Kasus: korupsi

  • Jika Ada Kekurangan Jangan Menghasut

    Jika Ada Kekurangan Jangan Menghasut

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto menyadari masih ada tantangan besar yang harus dihadapi. Prabowo mengajak semua pihak untuk bersatu dan saling mengoreksi tanpa menghasut yang bisa membuat rakyat marah.

    “Sekali lagi saya sadar tantangan masih besar, justru inilah bersama-sama kita harus mengatasi tantangan tersebut. Seluruh pihak harus bersatu, harus rukun, saling mengoreksi, kalau ada kekurangan tidak dengan cara menghasut, tidak dengan cara membuat rakyat marah,” ujar Prabowo di Hambalang akhir pekan ini.

    Prabowo mengatakan untuk mencari solusi terbaik dengan tenang. Dia juga mengatakan memperjuangkan aspirasi rakyat harus dengan ketenangan, kecerdasan dan kerja sama.

    “Hanya dengan demikian kita bisa bangkit,” kata Prabowo.

    Lebih lanjut, Prabowo mengajak mengutamakan kepentingan rakyat secara sungguh-sungguh. Dia juga mengatakan kekerasan bukanlah jalan terbaik, tapi justru menghambat program pemerintah.

    Selain itu, Prabowo menekankan dirinya bertekad melawan korupsi. Prabowo menegaskan tidak akan mundur.

    (idn/knv)

  • 9
                    
                        Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibra dalam Jok Motor
                        Regional

    9 Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibra dalam Jok Motor Regional

    Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibra dalam Jok Motor
    Tim Redaksi
    BUTON TENGAH, KOMPAS.com –
    Seorang aparatur sipil negara (ASN) dari Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, berinisial LMJ (53) ditangkap polisi.
    Ia kedapatan mengambil uang fee sebesar Rp 59 juta dari anggaran kegiatan Paskibra 2025.
    LMJ yang menjabat sebagai kepala bidang ini ditangkap oleh tim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Buton Tengah di jalan raya pada Rabu (3/9/2025).
    “Hasil tangkap tangan tim menemukan uang tunai pecahan seratus dan pecahan lima puluh senilai Rp 59 juta,” kata Kepala Satreskrim Polres Buton Tengah, AKP Busrol Kamal, melalui pesan singkat, Minggu (7/9/2025).
    Uang tersebut disembunyikan pelaku dalam kantong plastik hitam dan disimpan di balik sadel motornya.
    Polisi kemudian menyita uang tersebut dan juga telepon genggam milik pelaku LMJ sebagai barang bukti.
    LMJ kemudian diarahkan naik mobil milik polisi dan selanjutnya dibawa ke Mapolres Buton Tengah.
    “(Penangkapan) ini berdasarkan informasi dari masyarakat ada permintaan dana dari penyedia oleh salah seorang ASN yang bertugas pada Kesbangpol Buton Tengah,” ujarnya.
    Busrol menjelaskan, anggaran untuk Paskibraka mencapai sekitar Rp 700 juta, salah satu item anggaran yakni makan minum sebesar Rp 180 juta, pelaku LMJ meminta fee Rp 59 juta.
    “Kegiatan ini tangkap tangan salah satu item kegiatan Paskibra yakni makan dan minum. Setelah melalui proses penyidikan dan dilakukan penetapan tersangka,” ucap Busrol.
    Saat ini pelaku diamankan di ruang tahanan Mapolres Buton Tengah, ia dijerat Pasal 12 huruf E Undang-Undangan Nomor 31 tentang Pemberantasan Korupsi dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 9
                    
                        Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibra dalam Jok Motor
                        Regional

    Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibraka dalam Jok Motor Regional 7 September 2025

    Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibra dalam Jok Motor
    Tim Redaksi
    BUTON TENGAH, KOMPAS.com –
    Seorang aparatur sipil negara (ASN) dari Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, berinisial LMJ (53) ditangkap polisi.
    Ia kedapatan mengambil uang fee sebesar Rp 59 juta dari anggaran kegiatan Paskibraka 2025.
    LMJ yang menjabat sebagai kepala bidang ini ditangkap oleh tim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Buton Tengah di jalan raya pada Rabu (3/9/2025).
    “Hasil tangkap tangan tim menemukan uang tunai pecahan seratus dan pecahan lima puluh senilai Rp 59 juta,” kata Kepala Satreskrim Polres Buton Tengah, AKP Busrol Kamal, melalui pesan singkat, Minggu (7/9/2025).
    Uang tersebut disembunyikan pelaku dalam kantong plastik hitam dan disimpan di balik sadel motornya.
    Polisi kemudian menyita uang tersebut dan juga telepon genggam milik pelaku LMJ sebagai barang bukti.
    LMJ kemudian diarahkan naik mobil milik polisi dan selanjutnya dibawa ke Mapolres Buton Tengah.
    “(Penangkapan) ini berdasarkan informasi dari masyarakat ada permintaan dana dari penyedia oleh salah seorang ASN yang bertugas pada Kesbangpol Buton Tengah,” ujarnya.
    Busrol menjelaskan, anggaran untuk Paskibraka mencapai sekitar Rp 700 juta, salah satu item anggaran yakni makan minum sebesar Rp 180 juta, pelaku LMJ meminta fee Rp 59 juta.
    “Kegiatan ini tangkap tangan salah satu item kegiatan Paskibraka yakni makan dan minum. Setelah melalui proses penyidikan dan dilakukan penetapan tersangka,” ucap Busrol.
    Saat ini pelaku diamankan di ruang tahanan Mapolres Buton Tengah, ia dijerat Pasal 12 huruf E Undang-Undangan Nomor 31 tentang Pemberantasan Korupsi dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dari Startup Sukses, Kini Diborgol Kasus Korupsi

    Dari Startup Sukses, Kini Diborgol Kasus Korupsi

    GELORA.CO -Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi program Digitalisasi Pendidikan 2019–2022. 

    Penetapan itu diumumkan penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung pada Kamis, 4 September 2025, usai Nadiem menjalani pemeriksaan ketiga sebagai saksi.

    Kasus yang menjerat Nadiem terkait dengan proyek pengadaan laptop Chromebook untuk sekolah-sekolah. Proyek tersebut sejak awal menuai sorotan karena nilai anggarannya yang jumbo dan realisasi yang dianggap bermasalah.

    Ekonom senior dan guru besar UI, Rhenald Kasali, ikut menanggapi perkembangan mengejutkan ini. 

    “Apa yang ada di kepala anda menyaksikan menteri pendidikan tangannya diborgol jadi tersangka korupsi?” tanya Rhenald mengawali videonya yang diungah di kanal Youtube, seperti dikutip redaksi di Jakarta, Minggu, 7 September 2025.

    Ia mengaku prihatin melihat sosok Nadiem yang dulu dielu-elukan sebagai anak muda sukses di dunia startup, kini harus menanggung status tersangka korupsi.

    “Bagaimana sekarang kita menyaksikan anak muda sukses mendirikan startup dan itu membanggakan. Kita punya kompetitor di luar negeri tetapi dia berhasil membangun suatu jadi besar. Investor masuk juga tidak tanggung-tanggung,” kata Rhenald.

    Namun semua itu berubah karena ambisi untuk masuk ke dalam dunia pemerintahan. Ia juga menyinggung keterbatasan pemahaman Nadiem terhadap kondisi pendidikan di Indonesia. 

    Latar belakang pendidikan yang sepenuhnya ditempuh di luar negeri, menurut Rhenald, membuat mantan Mendikbudristek itu kurang memahami realitas yang dihadapi guru dan sekolah-sekolah di tanah air.

    “Bagaimana nasib para guru? padahal ini adalah kementerian yang diamanahkan konstitusi untuk mendapatkan APBN terbesar 20 persen,” tegasnya.

    Rhenald menambahkan, jabatan publik bukan hanya soal prestise atau penghargaan di akhir masa jabatan, melainkan amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh integritas. 

    Ia menyindir fenomena pejabat yang di akhir jabatannya memperoleh bintang jasa, bahkan mendapat hak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, meski rekam jejak digitalnya tercoreng oleh kasus korupsi.

    “Ketika anak-anak kita, cucu kita kelak di kemudian hari ziarah bersama sekolahnya, dia bertanya siapa ini? Dia Googling, dia cari jejak digitalnya, kok koruptor? Apa yang terjadi? begitukah nasib bangsa kita,” pungkas Rhenald

  • Ternyata Kepengurusan PDIP Belum Disahkan Pemerintah

    Ternyata Kepengurusan PDIP Belum Disahkan Pemerintah

    GELORA.CO -Struktur kepengurusan baru pimpinan pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk periode 2025-2030 di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputri belum mendapat pengesahan dari pemerintah.

    Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum, Widodo, mengatakan hingga saat ini masih dalam tahap proses.

    “Kemungkinan minggu depan (keluar pengesahan) jika kelengkapan administrasinya terpenuhi,” ujar dia melalui pesan elektronik yang diterima RMOL di Jakarta, Minggu, 7 September 2025.

    Adapun struktur kepengurusan PDIP periode 2025-2030 lengkap setelah ketua umumnya Megawati Soekarnoputri melantik pengurus yang belum disumpah pada Kongres Keenam di Bali pada awal Agustus lalu. Termasuk di antaranya penunjukan Hasto Kristiyanto sebagai Sekretaris Jenderal untuk ketiga kalinya.

    Posisi Sekjen sempat dikosongkan saat Megawati mengumumkan struktur kepengurusan di Bali. Saat itu Megawati mengumumkan posisi Sekjen juga diisi oleh dirinya selaku ketua umum.

    Adapun Hasto telah dilantik setelah menyelesaikan proses administrasi untuk bebas dari penjara Komisi Pemberantasan Korupsi setelah mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.

    Selain Megawati dan Hasto, posisi bendahara umum dalam kepengurusan baru juga diisi orang lama yakni Olly Dondokambey.

  • 3
                    
                        Istana Respons soal Hotman Paris Mau Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Hadapan Prabowo
                        Nasional

    3 Istana Respons soal Hotman Paris Mau Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Hadapan Prabowo Nasional

    Istana Respons soal Hotman Paris Mau Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Hadapan Prabowo
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi angkat bicara, perihal pengacara kondang Hotman Paris yang mau membuktikan di hadapan Presiden Prabowo Subianto bahwa kliennya, Nadiem Makarim tidak bersalah di kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook.
    Hasan menyebut, pemerintah menyerahkan kasus Nadiem Makarim kepada penegak hukum.
    “Kita serahkan kepada proses hukum saja,” ujar Hasan kepada Kompas.com, Minggu (7/9/2025).
    Hasan menekankan, pemerintah tidak akan mengintervensi proses hukum.
    “Pemerintah tidak intervensi proses hukum,” ujar Hasan Nasbi
    Sebelumnya, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook pada program digitalisasi pendidikan.
    Penetapan tersangka diumumkan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Nurcahyo Jungkung Madyo, pada Kamis (4/9/2025).
    Menurut Kejaksaan, dugaan tindak pidana korupsi ini menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 1,98 triliun.
    Kuasa hukum Nadiem Makarim, Hotman Paris Hutapea menilai penetapan tersangka ini janggal.
    Menurutnya, hasil penyelidikan justru membuktikan bahwa Nadiem tidak menerima uang suap dan tidak melakukan
    mark-up
    harga laptop.
    “Nadiem Makarim tidak menerima uang 1 sen pun, tidak ada
    mark-up
    , dan tidak ada yang diperkaya. Saya hanya butuh 10 menit untuk membuktikan itu di depan Presiden Prabowo,” kata Hotman Paris, dikutip akun Instagram-nya, Jumat (5/9/2025).
    Dia bahkan meminta agar perkara ini digelar terbuka di Istana agar publik bisa melihat langsung fakta sebenarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Herwin Sudikta Colek Prabowo: Jangan Tunggu DPR, Keluarkan Perppu Perampasan Aset

    Herwin Sudikta Colek Prabowo: Jangan Tunggu DPR, Keluarkan Perppu Perampasan Aset

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial, Herwin Sudikta, merespons terkait lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di DPR.

    Dikatakan Herwin, Presiden Prabowo Subianto tak perlu menunggu parlemen yang disebutnya gemar menunda-nunda.

    “Seandainya saya Prabowo, saya tidak akan tunggu DPR yang hobi menunda,” ujar Herwin kepada fajar.co.id, Minggu (7/9/2025).

    “Saya akan keluarkan Perppu Perampasan Aset Koruptor,” tambahnya.

    Herwin menilai, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) bisa menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi.

    “Benar, pada akhirnya Perppu itu tetap akan berlabuh di meja DPR. Tapi setidaknya langkah itu jadi bukti nyata bahwa presiden serius dengan isu korupsi,” sesalnya.

    Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa Prabowo tidak hanya menjabat sebagai presiden, tetapi juga Ketua Umum partai besar yang memimpin koalisi mayoritas di Senayan.

