis hingga puluhan juta rupiah per bulan. Di sinilah letak lonjakan yang membuat
    take-home pay
    DPR melonjak hingga seratus juta rupiah.
    Kisah ini mencerminkan ironi: gaji pokok memang kecil, tapi tunjangan menjadikannya berlipat. Di situlah sering muncul perasaan tak adil: seolah DPR bukan lagi mewakili rakyat, melainkan mewakili kepentingan kesejahteraan dirinya sendiri.
    Di lapangan, realitas rakyat berbicara lain. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah minimum provinsi 2025 rata-rata nasional hanya Rp 3,5 juta per bulan. Bahkan di banyak daerah, upah minimum masih di bawah angka itu.
    Seorang buruh pabrik, pekerja informal, atau tenaga kontrak harus berjibaku setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian mahal.
    Ketimpangan semakin terasa bila kita menengok ke desa-desa. Seorang petani di Indramayu, misalnya, bisa menghabiskan sebulan penuh hanya untuk menghasilkan Rp 2 juta dari panen padi.
    Nelayan kecil di pesisir utara Jawa hanya memperoleh Rp 1,5 juta sebulan bila cuaca bersahabat.
    Di Nusa Tenggara Timur, banyak keluarga masih kesulitan mengakses air bersih, sementara anak-anak menderita stunting.
    Kontraskah? Sangat. Ketika wakil rakyat bisa menikmati Rp 3 juta sehari, banyak rakyatnya justru tak mampu membeli lauk layak setiap hari.
    Tentu, ada yang membela. Anggota DPR disebut memiliki tanggung jawab besar: menyusun undang-undang, mengawasi pemerintah, memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka bekerja tujuh hari seminggu, dengan beban politik, risiko reputasi, bahkan ancaman keamanan.
    Benar, tanggung jawab mereka besar. Namun, apakah besar tanggung jawab harus dibayar dengan angka yang melampaui batas rasa keadilan publik?
    Sistem demokrasi perwakilan seharusnya menuntut Wakil Rakyat untuk berkorban, bukan berfoya-foya. Tugas legislatif memang berat, tapi ia adalah amanat, bukan ladang penghasilan.
    Ada pula argumen bahwa gaji besar akan mengurangi potensi korupsi. Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Tak sedikit anggota DPR yang tetap tersangkut kasus suap dan korupsi meski penghasilan mereka sudah lebih dari cukup.
    Artinya, masalahnya bukan sekadar besaran gaji, melainkan integritas moral dan mekanisme akuntabilitas.
    Pertanyaan mendasar muncul: apakah para wakil rakyat itu masih bisa merasakan denyut nadi rakyat yang diwakilinya? Empati seolah kian menipis ketika angka-angka fantastis itu diucapkan tanpa beban di ruang publik.
    Publik menuntut wakil rakyat untuk lebih rendah hati. Bukan soal menolak gaji, tetapi soal kepekaan.
    Andai saja pernyataan tentang gaji seratus juta itu disertai refleksi: bahwa angka itu kontras dengan penderitaan rakyat, bahwa legislator harus bekerja keras membuktikan mereka layak menerima itu, mungkin polemik ini tak akan sebesar sekarang.
    Sayangnya, yang terdengar justru pembenaran. Kalimat “cukup bagi kami” melukai nurani rakyat. Bagi rakyat kecil, Rp 100.000 saja bisa menentukan apakah dapur berasap hari itu.
    Filsafat politik mengajarkan, legitimasi kekuasaan lahir bukan hanya dari prosedur, melainkan dari moral. Wakil rakyat yang dipilih sah secara demokratis pun bisa kehilangan legitimasi bila gagal menjaga moralitas publik.
    Moralitas bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan gaji. Ia lahir dari keadilan, kejujuran, dan pengabdian. Bila DPR tak lagi merefleksikan kepentingan rakyat, maka angka seratus juta di kursi mereka hanya akan menjadi simbol keserakahan.
    Negara yang sehat menempatkan etika di atas materi. Namun, Indonesia seakan terjebak dalam paradoks: gaji wakil rakyat terus meningkat, tetapi indeks korupsi, kualitas legislasi, dan kepercayaan publik terhadap DPR justru menurun.
    Apa yang bisa dilakukan? Pertama, DPR harus membuka data penghasilan mereka secara transparan. Komponen gaji, tunjangan, hingga fasilitas harus diungkap tanpa ditutup-tutupi. Transparansi adalah cara untuk mengembalikan kepercayaan publik.
    Kedua, perlu mekanisme pengendali independen—semacam komisi etik atau lembaga audit publik—yang bisa mengukur kewajaran tunjangan DPR. Jangan sampai DPR menetapkan sendiri berapa ia harus dibayar. Itu konflik kepentingan yang nyata.
    Ketiga, DPR harus menyadari bahwa legitimasi mereka ditentukan rakyat. Setiap rupiah yang mereka terima berasal dari pajak rakyat, dari keringat buruh, petani, pedagang, dan nelayan. Uang negara bukan milik negara, melainkan uang rakyat yang dititipkan.
    Apa yang seharusnya menjadi jalan keluar? Polemik gaji DPR ini seharusnya membuka ruang bagi refleksi kolektif: untuk apa seseorang menjadi wakil rakyat?
    Menjadi anggota DPR bukanlah pekerjaan biasa. Ia adalah panggilan. Kursi DPR bukan kursi bisnis, melainkan kursi pengabdian.
    Maka, jalan yang layak ditempuh adalah membangun keseimbangan: gaji dan tunjangan cukup untuk hidup layak, tetapi tidak berlebihan sehingga memutus empati pada rakyat.
    Kita perlu menegaskan bahwa ukuran kesejahteraan wakil rakyat tidak boleh jauh melampaui kesejahteraan rakyat yang diwakilinya. Angka seratus juta terlalu jauh dari realitas. Jika tetap dipertahankan, jarak antara rakyat dan wakilnya hanya akan semakin melebar.
    Sejarah bangsa ini penuh dengan pengorbanan. Para pendiri republik hidup sederhana, bahkan Bung Hatta terkenal menolak hak pensiun. Ia meninggalkan jejak teladan bahwa kekuasaan bukan jalan memperkaya diri, melainkan mengabdi.
    Hari ini, para wakil rakyat kita seolah melupakan ingatan itu. Mereka terjebak dalam kenyamanan kursi dan tunjangan. Padahal, bangsa ini tidak sedang surplus moral. Yang kita butuhkan bukan angka seratus juta, melainkan seratus persen integritas.
    Ingatan akan pengorbanan para pendiri bangsa seharusnya menjadi cermin bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah panggung sandiwara.
    Polemik gaji seratus juta anggota DPR bukan sekadar soal angka. Ia adalah cermin tentang bagaimana republik ini memandang kekuasaan, keadilan, dan pengabdian.
    Rakyat boleh marah, boleh kecewa. Di balik itu, ada harapan: semoga polemik ini menjadi tamparan, agar wakil rakyat kembali ke fitrah tugasnya.
    Agar kursi yang mereka duduki bukan sekadar kursi empuk dengan gaji ratusan juta, tetapi kursi yang penuh tanggung jawab moral untuk membela rakyat.
    Karena pada akhirnya, gaji besar tanpa kepekaan hanyalah angka kosong. Yang membuat wakil rakyat benar-benar mulia bukan seratus juta di slip gaji, melainkan seratus persen keberpihakan kepada rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Sebut Bebasnya Setnov Konsekuensi Hidup Berbangsa, Senang atau tidak Harus Diterima

