Kasus: korupsi

  • MA Anulir Vonis Lepas Korupsi CPO, Wilmar Cs Harus Bayar Rp17,7 T

    MA Anulir Vonis Lepas Korupsi CPO, Wilmar Cs Harus Bayar Rp17,7 T

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait vonis lepas atas perkara korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO/ minyak sawit mentah) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022.

    Sebelumnya, 5 orang terdakwa telah divonis hukum penjara atas perkara tersebut. Kemudian, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 3 perusahaan, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka korporasi atas perkara ini.

    Dikutip dari keterangan di situs resmi Kejagung, saat itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaannya menilai Terdakwa Wilmar Group bersama Terdakwa Permata Hijau Group dan Terdakwa Musim Mas Group terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Udang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Primair.

    JPU dalam tuntutannya lalu meminta Majelis Hakim menjatuhkan pidana denda masing-masing terdakwa korporasi sebesar Rp1 miliar. Kepada Terdakwa Wilmar Group, JPU menuntut pidana tambahan berupa pembayaran Uang Pengganti (UP) atas kerugian perekonomian negara sebesar Rp11.880.351.802.619. Lalu kepada Musim Mas Group Rp4,89 triliun, dan Rp937,558 miliar kepada Permata Hijau Group.

    Namun dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) PN Jakarta Pusat kala itu (19 Maret 2025) memutuskan, korporasi terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Tapi tidak menganggap perbuatan itu suatu tindak pidana.

    Hingga kemudian, pada 13 April 2025, Kejagung menyatakan, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) M Arif Nuryanta (MAN) diduga menerima suap Rp60 miliar untuk mengatur putusan lepas dalam perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) dengan terdakwa korporasi.

    Sementara itu, JPU kemudian mengajukan kasasi atas putusan tersebut. Tercatat di situs resmi Mahkamah Agung, tanggal Diterima Kepaniteraan MA atas kasasi ini adalah Rabu, 30 April 2025, untuk perkara terdakwa PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Musim Mas (d.h. PT Perindustrian dan Perdagangan Musim Semi Mas / PT Musim Semi Mas), dengan

    Sedangkan untuk terdakwa PT Nagamas Palmoil Lestari (Permata Hijau Group) tanggal Diterima Kepaniteraan MA adalah pada Jumat, 2 Mei 2025.

    Foto: Putusan MA atas Kasasi JPU terkait Vonis Lepas terkait kasus dugaan korupsi minyak goreng oleh PT Wilmar Nabati Indonesia. (Tangkapan Layar Mahkamah Agung)
    Putusan MA atas Kasasi JPU terkait Vonis Lepas terkait kasus dugaan korupsi minyak goreng oleh PT Wilmar Nabati Indonesia. (Tangkapan Layar Mahkamah Agung)Putusan MA

    Ketua Majelis dalam Putusan MA ini adalah Dengan Ketua Majelis Dwiarso Budi Santiarto.

    “Amar Putusan: Kabul
    JPU=Kabul, Batal JF (batal judex factie, membatalkan putusan: PN atau Pengadilan Tinggi), Adili Sendiri, Terbukti Passal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU TPK,” demikian petikan Putusan MA tertanggal 15 September 2025 itu.

    Ketiga perusahaan diputus harus membayar uang pengganti sebesar Rp17.708.848.926.661,40.

    Putusan itu menetapkan para terdakwa membayar denda masing-masing Rp1 miliar. Jika tidak dibayar, maka harta benda terdakwa disita dan dilelang untuk menutupi denda tersebut.

    Apabila harta benda itu tidak mencukupi ungtuk membayar denda, maka harta Personal Pengendali dapat disita dan dilelang untuk menutupi pidana denda tersebut.

    Wilmar diputus membayar uang pengganti senilai Rp11.880.351.801.176,11. Berasal dari keuntungan yang tidak sah Rp1.693.219.880.621, kerugian keuangan negara Rp1.658.195.109.817,11 serta kerugian sektor usaha dan rumah tangga Rp8.528.936.810.738.

    Sedangkan PT Musim Mas harus membayar uang pengganti berupa keuntungan yang tidak sah Rp626.630.516.604, kerugian keuangan negara Rp1.107.900.841.612,08, kerugian sektor usaha dan rumah tangga Rp3.156.407.585.578 dengan total sejumlah Rp4.890.938.943.794,08 dikompensasikan dengan uang yang dititipkan oleh para terdakwa kepada RPL Jampidsus sebesar Rp1.188.461.774.662,2 untuk selanjutnya disetorkan ke kas negara.

    “Selanjutnya disetorkan kepada Kasa Negara dengan kekurangannya diperhitungkan dengan aset-asetnya yang telah disita dan dilelang. Apabila tidak mencukupi membayar, harta benda personal pengendali dilakukan penyitaan untuk dilelang. Apabila masih belum mencukupi, diganti pidana penjara masing-masing 10 tahun,” demikian petikan putusan atas PT Musim Mas.

    Sementara, terdakwa PT Nagamas Palmoil Lestari yang merupakan bagian dari Permata Hijau Group harus bayar uang pengganti sebesar Rp937.558.181.691,26. Yaitu dari keuntungan yang tidak sah Rp124.418.318.216, kerugian keuangan negara Rp186.430.960.865,26, kerugian sektor usaha dan rumah tangga Rp626.708.902.610. Dengan total sejumlah Rp 937.558.181.691,26.

    “Untuk selanjutnya disetorkan kepada kas negara dan kekurangannya diperhitungkan dengan aset-asetnya yang telah disita untuk dilelang. Apabila tidak mencukupi membayar, harta benda personal pengendali dilakukan penyitaan untuk dilelang. Apabila masih belum mencukupi, diganti pidana penjara selama 3 tahun,” bunyi putusan atas PT Nagamas Palmoil Lestari.

