Kasus: korupsi

  • Tersandung Kasus Impor Gula, Charles Sitorus Diturunkan dari Kursi Komisaris PLN – Page 3

    Tersandung Kasus Impor Gula, Charles Sitorus Diturunkan dari Kursi Komisaris PLN – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Nama Charles Sitorus masuk dalam daftar yang dicopot dari kursi Dewan Komisaris PT PLN (Persero). Dia dicopot imbas kasus hukum yang sedang dihadapinya.

    Ketentuan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) nomor SK-269/MBU/11/2024 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota-Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan PT PLN.

    Pencopotan Charles Sitorus dari kursi Komisaris PLN dilakukan sejak 29 Oktober 2024, tepat setelah dia ditetapkan sebagai tersangka.

    “Bahwa sehubungan dengan permasalahan hukum yang sedangdihadapi Sdr. Charles Sitorus, maka perlu mengukuhkan pemberhentian yang bersangkutan sebagai Komisaris Independen Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara terhitung sejak tanggal 29 Oktober 2024,” seperti dikutip dari dokumen yang ditandatangani oleh Menteri BUMN Erick Thohir itu.

    Diketahui, Charles Sitorus ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus imlor gula periode 2015-2016 lalu. Charles diduga terlibat dalam korupsi impor gula, dia menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

    Tersangka lainnya adalah Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.

    Sementara itu, tokoh lainnya yang dicopot dari kursi Komisaris PLN adalah Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi. Pemberhentiannya berlaku sejak Dudy dilantik pada 21 Oktober 2024 lalu.

    Beberapa nama lainnya ikut diberhentikan dengan hormat seperti Mantan Menteri ESDM, Arcandra Tahar, sebelumnya sebagai Komisaris. Deputi Bidang Keuangan dan Manajemen Risiko Kementerian BUMN, Nawal Nely yang sebelumnya Komisaris. Serta, Mohamad Ikhsan dari posisi Komisaris.

  • DPR Tegaskan Panja Penegakan Hukum Tak Hanya Fokus pada Kasus Tom Lembong

    DPR Tegaskan Panja Penegakan Hukum Tak Hanya Fokus pada Kasus Tom Lembong

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, menegaskan bahwa Panitia Kerja (Panja) Penegakan Hukum yang dibentuk oleh Komisi III tidak akan fokus secara spesifik hanya pada kasus impor gula yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong. Menurut Nasir, Panja tersebut mencakup empat aspek utama penegakan hukum.

    “Tidak ada Panja khusus untuk kasus impor gula. Panja Penegakan Hukum ini mencakup empat bidang, yaitu kejahatan siber, kejahatan narkoba, kejahatan sumber daya alam, dan kejahatan mafia tanah,” ujar Nasir saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.

    Terkait kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret nama Tom Lembong, Nasir Djamil menegaskan bahwa pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Ia juga menghormati langkah hukum yang diambil Tom Lembong dengan mengajukan gugatan praperadilan.

    “Kasus ini sudah masuk ke tahap penyidikan, dan penetapan seseorang sebagai tersangka harus berdasarkan minimal dua alat bukti. Kita tunggu saja hasil praperadilan. Apakah status tersangka Tom Lembong akan digugurkan atau sebaliknya,” kata Nasir lebih lanjut.

    Sebelumnya, Anggota Komisi III lainnya, Soedison Tandra, mendorong agar DPR membentuk Panitia Kerja khusus untuk mendalami kasus dugaan korupsi impor gula yang melibatkan Tom Lembong. Menurut Soedison, masyarakat saat ini tengah mempertanyakan transparansi kasus tersebut.

    “Jangan sampai kasus ini justru dituding sebagai bentuk politik balas dendam dari rezim yang berkuasa,” ungkap Soedison. Ia menekankan bahwa penegakan hukum harus dilihat dalam perspektif yang lebih luas. Karena itu, Soedison mendorong Kejaksaan Agung untuk menyelidiki kasus ini secara teliti atau menghentikan penyidikan jika tidak ditemukan bukti kuat yang memberatkan Tom Lembong.

  • Jelaskan Sejarah Kanal Pengaduan, Mahud MD Ragu dengan ‘Tanya Mas Wapres’ Ala Gibran: Gimik Politik

    Jelaskan Sejarah Kanal Pengaduan, Mahud MD Ragu dengan ‘Tanya Mas Wapres’ Ala Gibran: Gimik Politik

    TRIBUNJAKARTA.COM – Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD menjelaskan sejarah kanal pengaduan seperti yang dibuat Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka bertajuk ‘Tanya Mas Wapres’.

    Menurutnya, pengaduan seperti itu sudah dilakukan wapres-wapres sebelumnya.

    Bahkan posko pengaduan juga dibuka di kantor-kantor kepala daerah, kementerian dan lembaga.

