Immanuel Ebenezer Dicampakkan Prabowo: Dipecat dari Kabinet dan Gerindra
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Karier politik Immanuel Ebenezer alias Noel di ujung tanduk setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (22/8/2025).
Di hari yang sama, Presiden Prabowo Subianto memecat Noel dari jabatan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker).
“Menyampaikan berkenaan dengan perkembangan terhadap kasus yang menimpa saudara Immanuel Ebenezer, yang pada sore hari tadi telah ditetapkan sebagai tersangka KPK,” ujar Mensesneg Prasetyo Hadi, kepada wartawan, Jumat (22/8/2025).
“Baru saja untuk menindaklanjuti hal tersebut, Bapak Presiden telah menandatangani keputusan presiden tentang pemberhentian saudara Immanuel Ebenezer dari jabatannya sebagai Wamenaker,” sambung dia.
Tiga hari berselang, Partai Gerindra menyatakan bahwa pencabutan keanggotaan Immanuel Ebenezer sedang diproses.
“Saya kira proses di partai juga akan segera menyusul. Dicabut keanggotaannya, dicabut KTA-nya,” kata Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Sugiono di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025).
Sugiono mengakui, Noel merupakan anggota Partai Gerindra.
Namun, ia mengatakan, ada perbedaan mendasar antara anggota partai dengan kader.
Seseorang bisa dibilang kader jika sudah menjalani proses kaderisasi di internal partai.
Sugiono menyebutkan, ada beberapa tingkat kaderisasi yang perlu dilalui oleh kader.
Sementara, Noel belum pernah mengikuti kaderisasi apapun di Partai Gerindra.
“Sepanjang ingatan saya, Pak Noel itu belum pernah mengikuti kaderisasi di Gerindra. Tapi, sebagai persyaratan pencalegan di tahun 2024, ada kewajiban untuk menjadi anggota Gerindra,” ucap dia.
Oleh sebab itu, Gerindra akan mengevaluasi keanggotaan Noel di partai besutan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
“Proses yang akan kami lakukan tentu saja akan mengevaluasi keanggotaan tersebut. Dan kalau misalnya memang sudah, kemarin kan sempat sudah tersangka ya, sudah diberhentikan juga sebagai anggota kabinet,” tutur Sugiono.
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan, Noel memang tidak aktif dalam kegiatan partai beberapa waktu terakhir meski pernah maju sebagai calon anggota legislatif dari partai tersebut.
“Hari-hari yang bersangkutan tidak aktif baik dalam kepengurusan maupun kegiatan partai. Oleh karena itu, saya belum tahu apakah secara otomatis (tak lagi anggota). Itu kan per setiap akhir tahun, keanggotaan partai itu ada pendaftaran ulang atau registrasi ulang,” ujar Dasco.
KPK menetapkan Noel dan 10 orang lainnya sebagai tersangka setelah operasi tangkap tangan, pada Rabu (20/8/2025).
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan, Noel diduga menerima Rp 3 miliar dari praktik pemerasan pengurusan sertifikat K3 di Kemenaker.
“Sejumlah uang tersebut mengalir kepada pihak penyelenggara negara yaitu saudara IEG (Immanuel Ebenezer) sebesar Rp 3 miliar pada Desember 2024,” kata Setyo dalam konferensi pers, Jumat (22/8/2025).
Setyo menuturkan, dalam perkara ini, KPK menduga ada praktik pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 yang menyebabkan pembengkakan tarif sertifikasi.
“Dari tarif sertifikasi K3 sebesar Rp 275.000, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp 6.000.000 karena adanya tindak pemerasan dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan pembuatan sertifikasi K3 yang tidak membayar lebih,” kata Setyo.
KPK mencatat, selisih pembayaran tersebut mencapai Rp 81 miliar yang kemudian mengalir kepada para tersangka, termasuk Rp 3 miliar yang dinikmati oleh Noel.
Setyo mengungkapkan, praktik pemerasan itu sudah terjadi sejak 2019 ketika Noel belum bergabung ke kabinet.
Namun, setelah menjadi orang nomor dua di Kemenaker, Noel justru membiarkan praktik korup tersebut terus berlanjut, bahkan ia ikut meminta jatah.