    KPK Sebut Bebasnya Setnov Konsekuensi Hidup Berbangsa, Senang atau tidak Harus Diterima

    GELORA.CO – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak menanggapi bebas bersyarat yang diperoleh mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov), dalam kasus korupsi e-KTP.

    Tanak menegaskan, pemberian bebas bersyarat terhadap Setnov bukan kewenangan KPK. Ia menjelaskan, tugas KPK hanya sebatas melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga mengeksekusi putusan hakim terhadap Setnov.

    “Melakukan penindakan hanya sebatas melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Setelah semua tugas tersebut dilaksanakan, selesai sudah tugas KPK,” kata Tanak ketika dihubungi Inilah.com, Minggu (17/8/2025).

    Menurut Tanak, pemberian bebas bersyarat menjadi kewenangan Direktorat Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas). Ia menegaskan KPK tidak mencampuri urusan tersebut.

    “Untuk urusan yang terkait dengan adanya pemberian bebas bersyarat kepada terpidana, termasuk terpidana Setya Novanto, hal tersebut menjadi ranah tugas dan kewenangan dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. KPK tidak ikut campur dengan hal tersebut,” ujarnya.

    Tanak menambahkan, bebas bersyarat Setnov yang bertepatan dengan momentum HUT ke-80 RI, meski menimbulkan polemik karena dinilai hukuman tidak memberikan efek jera, tetap harus diterima.