    (dce/dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ahli Sebut Abolisi Tom Lembong Tak Sesuai Teori Hukum, Harusnya Semua Terdakwa Ikut Ditiadakan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 September 2025

    Ahli Sebut Abolisi Tom Lembong Tak Sesuai Teori Hukum, Harusnya Semua Terdakwa Ikut Ditiadakan Nasional 26 September 2025

    Ahli Sebut Abolisi Tom Lembong Tak Sesuai Teori Hukum, Harusnya Semua Terdakwa Ikut Ditiadakan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ahli Hukum Pidana dari Universitas Riau, Erdianto, menilai pemberian abolisi terhadap eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong berbeda dengan teori hukum.
    Hal ini disampaikan Erdianto ketika dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan kasus korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag).
    “Jadi, secara teori hukum pidana, kalau pelaku utama unsur perbuatan melawan hukumnya sudah ditiadakan, dianggap tidak ada, maka (pelaku) turut serta juga kebawa (juga dianggap tidak ada)?” tanya Kuasa Hukum dari Direktur PT Angels Products, Tony Wijaya, Hotman Paris, dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (26/9/2025).
    Erdianto mengatakan, berdasarkan teori hukum, pemberian abolisi akan menghapus proses dan akibat hukum yang ditimbulkannya.
    Hal ini berlaku bagi seluruh pelaku tindak pidana pada kasus yang diberikan abolisi.
    Namun, Erdianto menilai, abolisi yang diterima Tom berbeda dengan teori hukum pada umumnya.
    “Kalau secara umum, ya (turut serta ikut ditiadakan). Tapi, dalam kasus Tom Lembong beda,” jawab Erdianto.
    Ia menilai, isi surat Keputusan Presiden (Keppres) Prabowo Subianto keliru dalam mengartikan konsep abolisi.
    Ia menegaskan, secara teori, abolisi menghapuskan perbuatan, bukan tindakan perorangan.
    “Secara teori, harusnya abolisi itu menghapus perbuatan. Tapi, dalam kasus Tom Lembong, yang dihapuskan itu adalah penuntutan terhadap Tom Lembong saja, terbatas pada Tom Lembong. Kelirunya di keputusan Presiden tentang abolisi,” kata Erdianto lagi.
    Ia menilai, jika presiden hendak memaafkan seorang pelaku tertentu, harusnya yang diberikan adalah amnesti, bukan abolisi.
    “Secara teori, kalau amnesti itu memaafkan pelaku. Kalau abolisi, itu sebetulnya menghapuskan perbuatan. Pada prinsipnya seperti itu,” katanya lagi.
    Diketahui, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Keppres nomor 18 pada 1 Agustus 2025 lalu.
    “Yang pada pokoknya, isinya segala proses hukum dan akibat hukumnya untuk khusus Pak Tom Lembong ditiadakan. Isinya simpel seperti itu,” ujar Direktur Penuntutan Jampidsus Kejaksaan Agung, Sutikno, saat ditemui di kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (1/8/2025).
    Keppres ini hanya memuat nama satu orang, yaitu Tom Lembong.
    “Untuk satu orang. Jadi, kalau di Keppres nomor 18 tahun 2025 ini hanya untuk Pak Thomas Trikasih Lembong,” kata Sutikno lagi.
    Dalam kasus ini, sembilan terdakwa dari korporasi ini diduga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar.
    Awalnya, Eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong menjadi salah satu terdakwa dalam kasus ini.
    Setelah proses persidangan bergulir, Tom dijatuhkan vonis oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan pidana 4,5 tahun penjara.
    Namun, Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom, dan Tom pun bebas pada 1 Agustus 2025.
    Abolisi yang diterima Tom ini menghapus proses hukum dan akibat hukum atas perbuatannya.
    Saat ini, diketahui ada 10 terdakwa lain yang juga diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
    Satu terdakwa telah divonis bersalah oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Ia adalah Mantan Direktur PT PPI, Charles Sitorus, yang dihukum 4 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
    Sementara itu, ada sembilan terdakwa dari pihak korporasi yang masih menjalani proses persidangan.
    Para terdakwa ini antara lain Direktur Utama (Dirut) PT Angels Products, Tony Wijaya NG; Direktur PT Makassar Tene, Then Surianto Eka Prasetyo; Direktur Utama PT Sentra Usahatama Jaya, Hansen Setiawan; Direktur Utama PT Medan Sugar Industry, Indra Suryaningrat; Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama, Eka Sapanca; dan Presiden Direktur PT Andalan Furnindo, Wisnu Hendraningrat; kemudian Kuasa Direksi PT Duta Sugar International, Hendrogiarto A. Tiwow; Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur, Hans Falita Hutama; dan Direktur PT Kebun Tebu Mas, Ali Sandjaja Boedidarmo.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Geledah Rumah Gubernur Kalbar Ria Norsan Terkait Kasus Korupsi Jalan

    KPK Geledah Rumah Gubernur Kalbar Ria Norsan Terkait Kasus Korupsi Jalan

    Jakarta

    KPK menggeledah rumah dinas dan rumah pribadi Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Ria Norsan (RN). Penggeledahan dilakukan terkait kasus dugaan korupsi proyek jalan pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Mempawah.

    “Benar, bahwa dalam pekan ini Penyidik melakukan kegiatan penggeledahan di rumah dinas Bupati Mempawah, rumah dinas Gubernur Kalimantan Barat, dan rumah pribadi saudara RN,” kata Jubir KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Jumat (26/9/2025).

    Penggeledahan rumah dinas Ria dilakukan sejak Rabu (24/9) hingga Kamis (25/9). Penggeledahan dilakukan untuk mencari bukti di kasus ini.