“Peran IEG (Immanuel Ebenezer) adalah dia tahu, dan membiarkan bahkan kemudian meminta. Jadi artinya proses yang dilakukan oleh para tersangka ini bisa dikatakan sepengetahuan oleh IEG,” kata Setyo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: korupsi
-
/data/photo/2025/08/24/68ab184cb4bf3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Immanuel Ebenezer Dicampakkan Prabowo: Dipecat dari Kabinet dan Gerindra Nasional
-
/data/photo/2025/08/22/68a85a476fe45.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti Nasional 26 Agustus 2025
Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika
“
Constitution is a flexible and pragmatic charter, not a fixed and immutable artifact
” – Farah Peterson (2020).
PETERSON
tepat, perubahan konstitusi memang suatu keniscayaan sebab ia bukan artefak yang tetap.
Sehubungan itu, publik kembali dikejutkan oleh operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Immanuel “Noel” Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
Tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia menyampaikan permintaan maaf sekaligus harapan agar Presiden Prabowo Subianto memberinya amnesti.
Seturutnya, dalam Seminar Konstitusi bertema Dialektika Konstitusi yang diselenggarakan MPR, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul selaku salah satu narasumber turut menyinggung ihwal abolisi dan amnesti sebagai ‘terobosan’ yang menyiratkan adanya peran “Korea” di baliknya.
Ada relasi implisit yang terhubung antara harapan Amnesti Noel, “Korea”, dan amandemen konstitusi.
Sebetulnya, harapan Noel bukan tanpa alasan. Publik tentu mengingat, beberapa waktu sebelumnya, Presiden Prabowo telah memberikan pengampunan berupa abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Dua figur politik yang bukan loyalis pemerintahan saat ini.
Ucapan Noel jelas sarat makna. Baginya, jika pihak yang berada di luar lingkaran politik presiden saja bisa mendapat pengampunan, maka sebagai loyalis tentu tidak mustahil ia berharap mendapat perlakuan serupa.
Namun, harapan itu justru memunculkan problem tidak sederhana: apakah kewenangan konstitusional presiden memberi abolisi dan amnesti memang sepenuhnya dapat digunakan atas dasar pertimbangan politik, nir-indikator hukum yang jelas?
Hal demikian menjadi relevan di tengah wacana keinginan MPR untuk melakukan amandemen konstitusi seperti terefleksi dalam kegiatan Seminar Konstitusi yang diselenggarakan oleh MPR di Gedung Nusantara V belum lama ini (21/8/2025).
Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Rumusannya sederhana, bahkan minim kriteria substantif.
Di sinilah ruang tafsir menjadi terbuka. Padahal, dalam teori konstitusi, setiap teks konstitusi adalah janji yang harus ditafsirkan dalam bingkai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Alexander Bickel, 1986).
Jimly Asshiddiqie (2005) menekankan, konstitusi tidak boleh dipahami semata sebagai teks normatif, melainkan sebagai
living constitution
yang senantiasa ditafsirkan sesuai semangat zaman.
Maka, pemberian pengampunan oleh presiden semestinya ditafsirkan bukan hanya sebagai hak prerogatif politik, melainkan sebagai kewenangan konstitusional yang terikat pada prinsip keadilan publik.
Dari perspektif teori penafsiran konstitusi, memang ada ruang elastis untuk memberikan makna baru atas pasal-pasal UUD 1945.
Tidak heran bila Alexander Bickel dalam uraiannya yang lain menyebut: konstitusi selalu lebih besar daripada teksnya, sebab nilainya hidup dalam tafsir.
Dalam episentrum itu, maka butuh tafsir yang sehat guna melahirkan praktik ketatanegaraan yang adil. Namun sebaliknya, tafsir yang politis berpotensi menggerus legitimasi demokrasi konstitusional.
Di titik inilah pernyataan Bambang Pacul dalam forum Seminar Konstitusi menjadi relevan. Ia menyatakan bahwa kebijakan pengampunan Prabowo terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tak lepas dari peran “Korea” di balik hak prerogatif presiden itu.
Istilah “korea” merupakan metafora yang menggambarkan mereka yang selalu melompat lebih maju dibanding orang lain, berusaha keras menaikkan derajat sosial melalui kerja keras, bukan jalan pintas.
Dalam tafsir simbolik ini, seorang “Korea” sebetulnya menyiratkan kita pada konsep negarawan: sosok yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Boleh jadi, ia justru menjadi salah satu ciri dari kenegarawanan itu sendiri.