    “Ya itu konsekuensi dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada yang senang dengan kebijakan yang dibuat dan ada juga yang tidak senang. Senang atau tidak senang, kita harus tetap menerima, itulah konsekuensi hidup berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Setnov dikabarkan sudah bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat, pada Sabtu (16/8/2025). Kabar ini dibenarkan oleh Kepala Kanwil Ditjen Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali.

    “Betul. Pak Setnov bebas bersyarat,” kata Kusnali di Jakarta, Minggu (17/8/2025).

    Ia menjelaskan, pembebasan bersyarat itu diberikan setelah adanya putusan peninjauan kembali (PK). Meski bebas, Setnov tetap dikenakan wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan (Bapas).

    “Karena beliau setelah dikabulkan peninjauan kembali, 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Dihitung dua pertiganya itu dapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025,” ujarnya.

    Sebagai catatan, Setnov merupakan terpidana kasus korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun. Pada 2018, ia divonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, ia diwajibkan membayar uang pengganti USD 7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan ke KPK, subsider 2 tahun penjara. Novanto juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah menjalani masa pidana.

    Namun, pada Juli 2025, Mahkamah Agung mengabulkan PK Novanto. Hukuman penjara dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Hakim PK juga mengurangi pidana tambahan, yakni pencabutan hak menduduki jabatan publik dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun setelah masa pidana berakhir. Putusan PK itu diketok majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Surya Jaya dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono pada 4 Juni 2025.

  • Bebas Bersyarat, Setnov Tetap Wajib Lapor hingga 2029

    Bebas Bersyarat, Setnov Tetap Wajib Lapor hingga 2029

    Bisnis.com, JAKARTA — Terpidana kasus korupsi KTP elektronik atau E-KTP, Setya Novanto alias Setnov resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada 16 Agustus 2025.

    Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Mashudi mengatakan meskipun telah bebas, Setnov tetap harus wajib lapor sampai 2029.

    “Dia melaporkan ke lapas yang ada terdekat itu bisa, ke Bandung juga bisa. Ya sebulan sekali [wajib lapor hingga 2029],” ujarnya, Minggu (17/8/2025).

    Bebasnya mantan Ketua DPR RI itu berdasarkan surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tanggal 15 Agustus 2025 No. PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025. Status Setnov berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan Bandung.

    Adapun Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Rika Aprianti menjabarkan bahwa salah satu alasan Setnov dapat menghirup udara bebas di luar penjara adalah menjadi inisiator klinik hukum.

    “Aktif dalam program kemandirian di bidang pertanian dan perkebunan, dan inisiator program klinik hukum di Lapas Sukamiskin,” jelasnya.

    Setnov juga telah menjalani 2/3 dari masa tahanan. Diketahui, masa penahanan Setnov telah dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.

    Di sisi lain, Setnov telah membayar denda sebesar Rp500 juta dan membayar uang pidana pengganti Rp43 miliar dengan sisa Rp5,3 miliar subsider 2 bulan 15 hari.

    Rika menekankan bahwa pemberian keringanan hukum berlaku untuk seluruh narapidana jika dirasa memenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku.

    “Itu jadi pertimbangan dan semua warga binaan yang diberikan program kebebasan bersyarat. Itu juga dicek pertimbangan-pertimbangannya seperti itu. Jadi bukan hanya Setnov,” paparnya. 

  • Indonesia Belum Merdeka dari Koruptor

    Indonesia Belum Merdeka dari Koruptor

    GELORA.CO – Rektor Universitas Harkat Negeri, Sudirman Said, memberi komentar atas bebas bersyaratnya terpidana korupsi e-KTP Setya Novanto (Setnov) dari Penjara Sukamiskin. Setnov bebas bersyarat pada momen peringatan Kemerdekaan ke-80 RI.

    “Kita memang berhak merayakan hari merdeka. Tapi sebenar-benarnya, negeri kita belum merdeka dari cengkeraman para koruptor dan perusak tata hidup bernegara,” kata Sudirman Said dalam keterangannya, Minggu (17/7).

    Seperti kicauannya tadi pagi, kata Sudirman, Indonesia punya semua syarat untuk jadi negara hebat. Kurangnya satu hal saja: penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi.

    Menurut Sudirman, hukum yang berlumuran korupsi membuat rasa tak adil mendominasi suasana batin rakyat banyak.

