Kasus: korupsi

  • ‘Gen Z’ Calonkan Mantan Ketua MA Jadi PM Sementara Nepal

    ‘Gen Z’ Calonkan Mantan Ketua MA Jadi PM Sementara Nepal

    Jakarta

    Mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Nepal, Sushila Karki diusung oleh para anak muda Nepal atau “Gen Z” sebagai pilihan utama untuk menjadi pemimpin sementara negeri itu. Hal ini diungkapkan seorang perwakilan demonstran “Gen Z” pada hari Kamis (11/9), setelah aksi-aksi demonstrasi yang dipimpin “Gen Z” berhasil menggulingkan Perdana Menteri KP Sharma Oli.

    Militer saat ini sedang berupaya memulihkan ketertiban di negara Himalaya berpenduduk 30 juta jiwa itu, setelah kekerasan terburuk dalam dua dekade menggulingkan PM dan membakar gedung parlemen pada hari Selasa (9/9) lalu. Panglima militer Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel mengadakan “konsultasi dengan para pemangku kepentingan terkait dan mengadakan pertemuan dengan perwakilan Gen Z” pada hari Rabu (10/9) yang dilanjutkan hari ini, Kamis (11/9).

    “Saat ini, nama Sushila Karki sedang mencuat untuk memimpin pemerintahan sementara — kami sekarang menunggu presiden untuk mengambil langkah,” kata Rakshya Bam, salah satu peserta pertemuan tersebut.

    “Kami berdiskusi dengan panglima militer tentang masa depan,” ujarnya kepada AFP, Kamis (11/9/2025).

    “Pembicaraannya adalah tentang bagaimana kita dapat bergerak maju, menjaga perdamaian dan keamanan negara,” imbuhnya.

    Karki (73), seorang akademisi dan mantan Ketua MA perempuan pertama di Nepal, mengatakan kepada AFP bahwa “para ahli perlu bersatu untuk mencari jalan ke depan”, dan bahwa “parlemen masih tetap berdiri”.

    Para tentara berpatroli di jalan-jalan ibu kota Nepal, Kathmandu untuk hari kedua pada hari Kamis (11/9), dengan beberapa pos pemeriksaan militer didirikan di sepanjang jalan.

    Aksi demonstrasi dimulai pada hari Senin (8/9) lalu di Kathmandu untuk memprotes korupsi dan menentang pemblokiran terhadap media sosial. Namun, aksi protes tersebut meningkat menjadi luapan amarah di seluruh negeri, dengan gedung-gedung pemerintahan dibakar setelah sedikitnya 19 orang tewas dalam tindakan keras aparat polisi terhadap demonstran.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • RUU Perampasan Aset Harus Atur Batas Harta Koruptor yang Boleh Dirampas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 September 2025

    RUU Perampasan Aset Harus Atur Batas Harta Koruptor yang Boleh Dirampas Nasional 11 September 2025

    RUU Perampasan Aset Harus Atur Batas Harta Koruptor yang Boleh Dirampas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Koalisi Masyarakat Sipil menekankan soal batas jumlah harta terkait tindak pidana yang dapat dirampas dalam rancangan undang-undang (RUU) Perampasan Aset.
    Sebab berdasarkan Pasal 6 draf RUU Perampasan Aset per April 2023, aset yang dapat dirampas bernilai paling sedikit Rp100.000.000 dan diancam dengan 4 tahun atau lebih.
    “Batas ini penting untuk dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan, misalnya, kondisi inflasi, nilai ekonomis, dan lain sebagainya,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/9/2025).
    Adapun Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Auriga Nusantara, Institute for Criminal Justice Reform, IM57+Institute, Kaoem Telapak, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.
    Mereka juga menekankan soal aturan terkait harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya atau
    unexplained wealth order
    .
    Harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya ini, kata Wana, merupakan konsep dasar dari
    illicit enrichment
    atau pengayaan ilegal.
    Jika seorang pejabat memiliki harta yang melebihi pendapatan dan tidak dapat dijelaskan asalnya, maka patut diduga harta tersebut adalah hasil dari suatu tindak pidana seperti suap atau gratifikasi.

    Unexplained wealth
    penting untuk diatur dalam RUU Perampasan Aset, sebab akan mempermudah pembuktian dugaan korupsi,” ujar Wana.
    Wana melanjutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memiliki instrumen Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dapat dijadikan rujukan dasar pengenaan pengayaan ilegal.
    LHKPN juga dapat digunakan untuk melihat kenaikan harta dari seorang pejabat dari tahun ke tahun.
    Diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR telah mengusulkan agar RUU Perampasan Aset masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
    Ketua Baleg Bob Hasan mengungkap bahwa RUU Perampasan Aset ditargetkan rampung pada 2025.
    “Targetnya tahun ini semuanya harus dibereskan,” ujar Bob, Selasa (9/9/2025).
    Meski demikian, pembahasan RUU Perampasan Aset tetap harus dilakukan dengan melibatkan publik secara bermakna atau
    meaningful participation
    .
    Dalam hal ini, ia mengartikan publik mengetahui isi RUU Perampasan Aset, bukan hanya judul RUU tersebut.
    “Harus tahu seluruh publik apa isinya perampasan aset itu. Itu kalau secara makna,” ujar Bob.
    Dalam pembahasannya, DPR akan menjelaskan substansi RUU Perampasan Aset, termasuk apakah pelanggaran terkait merupakan pidana pokok atau pidana asal.
    “Ada pidana pokok, ada jenisnya macam-macam. Perampasan aset ini pidana apa perdata? Kan begitu,” ujar Bob.
    “Nah, di situ nanti di-
    meaningfulkan
    , kita akan sajikan di depan, di YouTube. Terbuka, secara terbuka,” lanjut politikus Partai Gerindra tersebut.
    Sebagai informasi, pemerintah sudah mengusulkan RUU Perampasan Aset ini ke DPR sejak 2012. Usulan itu dilakukan setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan kajian sejak 2008.
    Hingga akhirnya pada 4 Mei 2023, pemerintah mengirim surat presiden (surpres) terkait RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana ke DPR.
    Namun, hingga rapat paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada 30 September 2024, pembahasan RUU Perampasan Aset itu belum pernah dilakukan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Perpanjang Masa Penahanan Eks Wamenaker Noel