    “Tetapi harus diingat, penampungan seperti itu dulu sejak zaman Pak Sudarmono, Pak Try Sutrisno selalu ada itu. Dulu kan ada Kotak Pos 55, pengaduan apapun sampaikan ke kantor wakil presiden. Dan orang ngadu-ngadu ke sana semua gak selesai juga,” kata Mahfud MD saat bicara di program Terus Terang di Youtubenya, Mahfud MD Official, tayang, Selasa (12/11/2024).

    Semasa menjabat Menko Polhukam, Mahfud juga membuka posko aduan, yang disebut Saber Pungli.

    “Di kantor Polhukam dulu dibentuk saber pungli kan, tempat pengaduan,” kata dia.

    Namun, menurutnya, kanal pengaduan yang dibuat pemerintah tidak seperti yang diharapkan.

    Menteri Pertahanan (2000-2001) itu menyebut, bahkan kanal aduan yang dibuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tidak selalu merespons.

    “Sama dengan KPK waktu masih jaya-jayanya, kan KPK buat pengumuman di mana-mana tuh, kalau ada korupsi laporan, ini alamatnya. Banyak laporan gak direspon. Saya punya bukti beberapa laporan sampai sekarang gak dibuka,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013).

    Menurut Mahfud, kanal pengaduan memang sulit efektif, apa lagi di level nasional seperti Wapres.

    “Sama dengan KPK waktu masih jaya-jayanya, kan KPK buat pengumuman di mana-mana tuh, kalau ada korupsi laporan, ini alamatnya. Banyak laporan gak direspon. Saya punya bukti beberapa laporan sampai sekarang gak dibuka,” jelasnya.

    Akhirnya, Mahfud menyebut program pengaduan yang dibuat Gibran cuma gimik politik.

    “Gak apa-apa itu bagian dari gimik politik saja. Gak apa-apa, itu tidak jelek kan,” pungkasnya.

    Mengadu Fufufafa
    Pakar Psikologi Forensik memanfaatkan kanal pengaduan ‘Lapor Mas Wapres’ untuk bertanya soal sosok di balik akun Fufufafa.

    Ia men-chat ke nomor ‘Lapor Mas Wapres’ menanyakan apa benar akun Fufufafa dimiliki Gibran Rakabuming Raka.

    Reza yang seorang Psikolog Forensik juga menyinggung nama pakar telematika Roy Suryo.

    Sebab, memang Roy Suryo pernah mengatakan bahwa pemilik akun Fufufafa adalah Gibran.

    Kata Reza, jika Fufufafa bukan punya Gibran, maka Roy Suryo patut dihukum.

    “Roy Suryo menyebut 99 persen akun Fufufafa dimiliki oleh Gibran Rakabuming Raka.”

    “Benar demikian, mas?”

    “Sepatutnya, investigasi atas akun tersebut ditempatkan pada prioritas tinggi. Kalau Roy Suryo keliru, Roy perlu diproses hukum sebagaimana mestinya. Tapi kalau dia benar, Fufufafa juga seharusnya diproses pidana,” tulis Reza seperti dikutip dari Youtube Diskursus Net yang tayang pada Rabu (13/11/2024). 

    Namun, jawaban dari kanal pengaduan ‘Tanya Mas Wapres’ justru mengecewakan. Reza tidak puas karena tak dijawab tuntas.

    “Saya bisa pertanggungjawabkan bahwa itu memang pengaduan yang saya sampaikan dan berharap ada respon ternyata responnya cuma sebatas itu,” kata Reza.

    Balasan dari Mas Wapres adalah, “Terimakasih atas laporan anda, kami akan segera merespons laporan anda.”

    Ia pun menyarankan semestinya program tersebut segera mengeluarkan press release untuk mengumumkan hasil dari program yang baru tiga hari diluncurkan itu. 

    “Coba hari ini bikin press release, ‘Baru tiga hari diluncurkan, laporan yang kami terima dari masyarakat sudah jutaan.’ Itu kan menunjukkan tafsiran positifnya nanti masyarakat percaya nih pada wapres nih. Mengadu ke wapres adalah mengadu ke tempat yang benar. Ada harapan bahwa ada masalah akan terpecahkan,” kata Reza. 

    Selain mengumumkan jumlah laporan yang telah masuk dari masyarakat, layanan tersebut juga seharusnya mengumumkan jumlah laporan yang berhasil diselesaikan. 

    “Jadi kelihatan kinerjanya, bahwa Wapres bukan hanya menampung masalah, tapi berpikir keras untuk menyelesaikan masalah.”

    “Cek, perbandingan antara laporan yang terselesaikan dibandingkan dengan jumlah laporan yang masuk. Itu menunjukkan ke kita bahwa Wapres bukan cuma tempat berkeluh kesah tapi juga menghadirkan solusi atas masalah,” katanya. 

    Lapor Mas Wapres

    Diberitakan sebelumnya, Wapres Gibran Rakabuming Raka membuka kanal pengaduan bernama “Lapor Mas Wapres”.

    Program tersebut diumumkan melalui Instagramnya, (@gibran_rakabuming).