    Akibatnya, kata Sudirman, yang bisa “beli” hukum memperoleh kenikmatan berlipat-lipat, yang bersalah bisa dibebaskan, yang harusnya dihukum berat bisa diringankan, yang harusnya dipenjara bisa dibebaskan.

    Di hari merdeka ini, Sudirman menegaskan bahwa publik dipertontonkan dengan pertunjukan telanjang betapa hukum tidak menenangkan suasana batin rakyat kebanyakan.

    “Setya Novanto terpidana korupsi yang selama dihukum pun terus menerus membuat ulah, hukuman kurungannya disunat. Dan sanksi larangan tidak boleh menjadi pejabat publik diperpendek, yang semula 5 tahun, dipotong hanya 2.5 tahun saja,” tuturnya.

    Menurut Sudirman, jenis kejahatan yang dilakukan Novanto bukan kejahatan biasa, tetapi extraordinary crime. Kerusakan yang ditimbulkannya juga sistemik. 

    Kegagalan proyek e-ktp akibat korupsi yang masif dalam ukuran dan luasnya, pihak-pihak yang terlibat, telah membuat sistem administrasi kependudukan tak kunjung beres. Hal ini berdampak pada pengendalian keuangan negara baik dalam urusan subsidi, bantuan sosial, dan pengelolaan hak-hak rakyat yang tidak tepat sasaran.

    Proses penindakan hukum kepada Novanto, lanjut dia, juga penuh drama, berusaha terus menghindar dengan segenap tipu daya.

    “Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, mari bersiap-siap, orang-orang dengan reputasi dan rekam jejak seburuk Novanto akan kembali mengisi panggung politik dan jabatan publik,” canda Sudirman dengan nada getir.

    Menurutnya, hanya jika korupsi diberantas dan hukum ditegakkan, maka rasa adil akan terwujud nyata.

    “Kita memang berhak merayakan hari merdeka, tetapi kita belum merdeka dari penjajahan kaum koruptor dan pengkhianat bangsa,” tegasnya.

  • Berkelakuan Baik dan Aktif Jadi Motivator di Penjara

    Berkelakuan Baik dan Aktif Jadi Motivator di Penjara

    GELORA.CO – Setya Novanto (Setnov) mantan Ketua DPR RI resmi bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu (16/8/2025).

    Rika Aprianti Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM menjelaskan sejumlah alasan yang membuat narapidana kasus korupsi proyek KTP elektronik itu bisa memperoleh bebas bersyarat.

    Di antaranya, Setnov dinilai berkelakuan baik selama menjalani masa pidana. Ia bahkan disebut aktif dalam berbagai kegiatan pembinaan di Lapas Sukamiskin.

    “Dia itu menjadi motivator atau inisiator. Aktif dalam program kemandirian di bidang pertanian dan perkebunan; serta inisiator program klinik hukum di Lapas Sukamiskin,” kata Rika di Jakarta, Minggu (17/8/2025) dilansir Antara.

    Menurut Rika, klinik hukum tersebut menjadi wadah bagi warga binaan untuk mempelajari isu-isu hukum secara bersama. Konsepnya mirip peer educator atau pendidik sebaya, di mana sesama narapidana saling memberi dukungan.

    Selain itu, Setnov juga disebut rajin mengikuti program pembinaan spiritual, kemandirian, serta program ketahanan pangan yang digelar lapas.

    Rika menegaskan tidak ada perlakuan khusus dalam pemberian bebas bersyarat kepada Setya Novanto. Semua narapidana, kata dia, berhak mendapatkan kesempatan yang sama selama memenuhi syarat administratif dan substantif.

    Adapun beberapa syarat yang sudah dipenuhi Setnov di antaranya telah menjalani 2/3 masa pidana, nelunasi denda dan uang pengganti, berperilaku baik selama di lapas, aktif mengikuti program pembinaan, dan menunjukkan penurunan risiko residivisme.

    “Semua warga binaan yang diberikan program kebebasan bersyarat dicek pertimbangannya, jadi bukan hanya Setnov,” jelas Rika.

    Dengan status baru tersebut, sejak 16 Agustus 2025 Setnov berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung. Ia wajib lapor minimal sebulan sekali hingga 1 April 2029. Setnov baru akan bebas murni pada 2029 mendatang.

    Sebagai pengingat, Setya Novanto awalnya dijatuhi vonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan serta uang pengganti 7,3 juta dolar AS karena terbukti korupsi proyek KTP elektronik 2011–2013.