    KPK Perpanjang Masa Penahanan Eks Wamenaker Noel

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi memperpanjang masa penahanan mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer atau Noel selama 40 hari kedepan.

    Diketahui Noel ditahan di Rutan KPK selama 20 hari ke depan sejak 22 Agustus hingga 10 September. Setelahnya, masa penahanan diperpanjang 40 hari.

    “Jika memang sudah habis masa penahanan untuk 20 hari pertama, tentu penyidik akan melakukan perpanjangan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Kamis (11/9/2025)

    Penambahan masa tahanan juga berlaku untuk 10 tersangka lainnya. Budi mengatakan alasan perpanjangan masa tahanan karena penyidik KPK masih mendalami informasi dari para tersangka, saksi, maupun pihak lainnya.

    “Memang penyidikannya masih berproses, masih dibutuhkan pemeriksaan-pemeriksaan terhadap para tersangka yang sudah ditetapkan maupun para saksi ataupun pihak lain yang terkait,” ujar Budi.

    Sebagai informasi, Immanuel Ebenezel dan 10 tersangka lainnya merupakan tersangka terkait dugaan pemerasaan penerbitan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

    Mereka melakukan penggelembungan penerbitan sertifikat K3 dari sebesar Rp275.000 menjadi Rp6 juta.

    “Para tersangka dengan cara memperlambat, mempersulit, dan tidak memproses permohonan sertifikat,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam keterangan tertulis, Jumat (23/8/2025).

    Adapun 10 tersangka lainnya, yaitu:

    1. Irvian Bobby Mahendro selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 tahun 2022-2025

    2. Gerry Aditya Herwanto Putra selaku Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja tahun 2022-sekarang

    3. Subhan selaku Subkoordinator Keselamatan Kerja Dit Bina K3 tahun 2020-2025

    4. Anitasari Kusumawati selaku Subkoordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja tahun 2020 sampai sekarang

    5. Fahrurozi selaku Dirjen Binwasnaker dan K3 pada Maret 2025 sampai sekarang

    6. Hery Sutanto selaku Direktur Bina Kelembagaan tahun 2021 sampai Februari 2025

    7. Sekarsari Kartika Putri selaku Subkoordinator

    8. Supriadi selaku Koordinator

    9. Temurila selaku pihak PT KEM Indonesia

    10. Miki Mahfud selaku pihak PT KEM Indonesia.

    Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • KPK Tetapkan Rudy Tanoe jadi Tersangka Korupsi Pengangkutan Bansos

    KPK Tetapkan Rudy Tanoe jadi Tersangka Korupsi Pengangkutan Bansos

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo alias Rudy Tanoe (BRT), Komisaris Utama PT Dosni Roha Logistik (DNR Logistics) sekaligus Direktur Utama PT Dosni Roha Indonesia, sebagai salah satu tersangka kasus dugaan korupsi pengangkutan penyaluran bantuan sosial di Kementerian Sosial.

    Hal tersebut diketahui saat Juru Bicara KPK Budi Prasetyo merespons pengajuan praperadilan Rudy Tanoe mengenai penetapan status tersangka. 

    “KPK menghormati hak hukum saudara BRT dalam pengajuan praperadilan,” ujar Budi dilansir dari Antara, Kamis (11/9/2025). 

    Sebelumnya, KPK mengusut kasus terkait bansos di Kemensos, dimulai dari perkara dugaan suap dalam pengadaan bansos untuk wilayah Jabodetabek pada lingkungan Kemensos tahun 2020, yakni pada 6 Desember 2020.

    Salah satu tersangka dalam kasus itu adalah mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, yang kini sudah menerima vonis dan tengah mendekam di penjara.  

    Pada 15 Maret 2023, KPK mengumumkan penyidikan dugaan korupsi dalam penyaluran bantuan sosial beras untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kemensos tahun 2020–2021.

    Pada 26 Juni 2024, KPK mengumumkan memulai penyidikan dugaan korupsi pengadaan bantuan sosial presiden terkait penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek pada Kemensos tahun 2020.

    Sementara itu, pada 19 Agustus 2025, KPK mencegah empat orang untuk bepergian ke luar negeri terkait kasus pengangkutan penyaluran bansos Kemensos, yakni berinisial ES, BRT, KJT, dan HER. 

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, keempat orang tersebut adalah Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial Edi Suharto (ES), dan Komisaris Utama PT Dosni Roha Logistik (DNR Logistics) sekaligus Direktur Utama PT Dosni Roha Indonesia Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo (BRT).

    Kemudian Dirut DNR Logistics tahun 2018–2022 Kanisius Jerry Tengker (KJT), dan Direktur Operasional DNR Logistics tahun 2021-2024 Herry Tho (HER).