    Cara pelaporan dengan mendatangi langsung Istana Wapres, Jalan Kebon SIrih nomor 14, Jakarta Pusat, atau bisa melalui nomor WhatsApp 081117042207.

    Khusus pengaduan langsung di Istana Wapres, hanya dibuka pada pukul 08.00-14.00 WIB, Senin sampai Jumat.

    “Kepada yang saya cintai, seluruh warga negara Indonesia.”

    “Mulai besok, kami akan membuka pengaduan dari masyarakat Indonesia secara terbuka untuk umum. Bapak Ibu dapat langsung datang ke Istana Wakil Presiden ya. Jadwalnya dari hari Senin-Jumat, jam 08.00-14.00 WIB. Kami juga membuka akses melalui WhatsApp yang nomornya ada di poster,” tulis Wali Kota Solo (2021-2024) itu pada caption unggahannya, Minggu (10/11/2024).

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • 59 Menteri Kabinet Prabowo Sudah Lapor LHKPN, 50 Pejabat Lainnya Ditunggu KPK

    59 Menteri Kabinet Prabowo Sudah Lapor LHKPN, 50 Pejabat Lainnya Ditunggu KPK

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa sebanyak 59 menteri dan wakil menteri (wamen) Kabinet Merah Putih periode 2024-2029 telah menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Dari total 109 menteri dan wakil menteri yang wajib melaporkan kekayaan, masih ada 50 orang yang belum menyerahkan LHKPN.

    “Sudah 59 orang yang melapor LHKPN. Masih ada 50 orang yang belum melaporkannya,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, Kamis (14/11/2024).

    Selain menteri dan wakil menteri, KPK juga mewajibkan jabatan lain seperti utusan khusus presiden, penasihat khusus presiden, dan staf khusus untuk menyampaikan LHKPN. Dari tujuh utusan khusus, dua orang telah melapor. Sementara itu, dari tujuh penasihat khusus, empat orang sudah menyampaikan LHKPN. Untuk staf khusus, hanya tersisa satu orang yang belum melaporkan kekayaannya.

    Sebelumnya, KPK telah mengimbau para menteri yang baru dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto untuk segera menyampaikan laporan LHKPN mereka. KPK menegaskan bahwa meski ada tenggat waktu tiga bulan sejak pengangkatan, penyampaian laporan lebih awal sangat dianjurkan.

    “Menteri LHKPN, ya kan masih ada waktu tiga bulan sejak pengangkatan. Tapi lebih cepat lebih baik,” jelas Pahala Nainggolan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Rabu (13/11/2024).

    Menurut Pahala, sejumlah pejabat baru sudah berkomunikasi dengan KPK terkait pelaporan LHKPN ini. KPK juga siap membantu jika dibutuhkan, terutama bagi pejabat yang baru pertama kali mengisi laporan kekayaan.

    “Sudah ada sekitar 10 orang yang bertanya-tanya terkait LHKPN. Kami siap membantu, bahkan jika diperlukan, tim kami bisa dikirim untuk membantu proses pelaporan, khususnya bagi yang belum pernah melaporkan,” tutur Pahala.

    Pahala berharap seluruh menteri yang baru dilantik dapat menyelesaikan pelaporan LHKPN sebelum tenggat waktu yang ditentukan. Namun, ia menambahkan bahwa KPK belum berencana melakukan pendekatan proaktif untuk mengumpulkan laporan dari para pejabat tersebut.

    “Kami paling baru akan mengirim surat pengingat jika waktu sudah tinggal sebulan lagi. Toh, mereka sudah mengetahui kewajiban masing-masing,” ucapnya.

  • Menang Praperadilan, KPK Lanjutkan Penyidikan Kasus Korupsi APD Kemenkes dan IUP Kaltim

    Menang Praperadilan, KPK Lanjutkan Penyidikan Kasus Korupsi APD Kemenkes dan IUP Kaltim

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur (Kaltim).

    Keputusan itu diambil setelah KPK memenangi praperadilan yang diajukan para tersangka dalam dua perkara tersebut. “KPK akan melanjutkan penyidikan agar proses penanganan perkaranya dapat berjalan efektif dan segera memberikan kepastian hukum pada para tersangka,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika, Kamis (14/11/2024).

    Praperadilan tersebut diputus hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (13/11/2024). KPK menyebut hakim dalam putusannya menyatakan aspek formil serta penyelidikan dan penyidikan dalam kedua perkara tersebut telah sesuai prosedur dan ketentuan hukum.

    “KPK memenangkan dua persidangan praperadilan, yakni dalam perkara dugaan TPK (tindak pidana korupsi) terkait pengadaan alat pelindung diri (APD) di Kementerian Kesehatan dengan pemohon tersangka SW dan perkara dugaan TPK terkait penerbitan izin usaha pertambangan di wilayah Kalimantan Timur, dengan pemohon tersangka ROC,” ungkapnya.

    KPK meminta para pihak terkait dalam dua perkara tersebut bersikap kooperatif menghadapi proses hukum. Lembaga antikorupsi itu juga mengapresiasi hakim yang telah memutus praperadilan tersebut secara objektif dan independen.