    “Apalagi Prabowo bukan sekadar presiden, ia juga ketua partai yang memimpin koalisi mayoritas di parlemen,” Herwin menuturkan.

    “Artinya, kalau masih gagal, masalahnya bukan di kursi DPR saja, tapi di kemauan politik sang presiden sendiri,” kuncinya.

    Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto sudah berulang kali mendesak DPR RI untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

    Hal tersebut disampaikan Yusril saat dimintai tanggapan mengenai “17+8 Tuntutan Rakyat” yang salah satunya menuntut pengesahan aturan terkait perampasan aset.

  • Alasan KPK Tidak Sita Mobil Habibie yang Dibeli Ridwan Kamil pada Kasus Bank BJB

    Alasan KPK Tidak Sita Mobil Habibie yang Dibeli Ridwan Kamil pada Kasus Bank BJB

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan belum mengamankan mobil milik B.J. Habibie yang dibeli Ridwan Kamil karena masih berstatus belum lunas.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan mobil tersebut masih berada di salah satu bengkel di Bandung. Diketahui, KPK menduga mantan Gubernur Jawa Barat itu diduga membeli mobil Mercy menggunakan dana korupsi pengadaan iklan Bank BJB.

    “Dari keterangan yang diperoleh penyidik bahwa pembayaran atas aset tersebut belum lunas,” kata Budi, dikutip Minggu (6/9/2025).

    Budi menyampaikan penyidik perlu memastikan kedudukan kepemilikan mobil itu untuk optimalisasi pengembalian aset kepada negara.

    “Saat ini penyidik masih mendalami kedudukan barang bukti tersebut untuk mendapatkan solusi terbaik dalam optimalisasi asset recovery untuk negara nantinya,” jelasnya

    Budi menyampaikan KPK akan memanggil Ridwan Kamil guna mendalami apakah pembelian mobil tersebut berkaitan dengan dugaan korupsi.

    “Secepatnya nanti KPK akan menjadwalkan untuk pemanggilan terhadap saudara RK,” kata Jubir KPK, Budi Prasetyo kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (4/9/2025).

    Budi belum dapat merincikan kapan pemeriksaan berlangsung, tetapi dia memastikan pemanggilan untuk mendalami aliran dana non-budgeter Bank BJB.

    Dia mengatakan pemeriksaan ini bagian dari proses pendalaman terhadap beberapa saksi yang diduga mengetahui perkara itu.

    “Kemudian dari pihak-pihak terkait lainnya yang diduga mengetahui terkait dengan aliran uang yang berasal dari dana non-budgeter yang dikelola di corsec BJB. Di mana dana yang dikelola di corsec BJB tersebut adalah sebagian dari anggaran pengadaan iklan di BJB,” jelasnya.

    Di sisi lain, pada Rabu (3/9/2025) putra sulung presiden ke-3 B.J. Habibie, Ilham Akbar Habibie dimintai keterangan terkait transaksi jual beli mobil itu.

    Ilham menjelaskan pembelian mobil berlangsung sejak 2021. Proses pembayaran mobil dilakukan dengan cara bertahap, di mana Ridwan Kamil sudah membayar Rp1,3 miliar dari harga total Rp2,6 miliar.

    Dia mengaku tidak mengetahui bahwa proses jual-beli mobil diduga berkaitan dengan uang hasil dari korupsi.

    “Itu kan saya tidak tahu, itu di pihak, yang tahu itu KPK, kita cuma sebagai penjual saja. Kalau kita menjual barang kan kita tidak tanya dari mana uangnya, kan nggak mungkin,” ujarnya.

    Diketahui, KPK menduga dana tersebut mengalir ke mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Selain itu, negara diprediksi rugi hingga Rp222 miliar.

    Dalam praktiknya, BJB menyalurkan dana iklan sekitar Rp409 miliar melalui enam agensi periklanan: PT CKMB Rp41 miliar, PT CKSB Rp105 miliar, PT AM Rp99 miliar, PT CKM Rp81 miliar, PT BSCA Rp33 miliar, dan PT WSBE Rp49 miliar.