    Pada tanggal yang sama, KPK mengumumkan telah menetapkan tiga orang dan dua korporasi sebagai tersangka kasus yang merupakan pengembangan perkara penyaluran bansos beras untuk KPM dan PKH tahun 2020–2021, dengan kerugian negara Rp200 miliar.

    Pada 25 Agustus 2025, Rudy Tanoe mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan memohon agar penetapan tersangka tersebut dinyatakan tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum.

  • KPK Periksa Kapusdatin BP Haji Hasan Afandi Terkait Kasus Korupsi Kuota Haji

    KPK Periksa Kapusdatin BP Haji Hasan Afandi Terkait Kasus Korupsi Kuota Haji

    Jakarta

    KPK tengah mengusut kasus dugaan korupsi kuota haji tahun 2023-2024. Hari ini KPK melakukan pemeriksaan terhadap Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Kapusdatin) Badan Penyelenggara Haji, Moh Hasan Afandi, terkait kasus dugaan korupsi kuota haji.

    “KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait kuota haji untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023-2024,” kata juru bicara KPK, Budi Prasetyo, kepada wartawan, Kamis (11/9/2025).

    “Atas nama MHA Kapusdatin BP Haji Tahun 2024 sampai dengan sekarang,” ucapnya.

    Hasan sendiri telah tiba di gedung KPK sejak pukul 09.44 WIB. Namun, belum dirincikan materi apa yang akan didalami dalam pemeriksaan kali ini.

    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” sebutnya.

    Kasus dugaan korupsi kuota haji pada 2024 ini telah naik ke tahap penyidikan, tapi KPK belum menetapkan tersangka. KPK telah memeriksa sejumlah pihak termasuk eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

    Kasus bermula saat Indonesia mendapat tambahan kuota haji sebanyak 20.000. Kemudian ada pembagian kuota haji tambahan itu sebanyak 50:50 untuk haji reguler dan haji khusus.

    Padahal, menurut UU, kuota haji khusus 8 persen dari total kuota nasional. KPK menduga bahwa asosiasi travel haji yang mendengar informasi adanya kuota tambahan itu lebih menghubungi pihak Kementerian Agama (Kemenag) untuk membahas masalah pembagian kuota haji.

    Berdasarkan penghitungan sementara, kerugian negara yang disebabkan kasus ini mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Kerugian itu timbul akibat perubahan jumlah kuota haji reguler menjadi khusus.

    Terbaru dalam kasus ini, KPK melakukan penyitaan 2 rumah di Jakarta Selatan senilai Rp 2,6 miliar. Rumah itu diduga dibeli dari fee kuota haji.

    Halaman 2 dari 2

    (ial/isa)

  • Kejari Geledah Dinkes Kota Bengkulu Dugaan Korupsi Laboratorium
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        11 September 2025

    Kejari Geledah Dinkes Kota Bengkulu Dugaan Korupsi Laboratorium Regional 11 September 2025

    Kejari Geledah Dinkes Kota Bengkulu Dugaan Korupsi Laboratorium
    Tim Redaksi
    BENGKULU, KOMPAS.com
    – Sejumlah tim penyidik tindak pidana khusus Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkulu menggeledah kantor Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bengkulu, pukul 09.15 WIB, Kamis (11/9/2025).
    Penggeledahan digelar menyusul naiknya status penyelidikan ke penyidikan dugaan korupsi pembangunan Gedung Laboratorium UPTD Dinkes Kota Bengkulu.
    Tim penyidik dipimpin Kasi Intel Kejari Bengkulu, Fri Wisdom Sumbayak.
    Penggeledahan dilakukan untuk mengamankan barang bukti serta memperkuat alat bukti pembangunan gedung laboratorium dengan anggaran miliaran rupiah pada tahun 2023.
    “Sudah ada puluhan saksi yang dimintai keterangan dalam perkara ini. Untuk kerugian negara belum bisa kami sampaikan karena masih dalam proses melengkapi keterangan dan bukti,” ujar Fri Wisdom saat diwawancarai wartawan.
    Saat ditanya mengenai keterlibatan pihak Dinkes, ia menegaskan pemeriksaan masih berjalan.
    “Siapa pun yang terkait akan diperiksa, termasuk pihak dinas,” imbuh Kasi Intel.
    Sebelumnya, kasus ini mencuat setelah adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terkait proyek pembangunan laboratorium tersebut.
    Temuan itu kemudian ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu dan dilimpahkan ke Kejari Bengkulu untuk penyidikan lebih lanjut.
    Kejaksaan Negeri Bengkulu lalu menaikkan status penyidikan dalam dugaan perkara pembangunan laboratorium Dinas Kesehatan Kota Bengkulu dengan anggaran Rp 5 miliar.
    Hal ini dikatakan Kasi Intel Kejari Bengkulu, Fri Wisdom Sumbayak, didampingi Kasi Pidsus Kejari Bengkulu, Ahmad Fariansyah, saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (29/8/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Temukan Modus Agen Travel Jual Kuota Haji Khusus Pakai SK Menag

    KPK Temukan Modus Agen Travel Jual Kuota Haji Khusus Pakai SK Menag

    Bisnis.com, JAKARTA – Kasus dugaan korupsi kuota haji masih bergulir. Terbaru KPK menemukan modus agen tour travel menjual kuota haji khusus 2023-2024 menggunakan Surat Keputusan Menteri Agama yang kala itu dijabat Yaqut Cholil Qoumas.