    “Terlebih perkara pengadaan APD terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak, khususnya pada sektor kesehatan, dan perkara IUP yang juga berkaitan dengan isu lingkungan,” ungkap jubir KPK.

  • Memastikan Pemberantasan Korupsi Melalui Pemilihan Kepala Daerah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 November 2024

    Memastikan Pemberantasan Korupsi Melalui Pemilihan Kepala Daerah Nasional 15 November 2024

    Memastikan Pemberantasan Korupsi Melalui Pemilihan Kepala Daerah
    Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka
    SEOLAH
    tak ada hentinya, masyarakat terus disuguhkan terungkapnya berbagai dugaan tindak pidana korupsi. Begitu seringnya, masyarakat jadi permisif dengan persoalan korupsi.
    Realitas ini tentu sangat memprihatinkan. Kita seperti terus berkubang pada situasi yang jelas-jelas sangat tidak menguntungkan. Membuat sejumlah daerah, progres pembangunannya lambat atau bahkan cenderung stagnan.
    Terus maraknya kasus
    korupsi
    mengonfirmasi bahwa korupsi adalah persoalan mendasar, tidak saja struktural, kultural, tapi juga personal.
    Persoalan struktur karena nyata-nyata telah melekat pada sistem pemerintahan, termasuk juga partai politik, institusi kepolisian dan militer, hingga aparatur penegak hukum.
    Sementara persoalan kultur karena ada kelaziman kolektif yang telah diterima menjadi kebiasaan dalam masyarakat di berbagai lingkungan sosial.
    Sedangkan persoalan personal karena mentalitas korupsi yang hampir menyatu dalam kepribadian masyarakat pada umumnya, bahkan yang ‘lurus’ dianggap aneh, atau istilah sekarang ‘agak lain’.
    Ketika kondisinya telah kronis seperti ini, ketika penyimpangan dalam bentuk korupsi sudah sistematis, dan merusak semua sektor di berbagai tingkat, termasuk lembaga pengawasan, pertanyaan yang muncul kemudian adalah dari mana memulai pemberantasan korupsi?
    Secara teori, tentu saja ada berbagai pendekatan dan upaya dalam melawan korupsi, di antaranya pendekatan hukum (
    law enforcement
    ), pendekatan politik (
    goodwill
    ), dan pendekatan secara kultur.
    Apapun pilihan atau cara dan pendekatan yang digunakan, yang pasti, dalam melawan korupsi, harus dilakukan secara komprehensif dan sungguh-sungguh. Tidak pula tebang pilih atau tajam ke bawah, tumpul ke atas.
    Tak dimungkiri, dengan adanya desentralisasi kewenangan fiskal ke daerah pascaditerapkannya otonomi daerah, pelaku dan locus korupsi yang sebelumnya lebih terpusat di Jakarta, kini menyebar ke seluruh daerah.
    Meningkatnya kewenangan penguasa di daerah ternyata tidak diikuti dengan peningkatan akuntabilitas dan transparansi dari pemerintah daerah secara profesional maupun proporsional.
    Padahal, semakin besar kewenangan yang dimiliki, semakin besar pula potensi korupsi yang bisa terjadi.
    Seperti ungkapan populer dari Lord Acton “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).
    Korupsi
    dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak pidana korupsi.
    Makin menguatnya kekuasaan politik, baik eksekutif maupun legislatif di daerah yang tidak berjalan paralel dengan kemampuan profesional, semakin membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri dan kelompok.
    Di sinilah persoalannya, karena telah membudaya dan sistematik, maka kebijakan pemberantasan korupsi yang bersifat parsial dan tambal-sulam tentu tidak bisa diandalkan.
    Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan manajemen pemerintah (pemerintah daerah) yang terbuka dengan sistem akuntabel dan bisa menjamin asas pertanggungjawaban kepada publik. Dalam konteks tersebut, otonomi daerah sejatinya memungkinkan hal itu dilaksanakan.
    Begitu pula dalam proses pengambilan kebijakan di berbagai bidang terutama yang berkaitan langsung dengan kebijakan pembangunan dan pengelolaan anggaran haruslah selalu melibatkan publik, baik itu sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan.
    Artinya, pemberantasan korupsi mesti dalam satu paket dengan penegakan prinsip-prinsip demokrasi dan
    good governance
    atau tata kelola pemerintahan yang baik (transparansi, akuntabilitas, keadilan, efisiensi, efektivitas dan partisipasi). Semua menjadi kesatuan gerak.
    Perang melawan korupsi sistemik harus menjadi agenda perubahan yang lebih luas, yakni bagian dari upaya membenahi administrasi pemerintah, upaya peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat dan reformasi birokrasi, hingga meningkatkan partisipasi masyarakat sipil (
    civil society
    ) dalam pengambilan kebijakan publik.
    Singkat kata, gerakan antikorupsi mesti berjalan bersama dengan upaya reformasi sistem yang rentan bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan. Tidak parsial.