    KPK telah menetapkan 5 tersangka, yakni; Yuddy Renaldi (YR), Direktur Utama Bank BJB; Widi Hartoto (WH), Pejabat Pembuat Komitmen sekaligus Kepala Divisi Corporate Secretary Bank BJB; Ikin Asikin Dulmanan (IAD), pengendali Antedja Muliatama dan Cakrawala Kreasi Mandiri;

    Suhendrik (S), pengendali BSC Advertising dan Wahana Semesta Bandung Ekspres; Sophan Jaya Kusuma (SJK), pengendali Cipta Karya Sukses Bersama dan Cipta Karya Mandiri Bersama.

    Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

  • KPK Jelaskan Proses Kasus Google Cloud, Nadiem Jadi Tersangka Lagi?

    KPK Jelaskan Proses Kasus Google Cloud, Nadiem Jadi Tersangka Lagi?

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan perkembangan kasus Google Cloud yang menyeret Nadiem Anwar Makarim.

    Nadiem yang merupakan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) era Jokowi, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook pada Kamis (4/9/2025).

    Pada dasarnya kedua kasus itu merupakan program pendidikan yang direalisasikan saat era Covid-19. Perbedaannya hanya terletak dari jenis pengadaannya. Jika laptop Chromebook adalah perangkat keras atau hardware, maka Google Cloud adalah perangkat lunaknya atau software.

    Menurut Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, kasus ini masih dalam proses penyelidikan. KPK masih mengumpulkan berbagai informasi dari pihak-pihak terkait, sehingga status perkara belum naik ke tahap penyidikan.

    “Sampai saat ini penyelidikan terkait dengan perkara pengadaan Google Cloud di Kemdikburistek masih berproses, namun detailnya seperti apa, sejauh mana belum bisa kami sampaikan secara detil, karena memang masih dalam tahap penyelidikan,” kata Budi kepada wartawan, dikutip Minggu (7/9/2025).

    Budi menegaskan bahwa KPK akan terus mengusut perkara Google Cloud meskipun saat ini Nadiem menjadi tersangka di kasus pengadaan laptop Chromebook.

    Namun, Budi mengatakan tidak menutup kemungkinan Nadiem ditetapkan sebagai tersangka dalam persoalan Google Cloud.

    Dia berkaca dari kasus pengadaan iklan Bank BJB yang salah satu tersangkanya mantan Direktur Utama Bank BJB, Yuddy Renaldi (YR). YR ditetapkan tersangka oleh KPK, juga Kejagung terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dan anak perusahaannya.

    “Memungkinkan, seperti dalam perkara BJB itu kan ada satu orang tersangka yang ditetapkan oleh KPK dan juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung,” jelas Budi.

    Tak hanya Nadiem yang dibidik KPK untuk dimintai keterangan. Mantan stafsus Nadiem, Fiona Handayani turut diperiksa penyelidik KPK sebagai saksi guna mengulik informasi berkaitan perkara Google Cloud. Terbaru, dia diperiksa pada Selasa (2/9/2025).

    “Pemeriksaan dilakukan oleh penyelidik. Jadi karena memang tahapan perkara Google Cloud ini masih di tahap penyelidikan. Jadi nanti tentu tim akan melakukan pemanggilan pihak-pihak lain yang dibutuhkan keterangannya, dibutuhkan informasinya,” jelas Budi.

    Oleh karena itu, status perkara Google Cloud masih dalam penyelidikan sehingga KPK belum dapat merincikan dan menyampaikan materi-materi pemeriksaan kepada awak media.

  • 5
                    
                        Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim
                        Nasional