    Temuan ini naik ke permukaan saat KPK memanggil Khalid Basalamah sebagai saksi fakta, Selasa (9/9/2025). Dalam keterangannya, Khalid ingin berangkat haji menggunakan jalur furoda bersama rombongannya. 

    Namun dia ditawari kuota haji khusus oleh PT Muhibbah milik Ibnu Massud dengan kondisi T0 atau dapat langsung berangkat seperti furoda, tetapi mempunyai harga yang relatif lebih murah. Dalam promosinya, PT Muhibbah menggunakan Surat Keputusan Menteri Agama bahwa Khalid dapat langsung berangkat lewat kuota haji khusus. 

    SK tersebut tertera terdapat kuota tambahan sebesar 20 ribu, di mana pembagiannya 50 persen haji reguler dan 50 persen haji khusus.

    “Jadi dengan berbekal SK tersebut, siapapun yang ditunjukkan SK-nya, termasuk juga mungkin kita, ‘ini resmi lho, ada SK-nya ini’. Nah seperti itu, jadi tidak salah juga ketika disampaikan seperti itu. Walaupun dalam prosesnya, SK yang terbit itu ternyata menyimpang dari ketentuan Undang-Undang nomor 8 tahun 2018,” kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (10/9/2025).

    Perlu diketahui, seharusnya pembagian kuota haji tambahan sebesar 92$ haji reguler dan 8% haji khusus. Artinya pembagian kuota saat itu menyalahi aturan.

    Di samping itu, berdasarkan keterangan Khalid jemaah dari Uhud Tour termasuk dalam jamaah PT Muhibbah karena Uhud Tour merupakan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), tapi belum mendapatkan kuota tambahan. 

    Totalnya sebanyak 122 jamaah diberangkatkan melalui PT Muhibbah pada tahun yang sama yaitu 2024.

    “Uhud Tour, ini kami jemaah Muhibbah. Saya bersama jemaah Uhud Tour masuk menjadi jemaah Muhibbah. Karena Uhud Tour PIHK-nya belum bisa dapat kuota, jadi kami sebagai jemaah Muhibbah. Jumlahnya 122,” jelasnya, Selasa (9/9/2025) di Gedung Merah Putih KPK. 

    Penyidik KPK memang mendeteksi adanya jual-beli kuota haji, di mana kuota khusus dijual sekitar Rp300 juta. Sedangkan kuota haji furoda dijual dengan harga mencapai Rp1 miliar.

    Selisih dari tarif tersebut kemudian disetorkan travel untuk oknum di Kementerian Agama mencapai USD2.600 sampai USD7.000 per kuota atau sekitar Rp40,3 juta sampai Rp108 juta.

    Namun, tarif penjualan kuota haji disesuaikan dengan kemampuan jemaah yang berminat. Salah satu temuan penyidik mengapa terdapat jemaah yang mau membeli karena mereka sudah menggelar syukuran di rumahnya dan gengsi jika tidak jadi berangkat.

    Sampai saat penyidik masih mendalami perkara yang dialami Khalid Basalamah maupun saksi-saksi lainnya, termasuk barang bukti yang ditemukan penyidik usai menggeledah rumah Yaqut.

  • Bagaimana Nasib Nepal Usai Ambruknya Pemerintahan Resmi?

    Bagaimana Nasib Nepal Usai Ambruknya Pemerintahan Resmi?

    Jakarta

    Perdana Menteri Nepal Khadga Prasad Oli mengundurkan diri pada Selasa (9/9), setelah gelombang protes anti-pemerintah yang berujung pada kerusuhan, menyeret negeri di Himalaya itu ke dalam gejolak politik baru.

    “Dengan mempertimbangkan situasi buruk di negara ini, saya mengundurkan diri efektif hari ini untuk memfasilitasi solusi atas masalah ini dan membantu menyelesaikannya secara politik sesuai dengan konstitusi,” tulis Oli dalam surat pengunduran dirinya kepada Presiden Ram Chandra Poudel.

    Pengunduran diri itu diumumkan setelah para demonstran membakar rumah pejabat tinggi Nepal, termasuk kediaman pribadi Presiden Poudel dan Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak.

    Para pakar hukum tata negara memperingatkan Nepal berisiko menghadapi kekacauan politik berkepanjangan, kecuali segera dibentuk pemerintahan persatuan nasional.

    “Tidak ada ketentuan konstitusional yang jelas mengenai apa yang seharusnya terjadi selanjutnya dalam situasi seperti ini,” ujar Bipin Adhikari, profesor hukum tata negara di Universitas Kathmandu.

    Salah satu opsi yang mungkin, kata dia, adalah presiden menyerukan pembentukan pemerintahan konsensus nasional. “Perdana menteri harus dipilih dari parlemen sesuai konstitusi 2015, sambil memastikan tuntutan generasi muda Gen Z diakomodasi lewat keterwakilan mereka di dalam dialog ini,” ujarnya kepada DW.

    Kekosongan politik

    C.D. Bhatta, ilmuwan politik sekaligus manajer program senior di Friedrich Ebert Foundation (FES) Nepal, mengatakan kredibilitas seluruh kekuatan politik “menjadi tidak relevan.”

    “Semua pihak kini mencoba memanfaatkan situasi untuk memimpin pemerintahan,” ujarnya kepada DW. “Kita sudah memasuki kekosongan politik dan konstitusional.”

    Menurutnya, situasi harus segera ditangani oleh presiden dengan dukungan militer. “Satu-satunya opsi adalah membentuk pemerintahan sipil hingga terpilih pemerintahan baru, dengan dukungan penuh tentara Nepal yang masih menjadi satu-satunya kekuatan sah di negara ini.”