    Seperti yang kerap kita saksikan di berbagai daerah, sejauh ini belum terlihat ada komitmen yang sungguh-sungguh, nir kemauan politik, ketiadaan sinergitas (
    check and balance
    ) antara eksekutif (pemerintah provinsi, kabupaten dan kota), legislatif (DPRD).
    Aparat penegak hukum (kejaksaan, kehakiman dan kepolisian di daerah) juga belum mampu menunjukan kineja maksimal. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, ada saja yang terlibat mafia kasus atau jual beli pasal.
    Di sisi lain kalangan organisasi masyarakat sipil (LSM, Ormas, akademisi kampus, gerakan mahasiswa, pers, tokoh masyarakat dan agama) masih ‘happy’ pada agenda masing-masing.
    Alih-alih menjadi bagian dari arus besar dalam pemberantasan korupsi, belakangan muncul fenomena ‘pasang badan’ atau menjadi tameng untuk membela orang-orang yang sedang dalam proses hukum atau kasus korupsi.
    Dengan menjadi semacam corong untuk merasionalisasi atau mengklarifikasi tindakan orang-orang yang sedang dibidik dalam pusaran kasus penyalahgunaan kekuasaan (korupsi).
    Kondisi ini tentu tidak kondusif bagi upaya pemberantasan korupsi. Dampaknya, begitu banyak potensi dan indikasi korupsi nyatanya berbanding terbalik dengan kualitas pencegahan maupun penanganannya.
    Menjadi bukti bahwa pemberantasan korupsi di berbagai daerah masih jauh panggang dari api. Komitmen antikorupsi sekadar slogan.
    Realitas ini harusnya dapat menyadarkan kita. Saatnya seluruh komponen masyarakat bangkit dan mengambil sikap dan peran strategis.
    Terutama organisasi masyarakat sipil, perlu lebih berperan aktif dan konstruktif termasuk lewat sosialisasi secara masif guna mengefektifkan serta memaksimalkan upaya pemberantasan korupsi.
    Antara lain dengan terus mendorong pemerintah daerah, eksekutif dan legislatif, yang dipilih secara langsung dapat menegakkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, kemudian turut memberi kontrol memadai terhadap jalannya pemerintahan.
    Selanjutnya yang tak kalah penting adalah mengawal setiap proses terkait dengan pemberantasan korupsi, terutama yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
    Sebentar lagi akan ada siklus pergantian kepemimpinan daerah, melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di berbagai tingkatan (provinsi, kabupaten/kota).
    Para kandidat yang ikut dalam pemilihan, di antaranya juga adalah pejabat dan mantan pejabat publik, termasuk dari kalangan birokrat atau pensiunan. Mereka masing-masing tentu memiliki rekam jejak, ada yang positif atau berprestasi, banyak pula yang gagal.
    Di sinilah butuh kecermatan rakyat sebagai pemilih. Para kandidat yang punya reputasi buruk, tidak memiliki kapasitas, minus integritas dan kemampuan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, apalagi terindikasi atau terkait kasus korupsi, mesti diwaspadai.
    Mereka yang suka menumpuk harta dengan menilep dana publik adalah contoh kandidat tak bernurani. Pantas dihukum dengan tidak memilih mereka dalam Pilkada.
    Masyarakat juga mesti mencermati politisi birokrat atau yang berasal dari kalangan pejabat publik yang terbukti kerap menggunakan instrumen birokrasi sebagai mesin untuk meriah dan melanggengkan kekuasaannya, itu korupsi politik.
    Mereka yang menggunakan mesin birokrasi untuk kepentingan pribadi adalah cermin kandidat pejabat publik yang tega mengkhianati rakyat.
    Mereka yang tak becus menggunakan kekuasaan saat kekuasaan itu dipercayakan kepada mereka, tak pantas dipilih kembali menjadi pemimpin rakyat.
    Kandidat yang suka menghalalkan segala cara (apalagi dengan korupsi) demi meloloskan ambisi politik-nya, adalah politisi busuk yang tentu saja patut dihindari dan dipinggirkan.
    Dalam momentum seperti Pilkada, rakyat-lah yang berhak memberi dan menarik kembali kekuasaan dari siapapun tergantung pada bagaimana kekuasaan itu digunakan dan diarahkan.
    Kalau kekuasaan digunakan dan diarahkan semata-mata untuk kepentingan rakyat, itulah substansi demokrasi.
    Namun jika kekuasaan dipakai untuk menimbun kekayaan dan membohongi banyak orang, barangkali kekuasaan dalam diri seseorang harus dicegah dan diberikan kepada yang lebih pantas untuk memimpin.
    Dalam Pilkada nanti, rakyat memiliki kewenangan penuh untuk itu. Artinya, di bilik suara saat pencoblosan tanggal 27 November nanti, adalah momentum bagi publik untuk menghukum politisi gagal dan memilih kandidat yang berpotensi menjalankan kepemimpinan dengan lebih baik.
    Dengan begitu, masyarakat pemilih sejatinya telah ikut memberikan kontribusi terhadap hadirnya pemerintahan yang baik, sesuatu yang penting bagi upaya pemberantasan korupsi.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2
                    
