Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
“
The great enemy of the truth is very often not the lie, but the myth, persistent, persuasive, and unrealistic.
” (John F. Kennedy)
SEORANG
presiden, siapa pun dia, bergantung pada informasi yang diterimanya setiap hari. Artinya, realitas masyarakat tidak terlihat secara langsung, tapi melalui laporan, ringkasan, atau bisikan lingkaran dalam seorang presiden.
Jika informasi yang diterima utuh, analisisnya tepat, maka keputusan bisa presisi. Namun, jika terdistorsi, negara bisa tergiring ke arah yang salah, bahkan berbahaya.
Akhir-akhir ini, terdapat kesan bahwa sebagian besar publik nampaknya merasa pemerintah agak terlambat merespons aspirasi warganya, sehingga dibutuhkan demonstrasi besar atau menunggu isu-isu tertentu viral terlebih dahulu.
Boleh jadi kesan ini tidak sepenuhnya tepat, tetapi beberapa bulan terakhir, muncul persepsi bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto kerap tertinggal dari tuntutan masyarakat.
Ketika rakyat berharap kebijakan A, yang hadir justru kebijakan B, itu pun datang terlambat. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa data dan fakta yang seharusnya menjadi fondasi keputusan tidak sepenuhnya tersaji di meja presiden. Akibatnya, kebijakan yang mestinya dapat diputuskan cepat dan tepat justru tersendat.
Pertanyaan yang tak terhindarkan muncul di benak publik, benarkah orang-orang di sekitar Presiden Prabowo menyampaikan informasi apa adanya?
Ataukah sebagian fakta ditutup-tutupi, dipoles, bahkan disisihkan demi menjaga kenyamanan politik?
Jika yang sampai ke meja Presiden hanyalah laporan yang sudah disaring, bagaimana mungkin keputusan pemerintah bisa selaras dengan aspirasi rakyat?
Tak peduli bagaimana teknis penyampaian informasi, atau dalam kondisi apa pun Presiden berada, ia seharusnya tetap memperoleh asupan informasi yang bergizi mengenai keadaan rakyatnya.
Pemerintahan bukanlah mesin yang boleh berhenti sejenak, melainkan institusi yang bekerja dua puluh empat jam tanpa jeda.
Karena itu, keterlambatan atau distorsi informasi tidak bisa ditoleransi. Terlambat atau tedistorsi sama saja dengan membiarkan keputusan diambil dalam ruang gelap, sementara rakyat menunggu keadilan yang seharusnya hadir tepat waktu.
Dalam tradisi administrasi publik, gagasan bahwa negara harus bekerja tanpa henti sudah lama ditekankan.
Woodrow Wilson (1887) dalam
The Study of Administration
menyebut pemerintahan sebagai “the most continuous of human concerns,” yang menegaskan bahwa urusan publik tidak pernah berhenti dan karenanya administrasi harus beroperasi secara konstan serta berkelanjutan.
James Madison dalam
Federalist Papers No. 37
(1788) menulis bahwa pemerintahan “must be adequate to the exigencies of the nation,” sebuah pengingat bahwa kebutuhan rakyat tidak mengenal batas waktu.
Kajian kontemporer juga menguatkan hal ini. Farazmand (2001) dalam H
andbook of Crisis and Emergency Management
memperkenalkan konsep pemerintahan sebagai institusi “24-hour emergency system”, di mana eksekutif harus siap mengambil keputusan kapan pun krisis datang.
OECD (2018) bahkan menyebut negara modern sebagai
always-on state,
pemerintahan yang tidak mengenal jeda karena kompleksitas global menuntut respons setiap saat.
Dari perspektif ini, tidak ada alasan teknis yang dapat membenarkan keterlambatan informasi di meja Presiden.
Pemerintahan adalah kerja dua puluh empat jam, tujuh hari sepekan. Setiap penyumbatan informasi sama saja dengan memutus denyut nadi negara.
Prinsip
the right man in the right place
harus berlaku mutlak. Untuk informasi yang urgen dan darurat, Presiden harus dapat mengandalkan lembaga yang memang berwenang, seperti Badan Intelijen Negara maupun lembaga strategis terkait intelijen lainnya.
Lembaga itupun dituntut menyajikan laporan yang utuh dan berdaging, bukan potongan kabar yang terdistorsi.