    Adhikari sependapat. “Pemerintahan ini harus mendapat dukungan militer Nepal, yang saat ini menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu menjaga ketertiban,” katanya.

    Akar kerusuhan terbaru

    Nepal, negara pegunungan tanpa akses laut yang terjepit di antara India dan Cina, telah lama menghadapi ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi selama dua dekade terakhir.

    Kerusuhan terbaru pecah setelah pemerintah memberlakukan larangan menyeluruh terhadap 26 platform media sosial yang belum terdaftar secara lokal — termasuk Facebook, X, YouTube, LinkedIn, dan WhatsApp — pekan lalu.

    Larangan diduga diputuskan setelah video unggahan anak-anak dan keluarga pejabat Nepal memicu amarah publik, karena menampilkan gaya hidup bertabur kemewahan di tengah kemiskinan.

    Dalam keterangannya, pemerintah beralasan platform-platform media sosial gagal mematuhi aturan baru yang mengharuskan perusahaan menunjuk kantor penghubung di Nepal.

    Namun, para pengkritik menyebut langkah itu sebagai “serangan terhadap kebebasan berekspresi” sekaligus upaya membungkam kritik dan oposisi.

    “Larangan ini adalah upaya putus asa dari pemerintah yang tidak populer untuk membungkam lawan politiknya,” ujar Tara Nath Dahal, ketua LSM Freedom Forum Nepal, kepada DW.

    Analis menilai protes tidak semata-mata dipicu larangan media sosial, melainkan juga mencerminkan frustrasi dan kekecewaan yang meluas atas korupsi serta buruknya tata kelola.

    Aksi yang didorong kelompok muda berusia 18–30 tahun itu sejauh ini berlangsung tanpa kepemimpinan jelas. Banyak anak muda marah karena anak-anak elit politik hidup dalam kemewahan sementara mayoritas generasi muda kesulitan mencari pekerjaan layak.

    “Kami tidak menentang sistem politik atau konstitusi. Kami menentang pemerintahan kroni, partai politik, dan kepemimpinan mereka yang tidak kompeten,” kata seorang perwakilan gerakan protes yang enggan disebut namanya.

    “Kami menuntut tata kelola yang baik dan keadilan bagi mereka yang kehilangan nyawa dalam aksi ini. Kami tidak ingin wajah-wajah lama kembali mengisi jalur politik baru.”

    Tuntutan akuntabilitas

    Pada Senin (8/9), puluhan ribu warga turun ke jalan di ibu kota Kathmandu, mengepung gedung Parlemen.

    Aparat keamanan melepaskan tembakan ke arah massa, menewaskan sedikitnya 19 orang dan melukai sekitar 150 lainnya. Tidak lama berselang, gedung wakil rakyat itu hangus terbakar.

    Kelompok HAM menyerukan pertanggungjawaban dan investigasi independen atas brutalitas aparat keamanan.

    Nirajan Thapaliya, direktur Amnesty International Nepal, mengatakan organisasinya “sangat mengecam penggunaan senjata mematikan maupun non-mematikan secara melawan hukum oleh aparat keamanan di Nepal” dan mendesak otoritas untuk “mengendalikan diri secara maksimal.”

    Gelombang protes memaksa pemerintah mencabut larangan media sosial pada Selasa pagi, sebelum Oli menyerahkan pengunduran dirinya.

    Namun, kemarahan terhadap pemerintah tak kunjung mereda, dengan aksi-aksi protes tetap berlanjut di Kathmandu meski ada jam malam tanpa batas.

    Setelah pengunduran diri Oli, militer Nepal mengunggah imbauan di X agar masyarakat “menahan diri.”

    India, yang menampung ratusan ribu warga Nepal, menyatakan harapannya agar semua pihak di negara tetangga itu menahan diri dan menyelesaikan masalah lewat dialog.

    Kedutaan besar Australia, Finlandia, Prancis, Jepang, Korea Selatan, Inggris, Norwegia, Jerman, dan Amerika Serikat di Nepal juga mengeluarkan pernyataan bersama, mendesak semua pihak menahan diri, menghindari eskalasi, dan memastikan hak-hak fundamental dihormati.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Demo Berlanjut, Gen Z Nepal Minta Eks Ketua MA Jadi PM Sementara” di sini:

    (ita/ita)

  • Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 September 2025

    Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO Nasional 11 September 2025

    Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pengacara sekaligus tersangka kasus suap hakim, Marcella Santoso, membantah uang puluhan miliar yang tersimpan di brankas di rumahnya merupakan uang yang berkaitan dengan perkara
    crude palm oil
    (CPO) atau kasus minyak goreng (migor).
    Hal ini disampaikan Marcella saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi CPO.
    Dalam sidang, jaksa memperlihatkan sebuah foto tumpukan uang di dalam brankas.
    “Saya akan tunjukkan gambar-gambar terkait uang-uang yang disimpan dalam bentuk USD dalam brankas yang nilainya bisa puluhan miliar. Pertanyaannya, uang apa ini? Dan dari mana asal uang ini, dan untuk kebutuhan apa?” tanya salah satu jaksa saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
    Marcella mengatakan, uang yang ditunjukkan dalam foto adalah uang kas perusahaannya.
    Ia mengaku, perusahaannya selalu punya uang kas dalam bentuk mata uang asing.
    “Itu uang saya, Pak. Saya selalu punya kas dalam bentuk USD,” jawab Marcella.
    Ia pun merujuk pada berita acara pemeriksaan (BAP).
    Marcella menyebutkan, uang-uang itu berasal dari
    success fee
    dari beberapa perkara.
    Salah satu yang paling besar nilainya mencapai Rp 50 miliar.
    “Saya sudah sampaikan di BAP, salah satu dari sumber yang paling besar itu adalah
    success fee
    dari klien saya, nilainya sekitar lebih dari Rp 50 miliar,” jelas Marcella.
    Marcella menjelaskan, uang
    success fee
    ini terkadang ditarik oleh suaminya, Ariyanto, yang juga pengacara di law firm yang sama.
    “(Uang di foto brankas) ini
    success fee
    termasuk perkara migor?” tanya jaksa lagi.
    Marcella menegaskan, uang dalam brankas bukan uang terkait kasus migor.
    “Ini campuran, ini tidak ada
    success fee
    perkara migor, Pak. Saya belum menagih
    success fee
    dan saya tidak ada
    success fee,
    ini tidak ada kaitannya,” kata Marcella.
    Jaksa kembali mencecar Marcella terkait keberadaan mata uang asing dalam jumlah banyak ini.
    Atas pertanyaan jaksa, Marcella menjelaskan bahwa suaminya terbiasa menarik uang hasil pendapatan mereka dari bank.
    Kemudian, uang ini ditukar ke dalam Dolar Amerika Serikat dan disimpan sampai dibutuhkan nanti.
    “Pak Ari, karena dia suka menarik dari bank, kemudian dia belikan dollar, karena dollar menurut dia harganya lebih stabil,” jelas Marcella.
    Pada kasus ini, Marcella merupakan pengacara dari tiga korporasi CPO.
    Ia juga telah menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap hakim.
    Namun, berkasnya belum dilimpahkan ke pengadilan.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
                        Nasional