                        Mengapa Anggota DPR Kompak Mencecar Jaksa Agung Terkait Kasus Tom Lembong?
                        Nasional

    2 Mengapa Anggota DPR Kompak Mencecar Jaksa Agung Terkait Kasus Tom Lembong? Nasional

    Mengapa Anggota DPR Kompak Mencecar Jaksa Agung Terkait Kasus Tom Lembong?
    Penulis
    Penetapan eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong (
    Tom Lembong
    ) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait
    impor gula
    pada tahun 2015-2016 menjadi sorotan dalam rapat kerja Komisi III
    DPR
    RI bersama Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ).
    Dalam rapat yang digelar pada Rabu, 13 November 2024, anggota DPR RI ramai-ramai mencecar
    Jaksa Agung
    Sanitiar Burhanuddin dan jajaran Kejagung untuk memberikan penjelasan terkait penanganan kasus impor gula karena menjadi sorotan publik.
    Pada awal rapat, Wakil Ketua Komisi III DPR Rano Al Fath langsung menyinggung soal penetapan tersangka terhadap Tom Lembong.
    “Ada beberapa perkara yang memang sedang ditangani oleh Kejagung ini cukup menarik jadi publik benar-benar hari ini melihat kinerja dari Kejagung. Salah satunya dibicarakan oleh masyarakat itu perkara penetapan tersangka mantan menteri Tom Lembong,” ujar Rano.
    Diketahui, Tom Lembong ditetapkan menjadi tersangka karena mengizinkan impor gula saat stok gula di dalam negeri tengah surplus.
    Beberapa anggota Komisi III DPR RI kemudian menggali lebih dalam mengenai dugaan motif di balik penetapan tersangka terhadap Tom Lembong.
    Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan bahkan mendesak Kejagung memberikan penjelasan yang lebih rinci.
    Hinca mengungkapkan bahwa penanganan kasus impor gula tersebut menimbulkan dugaan adanya balas dendam politik.
    “Kami merasakan, mendengarkan percakapan di publik, penanganan penangkapan kasus Tom Lembong itu sarat dengan dugaan balas dendam politik,” ujar Hinca.
    Hinca pun berharap Kejagung dapat memberikan penjelasan yang lebih komprehensif tentang penanganan kasus ini, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang semakin memperburuk citra hukum di mata publik.
    “Karena anggapan itu yang kami dengarkan, itu yang kami rekam, karena itu kami sampaikan. Harus dijelaskan ini ke publik lewat Komisi III ini supaya betul-betul kita dapatkan,” kata Hinca.
    Anggota DPR lainnya, Benny K Harman, ikut memberikan sorotan tajam. Dia berpendapat bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka jangan berhenti pada individu tersebut saja.
    Dia menyebut, Kejagung harus menggunakan ini untuk menjadikan kasus ini sebagai jalan untuk membongkar kasus korupsi yang lebih luas di sektor impor gula.
    “Itu pintu masuk, mudah-mudahan pintu masuk betul Pak Jaksa Agung. Jadi jangan sampai batas sampai di pintu masuk,” ujar Benny.
    Benny juga menyarankan agar Kejagung tidak hanya sekadar membuka satu pintu kasus, tetapi juga menggali lebih dalam untuk mengungkap dugaan korupsi yang lebih besar.
    “Masuk lebih dalam lagi, tapi bagaimana masuk lebih dalam kalau yang dangkal ini belum disentuh? Sentuh yang dangkal dulu baru masuk ke laut yang lebih dalam lagi. Kami menunggu,” ungkap Benny.
    Tidak sedikit anggota DPR yang menilai bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka terlalu terburu-buru.
    Politikus Partai Gerindra, Muhammad Rahul, mengungkapkan soal kekhawatirannya terkait cepatnya proses penetapan tersangka ini.
    “Saya langsung saja, menurut saya itu terlalu terkesan terburu-buru Pak Jaksa Agung. Dalam artian, proses hukum publik harus dijelaskan dengan detail konstruksi hukum kasus dugaan tindak pidana korupsi tersebut,” ujar Rahul.
    Dia khawatir bahwa ketergesaan dalam penetapan tersangka bisa menciptakan kesan bahwa hukum dipakai sebagai alat politik oleh pemerintah.
    “Pak Jaksa Agung jangan sampai kasus ini menggiring opini yang negatif kepada publik dan beranggapan bahwa pemerintah menggunakan hukum sebagai alat politik,” kata Rahul.
    Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Nasir Djamil lantas menyoroti masalah keadilan dalam penegakan hukum terkait kasus Tom Lembong. Dia mempertanyakan mengapa hanya Tom Lembong yang menjadi sorotan, padahal ada banyak Menteri Perdagangan lain yang juga terlibat dalam kebijakan impor.
    “Kasus Tom Lembong menimbulkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat, bahwa dia bukan satu-satunya menteri perdagangan. Ada banyak menteri perdagangan yang juga melakukan impor, dan tentu saja ada pimpinan yang di atas,” ujar Nasir.
    Nasir juga menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan humanis, tanpa pandang bulu.
    Dia lalu mengingatkan Kejagung untuk memastikan bahwa proses hukum dilakukan dengan asas pembuktian yang jelas dan tegas.
    “Jadi ini harapan kami mudah-mudahan bisa dijawab dengan baik, meskipun tidak memengaruhi proses hukum yang sedang dijalankan Kejagung,” katanya.
    Menanggapi banyaknya pertanyaan dan kritik yang diajukan oleh anggota DPR, Jaksa Agung RI, Sanitiar Burhanuddin dengan tegas membantah bahwa penanganan kasus ini memiliki motivasi politik.
    “Untuk kasus Tom Lembong, kami sama sekali tidak pernah maksud soal politik. Kami hanya yuridis, dan itu yang kami punya,” kata Burhanuddin.
    Burhanuddin juga menegaskan bahwa Kejagung mengusut kasus ini dengan sangat hati-hati, mengikuti prosedur yang berlaku.
    “Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka itu tidak mudah. Kami melalui proses-proses tahapan-tahapan yang sangat rigit dan tidak mungkin kami menentukan seseorang sebagai tersangka, ini akan melanggar HAM. Kami pasti hati-hati,” katanya lagi.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Minta Lembaga dan Menteri Bisa Terjemahkan Instruksi Presiden Soal Penegakan Hukum