    “Kegiatan-kegiatan penggeledahan tersebut dilakukan penyidik untuk mencari petunjuk yang dibutuhkan guna mengungkap perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek pembangunan jalan di wilayah Kabupaten Mempawah,” ujarnya.

    Namun, dia belum menjelaskan barang bukti apa saja yang diamankan dari penggeledahan itu. Budi menyebut penyidik melanjutkan pemeriksaan sejumlah saksi di Polda Kalimantan Barat (Kalbar).

    Diketahui, sudah ada tiga tersangka dalam kasus ini. Namun, identitas para tersangka belum diungkap.

    “Dalam perkara ini KPK juga sudah menetapkan pihak-pihak sebagai tersangkanya dan tentu nanti kami akan update secara lengkap siapa-siapa saja yang sudah ditetapkan sebagai tersangka,” ucap Budi pada Senin (25/8) lalu.

    (ial/haf)

  • KPK Akan Mulai Penyidikan Makanan Cegah Stunting Meski Belum Ada Tersangka
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 September 2025

    KPK Akan Mulai Penyidikan Makanan Cegah Stunting Meski Belum Ada Tersangka Nasional 26 September 2025

    KPK Akan Mulai Penyidikan Makanan Cegah Stunting Meski Belum Ada Tersangka
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pencegah
    stunting
    untuk balita dan ibu hamil di Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
    “Rencananya sprindik umum. Rencana itu. Kenapa sprindik umum? Begini, jadi kita di beberapa perkara kita digugat praperadilannya,” kata Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (25/9/2025).
    Sprindik umum berarti penyidikan tanpa didahului penetapan tersangka terlebih dahulu. KPK mengatakan, sprindik umum ini diterbitkan untuk menghindari adanya gugatan praperadilan.
    Asep mengatakan, gugatan praperadilan biasanya diajukan oleh para tersangka dengan alasan belum pernah diperiksa KPK.
    Karenanya, kata dia, sprindik umum menjadi jalan keluar agar KPK bisa mendalami perbuatan tersangka dan melakukan upaya paksa lainnya.
    “Keuntungan dengan sprindik umum adalah kita juga bisa melakukan upaya paksa tadi. Bisa melakukan penggeledahan, penyitaan, di mana itu tidak bisa dilakukan pada saat penyelidikan. Sehingga penentuan terhadap tersangkanya itu menjadi lebih kuat,” ujarnya.
    Sebelumnya sekitar dua bulan lalu, KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi pengadaan PMT untuk balita dan ibu hamil di Kemenkes.
    “Tindak pidana korupsi terkait itu masih lidik,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, 17 Juli 2025 lalu.
    Namun, Asep belum merinci soal penyelidikan tersebut karena pelaksanaannya biasanya dilakukan secara tertutup sampai ke tahap penyidikan.
    Akan tetapi, berdasarkan informasi yang dihimpun, penyelidikan dilaksanakan sejak awal tahun 2024, sementara itu dugaan korupsi PMT itu diduga terjadi pada 2016-2020.

    Clue
    -nya adalah (terkait pengadaan) makanan bayi dan ibu hamil,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hampir 6.000 Siswa Keracunan, Pengamat Desak Program MBG Disetop Sementara

    Hampir 6.000 Siswa Keracunan, Pengamat Desak Program MBG Disetop Sementara

    Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) harus dihentikan agar pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh.

    Managing Partner PH&H Public Policy Interest Group itu menegaskan pemerintah jangan memaksakan program MBG tetap berjalan di tengah carut-marut yang sedang terjadi, khususnya insiden keracunan massal di berbagai daerah. 

    “Menurut saya, [MBG] harus segera dihentikan untuk dievaluasi. Setelah kita tahu sebabnya apa, diperbaiki, baru dilanjutkan. Jangan dipaksakan,” ucap Agus kepada Bisnis, Kamis (25/9/2025).

    Mengacu data dari Badan Gizi Nasional (BGN), tercatat 46 kasus dengan 5.080 penderita per 17 September 2025. Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat ada 60 kasus dengan 5.207 penderita per 16 September 2025.

    Adapun, BPOM melaporkan 55 kasus dengan 5.320 penderita per 10 September 2025. Di sisi lain, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) melaporkan angka 5.626 kasus keracunan makanan di puluhan kota dan kabupaten di 17 provinsi akibat MBG.

    Agus menjelaskan pelaksanaan MBG belum memiliki underlying yang jelas. Apalagi, katanya, BPOM tidak dilibatkan padahal memegang peran penting dalam menjaga keselamatan dan keamanan pangan.
     
    Dia juga menyoroti tim-tim program MBG yang dinilai belum sepenuhnya kompeten dan  beberapa diantaranya belum memiliki pengalaman yang mumpuni. Baginya setiap makanan yang akan disalurkan harus dicek oleh pihak BPOM.

    Agus merasa program ini hanya digunakan untuk mencari keuntungan semata bagi beberapa pihak sehingga rawan terjadinya tindak pidana korupsi. Padahal menurutnya program ini strategis untuk mempersiapkan Indonesia emas 2045.

    “Program ini adalah program mempersiapkan anak-anak Indonesia bisa siap di tahun emas 2045. Jadi tolong jangan dikorupsi, jangan cari untung di situ,” tegasnya

    Tak hanya itu, Agus merasa khawatir kalau sewaktu-waktu keracunan MBG bisa berujung jatuhnya korban jiwa.

    Di sisi lain, Kepala BPOM Taruna Ikrar menyampaikan BPOM sudah mengambil sampel MBG di beberapa daerah untuk diuji di laboratorium.