Dalam kaitan itu, kasus korupsi yang menjerat Noel sesungguhnya menunjukkan kebalikan dari semangat kenegarawanan dalam konstitusi. Sebagai pejabat negara, dengan segala fasilitas dan kepercayaan publik, korupsi sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Lompatan status sosial, sebagaimana menjadi ciri “Korea” yang acapkali digaungkan Bambang Pacul, yang mestinya dicapai melalui kerja keras dan integritas, malah ditempuh dengan jalan tikus bernama korupsi. Makna “korea” dalam kasus Noel pun mengalami degradasi.
Jika konsep “Korea” hendak dijadikan pijakan, maka perubahan konstitusi yang kini didiskusikan semestinya mengarah pada perumusan syarat negarawan bagi jabatan-jabatan publik.
Ini menjadi momen mengonstruksi makna “korea” sejati: seorang negarawan yang menjauhi korupsi.
Selama ini, hanya hakim Mahkamah Konstitusi yang secara eksplisit dipersyaratkan sebagai negarawan (Pasal 24C ayat 5). Jabatan menteri dan wakil menteri pun luput dari syarat kenegarawanan.
Di sisi lain, amat mungkin aspek kenegarawanan dijadikan sebagai salah satu indikator konstitusional bagi presiden dalam memberikan pengampunan melalui abolisi dan amnesti.
Dengan begitu, jabatan publik akan diisi oleh orang-orang yang menghayati integritas, bukan sekadar mencari celah untuk memperkaya diri. Pun demikian, amnesti yang diberikan dapat benar-benar mengarah hanya kepada mereka yang memang pantas untuk mendapatkannya.
Kasus pengampunan yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong telah menunjukkan pro dan kontra.
Di satu sisi, ia dipuji sebagai langkah berani presiden untuk menutup polemik hukum yang berbau politik. Di sisi lain, publik khawatir amnesti dan abolisi bisa menjadi instrumen politisasi hukum.
Pada titik inilah gagasan amandemen konstitusi relevan dilakukan: merumuskan kriteria obyektif agar pengampunan tidak semata-mata bergantung pada selera politik.
Manakala mereka “para Korea” mengalami kriminalisasi berbau politik kuasa, maka jalan pengampunan melalui amnesti atau abolisi dengan indikator konstitusional yang jelas terbuka lebar.
Amnesti dalam makna “Korea”—memang bisa saja dimaknai bahwa pengampunan itu sebagai terobosan politik. Namun, dalam optik kenegarawanan, “Korea” boleh dimaknai dalam konteks bahwa seorang negarawan adalah mereka yang menjauhi segala tindakan koruptif.
Kerja keras, berfikir “out of the box”, dan konsistensi untuk melakukan lompatan bukan berarti harus melanggar konstitusi, termasuk korupsi.
Seorang “Korea sejati” akan memaknainya sebagai instrumen keadilan restoratif yang mengembalikan marwah hukum.
Jika syarat negarawan ini diperluas dalam konstitusi, maka pemberian pengampunan pun akan lebih legitimate dan terjaga dari manipulasi politik.
Kasus Noel seharusnya menjadi pelajaran kolektif. Sebagai wakil menteri, ia sudah menapaki tangga sosial tertinggi yang mestinya tidak lagi memerlukan korupsi. Namun, jalan pintas tetap dipilih dan kini ia justru berharap presiden mau menurunkan “tali pengampunan.”
Di sinilah publik melihat kontras tajam antara mereka yang “Korea sejati” dengan yang bukan. Tak ayal, ini momentum untuk memaknai kembali apa sebetulnya “korea” dalam optik ketatanegaraan dan kenegarawanan.
Momentum Seminar Konstitusi oleh MPR baru-baru ini yang membicarakan amandemen UUD 1945 tidak boleh berhenti pada wacana.
Ia mesti menjadi kesempatan berharga untuk menyempurnakan aturan tentang abolisi dan amnesti, memperluas syarat kenegarawanan, dan memperkuat integritas jabatan publik.
Dengan begitu, konstitusi benar-benar hadir sebagai benteng yang melindungi rakyat dari politisasi hukum. Sekaligus, mencegah lahirnya pejabat “setengah Korea” yang mudah tergelincir dalam korupsi.