Dalam konteks ini, tidak boleh ada pihak yang tidak berkepentingan ikut mencampuri, apalagi mengambil alih peran di luar tugas pokok dan fungsinya.
Hirarki eksekutif harus dihormati agar informasi yang sampai ke Presiden benar-benar murni, tepat waktu, dan relevan dengan kebutuhan negara.
Jangan sampai kedekatan personal dijadikan alasan untuk melangkahi kewenangan institusi yang sah.
Literatur ilmu politik modern menekankan pentingnya
institutionalization of power
(Huntington, 1968), yaitu kekuasaan yang dijalankan harus melalui prosedur kelembagaan, bukan hubungan pribadi. Ketika jalur formal diabaikan, prinsip spesialisasi runtuh, dan muncullah nepotisme.
Robert Klitgaard (1988) dalam kajiannya tentang korupsi juga menegaskan bahwa ketika kewenangan bercampur dengan kedekatan personal, peluang penyalahgunaan menjadi lebih besar.
Itulah yang sering menyalakan kemarahan rakyat di banyak negara, dari Amerika Latin hingga Asia, karena publik menyaksikan negara dijalankan oleh jaringan kekerabatan dan loyalitas pribadi, bukan oleh kompetensi dan otoritas institusional.
Dalam literatur ekonomi politik, penyumbatan informasi sering dijelaskan lewat kerangka
bureaucratic politics model
(Allison & Zelikow, 1999).
Di sini, kebijakan tidak lahir dari satu komando tunggal, melainkan dari tarik menarik antar aktor birokrasi yang masing-masing membawa agenda.
Informasi yang akhirnya sampai ke Presiden bukanlah cermin murni kondisi lapangan, melainkan hasil tawar-menawar kepentingan.
Douglas North (1990) menyebut fenomena ini sebagai bukti rapuhnya institusi, aturan main negara dikalahkan oleh kalkulasi sempit aktor yang berkuasa atas aliran informasi.
Dalam kondisi seperti ini, keputusan publik rawan bias, bahkan salah arah, bukan karena Presiden tidak mau bertindak, melainkan karena bahan baku keputusan sudah terdistorsi sejak awal.
Risikonya tidak berhenti pada kemungkinan lahirnya keputusan yang keliru. Lebih dari itu, pemimpin dapat terjebak dalam ruang gema, merasa keadaan terkendali sementara masyarakat justru menanggung beban yang berat.
Situasi semacam ini membuat negara lamban merespons krisis, sekaligus menggerus kepercayaan publik yang melihat ketidaksetaraan antara pernyataan pemimpin dan pengalaman sehari-hari mereka.
Fenomena seperti ini sebenarnya sudah menjadi bagian integral politik pemerintahan. Sejarah pemerintahan modern memberi banyak bukti bagaimana pemimpin bisa terjebak dalam gelembung data.
Di Cina, penelitian King, Pan, & Roberts (2013) menunjukkan bagaimana sistem sensor dan kontrol arus informasi membuat pimpinan hanya menerima gambaran tertentu dari realitas sosial.
Kritik publik kerap disaring, sementara informasi yang menekankan stabilitas diperbesar. Akibatnya, pemimpin bisa merasa masyarakat terkendali, padahal di bawah permukaan ketidakpuasan terus menumpuk.
Hal itu terlihat di Nepal baru-baru ini. Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli menerima pasokan informasi yang terbatas mengenai keresahan rakyat atas kondisi ekonomi dan praktik korupsi. Lingkaran dalam yang sarat nepotisme justru menutupi gejolak publik.
Akibatnya, Sharma tidak sepenuhnya mengetahui kemarahan masyarakat, terutama generasi muda yang resah menatap masa depan, sementara para pejabat dan keluarganya justru memamerkan kemewahan di berbagai media sosial.
Alih-alih memperbaiki ekonomi dan menertibkan perilaku pejabatnya, pemerintah justru memilih menutup 26 platform media sosial. Alasannya untuk mengatasi hoaks, ujaran kebencian, dan penipuan daring.
Namun, langkah itu diambil karena Sharma diyakinkan bahwa sumber kegaduhan publik adalah maraknya berita palsu, bukan krisis nyata yang dirasakan rakyat.
Kebijakan itu berbalik arah. Generasi muda, yang kehidupannya lekat dengan dunia digital, turun ke jalan dan mengepung rumah para pejabat, termasuk kediaman perdana menteri.