    7 Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah Nasional

    Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    PERISTIWA
    mengejutkan yang terjadi di Nepal tentu disebabkan oleh banyak faktor, tak berbeda dengan demonstrasi besar-besaran di Indonesia tempo hari.
    Namun, biasanya faktor-faktor tersebut membutuhkan pemicu. Dan di Nepal pemicunya adalah kebijakan pemerintahnya yang memberlakukan larangan terhadap sekitar 26 platform media sosial besar, termasuk Facebook, X (Twitter), YouTube, Instagram, WhatsApp, dan lainnya, pada awal September 2025.
    Media sosial adalah separuh dari kehidupan dari Gen Z. Sehingga cukup bisa dipahami mengapa kebijakan tersebut mendadak menjadi pemicu pecahnya amarah “Gen Z” di Nepal, lalu membuat mereka turun ke jalan, dan berakhir dengan pertunjukan kemarahan atau amuk massa yang jauh lebih masif dibanding Indonesia.
    Sebenarnya, kebijakan pelarangan sebagian besar platform media sosial di Nepal bukan karena pemerintahannya benar-benar ingin melarang.
    Jika kita dalami, penyebab utamanya adalah kegagalan, boleh jadi disengaja atau hanya kebetulan, dari platform-platform tersebut untuk mendaftarkan diri pada pemerintahan Nepal, sebagaimana telah diminta sebelumnya.
    Pemerintah Nepal terpantau telah memberikan tenggat selama tujuh hari sejak 28 Agustus 2025, bagi perusahaan media sosial untuk mendaftar kepada pemerintah dan telah menetapkan kantor di mana pendaftaran harus dilakukan beserta pejabat pengaduan yang bisa dihubungi.
    Namun platform-platform besar itu gagal mematuhi tenggat waktu tersebut, sehingga membuat pemerintah Nepal terpaksa harus memutuskan untuk memblokir akses terhadap platform-platform tersebut pada 4 September 2025.
    Di satu sisi, pemerintah Nepal memang gagal memberikan narasi yang memuaskan atas kebijakan pelarangan tersebut.
    Di sisi lain, pemerintah Nepal justru menyampaikan bahwa tujuan larangan adalah untuk menangani penyebaran misinformasi,
    hate speech,
    dan kehadiran platform-platform tanpa ikatan regulasi yang jelas.
    Walhasil, banyak pengamat dan kelompok hak asasi manusia akhirnya melihat narasi tersebut sebagai bentuk sensor dan upaya pembungkaman atas kebebasan berekspresi (
    freedom of speech
    ).
    Menanggapi itu, pada 8 September 2025, aksi unjuk rasa besar terjadi di Kathmandu, khususnya di sekitar Gedung Parlemen dan area Maitighar Mandala.
    Ribuan pemuda yang tergabung dalam gerakan “Protes Gen Z” turun ke jalan, menuntut pencabutan larangan terhadap media sosial sambil menyoroti isu korupsi dan pengangguran.
    Demonstrasi yang semula damai kemudian berubah menjadi perlawanan yang diiringi oleh kekerasan.
    Di sisi lain, Kepolisian mulai menggunakan gas air mata, peluru karet, dan bahkan peluru tajam. Sehingga 19 orang setidaknya tercatat tewas dalam bentrokan tersebut, yang membuat perlawanan justru semakin menjadi-jadi.
    Larangan media sosial bukan hanya penyebab langsung demonstrasi, tetapi juga simbol atau semacam pemicu dari ketegangan, terutama antara generasi muda dan pemerintahan setempat.
    Ketegangan tersebut khususnya terkait masalah korupsi, kebebasan berpendapat, dan frustrasi terhadap masa depan para generasi muda, sebagaimana analisis saya terhadap perlawanan sosial di Indonesia tempo hari.
    Selama ini, platform-platform media sosial sudah lazim menjadi sarana utama bagi generasi muda Nepal untuk menyuarakan kritik, menyebarkan informasi, dan mengorganisir aksi.
    Ketika akses itu dicabut secara tiba-tiba, tidak pelak dianggap sebagai serangan langsung terhadap ruang digital yang mereka anggap milik bersama. Ekspresipun akhirnya berpindah ke dunia nyata.
    Dengan kata lain, demonstrasi yang berujung kerusuhan di Nepal mencerminkan akumulasi ketidakpuasan sosial-ekonomi yang sudah cukup dalam dan lama di satu sisi dan bersifat multidimensi di sisi lain.
    Krisis harga kebutuhan pokok, terutama bahan makanan dan energi, menjadi salah satu faktor utama yang mendorong masyarakat bak air bah berbondong-bondong turun ke jalan.
    Lonjakan inflasi yang tidak seimbang dengan pertumbuhan pendapatan rumah tangga membuat kelompok kelas menengah ke bawah dan masyarakat miskin semakin terdesak secara sosial dan ekonomi.
    Selain faktor ekonomi, ada dimensi struktural di dalam masyarakat Nepal yang memperburuk situasi.
    Sistem politik yang masih rapuh pasca-transformasi republik sering kali gagal memberikan respons cepat terhadap kebutuhan rakyat.
    Elite politik kerap terjebak dalam persaingan kekuasaan yang dangkal, sementara kebijakan publik yang pro-rakyat gagal dihadirkan.
    Ketidakpuasan publik terhadap korupsi, birokrasi yang lamban, dan kesenjangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan turut menambah rasa frustrasi generasi muda.
    Kombinasi ini melahirkan persepsi bahwa negara tidak hadir untuk melindungi dan bekerja demi rakyatnya di dalam masa krisis.
    Kerusuhan yang terjadi juga mengindikasikan adanya ketegangan antara generasi muda dengan struktur sosial lama.
    Anak muda Nepal yang sudah lama berhadapan dengan tingkat pengangguran tinggi merasa tidak memiliki masa depan yang pasti di dalam negeri mereka sendiri.
    Banyak dari generasi muda Nepal ini, terutama Gen Z, bermigrasi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah atau India, untuk mencari penghidupan.
    Ketika peluang domestik semakin sempit dari hari ke hari, frustrasi mereka menjadi semakin mudah bertransformasi menjadi aksi-aksi massif yang frontal.
    Demonstrasi pun akhirnya menjadi wadah ekspresi politik sekaligus pelarian emosional atas kekecewaan yang sudah menumpuk bertahun-tahun.
    Masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat Nepal tersebut berpadu dengan lemahnya kapasitas negara dalam mengelola demonstrasi.
    Aparat keamanan sering kali bertindak represif, mirip dengan di Indonesia, yang justru memperburuk ketegangan dan memicu eskalasi kerusuhan.
    Bukannya menjadi sarana mediasi, intervensi aparat malah memperlihatkan wajah negara yang cenderung mengutamakan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.
    Hal tersebut tak pelak memperkuat narasi oposisi bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat, melainkan hanya menjaga status quo bagi elite politik dan ekonomi yang sudah sedari dulu hidup dalam kemewahan.
    Pun tak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, sebagaimana sempat saya bahas dalam beberapa tulisan terdahulu, dari perspektif sosial-ekonomi, demonstrasi masif di Nepal merepresentasikan jurang ketidaksetaraan yang makin menganga.