    5 Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim Nasional

    Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim
    Seorang ASN di lingkungan Mahkamah Agung RI yang bertugas di Pengadilan Agama Dumai. Lulusan Ilmu Hukum Universitas Riau ini aktif menulis isu-isu hukum, pelayanan publik, serta pengembangan teknologi informasi di sektor peradilan.
    ADA
    rasa getir ketika mendengar kabar seorang mantan menteri muda, yang dulu dielu-elukan sebagai wajah baru pendidikan Indonesia, kini harus berhadapan dengan jerat hukum.
    Nadiem Makarim, sosok yang identik dengan kata inovasi dan modernisasi birokrasi, justru disebut merugikan negara hingga hampir Rp 2 triliun lewat proyek pengadaan Chromebook.
    Sebagian orang bertanya-tanya, apakah ini benar-benar korupsi, ataukah hanya kebijakan yang keliru? Apakah niat membangun ekosistem digital pendidikan bisa begitu saja berubah menjadi jerat pidana?
    Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul, sebab dalam praktik hukum, membedakan antara kebijakan yang salah arah dengan tindakan korupsi memang kerap tipis batasnya.
    Namun, hukum memiliki rambu yang jelas. Dalam UU Tipikor (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), seseorang dapat dijerat bila terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain, serta merugikan keuangan negara.
    Maka ketika pengadaan laptop ini dituding penuh
    mark up
    harga, tidak sesuai spesifikasi, bahkan menyalahi aturan tata kelola pengadaan barang dan jasa, maka pertanyaan utama bukan lagi soal niat, melainkan soal dampak: apakah negara benar-benar dirugikan dan siapa yang diuntungkan?
    Saya masih ingat, ketika pandemi Covid-19 datang, dunia pendidikan mendadak gagap. Sekolah tutup, guru dan murid dipaksa akrab dengan layar.
    Maka program digitalisasi sekolah terasa masuk akal. Chromebook dipilih, karena ringan, murah, berbasis
    cloud.
    Namun, anggaran yang digelontorkan negara begitu besar, yaitu hampir Rp 10 triliun. Angka yang mestinya menjadi investasi masa depan, kini justru tercatat sebagai kerugian negara. Bagaimana bisa?
    Kejaksaan menemukan harga yang jauh di atas wajar, ditambah software tak relevan yang menguras ratusan miliar rupiah.
    Di sinilah kata
    mark-up
    bergema, istilah yang di Indonesia nyaris selalu sinonim dengan korupsi. Bukan lagi sekadar selisih angka, tetapi simbol pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
    Hukum sebenarnya memberi pagar yang jelas. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, siapapun yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan akibatnya merugikan keuangan negara, dapat dijatuhi hukuman pidana.
    Maka, pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab bukan hanya berapa besar kerugian, melainkan siapa yang menikmati keuntungan dari transaksi yang cacat ini.
    Di titik ini, mimpi digitalisasi berubah jadi luka. Bayangkan, jika laptop yang seharusnya membantu anak-anak di daerah, malah tersimpan di gudang karena rusak atau tak sesuai kebutuhan.
    Anggaran yang seharusnya jadi jembatan menuju masa depan, justru terkubur dalam laporan kerugian negara.
    Ironisnya, program yang awalnya dikampanyekan sebagai wajah baru pendidikan digital, kini identik dengan praktik lama yang sudah terlalu sering kita dengar, yaitu korupsi.
    Kita kembali diingatkan bahwa niat baik sekalipun, bila dijalankan tanpa transparansi, akuntabilitas, dan integritas, bisa bermuara pada kehancuran kepercayaan publik.
    Dalam hukum, korupsi bukan sekadar “uang negara habis,” tapi ada unsur yang lebih jelas dan tegas, yakni perbuatan melawan hukum, kerugian negara, keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain.
    Tiga hal ini adalah “roh” yang membedakan apakah suatu tindakan bisa disebut tindak pidana korupsi atau sekadar kegagalan kebijakan.
    Artinya, kebijakan yang salah arah belum tentu korupsi. Bisa saja itu hanya
    policy failure
    , yaitu niat baik yang tak sampai pada hasil.
    Banyak contoh dalam sejarah birokrasi, di mana program dengan visi mulia akhirnya tidak efektif karena lemahnya perencanaan, keterbatasan sumber daya, atau miskomunikasi antara pusat dan daerah. Itu gagal, iya, tapi bukan korupsi.
    Namun, hukum memandang berbeda ketika kebijakan disusun bukan untuk kepentingan publik, melainkan mengunci pasar, mengarahkan keuntungan, atau bahkan memperkaya kelompok tertentu.