Karena itu, pertanyaan paling menggugah hari ini bukanlah apakah Noel akan mendapat amnesti, melainkan: apakah bangsa ini berani memastikan hanya “Korea” sejati—negarawan yang berintegritas—yang layak duduk di kursi kekuasaan?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Demo Jilid II, Buruh Siap Geruduk Gedung DPR/MPR pada Kamis 28 Agustus
GELORA.CO – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengungkapkan, jika pihaknya tidak ikut serta dalam aksi demo di Gedung DPR RI pada Senin (25/8). Menurutnya, Partai Buruh, KSPI, serta Koalisi Serikat Pekerja akan menggelar aksi pada Kamis (28/8) nanti.
“Ribuan buruh akan melakukan aksi 28 Agustus 2025, serempak dilakukan di 38 provinsi,” ujarnya di Jakarta, Senin (25/8). Untuk Jabodetabek, aksi rencananya difokuskan di depan gedung DPR/MPR. Sementara, untuk yang berada di luar Jabodetabek aksi tersebut dilakukan di depan kantor gubernur masing-masing.
Dalam aksi tersebut, buruh akan mengangkat enam isu utama. Pertama, mendesak pemerintah menghapus outsourcing dan menolak upah murah. Iqbal menegaskan, outsourcing hanya untuk pekerjaan penunjang. Sayangnya, keberadaan PP No. 35 Tahun 2021 justru melegalkan outsourcing secara luas. Karenanya, dalam aksi nanti pihaknya akan meminta agar PP tersebut dicabut.
Kemudian, buruh meminta agar pemerintah menaikkan upah minimum 2026 sebesar 8,5-10,5 persen. Angka tersebut merujuk pada besaran inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan BPS. Di mana, pertumbuhan ekonomi disampaikan mencapai 5,1-5,2 persen.
“Perhitungan ini berdasarkan formula resmi yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 168, yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentum,” jelasnya.
Kedua, buruh meminta agar pemerintah bisa menyetop PHK. Salah satunya, dengan membentuk Satgas PHK seperti yang dijanjikan segera.
Kemudian, buruh juga meminta agar dilakukan reformasi pajak. “Buruh mendorong pemerintah untuk menaikkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp 4,5 juta per bulan menjadi Rp7,5 juta rupiah per bulan,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah didesak untuk menghapus pajak pesangon, menghapus pajak THR, dan menghapus pajak JHT. “Keempat, sahkan rancangan undang-undang ketenagakerjaan yang baru sesuai perintah Mahkamah Konstitusi paling lambat 2 tahun. Ini hampir 1 tahun tidak dibentuk semenjak dikeluarkannya putusan MK No. 168 tahun 2024 yang dimenangkan oleh Partai Buruh,” keluhnya.
Selanjutnya, Partai Buruh juga meminta pemerintah memberantas korupsi dengan mengesahkan RUU perampasan aset. Menurutnya, ini mendesak untuk disahkan mengingat betapa gawatnya praktik ini di Indonesia. terakhir, buruh ingin Undang-Undang Pemilu direvisi sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Di sisi lain, Iqbal pun turut mengkritisi gaji serta tunjangan anggota DPR yang mencapai Rp 3 juta per hari atau sekitar Rp 104 juta per bulan. Menurutnya, hal itu sangat menyayat hati, mengingat sangat berbanding terbalik dengan gaji pekerja/buruh. Contohnya, buruh outsourcing atau kontrak yang menerima gaji hanya sekitar Rp 5,2 juta per bulan. Di mana, ketika dibagi 30 hari, maka penghasilan mereka rata-rata hanya Rp 170 ribu.
“Ketidakadilan ini semakin jelas apabila kita menengok pekerja di sektor informal. Banyak buruh yang hanya menerima Rp 1,5 juta per bulan, yang jika dibagi 30 hari itu berarti sekitar Rp50 ribu per hari,” ungkapnya. “Bayangkan, seorang anggota DPR bisa menikmati Rp 3 juta lebih per hari, sementara pekerja informal pontang-panting di jalan hanya mengantongi beberapa puluh ribu,” pungkasnya. (*)
-
/data/photo/2025/07/09/686e5f8621d30.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Gara-gara Kasus Korupsi Kuota Haji, 8.400 Calon Jemaah yang Antre 14 Tahun Gagal Berangkat Nasional 25 Agustus 2025
Gara-gara Kasus Korupsi Kuota Haji, 8.400 Calon Jemaah yang Antre 14 Tahun Gagal Berangkat
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, sebanyak 8.400 calon jemaah haji yang sudah mengantre selama 14 tahun gagal berangkat karena adanya dugaan korupsi kuota haji 2024.