Salah informasi berujung pada salah langkah, dan salah langkah berakhir pada perlawanan rakyat.
Di Myanmar, sejak kudeta militer 2021, Human Rights Watch (2022) mencatat bagaimana junta berusaha mengendalikan aliran informasi baik ke publik maupun ke pucuk pimpinan.
Laporan tentang krisis ekonomi dan protes sosial disaring ketat. Hasilnya, kebijakan rezim kerap terputus dari realitas dan memperparah krisis politik.
Contoh lain datang dari Sri Lanka. Menurut International Crisis Group (2022), lingkaran keluarga Rajapaksa menutup-nutupi data fiskal dari Presiden Gotabaya Rajapaksa. Krisis devisa yang sebenarnya genting dipoles seolah terkendali.
Begitu cadangan menipis dan rakyat turun ke jalan menuntut pangan dan energi, Presiden pun kehilangan legitimasi.
Tak ada kesangsian, keterlambatan informasi berdampak langsung pada kebijakan.
Mari ambil contoh sederhana dari kasus jaminan sosial. Jika Presiden terlambat tahu ada pekerja informal meninggal karena kecelakaan kerja, misalnya, maka sinyal untuk memperbaiki sistem jaminan ketenagakerjaan juga ikut tertunda.
Padahal satu nyawa yang hilang bisa menjadi peringatan dini untuk menyelamatkan ribuan nyawa lain.
Dalam konteks politik, pemimpin yang terus-menerus disuguhi laporan manis akan berisiko kehilangan legitimasi.
Rakyat mudah menangkap ketidaksinkronan antara apa yang diucapkan pemimpin dengan apa yang mereka alami sehari-hari. Situasi semacam ini merupakan resep klasik bagi lahirnya krisis kepercayaan.
Pertanyaan pentingnya adalah mengapa lingkaran dalam cenderung menyaring informasi. Ada yang berangkat dari motif protektif, yaitu keinginan menjaga agar pemimpin tidak terlalu terbebani dengan kabar buruk.
Ada pula yang bermula dari motif politik, demi mengamankan posisi dengan menampilkan keadaan seolah terkendali.
Tidak jarang juga muncul motif ekonomi, ketika informasi berubah menjadi sumber rente yang hanya dapat diakses dan diolah oleh pihak tertentu.
Seluruh motif tersebut beroperasi dalam ruang yang sama, yakni ketiadaan mekanisme kontrol yang efektif.
Selama Presiden tidak memiliki kanal alternatif untuk mendengar suara rakyat secara langsung, lingkaran dalam akan tetap menjadi penyaring tunggal yang menentukan versi realitas apa yang sampai ke pucuk kekuasaan.
Menghadapi masalah sekompleks ini, langkah perbaikan sebaiknya ditempuh secara bertahap dan realistis.
Satu, meningkatkan transparansi atas data publik yang sudah tersedia, tanpa perlu membangun sistem baru yang rumit dan tanpa menambah personel yang tidak relevan.
Banyak kementerian dan lembaga sebenarnya telah mengumpulkan data penting, tetapi informasi itu masih tersebar dan tidak terintegrasi.
Tugas utama pemerintah adalah menyatukan data tersebut dalam sistem yang dapat diakses lintas lembaga, lalu memastikan ringkasannya sampai ke Presiden tanpa jeda.
Dua, memperkuat fungsi penasihat Presiden yang bersifat independen, bukan dengan membentuk lembaga baru, melainkan dengan mengoptimalkan mekanisme yang sudah ada seperti Kantor Staf Presiden atau Dewan Pertimbangan Presiden.
Yang diperlukan adalah memastikan kursi di dalamnya ditempati oleh sosok dengan keahlian teruji, bukan sekadar representasi politik.
Pada kenyataannya, pemerintah sudah memiliki segambreng unit dan lembaga pengumpul informasi, mulai dari kementerian teknis, lembaga survei, hingga badan intelijen.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah semua informasi itu benar-benar sampai ke
end user
, yaitu pejabat yang berwenang mengambil keputusan, atau justru berhenti di lapisan birokrasi menengah yang menyaring sesuai kepentingannya?