    “BPOM melakukan monitoring insiden pangan sehingga dapat menyampaikan rekomendasi perbaikan kepada BGN. Di beberapa daerah kejadian insiden pangan sudah dilakukan pengujian,” katanya kepada Bisnis melalui keterangan tertulis, Kamis (25/9/2025).

    Hasil uji lab akan dikirim ke Badan Gizi Nasional (BGN) untuk ditindaklanjuti sebagai langkah evaluasi program MBG. Nantinya pengumuman hasil lab disampaikan oleh BGN.

    Namun, BPOM tidak mendetail daerah mana saja yang telah dimonitor dan pengambilan sampel makanan MBG. Taruna menjelaskan BPOM telah mengambil peran dalam pelaksanaan MBG seperti pelatihan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI).

    Taruna juga mengaku bahwa BPOM membantu pengolahan makanan yang menjadi menu MBG.

    “Terkait dengan peran dalam program MBG, BPOM dilibatkan dalam pelatihan SPPI dan pengolah makanan utk meningkatkan kompetensi petugas dalam mengolah pangan. BPOM juga melakukan pengujian sampel insiden pangan, apabila diminta oleh BGN,” tuturnya.

  • Kejagung Geledah Kantor PT Saka Energi Indonesia Terkait Kasus Korupsi Akuisisi Blok Migas

    Kejagung Geledah Kantor PT Saka Energi Indonesia Terkait Kasus Korupsi Akuisisi Blok Migas

    Bisnis.com, Jakarta — Kejaksaan Agung menggeledah kantor PT Saka Energi Indonesia (SEI) pada Kamis (25/9/2025) di Tower Manhattan Jakarta.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna menyebut penggeledahan itu dilakukan terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi proses akuisisi saham Blok Ketapang. Dia mengakui bahwa perkara korupsi tersebut merupakan perkara baru yang kini tengah ditangani Kejagung.

    “Jadi memang benar ada penggeledahan, penggeledahan itu dilakukan tadi malam,” tuturnya di Jakarta, Jumat (26/9/2025).

    Anang menjelaskan perkara korupsi yang melibatkan anak usaha Perusahaan Gas Negara (PGN) itu sudah masuk ke tahap penyidikan, meskipun belum diikuti dengan penetapan tersangka karena sprindik yang dikeluarkan masih sprindik umum.

    Menurut Anang, perkara dugaan tindak pidana korupsi PT SEI itu terjadi pada rentang periode 2012-2015.

    “Dugaan tindak pidana terjadi pada saat melakukan akuisisi saham Blok Ketapang, Muriah, Pangkah dan Fasken pada 2012 sampai dengan 2015,” katanya

    Kejaksaan Agung dikabarkan mulai menaikkan perkara tersebut dari penyelidikan ke tahap penyidikan sejak Maret 2025. Penyidikan dimulai sesuai Surat Perintah Penyidikan Nomor PRINT-21/F.2/Fd.2/032025.

    Nilai akuisisi saham pada Blok Ketapang ini memiliki nilai US$56,6 atau setara dengan Rp852 miliar. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pun telah melakukan audit atas proses akuisisi oleh PT SEI tersebut.

  • TP2ID Blitar Dalam Pusaran Kasus Korupsi Proyek Bernilai Fantastis

    TP2ID Blitar Dalam Pusaran Kasus Korupsi Proyek Bernilai Fantastis

    Blitar (beritajatim.com) – Tim Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (TP2ID) Kabupaten Blitar dalam pusaran kasus korupsi bernilai fantastis. Terbaru Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Blitar menetapkan 2 orang anggota TP2ID sebagai tersangka kasus korupsi proyek DAM Kalibentak yang merugikan negara hingga Rp5,1 miliar.

    Kedua anggota TP2ID yang jadi tersangka tersebut adalah Muhammad Muchlison dan Adib Muhammad Zulkarnain alis Gus Adip. Muhammad Muchlison adalah kakak kandung dari Mantan Bupati Blitar, Rini Syarifah.

    Saat sang adik menjabat, Muhammad Muchlison masuk TP2ID Kabupaten Blitar. Dalam proyek DAM Kalibentak diketahui bahwa Muhammad Muchlison menerima uang korupsi senilai Rp1,1 miliar.

    Belakangan terungkap juga bahwa uang itu diantar langsung oleh Gus Adip yang juga merupakan TP2ID. Dalam tuduhannya, disebutkan bahwa Gus Adip turut memperkaya tersangka Muhammad Muchlison.

    Kejaksaan Negeri Kabupaten Blitar pun kini masih mengusut secara detail kasus ini. Termasuk mengusut peran kelembagaan dari TP2ID dalam sejumlah proyek di Kabupaten Blitar.

    “Kita masih kumpulkan alat buktinya kita masih lakukan pendalaman,” ucap Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Kabupaten Blitar, I Gede Willy Pramana.

    Nama TP2ID memang sangkat berkibar tatkala Rini Syarifah menjabat sebagai Bupati Blitar. TP2ID kala itu cukup disegani di semua lini termasuk soal pengadaan proyek.

    Tudingan soal TP2ID mengendalikan proyek dan terseret kasus korupsi sebenarnya sudah diteriakkan sejumlah orang pada saat itu. Namun kala itu, teriakan tersebut hanya jadi kafilah berlalu.

    Kini setelah beberapa anggotanya terseret kasus korupsi, TP2ID nampaknya benar-benar dalam pusaran korupsi. Warga dan sejumlah tokoh pun mendukung proses pengusutan kasus korupsi yang melibatkan TP2ID.