    Pertumbuhan ekonomi Nepal memang lebih banyak dinikmati oleh kalangan terbatas di perkotaan. Sementara sebagian besar masyarakat kelas bawah dan pedesaan justru masih hidup dengan keterbatasan infrastruktur, layanan kesehatan, akses pendidikan bahkan pangan.
    Ketimpangan ini menciptakan persepsi dan rasa ketidakadilan sosial di tengah-tengah generasi muda Nepal, yang hanya membutuhkan satu trigger untuk berubah menjadi ledakan sosial berupa protes masal.
    Walhasil, kerusuhan pada akhirnya bukan lagi tentang harga barang atau kebijakan jangka pendek, tetapi berubah menjadi isu kegagalan sistemik dalam mendistribusikan kesejahteraan secara adil kepada masyarakat Nepal.
    Tak pula bisa dipungkiri ada
    effect domino
    dari gerakan demonstrasi masif yang terjadi di Indonesia jelang akhir Agustus lalu.
    Jika diperhatikan secara komparatif di media-media sosial, terutama di Asia dan Asia Tenggara,
    effect domino
    dari Indonesia memang terjadi, terutama di negara-negara seperti Filipina, Thailand, dan tentunya Nepal ini.
    Effect domino
    terjadi di negara-negara yang pemerintahannya dianggap cenderung korup, oligarkinya kuat, atau politik dinastinya menonjol, pun negara yang masih mempertahankan sistem tradisional seperti di Nepal, tapi kinerja penguasanya cenderung dianggap sangat tidak memuaskan.
    Namun, negara-negara yang memiliki sistem pemerintahan yang kuat, tingkat konsolidasi elitenya juga sangat tinggi, sekalipun tidak terlalu demokratis, tapi berkinerja baik, seperti Singapura, banyak sedikitnya juga Malaysia,
    effect domino-
    nya sangat mudah ternetralisasi oleh publik negara itu sendiri.
    Sementara negara-negara yang memang sudah didominasi oleh elite politik dan militer, hampir bisa dipastikan sulit untuk terimbas efek domino, karena ruang publiknya cenderung dikontrol secara ketat.
    Salah satu indikasi
    effect domino
    tersebut di Nepal adalah bendera
    One Piece
    yang juga digunakan di Nepal dan cukup masif beredar di media sosial Filipina dan Thailand.
    Di Nepal, memang banyak demonstran muda mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak dengan topi jerami alias ikon Straw Hat Pirates dari manga/anime
    One Piece
    yang digadang-gadang sebagai simbol perlawanan terhadap sensor dan korupsi pemerintah.
    Lantas pertanyaannya, mengapa Gen Z?
    Tentu tidak berbeda dengan Indonesia tempo hari. Gen Z di Nepal jumlahnya juga sangat besar. Di Indonesia, Gen Z menjadi generasi terbesar, sekitar 26 persen dari total penduduk berdasarkan data Pemilu 2024 lalu.
    Apalagi jika memakai kacamata sosiolog Hungaria Karl Mannheim, misalnya, generasi bukan hanya soal usia biologis, melainkan juga kesadaran kolektif yang terbentuk melalui pengalaman historis bersama.
    Gen Z dan Gen Milenial sudah sulit dipisahkan jika keduanya berada pada isu yang sama.
    Gen Z di Nepal tak berbeda dengan Gen Z di belahan dunia lainnya. Mereka tumbuh di era digitalisasi global, keterhubungan yang intens melalui media sosial, serta ekspektasi pada mobilitas sosial yang lebih baik.
    Namun, ketika harapan tersebut berbenturan dengan realitas struktural berupa pengangguran, ketimpangan, dan yang aktual kini sensor digital, misalnya, maka otomatis terbentuklah kesadaran kolektif untuk melawan.
    Demonstrasi pun menjadi ekspresi politis dari “unit generasional” yang merasa hak-hak fundamental mereka telah diabaikan. Dan ekspresi tersebut ternyata merepresentasikan perasaan publik secara umum. Klop sudah.
    Dari perspektif teori ruang publik Jürgen Habermas, misalnya, media sosial berfungsi sebagai arena deliberasi dan artikulasi kepentingan publik.
    Bagi Gen Z, tak terkecuali di Nepal, platform digital seperti Facebook, Instagram, dan X bukan sekadar alat komunikasi, tetapi ruang politik yang memungkinkan mereka membangun identitas, solidaritas, dan narasi tandingan terhadap negara.
    Sehingga larangan media sosial yang diberlakukan pemerintah akan serta-merta dilihat sebagai upaya menutup ruang publik digital, yang justru mempercepat mobilisasi berpindah ke jalanan.
    Dengan kata lain, ketika ruang komunikasi formal dibatasi, generasi muda akan mencari kanal ekspresi alternatif melalui aksi kolektif, yang berpotensi berujung kerusuhan jika keresahan sudah mencapai titik “kemuakan kelas dewa”.
    Laurie Rice dan Kenneth Moffett di dalam buku mereka, “The Political Voices of Generation Z”(2021), mengafirmasi mengapa Gen Z cenderung tidak sama dengan generasi sebelumnya di dalam berekspresi, karena mereka lebih progresif dan berani.
    Gen Z, kata Rice dan Moffett, memiliki orientasi politik yang cenderung lebih progresif dibandingkan generasi Milenial maupun generasi X.
    Dari sisi pandangan, gen Z lebih terbuka terhadap keberagaman, lebih peduli pada inklusivitas, dan lebih getol menuntut transparansi dari institusi politik.
    Bahkan kedua penulis ini menemukan bahwa tingkat kepercayaan Gen Z terhadap institusi tradisional, seperti partai politik dan lembaga pemerintah, cenderung rendah.
    Hal ini menimbulkan pola partisipasi yang lebih banyak bergerak di luar sistem formal, misalnya melalui gerakan sosial atau kampanye digital.
    Kendati demikian, dalam hemat saya, pola tersebut berlangsung dalam kondisi normal. Jika titik didihnya sudah tercapai, pemicunya tepat, maka pembakaran dan perlawanan masif akan menjadi model partisipasi yang masuk akal.
    Dengan kata lain, toh Gen Z memang sudah kurang percaya pada institusi elite dan pemerintahan.
    Lalu, saat institusi-institusi ini melakukan hal-hal di luar etika dan kewajaran, bahkan terkesan meremehkan masyarakat banyak, termasuk generasi muda, apalagi sampai membatasi ruang gerak generasi muda, maka hal-hal di luar nalar dan perkiraan pun akhirnya bisa masuk akal di mata para Gen Z.
    Singkat kata, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin berpesan kepada pemerintah bahwa diakui atau tidak, pemerintahan hari ini di sini dimenangkan oleh Generasi Z. Bahkan suara generasi yang satu ini menjadi penentu pemilihan tempo hari.
    Di permukaan, Gen Z memang mudah terpukau populisme, bahkan hanya dengan tarian dan jogetan ala kadarnya.
    Namun, dalam hemat saya, hal itu baru sekedar gambaran preferensi dan kesukaan politik semata, belum menjadi gambaran kepercayaan penuh.
    Maka raihlah kepercayaan penuh dari generasi ini, dengan perbaikan yang berarti di segala lini sekaligus benar-benar menyentuh akar persoalan, jika tak ingin “grievances” dari Gen Z kita berubah menjadi “Revenge”.
    Gen Z memang mudah terpukau, tapi tidak berarti mereka tak kritis dan tak bernyali seperti yang terjadi di Nepal itu. Mohon dicatat!
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.