    DPR Minta Lembaga dan Menteri Bisa Terjemahkan Instruksi Presiden Soal Penegakan Hukum

    Jakarta, Beritasatu.com – Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo berharap jajaran lembaga penegak hukum bisa menerjemahkan arahan Presiden Prabowo Subianto dalam penegakan hukum di Tanah Air. Terpenting, soal instruksi kepala negara agar hukum ditegakkan dengan mengedepankan moral yang berkeadilan.

    “Kita berharap organ pembantu Presiden Prabowo mampu menerjemahkan perintah sebagai sumber etis kebijakan, sebagai panduan moral untuk sungguh-sungguh menegakkan hukum,” ujar Rudianto dalam diskusi dialektika demokrasi bertajuk “Mendukung Upaya Pemerintah dalam Penegakan Hukum” di gedung DPR, kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (14/11/2024).

    Rudianto mengingatkan kembali soal pemberantasan korupsi dan pendekatan hukum yang berulang-ulang kali ditekankan Prabowo dalam pidatonya. Menurut dia, pesan itu sebagai peringatan agar para pembantunya di pemerintahan, termasuk kepala daerah benar-benar bersih dan tidak mencoba terlibat dalam pelanggaran hukum, khususnya korupsi.

    “Tentunya reformasi hukum itu berkali-kali diucapkan dalam berbagai kesempatan. Terakhir Presiden Prabowo mengumpulkan para menteri dan gubernur pada forum pimpinan daerah itu. Di situ Pak Prabowo menyampaikan instruksi arahan dalam pidatonya tentang pemberantasan korupsi,” jelas legislator Nasdem tersebut.

    Karena itu, Rudianto menekankan instruksi yang dikemas dalam pidato itu harus dianggap sebagai sumber etis kebijakan oleh anak buahnya, dalam hal ini menteri dan kepala lembaga negara lain. Menurut dia, terdapat tiga organ pembantu Presiden termasuk pemberantasan korupsi, yakni KPK, Kejaksaan, dan Polri.

    “Nah ini yang harus diterjemahkan oleh organ pembantu tadi ini penegak hukum ini supaya kejahatan-kejahatan yang hari ini tidak pernah tuntas diselesaikan bisa tuntas,” tandas Legislator Dapil Sulawesi Selatan (Sulsel) I itu.

    Sementara itu, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mengatakan hukum merupakan persoalan sensitif. Menurutnya, hukum bahkan sebuah masalah yang tak pernah berhenti dibicarakan dalam ruang publik.

    “Jadi masalah hukum ini memang masalah yang sangat sensitif karena itu menyangkut dengan rasa kemanusiaan kita, oleh karena itu kalau kemudian hari ini kita bicara soal penegakan hukum yang sudah pantas karena dia akan terus menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan,” tutur Nasir.

    Dalam kesempatan sama, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis meyakini Presiden Prabowo memiliki komitmen yang tinggi dalam menciptakan penegakan hukum berkeadilan. Sikap itu bahkan terus diperlihatkan Prabowo dalam beberapa agenda kenegaraan.

    Margarito mengingatkan tidak semua hal bisa diurus Prabowo sebagai kepala ngara. Dia menjelaskan seluruh organ di pemerintahan harus aktif menyuplai fakta dan informasi kepada Prabowo.