Tiga, membangun saluran aspirasi publik yang sederhana dan fungsional. Alih-alih membuat portal baru yang berisiko mandek, pemerintah dapat memaksimalkan kanal pengaduan yang sudah ada seperti SP4N-LAPOR! dengan kewajiban agar ringkasan keluhan utama disampaikan langsung dalam rapat kabinet mingguan.
Cara ini lebih mudah diterapkan daripada menciptakan sistem baru yang justru kompleks.
Selama ini, saluran semacam itu justru sering terabaikan. Tidak jelas apakah situs-situs pengaduan benar-benar dimanfaatkan sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah, atau sekadar dijadikan formalitas belaka.
Tanpa mekanisme yang memastikan keluhan sampai ke pengambil kebijakan, kanal tersebut hanya menjadi etalase digital yang menghabiskan anggaran tanpa daya guna.
Empat, menumbuhkan budaya birokrasi yang berani menyampaikan kabar buruk. Perubahan budaya tentu tidak bisa instan, tetapi dapat dimulai dengan memberi perlindungan bagi pejabat menengah yang berani melaporkan informasi tidak populer.
Dengan perlindungan itu, informasi yang sampai ke pucuk pimpinan tidak hanya berupa kabar baik, tetapi juga peringatan dini yang penting bahkan genting.
Masalahnya, birokrasi kita tidak terbiasa menghadapi risiko, tidak terbiasa membicarakan skenario terburuk, dan tidak terbiasa menyusun langkah antisipasi sejak dini.
Kalaupun dibahas, percakapan itu biasanya berlangsung terbatas di ruang internal, tidak melibatkan masyarakat sebagai pihak yang paling terdampak.
Padahal, mengenali risiko justru penting agar dampak yang lebih buruk dapat dicegah. Ketiadaan tradisi ini membuat perangkat antisipatif kita minim dan rapuh ketika berhadapan dengan guncangan besar.
Maka jangan berharap Indonesia bisa seketika meniru Jepang atau negara lain yang telah membangun
early warning system
yang mumpuni.
Untuk sampai ke sana, keberanian menyampaikan kabar buruk, baik di dalam birokrasi maupun secara terbuka kepada rakyat, harus lebih dulu menjadi budaya.
Jika kita bicara apa adanya, perangkat apa yang tidak dimiliki pemerintah untuk menghimpun informasi? Semuanya sesungguhnya sudah dimiliki.
Pemerintah memiliki berlapis instrumen yang mampu menangkap data dari masyarakat, lembaga riset, hingga teknologi digital yang semakin canggih. Tidak ada alasan bagi negara modern untuk merasa terisolasi dari arus informasi.
Tantangannya justru terletak pada bagaimana informasi itu dikelola dan disampaikan. Lingkaran terdekat pemimpin bisa menjadi jembatan yang memperlancar, tetapi juga berpotensi menjadi tembok yang menahan.
Di titik inilah ujian kepemimpinan sesungguhnya, apakah Presiden mendapatkan gambaran utuh dari realitas rakyat, atau hanya versi yang telah dipilah-pilah oleh lingkaran dalamnya.
Terakhir, wacana pembatasan satu orang satu akun media sosial, misalnya, mudah dianggap publik sebagai upaya membatasi kebebasan berekspresi.
Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan semacam itu justru berisiko menurunkan kepercayaan dan memicu resistensi.
Dalam hal ini, pemerintah perlu juga berhati-hati atas rencana penerapan kebijakan tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: korupsi
-
/data/photo/2025/01/23/6791fccb4af7a.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya Nasional
-

Istana Minta Maaf atas Keracunan MBG, Presiden Prabowo Didesak untuk Lakukan Evaluasi
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Meskipun pihak istana telah meminta maaf, Mantan Sekretaris BUMN, Muhammad Said Didu, meminta Presiden Prabowo Subianto agar mengevaluasi program MBG.
Seperti diketahui, belakangan ini program MBG terus diterpa kabar miring dengan banyaknya pelajar yang keracunan.
“Bapak Presiden Prabowo, sekali lagi mohon pertimbangkan untuk evaluasi program MBG ini,” ujar Said Didu di X @msaid_didu (20/9/2025).
Alasannya pria kelahiran Kabupaten Pinrang ini cukup masuk akal, ia menganggap bahwa program unggulan Presiden itu menelan terlalu banyak anggaran.