“Ada 8.400 orang jemaah haji yang sudah mengantre lebih dari 14 tahun yang seharusnya berangkat di tahun 2024, menjadi tidak berangkat, akibat praktik tindak pidana korupsi ini,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (25/8/2025).
Asep mengatakan, hal ini menjadi ironi dan tidak boleh terulang kembali.
Dia menambahkan, pembagian kuota haji tambahan 2024 seharusnya dibagi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
“Ini menjadi sebuah ironi gitu ya, dan tentunya kita berharap praktik-praktik seperti ini tidak lagi terjadi,” ujarnya.
KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dalam perkara ini, KPK menduga terdapat penyelewengan dalam pembagian 20.000 kuota tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Asep menjelaskan, berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.
Dengan demikian, 20.000 kuota tambahan haji itu seharusnya dibagi menjadi 18.400 atau setara 92 persen untuk haji reguler dan 1.600 atau setara 8 persen untuk haji khusus.
Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilaksanakan oleh Kementerian Agama.
“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya. Itu tidak sesuai aturan, tetapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ujar Asep.
“Jadi kan berbeda, seharusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” imbuh dia.
KPK menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun.
KPK pun sudah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Video: Sidang Korupsi Asabri Seret 10 MI-Pasar Bunga Rawa Belong Lesu
Jakarta, CNBC Indonesia –Kasus mega korupsi Asabri memasuki babak baru. Sebanyak 10 manajer investasi resmi menjadi terdakwa dan akan menghadapi sidang perdana di pengadilan negeri jakarta pusat.
Sementara itu,Pasar Rawa Belong di Jakarta Barat yang terkenal sebagai pasar bunga terbesar di Asia Tenggara, kini tak seramai dulu. Sejumlah pedagang mengeluh jumlah pelanggan menurun drastis sejak pandemi.
Selengkapnya dalam program Evening Up CNBC Indonesia, Senin (25/08/2025)
-

Antonius Kosasih Minta Maaf ke Eks Istri di Sidang: Saya Bukan Suami Teladan
Jakarta –
Mantan Direktur Utama PT Taspen, Antonius Nicholas Stephanus Kosasih atau ANS Kosasih meminta maaf ke mantan istri pertamanya, Yulianti Malingkas. Kosasih meminta maaf karena bukan menjadi suami yang teladan.
Permintaan maaf itu disampaikan Kosasih ke Yulianti yang dihadirkan sebagai saksi kasus dugaan investasi fiktif di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025). Yulianti mengaku memaafkan Kosasih.
“Saya juga mohon maaf bahwa selama saya menikahi Saudara saya bukan suami yang teladan,” kata Kosasih.
“Dimaafkan,” sahut Yulianti.
Mantan pacar Kosasih, Theresia Meila Yunita juga dihadirkan sebagai saksi dalam sidang tersebut. Kosasih juga meminta maaf ke Theresia.
“Saya minta maaf sudah menyulitkan kehidupan Saudari kalau Saudari ternyata menjadi bermasalah karena saya,” ujar Kosasih.
Selain Yulianti dan Theresia, jaksa juga menghadirkan mantan pacar Kosasih bernama Dina Wulandari dan mantan istri Kosasih bernama Rina Lauwy. Ketua majelis hakim mendalami usaha atau penghasilan lain yang dimiliki Kosasih selain dari PT Taspen ke mereka.
Hakim mempersilakan Yulianti, Rina, Theresia dan Dina menjawab secara bergantian. Namun, mereka mengaku tidak tahu penghasilan lain Kosasih selain dari Taspen.
“Kepada saksi-saksi yang dekat dengan terdakwa Pak Antonius, apakah selain terdakwa Antonius ini di Taspen, ada tidak kegiatan lain atau penghasilan lain dari terdakwa ini?” tanya hakim.
“Jaman saya nggak di Taspen dong pak,” jawab Yulianti.
“Pada saat itu bukan di Taspen ya?” tanya hakim.
“Jaman saya masih yang susah-susah pak,” jawab Yulianti.
“Setahu saya tidak ada, tapi di luar itu saya tidak tahu,” ujar Rina.