    Namun pada 4 Juni 2025, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) Setnov. Hukuman dikurangi menjadi 12 tahun enam bulan penjara, dengan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, serta kewajiban membayar sisa uang pengganti sekitar Rp49 miliar subsider dua tahun penjara.

    Selain itu, MA juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, yakni larangan menduduki jabatan publik selama dua tahun enam bulan setelah masa pidananya berakhir. 

  • Setya Novanto Bebas Bersyarat, KPK: Korupsi Pengingat agar Sejarah Buruk Tak Terulang
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 Agustus 2025

    Setya Novanto Bebas Bersyarat, KPK: Korupsi Pengingat agar Sejarah Buruk Tak Terulang Nasional 17 Agustus 2025

    Setya Novanto Bebas Bersyarat, KPK: Korupsi Pengingat agar Sejarah Buruk Tak Terulang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto yang mendapatkan bebas bersyarat sejak 16 Agustus 2025.
    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, kasus korupsi proyek e-KTP ini mengingatkan pada kejahatan korupsi yang serius yang berdampak langsung kepada masyarakat Indonesia.
    Sebab, kata dia, korupsi e-KTP tidak hanya mengakibatkan kerugian negara yang besar, melainkan juga secara massif mendegradasi kualitas pelayanan publik.
    “Kejahatan korupsi selalu menjadi pengingat sekaligus pembelajaran untuk generasi berikutnya, agar sejarah buruk itu tidak kembali terulang,” kata Budi, melalui pesan singkat, Minggu (17/8/2025).
    Budi menyinggung tema HUT Ke-80 RI yang mengangkat tema ‘Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju’, maka upaya pemberantasan korupsi juga memiliki semangat yang sama.
    “Demikian halnya dalam upaya pemberantasan korupsi, baik melalui upaya pendidikan, pencegahan, maupun penindakan. Butuh persatuan dan kedaulatan seluruh elemen masyarakat, untuk melawan korupsi, demi perwujudan cita-cita dan tujuan bangsa,” ujar dia.
    Sebelumnya, terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto bebas dari Lapas Sukamiskin, Bandung, usai mendapatkan program Pembebasan Bersyarat (PB) dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kementerian Imigrasi).
    “Iya betul, sejak 16 Agustus,” kata Kabag Humas dan Protokol di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Rika Aprianti, saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (17/8/2025).
    Rika mengatakan, pengusulan Program Pembebasan Bersyarat Setya Novanto disetujui oleh Sidang TPP Ditjenpas pada 10 Agustus 2025 untuk direkomendasikan mendapatkan persetujuan lanjutan dari pimpinan.
    Dia mengatakan, persetujuan rekomendasi diberikan bersama 1.000 usulan program integrasi warga binaan seluruh Indonesia lainnya.
    “Dengan pertimbangan telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif, berdasarkan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022, telah memenuhi persyaratan, berkelakuan baik, aktif mengikuti pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan risiko,” ujar dia.
    Rika juga mengatakan, berdasarkan Pasal 10 Ayat (3), Setya Novanto telah memenuhi ketentuan telah menjalani 2/3 masa pidana.
    Selain itu, Setya Novanto telah membayar denda sebesar Rp 500.000.000 uang pengganti, dibuktikan dengan surat keterangan LUNAS dari KPK No.B/5238/Eks.01.08/26/08 2025 tanggal 14 Agustus 2025, juga sudah membayar Rp 43.738.291.585 pidana uang pengganti, sisa Rp 5.313.998.118 (subsider 2 bulan 15 hari).
    “Ini sudah diselesaikan berdasarkan ketetapan dari KPK,” ujar dia.
    Berdasarkan hal tersebut, pada 16 Agustus 2025, Setya Novanto dikeluarkan dari Lapas Sukamiskin dengan program bersyarat, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tanggal 15 Agustus 2025 No. PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025.
    “Sejak tanggal 16 Agustus 2025, maka status Setya Novanto berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, mendapatkan bimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Bandung sampai tanggal 1 April 2029,” ucap dia.
    Sebelumnya, mantan Ketua DPR Setya Novanto dapat bebas lebih cepat setelah hukuman penjaranya disunat dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara.
    Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Setya Novanto ihwal vonis hukumannya dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP.
    “Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan,” demikian keterangan dari putusan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang dikutip dari laman resmi MA, Rabu (2/7/2025).
    Sebagai informasi, Setya Novanto dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013, pada 24 April 2018.
    Ia divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
    Setya Novanto juga diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.
    Majelis hakim juga mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.