    “TP2ID hanyalah modus untuk melanggengkan kepentingan kelompok tertentu dan akhirnya digunakan untuk tindak pidana korupsi. Dari awal kami sudah sering demo. Kami yakin, masih ada tersangka lain setelah ini. Otak di balik kasus DAM Kali Bentak pasti akan terbongkar,” tegas Jaka Prasetya, praktisi sosial dan politik Blitar

    Langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Blitar 2 orang anggota TP2ID pun diapresiasi. Menurut warga dan sejumlah tokoh, apa yang dilakukan oleh Kejari Blitar ini merupakan langkah yang berani.

    “Kami bangga punya kejaksaan yang berani. Dalam sejarah Blitar, belum pernah ada kasus korupsi dengan penetapan tersangka sekaligus penahanan seperti ini,” ungkapnya. [owi/beq]

  • KPK Dalami Pertemuan Menag Yaqut dengan Eks Bendahara Amphuri

    KPK Dalami Pertemuan Menag Yaqut dengan Eks Bendahara Amphuri

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami pertemuan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dengan mantan Bendahara Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) Tauhid Hamdi.

    Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan penyidik menduga pertemuan mereka membahas mengenai penerbitan Surat Keputusan (SK) pembagian kuota haji.

    “Jadi, apakah pertemuan ini sebelum terbitnya SK? Itu yang kita dalami juga. Sebelum terbitnya SK atau setelah terbitnya SK? Apakah juga sebelum dan setelah? Itu yang kita dalami karena ada perbedaan, perbedaan dugaan,” ungkap Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, dikutip Jumat (26/9/2025).

    Pemeriksaan Tauhid juga mendalami dan mengonfirmasi dugaan penyidik atas kasus korupsi kuota haji, sehingga pertemuan keduanya diduga membahas perkara ini 

    “Jadi kita akan melihat bahwa ada pertemuan-pertemuan itu. Apa yang dibicarakan. Karena dugaannya pasti bertemu ada pembicaraan. Masa bertemu diam-diam saja. Kalau bertemu ada pembicaraan. Pembicaraannya apa? Apa yang dibicarakan?,” ucapnya.

    Di sisi lain, Tauhid yang diperiksa pada Kamis (25/9/2025) mengaku ditanya terkait tugas dan fungsinya ketika menjabat sebagai bendahara umum.

    “Tadi ditanyain tugas dan fungsi sebagai bendahara asosiasi,” kata Tauhid setelah diperiksa KPK.

    Kini KPK tengah memperluas jangkauan informasi dengan memeriksa sejumlah biro travel yang diduga mengetahui dan terlibat dalam perkara kuota haji. Asep mengatakan Pulau Jawa, menjadi target utama karena sebaran biro travel di sana lebih banyak.

    “Yang paling banyak itu dekat-dekatnya di Jawa Barat. Kemudian di Jawa Tengah, yang besar-besar gitu, karena travel-travelnya itu nanti juga kalau yang operasional yang ada di Sulawesi Selatan ya,” kata Asep dalam konferensi pers, Kamis (25/9/2025).

    Nantinya penyidik KPK akan mendatangi travel-travel yang berada di wilayah tersebut, di mana lokasi pemeriksaan bekerjasama dengan aparat penegak hukum setempat.

    Asep menyampaikan cara ini dilakukan agar pendalaman informasi lebih komprehensif. Menurutnya datangnya penyidik ke lokasi travel agar kebutuhan informasi bisa didapatkan secara cepat sehingga tidak membutuhkan waktu lama. 

    Sebagai informasi, pembagian kuota haji melanggar aturan yang berlaku. Total kuota tambahan sebanyak 20 ribu pada 2024 seharusnya dibagi menjadi 92% kuota reguler dan 8% kuota khusus.

    Namun dalam realisasinya pembagian menjadi 50:50. Artinya kuota khusus memperoleh porsi lebih banyak dari seharusnya. Apalagi keputusan pembagian 50:50 diteken oleh Menteri Agama saat itu, Yaqut Cholil Qoumas.

    KPK menduga ada kongkalikong antara biro dengan Kementerian Agama agar pembagian kuota menjadi 50:50. Selain itu, KPK juga menemukan praktik jual beli kuota haji senilai Rp300 juta haji khusus dan Rp1 miliar haji furoda. Kerugian negara ditaksir lebih dari Rp1 triliun.

  • Profil Menas Erwin, Pengusaha Pemberi Suap Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 September 2025

    Profil Menas Erwin, Pengusaha Pemberi Suap Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan Nasional 26 September 2025

    Profil Menas Erwin, Pengusaha Pemberi Suap Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Nama Menas Erwin Djohansyah kembali menjadi sorotan publik setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkapnya di kawasan BSD, Tangerang Selatan, pada Rabu (24/9/2025).
    Dia terlibat dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) yang menjerat eks Sekretaris MA Hasbi Hasan.
    KPK mengatakan, penangkapan dilakukan karena Menas Erwin sudah dua kali mangkir dari pemeriksaan di KPK.
    “Penangkapan dilakukan, mengingat yang bersangkutan sudah dua kali tidak hadir dalam pemanggilan pemeriksaan tanpa alasan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Rabu.
    Lantas, siapa sebenarnya sosok Menas Erwin?
    Menas Erwin Djohansyah adalah Direktur PT Wahana Adyawarna (WA).
    Tak banyak informasi terkait perseroan terbatas tersebut.
    Namun, berdasarkan penelusuran, perusahaan tersebut terletak di Grand Slipi Tower, Palmerah, Jakarta Barat.
    Nama Menas Erwin pertama kali muncul dalam persidangan Hasbi Hasan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Jakarta pada 5 Desember 2023.
    Saat itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa Sekretaris nonaktif MA Hasbi Hasan telah menerima gratifikasi senilai Rp 630 juta untuk kepentingan pribadi.
    Penerimaan itu diterima dari banyak rekanan, termasuk salah satunya Menas Erwin selaku Direktur PT Wahana Adyawarna.
    “Menerima uang, fasilitas perjalanan wisata, dan fasilitas penginapan yang seluruhnya senilai Rp 630.844.400,” kata Jaksa KPK Ariawan Agustiartono, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (5/12/2023).
    Dalam surat dakwaan terungkap, Hasbi Hasan juga menerima fasilitas penginapan berupa sewa kamar nomor 510 tipe apartemen yang disebut Terdakwa dengan istilah “SIO”, senilai Rp 120.100.000 dari Menas Erwin Djohansyah.
    Kemudian, Hasbi Hasan juga menerima fasilitas penginapan berupa sewa dua unit kamar, yaitu kamar nomor 111 tipe junior suite dan kamar nomor 205 tipe executive suite, total senilai Rp 240.544.400 dari Direktur Utama PT Wahana Adyawarna itu.
    Tak hanya itu, Sekretaris MA ini juga menerima fasilitas penginapan berupa sewa kamar nomor 0601 dan kamar nomor 1202 tipe kamar executive suite total senilai Rp 162.700.000 masih dari Menas Erwin Djohansyah.
    Menurut Jaksa KPK, sejumlah penerimaan fasilitas dari Menas Erwin Djohansyah terkait pengurusan perkara di lingkungan MA RI.
     