“Yang saya tahu memang Dirut Taspen Pak, pada saat itu,” ujar Dina.
“Saya kurang tahu pak,” ujar Theresia.
Sebelumnya, Kosasih didakwa merugikan negara Rp 1 triliun dalam kasus dugaan investasi fiktif. Jaksa meyakini Kosasih turut menikmati hasil korupsi dalam kasus ini.
Selain Kosasih, jaksa KPK membacakan surat dakwaan untuk terdakwa lainnya, Ekiawan.
“Bahwa perbuatan melawan hukum Terdakwa bersama-sama Ekiawan Heri Primaryanto telah mengakibatkan kerugian keuangan negara pada PT Taspen sebesar Rp 1 triliun atau setidak-tidaknya jumlah tersebut berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK RI,” ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan.
Jaksa mengatakan Kosasih melakukan investasi pada reksa dana I-Next G2 dari portofolio PT Taspen tanpa didukung hasil analisis investasi. Perbuatan ini dilakukan Kosasih bersama Ekiawan.
“Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum, yaitu melakukan investasi pada reksa dana I-Next G2 untuk mengeluarkan Sukuk Ijarah TPS Food 2 tahun 2016, selanjutnya disebut Sukuk SIA-ISA 02, yang default dari portofolio PT Taspen (Persero) tanpa didukung rekomendasi hasil analisis investasi,” kata jaksa.
Jaksa mengatakan Kosasih juga menyetujui peraturan direksi tentang kebijakan investasi PT Taspen untuk mengakomodasi pelepasan Sukuk SIA-ISA 02 melalui investasi reksa dana I-Next G2 tersebut. Jaksa mengatakan pengelolaan investasi itu dilakukan secara tidak profesional.
“Merevisi dan menyetujui peraturan direksi tentang kebijakan investasi PT Taspen dengan mengatur mekanisme konversi aset investasi untuk mengakomodasi pelepasan Sukuk SIA-ISA 02 melalui investasi reksa dana I-Next G2 bersama-sama dengan Ekiawan Heri Primaryanto yang melakukan pengelolaan investasi reksa dana I-Next G2 secara tidak profesional,” ujar jaksa.
Jaksa mengatakan perbuatan ini turut memperkaya Kosasih senilai Rp 28.455.791.623. Kemudian, USD 127.037, SGD 283 ribu, 10 ribu euro, 1.470 baht Thailand, 20 pound sterling, 128 ribu yen, HKD 500 dan 1.262.000 won Korea.
Jaksa mengatakan perbuatan ini juga memperkaya Ekiawan sebesar USD 242.390 dan Patar Sitanggang sebesar Rp 200 juta. Selain itu, sejumlah korporasi ikut diperkaya dalam kasus ini.
“Memperkaya korporasi, yaitu memperkaya PT IMM sebesar Rp 44.207.902.471. Memperkaya PT KB Valbury Sekuritas Indonesia sebesar Rp 2.465.488.054. Memperkaya PT Pacific Sekuritas Indonesia sebesar Rp 108 juta. Memperkaya PT Sinar Emas Sekuritas sebesar Rp 40 juta. Memperkaya PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (PT TPSF) sebesar Rp 150 miliar,” ujar jaksa.
Kosasih dan Ekiawan didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Halaman 2 dari 2
(mib/dek)
-

Ngaku Diperas Anak Buah Rp10 Miliar
GELORA.CO – Pengusaha tambang asal Kalimantan Timur (Kaltim), Rudy Ong Chandra (ROC), tersangka kasus dugaa pemberian suap Izin Usaha Pertambangan (IUP), mengaku diperas anak buahnya bernama Sugeng untuk narkoba sebesar Rp10 miliar.
Peristiwa itu terjadi ketika KPK menggelar jumpa pers terkait penahanan Rudy Ong. Dengan mengenakan kacamata, rompi oranye, dan tangan terborgol, Rudy digiring petugas masuk ke ruang konferensi pers.
Saat juru bicara KPK, Budi Prasetyo hendak mempersilakan Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu memaparkan konstruksi perkara, Rudy tiba-tiba menyela dan bersuara lantang.
Di hadapan awak media, Rudy menyebut kasus yang menjeratnya sudah terjadi delapan tahun lalu. Ia juga menuding Sugeng, anak buahnya, telah memeras dirinya untuk kebutuhan narkoba serta mengancam melaporkan kasus suap itu ke KPK.