    Jika spesifikasi teknis dibuat sedemikian rupa agar hanya cocok dengan vendor tertentu, jika harga didongkrak jauh di atas nilai pasar, dan jika kemudian ada pihak, baik individu maupun korporasi yang menikmati hasilnya, maka di situlah
    policy corruption
    lahir.
    Inilah yang kini dituduhkan pada Nadiem. Kasus yang membuat publik bertanya-tanya, apakah ia murni korban salah kelola, ataukah benar-benar arsitek kebijakan yang secara sistematis membuka ruang bagi keuntungan segelintir pihak?
    Perbedaan ini penting, sebab menyangkut keadilan. Menyebut
    policy failure
    sebagai korupsi bisa membuat pejabat takut berinovasi. Namun, membiarkan
    policy corruption
    lolos dari jerat hukum justru merusak sendi-sendi negara hukum.
    Di sinilah kita ditantang untuk jujur, apakah kegagalan ini lahir dari niat baik yang tak terwujud, atau dari rekayasa kebijakan yang sejak awal memang diarahkan untuk “menyetir” keuntungan ke pihak tertentu?
    Secara teknis, seorang menteri tidak pernah menandatangani kontrak pengadaan per laptop. Itu adalah domain pejabat pembuat komitmen (PPK), panitia lelang, dan pejabat pelaksana teknis kegiatan.
    Namun, sebagai pucuk pimpinan, menteri tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri. Ia bertanggung jawab atas arah kebijakan, atas filosofi yang melatari program, dan atas integritas sistem yang ia bangun.
    Pertanyaan pun menggantung, apakah Nadiem sadar ada
    mark-up
    dalam pengadaan ini? Apakah ia menutup mata ketika spesifikasi produk didesain sedemikian rupa sehingga hanya vendor tertentu yang bisa masuk?
    Ataukah ia murni mendorong inovasi digitalisasi pendidikan, lalu kelemahan sistem pengadaan yang rapuh dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang oportunis?
    Hukum pidana korupsi tidak hanya bicara soal tindakan langsung, tapi juga soal penyalahgunaan wewenang dan pembiaran.
    Pasal 3 UU Tipikor menegaskan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan, sehingga merugikan keuangan negara, dapat dipidana.
    Artinya, bahkan kelalaian yang disengaja, membiarkan sistem dikeruk oleh kepentingan, dapat dilihat sebagai bentuk kesalahan.
    Inilah yang kini diuji. Apakah kasus Chromebook adalah tragedi seorang inovator, yakni seorang menteri muda yang terperangkap dalam jaring birokrasi korup yang sudah mengakar?
    Ataukah ini justru potret nyata dari penyalahgunaan wewenang, di mana idealisme hanya menjadi bungkus retorika, sementara praktiknya tetap melanggengkan pola lama, yaitu proyek besar, vendor tertentu, dan rakyat yang menanggung rugi?
    Kini, panggung berpindah. Dari ruang diskusi publik yang penuh spekulasi, ke ruang pengadilan yang dingin dan formal.
    Di sana, bukti berbicara, bukan sekadar persepsi. Dan jawaban akhirnya akan menentukan bukan hanya nasib seorang menteri, tetapi juga arah kepercayaan publik pada reformasi birokrasi, apakah benar kita sedang melahirkan pemimpin baru, atau hanya mengganti wajah lama dengan wajah yang lebih muda.
    Kasus ini menyisakan luka kolektif. Betapa mahal harga dari kebijakan yang tergelincir. Pendidikan yang mestinya menjadi jalan menuju masa depan bangsa, justru tercoreng oleh praktik lama, yaitu
    mark-up
    , kolusi, dan kepentingan tersembunyi.
    Luka itu bukan hanya soal angka triliunan rupiah yang lenyap, melainkan juga tentang hilangnya kepercayaan publik.
    Mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak, lalu bertanya dengan jujur: Bagaimana seharusnya inovasi dibangun tanpa kehilangan akuntabilitas?
    Sebab inovasi tanpa integritas hanyalah mimpi kosong. Betapapun briliannya gagasan, jika tidak ditopang dengan sistem yang transparan dan pengawasan kuat, ia mudah berubah menjadi jebakan.
    Bagaimana caranya kebijakan tidak hanya brilian di atas kertas, tapi juga bersih di lapangan? Di sinilah pentingnya
    check and balance
    . Peraturan bukanlah musuh inovasi, melainkan pagar agar ide besar tidak tergelincir menjadi penyalahgunaan.
    Pada akhirnya, kasus ini bukan sekadar tentang Nadiem, bukan pula hanya tentang Chromebook. Ini tentang wajah birokrasi kita, tentang tipisnya garis pemisah antara mimpi dan manipulasi.
    Tentang betapa mudahnya jargon perubahan tereduksi menjadi proyek yang menumbuhkan kecurigaan.
    Dan lebih dari itu, ini tentang kita semua, rakyat yang menaruh harapan, tetapi juga sering lengah untuk mengawasi.
    Bukankah keadilan sejati lahir bukan hanya dari hakim di pengadilan, melainkan juga dari kesadaran kolektif bahwa amanah publik adalah sesuatu yang suci, yang tidak boleh dipermainkan?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.