    KPK menetapkan Menas Erwin Djohansyah sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA pada Kamis (25/9/2025).
    Dia juga langsung ditahan untuk 20 hari pertama, terhitung sejak 25 September sampai dengan 14 Oktober 2025 di Cabang Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur.
    “Terhadap saudara MED, KPK telah melakukan pemanggilan sebagai tersangka sebanyak dua kali, kemudian yang ketiga kalinya kita cari dan tidak pernah hadir,” kata Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (25/9/2025).
    KPK menduga Menas berperan sebagai pihak swasta yang menghubungkan sejumlah pihak dengan Hasbi Hasan selaku Sekretaris MA periode 2020-2023.
    Sekitar awal 2021, Menas diperkenalkan Fatahillah Ramli kepada Hasbi untuk meminta bantuan mengurus perkara temannya di tingkat kasasi.
    Pertemuan pertama kali berlangsung di tempat umum, namun Hasbi meminta agar pembicaraan dipindahkan ke lokasi tertutup yang akhirnya disediakan oleh Menas.
    “Pada rentang waktu Maret 2021 sampai dengan Oktober 2021 terdapat komunikasi tentang beberapa proses pertemuan FR dengan HH di beberapa tempat, di mana dalam pertemuan tersebut FR bersama MED meminta bantuan HH untuk membantu menyelesaikan perkara temannya,” ungkap Asep.
    KPK mengungkapkan, ada lima perkara yang diminta Menas kepada Hasbi Hasan untuk diurus, yaitu:
    1. Perkara sengketa lahan di Bali dan Jakarta Timur;
    2. Perkara sengketa lahan Depok;
    3. Perkara sengketa lahan di Sumedang;
    4. Perkara sengketa lahan di Menteng; dan
    5. Perkara sengketa lahan tambang di Samarinda.
    “Hasbi Hasan menyanggupi untuk membantu penyelesaian perkara sesuai dengan permintaan MED,” ujar dia.
    Sebagai imbalan, Hasbi diduga meminta biaya pengurusan perkara dengan skema pembayaran bertahap, berupa uang muka (DP), biaya proses, hingga pelunasan bila perkara berhasil dimenangkan.
    Namun, tidak semua perkara berjalan sesuai keinginan.
    Sejumlah pihak yang perkaranya gagal dimenangkan justru menuntut Menas mengembalikan uang yang sudah diserahkan ke Hasbi.
    Atas perbuatannya, Menas disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 September 2025

    Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar? Nasional 26 September 2025

    Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar?
    Direktur Eksekutif Migrant Watch
    SAYA
    masih ingat jelas ketika kami, mahasiswa, turun ke jalan pada peristiwa 1998, menuntut reformasi.
    Meski rakyat diliputi ketakutan terhadap sosok Soeharto yang memerintah dengan tangan besi, tuntutan reformasi itu menggaung kuat, lahir dari jeritan nurani rakyat yang lelah dan jenuh menghadapi otoritarianisme yang telah berlangsung bertahun-tahun.
    Menariknya, Presiden Soeharto saat itu mencoba merespons tuntutan reformasi dengan langkah simbolik.
    Ia merombak beberapa posisi kabinet, mengundang tokoh nasional seperti Gus Dur, Cak Nur, dan Emha Ainun Nadjib untuk berdialog, serta mengusulkan pembentukan Dewan Reformasi.
    Pertanyaannya: apakah rakyat langsung percaya? Tentu saja tidak. Mayoritas menolak karena tidak percaya pada keseriusan langkah tersebut.
    Rakyat tidak yakin reformasi bisa lahir dari tangan penguasa yang justru dianggap biang dari masalah itu sendiri. Bagaimana mungkin orang yang selama puluhan tahun mempertahankan status quo, tiba-tiba menjadi juru kunci reformasi?
    Akhirnya, meski Soeharto mencoba tampil sebagai motor perubahan, rakyat justru semakin kencang menuntut agar ia turun. Reformasi hanya bisa berjalan tanpa campur tangan rezim Soeharto.
    Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri, membuka jalan bagi perubahan yang sesungguhnya.
    Sejarah membuktikan bahwa reformasi hanya bisa terjadi dari luar kekuasaan, bukan dari dalam kekuasaan.
    Sejarah Reformasi 1998 masih menyisakan gema yang relevan hingga saat ini, khususnya dalam konteks agenda reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
    Desakan agar institusi kepolisian direformasi telah lama bergema di ruang publik, seiring munculnya berbagai kasus yang mencoreng kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
    Namun, respons yang muncul justru mirip dengan pola lama: pemerintah membentuk Komite Reformasi, sementara Kapolri turut menginisiasi Tim Transformasi Reformasi Polri. Dari sisi logika publik, situasi ini tampak janggal.
    Bagaimana mungkin institusi yang menjadi objek kritik sekaligus bertindak sebagai subjek yang mengatur arah reformasi?
    Analogi yang sering muncul adalah ibarat seorang pasien sakit keras diminta meracik obat untuk dirinya sendiri, padahal ia belum tentu mengakui penyakit yang dideritanya.
    Publik pun bertanya-tanya, apakah ini wujud keseriusan atau justru siasat untuk mereduksi tujuan reformasi Polri?
    Dalam kerangka akademis, persoalan reformasi dapat dipahami sebagai dilema antara reformasi internal dan eksternal.
    Reformasi yang sepenuhnya dilakukan dari dalam institusi kerap berakhir pada langkah-langkah
    lips service
    atau kosmetik, sekadar perubahan nomenklatur, pembentukan tim ad-hoc, atau slogan-slogan sementara yang tidak menyentuh akar persoalan.
    Ketika Kapolri mengumumkan pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri lewat Surat Perintah yang diteken pada 17 September 2025, reaksi publik muncul cepat dan beragam.
    Polri menegaskan bahwa tim ini bukan untuk menggantikan Komite Reformasi bentukan Presiden, melainkan untuk mempercepat dan mengakomodasi proses reformasi.
    Namun, banyak pihak menilai narasi itu sebagai upaya mereduksi urgensi reformasi. Dalam praktiknya, tim internal Polri berpotensi mengambil ruang inisiatif dan legitimasi, sekaligus menggeser perhatian publik dari kelemahan struktural hingga fokus pada evaluasi administratif semata.
    Kecurigaan publik muncul dari beberapa faktor. Pertama, pembentukan tim internal dipandang sebagai strategi defensif: Polri tampak ingin menunjukkan bahwa mereka “sudah bergerak”, bahkan sebelum Komite Reformasi Presiden beroperasi.
    Hal ini menimbulkan persepsi bahwa narasi reformasi sedang direbut dan kritik publik dibingkai ulang sebagai bagian dari kontrol internal, sehingga tekanan eksternal, yang biasanya efektif, dapat dilemahkan.
    Kedua, publik melihat risiko bahwa tim internal ini bisa menjadi alat legitimasi tanpa kejelasan sanksi atau implementasi nyata.
    Evaluasi internal tanpa diikuti perombakan regulasi, revisi undang-undang, pemisahan kepentingan, atau pengurangan kewenangan yang rawan disalahgunakan, dapat membuat reformasi berhenti di level dokumen saja.
    Ketiga, ada kekhawatiran bahwa tim internal dapat “membangkang” atau mengambil jarak dari arahan Komite Presiden, bahkan arahan Presiden sendiri, dengan alasan teknis-operasional, stabilitas organisasi, atau hambatan internal Polri.
    Walaupun Polri membantah dan menyatakan tim bertujuan akselerasi dan akuntabilitas, publik tetap khawatir bahwa alasan tersebut menjadi topeng untuk mempertahankan status quo.
    Keempat, ketidakjelasan komposisi tim dan transparansi mandat memperkuat kecurigaan. Beberapa laporan menyebut tim sebagian besar terdiri dari internal Polri (perwira), sementara belum jelas seberapa besar ruang diberikan bagi unsur masyarakat sipil, akademisi, pegawai non-perwira, atau institusi pengawas eksternal.
    Ketidakjelasan ini membuka kemungkinan tim bekerja dalam lingkup yang aman bagi institusi, bukan sebagai agen perubahan yang menantang struktur.
    Publik pun mempertanyakan apakah tim transformasi internal ini akan berani menegakkan reformasi yang dapat “menyakiti” kepentingan internal Polri — misalnya memecat anggota bermasalah, membongkar sistem promosi tidak transparan, atau menangani kasus pelanggaran HAM dan kekerasan aparat secara tegas.
    Di sisi lain, Polri dan pendukung reformasi internal menekankan bahwa tim ini adalah bentuk tanggung jawab organisasi agar reformasi tidak berhenti pada jargon.
    Tanpa kerja internal, reformasi dari luar bisa jadi sia-sia karena institusi sendiri tidak siap menghadapi lonjakan tuntutan, atau bisa terjadi konflik internal yang kontraproduktif.
    Dalam perspektif teori kekuasaan, sulit membayangkan institusi yang begitu kuat rela melucuti kekuatan dirinya sendiri. Analogi klasiknya: tidak ada pemilik pistol yang menyerahkan pistolnya untuk ditembakkan ke kepalanya sendiri.
    Lembaga yang memiliki privilese kekuasaan, wewenang hukum, dan monopoli kekerasan sah cenderung mempertahankan status quo. Reformasi internal sering berisiko melahirkan simulasi perubahan, bukan perubahan substansial.
    Polri, sebagai institusi dengan struktur hirarkis ketat dan akses luas terhadap alat negara, menghadapi dilema tersebut.
    Pembentukan tim internal justru mempertegas kecenderungan alami ini: alih-alih memfasilitasi transformasi, tim internal bisa berfungsi sebagai mekanisme pengaman untuk menghindarkan institusi dari guncangan.
    Dengan kata lain, reformasi internal sering bekerja sebagai strategi penundaan, bukan strategi perombakan.
    Inilah alasan mengapa reformasi sejati memerlukan tekanan eksternal yang kuat, pengawasan independen, dan kesediaan politik dari pucuk kekuasaan.
    Tanpa reformasi dari luar, setiap janji reformasi berpotensi redup menjadi jargon administratif yang aman bagi institusi, tetapi gagal menjawab keresahan rakyat.
    Belajar dari negara lain memberikan pelajaran berharga bagi reformasi kepolisian yang akan dilakukan di Indonesia.
    Di Hong Kong, lembaga kepolisian pernah dikenal korup dan kehilangan kepercayaan publik pada era 1960-an.
    Pemerintah kemudian membentuk Independent Commission Against Corruption (ICAC), komisi independen yang benar-benar terpisah dari kepolisian.
     