“Karena habiskan anggaran sangat besar dan makan gratis bukan kebutuhan nyata seluruh rakyat,” sebutnya.
Bukan hanya itu, kata Said Didu, ia juga menekankan bahwa MBG sangat rawan disabotase oleh pihak tertentu yang ingin mendapatkan keuntungan.
“Bisa saja kerucunan adalah sabotase, rawan korupsi,” tandasnya.
Sebelumnya, Program MBG sejatinya sejalan dengan visi Indonesia 2045 yang menargetkan lahirnya generasi emas yang mampu membawa Indonesia masuk ke jajaran negara maju.
Namun dalam pelaksanaannya masih banyak kendala bahkan berakhir petaka.
Terjadi keracunan di berbagai daerah usai menyantap makanan MBG. Kasus terbaru terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.
Dilaporkan, sebanyak 157 siswa dari tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK di wilayah Kota Salakan, mengalami keracunan massal usai mengonsumsi Makanan Bergizi Gratis (MBG) pada Rabu (17/9/2025).
Para siswa dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Trikora Salakan dengan keluhan utama berupa mual, muntah, sesak napas, gatal-gatal, dan kram perut.
-

Peras Khalid Basalamah, Oknum Kemenag Minta 2.400-7.000 USD Per Orang untuk Haji Khusus Tanpa Antre
GELORA.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan, biaya percepatan haji khusus yang langsung berangkat di tahun yang sama saat mendaftar rata-rata sebesar 2.400-7.000 dollar Amerika Serikat (AS).
Hal tersebut disampaikan Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat menyinggung pemerasan oleh oknum Kementerian Agama (Kemenag) kepada Khalid Zeed Abdullah Basalamah untuk percepatan haji khusus 2024.
“Oknum dari Kemenag ini kemudian menyampaikan, ‘Ya, ini juga berangkat di tahun ini, tapi harus ada uang percepatan.’ Nah, diberikanlah uang percepatan, kalau tidak salah itu, 2.400 per kuota, 2.400 USD, seperti itu,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
“Kan range-nya macam-macam, ada yang 2.400 sampai dengan 7.000 USD per kuota,” sambungnya.
Asep mengatakan, Khalid mengumpulkan uang tersebut dari sekitar 122 calon jemaah untuk diserahkan kepada oknum Kemenag tersebut.
Khalid dipaksa menyetorkan sejumlah uang setelah oknum tersebut menjanjikan jemaahnya bisa langsung berangkat haji khusus meski baru mendaftar.
“Jadi itu (uang yang diserahkan Khalid ke KPK) sebetulnya bukan suap. Karena inisiatifnya dari si oknum (Kemenag) itu. ‘Kamu kalau mau berangkat tahun ini, bayar dong uang percepatannya’. Itu sudah memeras,” kata Asep.
Baca juga: Peras Khalid Basalamah, Oknum Kemenag Minta 2.400-7.000 USD Per Orang untuk Haji Khusus Tanpa Antre
“Nah, mereka berangkat nih, berangkat haji. Tahun itu juga, benar seperti yang dijelaskan oleh si oknum tersebut,” ujarnya.
Namun, kata Asep, uang tersebut dikembalikan kepada Khalid Basalamah karena oknum Kemenag itu ketakutan setelah DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Haji.
“Kemudian dikembalikanlah uang itu, yang tadi sudah diserahkan sebagai uang percepatan itu (haji khusus), diserahkanlah kembali ke Ustaz Khalid Basalamah,” tuturnya.
Asep mengatakan, uang tersebutlah yang disita KPK dari Khalid Basalamah sebagai barang bukti dalam perkara pembagian kuota haji 2024.
Baca juga: KPK Sebut Ustaz Khalid Basalamah Diperas Oknum Kemenag dengan Modus Uang Percepatan Haji Khusus
“Uang itulah yang kemudian dalam proses penyidikan, penyidik sita dari Ustaz Khalid Basalamah sebagai bukti bahwa memang di dalam pembagian kuota ini ada sejumlah uang yang diminta oleh oknum dari Kemenag,” ucap dia.
Penyidikan KPK
Diketahui, KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dalam perkara ini, KPK menduga terdapat penyelewengan dalam pembagian 20.000 kuota tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.
Dengan demikian, 20.000 kuota tambahan haji itu harusnya dibagi menjadi 18.400 atau setara 92 persen untuk haji reguler dan 1.600 atau setara 8 persen untuk haji khusus.