    “Pak Prabowo dengan kewenangan presidensialnya itu dapat menerobos atau memberikan instruksi eksekutif kepada pembantu-pembantunya untuk memecah persoalan-persoalan yang merusak peningkatan hukum dan merusak pemerintahan beliau itu,” kata Margarito.

  • Raffi Ahmad Siapkan Laporan Harta Kekayaan Sesuai Permintaan KPK

    Raffi Ahmad Siapkan Laporan Harta Kekayaan Sesuai Permintaan KPK

    Jakarta, Beritasatu.com – Selebritas sekaligus menjabat sebagai utusan khusus presiden bidang pembinaan generasi muda dan pekerja seni, Raffi Ahmad, mengungkapkan dirinya tengah menyiapkan laporan harta kekayaannya sebagai pejabat negara. 

    Hal ini dilakukan sesuai dengan permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengakuan tersebut disampaikan oleh suami Nagita Slavina itu saat ditemui di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Kamis (14/11/2024).

    “Sejauh ini saya sedang dalam proses menyusun LHKPN (laporan harta kekayaan pejabat negara),” kata Raffi Ahmad.

    Raffi memastikan, laporan harta kekayaannya akan selesai tepat waktu, sesuai dengan batas waktu yang ditentukan oleh KPK.

    “Pokoknya sesegera mungkin akan saya selesaikan,” tambahnya.

    Selain itu, Raffi juga memberikan tanggapan mengenai izin dari KPK terkait aktivitas istrinya, Nagita Slavina, yang masih diperbolehkan untuk menerima endorsement atau jasa promosi. Hal tersebut diizinkan lantaran jabatan Raffi yang bersifat nonstruktural di pemerintahan.

    “Setahu saya, apabila jabatannya nonstruktural, masih boleh terima endorse. Karena saya kan di bidang generasi muda dan pekerja seni, jadi bisa lebih dekat dengan masyarakat, khususnya anak muda. Namun yang pasti, kalau ada tugas negara, itu tetap akan saya prioritaskan,” ujar Raffi.

    Sebelumnya, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyatakan, Raffi Ahmad, sebagai pejabat baru di era Pemerintahan Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo Subianto, memiliki kewajiban untuk melaporkan harta kekayaannya. 

    Hal ini merupakan salah satu syarat bagi pejabat negara. Raffi Ahmad dan pejabat lainnya diminta untuk menyerahkan LHKPN mereka paling lambat tiga bulan setelah dilantik.

  • Dankorbrimob Bantah Isu Pengepungan Gedung Kejagung: Tidak Ada yang Superior di Negara ini

    Dankorbrimob Bantah Isu Pengepungan Gedung Kejagung: Tidak Ada yang Superior di Negara ini

    Bisnis.com, JAKARTA – Komandan Korps Brimob (Dankorbrimob) Komjen Imam Widodo membantah Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait pengepungan Gedung Kejagung oleh Brimob Polri. 

    Imam menyampaikan tidak ada pengepungan yang dilakukan oleh pihaknya ke Kejagung. Dia juga menyatakan bahwa isu itu hanya framing semata.

    “Tidak ada. Framing saja. Tidak ada,” ujar Imam di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Kamis (14/11/2024). 

    Jenderal Polisi bintang tiga itu menyatakan bahwa lembaga di Tanah Air harus saling menguatkan, sebab tidak ada lembaga yang superior di Indonesia.

    “Jadi kita ini sama dalam republik tercinta ini. Tidak ada yang superior, tapi kita saling menguatkan. Yang menjadi prioritas daripada bangsa ini semua kementerian/lembaga ini saling memperkuat. Itu saja sebenarnya. Jadi tidak ada namanya kita yang itu adalah framing sajalah,” tambahnya. 

    Sebagaimana diketahui, beredar isu mobilisasi korps Bhayangkara terhadap Kejaksaan Agung pada Mei 2024. Saat itu, Kejagung tengah mengusut kasus timah.

    Salah satu dugaan teror itu yakni saat Kejagung meringkus anggota Polri yang kedapatan telah menguntit Jampidsus.

    Dalam pemeriksaan, anggota tersebut disebut tengah melakukan pembuatan profil atau profiling hingga pengambilan foto terhadap Jampidsus Febrie. Setelahnya, anggota tersebut diserahkan ke Direktorat Paminal Polri.

    Dia juga membenarkan ada konvoi yang dilakukan satuan Brimob di sekitar gedung kantor pusat Korps Adhyaksa. Konvoi itu menurutnya masih terkait dengan peristiwa penguntitan terhadap Jampidsus, Febrie Adriansyah oleh oknum Densus 88.

    Isu itu kembali mencuat usai anggota Komisi III Benny K Harman yang meminta kejelasan mengenai insiden tersebut dalam rapat Komisi III DPR pada Rabu (13/11/2024).

    Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa ada oknum anggota Brimob yang terlibat dalam pengepungan di Kejagung saat pengusutan kasus korupsi timah. 

    “Pengepungan Kejaksaan Agung dilakukan, jujur saja, dilakukan oleh oknum Brimob,” ujar Burhanuddin.