“Perkara saya 8 tahun, ya, itu pegawai saya Sugeng namanya orang sana. Memeras saya atas nama KPK,” teriak Rudy saat baru masuk ke ruang konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (25/8/2025).
“Narkoba Rp10 miliar,” tambahnya singkat, sebelum petugas KPK berusaha menenangkannya dan membawanya keluar dari ruang konferensi pers.
Pernyataan serupa kembali ia lontarkan ketika hendak masuk ke mobil tahanan.
“8 tahun. Jadi pegawai saya, Sugeng itu memeras saya untuk narkoba Rp10 miliar. Terus lapor ke KPK justru saya yang kena,” ucapnya berulang kali.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan IUP di Kaltim tahun anggaran 2013–2018. Pihak penerima ialah Ketua Kadin Kaltim, Dayang Donna Walfiaries Tania (DDW), serta ayahnya yang juga eks Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak (AFI). Namun, status tersangka Awang Faroek gugur karena telah meninggal dunia.
Adapun pihak pemberi adalah Rudy Ong Chandra, yang lebih dulu ditahan sejak Jumat (22/8/2025) setelah dijemput paksa karena kerap mangkir dari pemeriksaan. Meski begitu, pengumuman resmi penahanan baru disampaikan hari ini. Hingga kini, Dayang Donna belum ditahan.
Kasus ini bermula pada Juni 2014 ketika Rudy memberikan kuasa kepada Sugeng, seorang makelar dari Samarinda, untuk mengurus perpanjangan enam izin tambang eksplorasi miliknya. Namun, pada Agustus 2014, proses itu dilanjutkan oleh kolega Sugeng, Iwan Chandra (IC).
Rudy dan Iwan kemudian menemui Gubernur Kaltim saat itu, Awang Faroek Ishak, di rumah dinasnya untuk membicarakan nasib enam IUP yang terhambat. Sebagai biaya pengurusan, Rudy mengirimkan Rp3 miliar, termasuk fee untuk Iwan. Uang itu kemudian diserahkan kepada Amrullah, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim.
Pada Januari 2015, Iwan menyerahkan permohonan resmi perpanjangan enam IUP atas nama PT Sepiak Jaya Kaltim, PT Cahaya Bara Kaltim, PT Bunga Jadi Lestari, dan PT Anugerah Pancaran Bulan ke Badan Perizinan dan Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kaltim. Sebagai pelicin, ia menyerahkan Rp150 juta kepada Markus Taruk Allo, Kepala Seksi Pengusahaan Dinas ESDM Kaltim, serta Rp50 juta kepada Amrullah.
Tak lama kemudian, Amrullah dihubungi oleh Dayang Donna untuk menanyakan perkembangan perpanjangan izin milik Rudy. Melalui perantara Sugeng, Rudy lalu bernegosiasi dengan Dayang Donna. Awalnya, Iwan menawarkan Rp1,5 miliar, tetapi Dayang Donna menolak dan meminta Rp3,5 miliar.
Permintaan itu dipenuhi. Pada Februari 2015, berlangsung pertemuan di sebuah hotel di Samarinda antara Rudy dan Dayang Donna. Dalam pertemuan itu, Iwan menyerahkan Rp3 miliar dalam pecahan dolar Singapura, sementara Sugeng memberikan tambahan Rp500 juta, juga dalam pecahan dolar Singapura.
Sebagai imbalannya, Rudy menerima enam Surat Keputusan perpanjangan IUP dari Dayang Donna yang dikirimkan melalui babysitternya, Imas Julia (IJ).
“Permintaan tersebut dipenuhi. Selanjutnya terjadi pertemuan di salah satu hotel di Samarinda antara saudara ROC dan saudari DDW, dimana Sdr. IC diminta untuk mengantarkan amplop berisi uang sejumlah Rp3 miliar dalam pecahan dollar Singapura, bersamaan saudara ROC memerintahkan Saudara SUG memberikan uang Rp500 juta dalam pecahan dollar Singapura kepada Saudari DDW. Setelah terjadi transaksi tersebut, saudara ROC melalui Saudara IC menerima dokumen berisi SK 6 IUP dari Saudari DDW yang diantarkan oleh Saudari IJ selaku babysitter Saudari DDW,” jelas Asep.
Atas perbuatannya, Rudy Ong Chandra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