Baca juga: Oknum Kemenag Tawarkan Kuota Haji Khusus 2024 ke Khalid Basalamah, tetapi Minta Uang Percepatan
Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilakukan oleh Kementerian Agama.
“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ujar Asep.
“Jadi kan berbeda, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” imbuh dia.
KPK menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun.
KPK pun sudah mencegah 3 orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
-
/data/photo/2025/09/18/68cbef0b657b5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kelangkaan BBM di SPBU Swasta, Konsumen Terpaksa Cari Alternatif Lain Megapolitan 19 September 2025
Kelangkaan BBM di SPBU Swasta, Konsumen Terpaksa Cari Alternatif Lain
Tim Redaksi
TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com –
Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta, seperti Shell dan Vivo, membuat konsumen setia terpaksa beralih ke SPBU milik Pertamina.
Salah satunya dialami Umam (28), warga Tangerang Selatan. Ia mengaku selalu menggunakan BBM nonsubsidi Shell untuk kendaraan roda duanya.
Namun, dalam dua minggu terakhir, ia terpaksa beralih ke Pertamina karena kesulitan mendapatkan stok Shell.
“Terakhir kali ngisi di Shell minggu lalu, tapi sekarang sudah kosong,” ujar Umam kepada
Kompas.com,
Jumat (19/9/2025).
Umam yang biasa menggunakan Shell V-Power kini beralih ke Pertamax Turbo.
“Akhirnya saya isi Pertamax Turbo di Pertamina. Sebenarnya tetap pilih Shell karena lebih bersih ya, tapi ya sekarang lagi kosong, terpaksa isi di Pertamina,” katanya.
Hal serupa dirasakan Desi (35), warga Ciputat, yang sudah enam bulan terakhir menjadi pelanggan Shell. Kelangkaan memaksanya kembali ke Pertamina, meski ia mengaku masih menyimpan rasa khawatir.
“Sementara ini beralih ke Pertamax, tapi ada sedikit kekhawatiran karena sebelumnya sempat dengar isu BBM oplosan,” ujarnya.
Desi menuturkan, ia sebelumnya merupakan pengguna Pertamina. Namun, kasus korupsi di Pertamina pada awal tahun membuat kepercayaannya luntur sehingga ia beralih ke Shell.
Kini, ia berharap pasokan BBM di SPBU swasta bisa segera normal kembali.
“Kalau bisa sih jangan sampai kosong. Saya tetap lebih cocok pakai Shell,” kata Desi.
“Saya lihat di Depok ada yang jualan snack, di sini ada yang jual kopi. Mudah-mudahan bisa bangkit lagi Shell-nya, kasihan karyawannya,” lanjut dia.
Sandro, warga Jakarta, juga mengaku awalnya berpindah ke SPBU swasta setelah kasus dugaan oplosan Pertamax mencuat pada Februari 2025.
Menurut dia, konsumen BBM nonsubsidi menginginkan kualitas bahan bakar yang lebih baik sebanding dengan harga lebih tinggi.
“Ini kan soal kepercayaan. Saya beli BBM tanpa subsidi, berharap dapat kualitas untuk jangka panjang mesin kendaraan. Sementara konsumen enggak bisa ngecek gimana kualitas BBM yang masuk ke tangki mobil,” ucap Sandro.
Ia menilai, pemerintah bersama Pertamina perlu memperbaiki mutu dan pelayanan di SPBU agar bisa menarik kembali konsumen.
“Konsumen pasti senang dilayani dengan ramah, apalagi sampai dibersihkan kaca mobilnya. Bahkan sampai ditanya, ‘ada yang bisa saya bantu lagi?’ Sederhana, tapi buat konsumen senang,” tambahnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Dirut Pertamina Akui Masyarakat Berpaling ke BBM Swasta Imbas Kasus Korupsi
Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri blak-blakan mengakui dampak dari kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di BUMN tersebut terhadap keputusan masyarakat untuk beralih ke SPBU swasta.
Sebagaimana diketahui, kelangkaan BBM di SPBU swasta belakangan ini menuai polemik. Sejalan dengan hal tersebut, Pertamina menjadi sorotan dan dituding melakukan monopoli di tengah skandal rasuah yang merugikan keuangan negara sekitar Rp193 triliun.