    ICAC tidak hanya berwenang menyelidiki kasus korupsi di luar kepolisian, tetapi juga menindak aparat kepolisian sendiri.
    Anggota kepolisian yang terbukti bersalah dapat dipecat, diproses hukum, dan dijatuhi hukuman penjara. Dengan pengawasan eksternal yang tegas ini, kepercayaan publik terhadap institusi negara dapat dipulihkan.
    Di Amerika Serikat, berbagai skandal polisi yang melibatkan diskriminasi rasial mendorong lahirnya Civilian Review Boards atau dewan pengawas sipil di sejumlah kota.
    Dewan ini menampung laporan warga, melakukan investigasi independen, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah kota.
    Walaupun efektivitasnya berbeda-beda di tiap kota, keberadaan mekanisme sipil menegaskan pentingnya kontrol eksternal dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
    Pengalaman Afrika Selatan pasca-runtuhnya apartheid juga menarik. Reformasi kepolisian di sana tidak hanya soal pembenahan struktur, tetapi juga transformasi budaya.
    Aparat yang terbukti bersalah diberhentikan atau dipindahkan, sementara pendidikan ulang dilakukan secara besar-besaran agar mereka meninggalkan mentalitas represif rezim lama dan mengadopsi nilai-nilai demokrasi.
    Dalam beberapa kasus, anggota yang melanggar hukum diproses secara hukum. Hasilnya, meskipun belum sempurna, kepolisian di Afrika Selatan lebih diarahkan menjadi instrumen pelayanan publik, bukan alat politik.
    Selain itu, beberapa negara mengambil langkah lebih tegas berupa pemecatan massal aparat kepolisian sebagai bagian dari reformasi institusi.
    Di Georgia, Presiden Mikheil Saakashvili pada 2005 memecat sekitar 30.000 personel kepolisian, terutama dari kepolisian lalu lintas, untuk menanggulangi maraknya korupsi.
    Pemerintah kemudian merekrut polisi baru, memberikan pelatihan intensif, dan meningkatkan gaji untuk membangun institusi yang lebih bersih dan profesional.
    Di Peru, Presiden Ollanta Humala pada 2011 memecat sekitar dua pertiga jajaran petinggi kepolisian, termasuk Kepala Kepolisian dan Kepala Satuan Pemberantasan Narkoba, sebagai langkah membersihkan institusi dari praktik ilegal dan penyalahgunaan wewenang.
    Afrika Selatan, pada 2012, juga memecat Kepala Kepolisian Jenderal Bheki Cele terkait kasus korupsi penyewaan gedung, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi di tingkat tinggi.
    Di Rusia, Presiden Vladimir Putin pada 2015 memecat lebih dari 1.000 petinggi kepolisian yang terlibat kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, bagian dari upaya untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
    Dari berbagai contoh tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa reformasi kepolisian yang efektif membutuhkan dua hal utama: pengawasan eksternal yang benar-benar independen, serta kesediaan internal untuk berubah melalui transformasi budaya, pendidikan, dan perombakan struktural, termasuk pemecatan aparat yang terbukti melanggar hukum, bahkan sampai level jabatan tinggi.
    Reformasi tanpa langkah tegas ini berisiko hanya menjadi retorika tanpa perubahan substansial.
    Indonesia dapat belajar dari pengalaman tersebut. Reformasi Polri tidak cukup hanya dibicarakan dalam komite atau tim internal yang dibentuk pemerintah.
    Diperlukan lembaga independen yang memiliki otoritas nyata untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja kepolisian, bahkan menindak jika diperlukan.
    Pada saat sama, Polri perlu melakukan transformasi internal melalui kurikulum pendidikan baru yang menekankan etika, pelayanan publik, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
    Restrukturisasi kelembagaan juga harus dilakukan agar Polri lebih fokus. Fungsi-fungsi yang tumpang tindih atau dapat diotomatisasi sebaiknya dipangkas untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan.
    Namun, masalahnya kini bukan hanya soal teknis reformasi, melainkan juga soal kepercayaan publik. Banyak kalangan curiga bahwa pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri tidak lebih dari strategi untuk meredam kritik.
    Alih-alih menunjukkan keseriusan, tim ini justru menimbulkan tanda tanya besar: apakah polisi benar-benar berniat berubah, atau hanya berusaha mengendalikan narasi reformasi agar tetap aman di bawah kendali mereka?
    Kecurigaan ini wajar, sebab publik sudah terlalu sering disuguhi janji perubahan yang berakhir menjadi jargon.
    Tanpa keterlibatan independen dari masyarakat sipil dan tanpa kesediaan menyerahkan sebagian kontrol kepada mekanisme eksternal, reformasi Polri akan sulit dipercaya.
    Apalagi, jika reformasi hanya dijalankan melalui tim internal, besar kemungkinan hasilnya sekadar kosmetik. Terlihat rapih di permukaan, tetapi busuk di dalam.
    Sejarah 1998 menunjukkan bahwa rakyat tidak akan percaya reformasi yang digerakkan penguasa yang mempertahankan status quo. Untuk Polri menjadi profesional dan memulihkan legitimasi, reformasi harus dilakukan dari tekanan eksternal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.