Simon mengatakan telah berkomunikasi dengan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengenai kelangkaan BBM di SPBU swasta itu. Dia pun mengakui kelangkaan itu menjadi sorotan karena masyarakat banyak beralih ke BBM swasta akibat skandal yang mencoreng nama Pertamina. Perseroan pun turut prihatin dengan skandal tersebut.
“Saya juga tentunya merasa dengan rendah hati menyampaikan bahwa dengan adanya kasus ini tentunya juga kepercayaan masyarakat kepada Pertamina menurun. Nah itu tentunya juga adalah PR besar bagi Pertamina kita harus kerja keras untuk kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat,” terangnya sesaat sebelum menghadiri rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Ke depan, Simon menilai terdapat beberapa pekerjaan rumah untuk perseroan yang dipimpinnya. Salah satunya perbaikan tata kelola dengan mengedepankan transparansi. Khususnya, setelah masyarakat kecewa dan beralih ke SPBU swasta.
“Nah tentunya dengan masyarakat yang kecewa terhadap kasus ini sebagian dari masyarakat akhirnya ada juga yang beralih ke SPBU swasta itu adalah pilihan juga dari masyarakat. Kami juga tidak bisa tentunya melarang karena ini adalah pilihan yang nantinya akan kembali lagi kepada masyarakat,” paparnya.
Di sisi lain, lanjut Simon, Pertamina juga telah menyepakati titik temu dengan distributor swasta terkait dengan penambahan alokasi kuota impor BBM. Caranya dengan memberikan SPBU swasta base fuel, atau bahan bakar murni yang belum dicampur dengan aditif. Nantinya, base fuel itu bisa diproses lebih lanjut oleh SPBU swasta.
Setelahnya, Simon menyebut akan menyerahkan strategi SPBU swasta dalam menetapkan resep masing-masing guna mendorong kualitas dan mutu BBM untuk masyarakat.
“Saya atas nama Pertamina, kami tentunya akan terus kerja keras juga supaya dapat menghasilkan produk-produk yang lebih berkualitas dan tentunya yang bisa mendapat dukungan dari masyarakat,” jelasnya.
-
/data/photo/2024/01/31/65b9ba75260e0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Diminta Tak Ragu untuk Tetapkan Tersangka Kasus Kuota Haji 2024 Nasional 19 September 2025
KPK Diminta Tak Ragu untuk Tetapkan Tersangka Kasus Kuota Haji 2024
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Komisi III DPR Abdullah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ragu dalam menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi kuota haji 2024.
Ia mengatakan, ibadah haji menyangkut kepentingan jutaan umat Islam, sehingga kasus ini jangan dibiarkan berlarut-larut dan harus segera dituntaskan.
“Kalau kasus ini sudah masuk tahap penyidikan, maka KPK tidak boleh ragu. Harus segera menetapkan tersangka agar proses hukum berjalan sesuai aturan, dan publik bisa mengetahui siapa saja yang bertanggung jawab,” ujar Abdullah dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/9/2025).
Tegasnya, korupsi kuota haji pada 2024 itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap umat Islam di Indonesia.
Baik pejabat pemerintahan maupun swasta yang terbukti terlibat dalam korupsi tersebut harus ditindak tegas.
“KPK tidak boleh ada yang ditutup-tutupi, dan tidak boleh ada yang dilindungi. Semua harus diproses secara hukum,” ujar Abdullah.
Penyelesaian kasus kuota haji ini, kata Abdullah, menjadi ujian KPK dalam menjaga kredibilitasnya di bidang pemberantasan korupsi.
Apalagi kasus kuota haji telah menyedot perhatian luas masyarakat, khususnya para calon jamaah haji yang merasa dirugikan.
“Korupsi kuota haji bukan sekadar tindak pidana biasa, melainkan kejahatan yang merampas hak umat untuk beribadah. Karena itu, semua pihak harus mendukung KPK. Jangan sampai ada pihak yang mencoba melindungi pelaku dengan alasan apapun,” ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Sebagai informasi, berdasarkan Pasal 64 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.
Adapun pada 2024, Indonesia mendapatkan kuota tambahan ibadah haji sebanyak 20.000 dari Pemerintah Arab Saudi.
Sehingga dari kuota tambahan sebanyak 20.000 itu, seharusnya dibagi menjadi 18.400 atau setara 92 persen untuk haji reguler. Lalu, 1.600 atau setara 8 persen untuk haji khusus.
Namun faktanya pada 2024, persentasenya dibagi 50:50, menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus yang diteken lewat Surat Keputusan (SK) Menteri.
Dalam kasus ini, KPK menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengatur tentang tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pasal ini menjerat perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang mengakibatkan kerugian negara lebih dari Rp 1 triliun.
KPK juga telah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Fitch Ungkap Prospek Ekonomi Nepal Setelah Chaos, Ini Ramalannya
Jakarta, CNBC Indonesia – Kerusuhan sosial baru-baru ini di Nepal telah meningkatkan risiko terhadap prospek ekonomi dan fiskal negara tersebut. Hal ini disampaikan perusahaan pemeringkat Fitch, Jumat (19/9/2025).
“Ketenangan telah kembali, namun kami yakin kekerasan telah mengurangi prospek pertumbuhan jangka pendek dengan membatasi aktivitas ekonomi normal, dan merugikan kepercayaan konsumen dan bisnis,” kata Fitch, dilansir Reuters.
Sebelumnya, demonstrasi besar yang dipimpin oleh Gen Z terjadi di Nepal. Ini dipicu oleh dua isu utama, korupsi yang merajalela dan pemblokiran media sosial oleh pemerintah.
Sebagian besar anak muda Nepal merasa frustrasi dengan praktik nepotisme dan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat. Unggahan media sosial yang menampilkan gaya hidup mewah anak-anak pejabat di tengah kesulitan ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran menjadi pemicu kemarahan.
Pemicu langsung yang menyulut protes adalah keputusan pemerintah pada 4 September 2025 untuk memblokir puluhan platform media sosial populer, termasuk Facebook, Instagram, YouTube, dan X. Pemerintah beralasan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak terdaftar secara resmi di Kementerian Komunikasi.
Bagi Gen Z yang sangat bergantung pada media sosial sebagai alat komunikasi, sumber informasi, dan ekspresi diri, pemblokiran ini dianggap sebagai tindakan pembungkaman dan pelanggaran kebebasan berekspresi. Slogan-slogan seperti “Tutupi korupsi, jangan media sosial” menjadi seruan utama para demonstran.
Gerakan ini, yang sering disebut sebagai “Revolusi Gen Z”, dengan cepat menyebar dan menggalang massa melalui platform digital yang tersisa seperti TikTok dan Viber. Meskipun banyak platform besar diblokir, kreativitas Gen Z dalam memanfaatkan platform lain menunjukkan kecanggihan mereka dalam mobilisasi massa.
Protes yang awalnya damai dan dipimpin oleh para pelajar di Kathmandu dengan cepat berubah menjadi kekerasan ketika massa yang frustrasi menyerang simbol-simbol pemerintahan dan kekuasaan. Kekerasan tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka, serta perusakan properti publik.
Demonstrasi Gen Z ini berhasil mencapai hasil yang signifikan dalam waktu singkat. Tekanan publik yang masif memaksa Perdana Menteri K.P. Sharma Oli untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Selain itu, tuntutan utama para demonstran terpenuhi: pemerintah mencabut larangan media sosial yang telah diberlakukan. Pencabutan ini mengembalikan akses kebebasan digital bagi jutaan warga Nepal dan menjadi salah satu capaian paling nyata dari gerakan tersebut.
Namun, terlepas dari keberhasilan ini, protes juga meninggalkan jejak kerusakan fisik, seperti terbakarnya gedung parlemen, kantor perdana menteri, dan rumah-rumah politisi, yang menunjukkan tingkat kemarahan massa yang tidak terbendung.
Saat ini, keadaan di Nepal cenderung lebih tenang. Larangan media sosial telah dicabut dan pemerintah sementara telah dibentuk. Perdana Menteri yang baru dilantik menghadapi tugas berat untuk memulihkan stabilitas politik dan ekonomi.
Pemerintah juga sedang berusaha untuk meredam kemarahan publik dengan berjanji akan memberikan kompensasi kepada keluarga korban dan membentuk tim investigasi untuk menyelidiki insiden kekerasan.
(tps/luc)
[Gambas:Video CNBC]
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5355425/original/005951800_1758325447-WhatsApp_Image_2025-09-20_at_05.41.42.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

