PT DKI Perberat Vonis Eks Kadisbud Jakarta Jadi 12 Tahun Penjara, Uang Pengganti Rp 20,5 M
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI) memperberat hukuman untuk eks Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana menjadi 12 tahun penjara dalam kasus korupsi penggelembungan anggaran hingga kegiatan fiktif.
PT DKI juga menambahkan besaran uang pengganti yang dijatuhkan kepada Iwan Henry menjadi Rp 20,5 miliar subsider 6 tahun.
Sebelumnya, pada pengadilan tingkat pertama, Iwan divonis 11 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara.
Ia juga divonis untuk membayar uang pengganti senilai Rp 13,5 miliar subsider 5 tahun penjara.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
Iwan Henry Wardhana
berupa pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara,” sebagaimana dikutip dari amar putusan yang tercantum di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus, Sabtu (20/12/2025).
Putusan banding ini diketuk pada Kamis (18/12/2025).
Selain Iwan, PT DKI juga memperberat vonis untuk Kepala Bidang Pemanfaatan Disbud DKI Jakarta nonaktif Mohamad Fairza Maulana alias Keta menjadi 8 tahun dengan denda Rp 500 juta dan subsider 3 bulan penjara.
Keta juga divonis untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 1,4 miliar subsider 3 tahun. Ia dinilai terbukti menerima dan menikmati hasil korupsi dalam kasus ini.
Sebelumnya Keta divonis 6 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta dan subsider 3 bulan penjara.
Sementara itu, vonis pemilik Event Organizer (EO) GR-Pro, Gatot Arif Rahmadi diperberat menjadi 9 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara.
Dia juga divonis membayar uang pengganti senilai Rp 13,4 miliar subsider 4 tahun penjara.
Tapi, uang pengganti ini dapat dikurangi karena Kejaksaan telah menyita sejumlah harta dan barang milik Gatot, misalnya uang tunai Rp 7 juta dan 1 unit mobil merek Suzuki Ertiga.
Sebelumnya, Gatot divonis 8 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara.
Dia divonis membayar uang pengganti senilai Rp 13,2 miliar subsider 3 tahun penjara.
Perbuatan Iwan, Keta, dan Gatot diyakini melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Mereka diyakini telah menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp 36,3 miliar.
Perbuatan koruptif ini terjadi pada periode 2022-2024.
Saat itu, Iwan membuat ratusan kegiatan seni palsu untuk mencairkan anggaran dari pemerintah provinsi.
Pada kurun waktu 2 tahun, Dinas Kebudayaan Jakarta membayar Rp 38.658.762.470,69 kepada Gatot.
Padahal, uang yang secara nyata digunakan untuk kegiatan hanya sebesar Rp 8.196.917.258.
Selain itu, terdapat nilai pembayaran ke Swakelola Bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan DKJ sebesar Rp 6.770.674.200.
Sementara, nilai penggunaan riilnya hanya Rp 913.474.356 yang berarti terdapat selisih Rp 5.857.199.844.
Secara keseluruhan, nilai anggaran yang dibayarkan adalah Rp 45.429.436.670,69 dan hanya digunakan secara nyata sebesar Rp 9.110.391.614.
Selisih kedua unsur ini dinilai menjadi kerugian keuangan negara yang mencapai Rp 36,3 miliar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: korupsi
-
/data/photo/2025/04/29/6810c7056a741.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
PT DKI Perberat Vonis Eks Kadisbud Jakarta Jadi 12 Tahun Penjara, Uang Pengganti Rp 20,5 M
-
/data/photo/2025/12/20/6945d644038b0.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Korupsi yang Dirancang
Korupsi yang Dirancang
Guru Besar Ilmu Manajemen, Dosen Program Studi Doktor Manajemen Berkelanjutan Institut Perbanas
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
KORUPSI
di Indonesia bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan hasil dari desain kekuasaan yang keliru.
Setiap kali publik diguncang kasus
korupsi
yang melibatkan pejabat dan jejaring keluarganya, kemarahan muncul, lalu menghilang.
Sistem tetap berjalan, aktor berganti, pola tetap sama. Ini menandakan satu hal penting: korupsi tidak lagi bersifat deviasi, tetapi terinstitusionalisasi.
Dalam teori
institutional corruption
(Lessig, 2011), sistem dapat terlihat sah secara hukum, tapi gagal secara etika dan fungsi karena insentif yang mendorong penyimpangan.
Ketika jabatan publik membuka akses terhadap rente ekonomi—anggaran, izin, proyek—maka korupsi menjadi adaptasi rasional, bukan anomali.
Becker (1968) bahkan menegaskan, kejahatan akan terus terjadi selama manfaatnya lebih besar daripada risikonya. Dalam konteks ini, korupsi bukan soal karakter individu, melainkan logika sistem yang salah arah.
Fenomena proyek ijon memperlihatkan bagaimana korupsi dimulai jauh sebelum kekuasaan dijalankan.
Dalam teori
political finance
(Scarrow, 2007), biaya politik yang mahal menciptakan ketergantungan struktural kandidat pada penyandang dana. Relasi ini melahirkan
quid pro quo:
dukungan hari ini ditukar dengan kebijakan dan proyek esok hari.
Akibatnya, ruang kebijakan publik telah terkunci sejak awal. APBD kehilangan fungsi sebagai instrumen pembangunan dan berubah menjadi alat pembayaran utang politik.
Dalam kerangka
state capture
(Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000), kebijakan negara dibajak oleh kepentingan sempit sebelum negara sempat menjalankan mandatnya. Inilah sebabnya korupsi di tingkat daerah sering bersifat masif, terencana, dan tidak mudah dibongkar.
Negara-negara yang berhasil keluar dari jebakan ini tidak memulai dari moral, tetapi dari pembenahan desain politik.
Jerman dan Kanada, misalnya, menekan korupsi bukan dengan hukuman ekstrem, tetapi dengan membuat biaya politik murah, transparan, dan diaudit ketat.
Dana kampanye dibatasi, dilaporkan
real-time,
dan pelanggaran administratif ditindak cepat. Hasilnya, insentif untuk menjual proyek sebelum berkuasa menjadi tidak rasional.
Keterlibatan keluarga dalam korupsi sering disederhanakan sebagai nepotisme. Padahal, secara teoritik, ia merupakan solusi informal atas lemahnya institusi.
Dalam
principal–agent theory
(Jensen & Meckling, 1976), masalah utama bukan niat, melainkan kepercayaan. Ketika sistem hukum tidak mampu menjamin kepastian dan perlindungan, aktor politik memilih keluarga dan kolega sebagai
trust network.
Di sinilah korupsi berubah menjadi organisasi ekonomi tertutup. Keluarga dan kolega berfungsi sebagai penyimpan aset, perantara proyek, dan pelindung konflik kepentingan.
Hukuman pidana terhadap individu menjadi tidak efektif karena aset dan kendali tersebar. Penindakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan kapasitas negara, tapi teori
deterrence
menegaskan bahwa tanpa pemiskinan aset dan pemutusan jaringan, efek jera hanya bersifat simbolik.
Sebaliknya, Singapura memutus korupsi keluarga dengan pendekatan berbeda. Negara ini tidak hanya menghukum pelaku, tetapi menghilangkan ruang aman bagi aset dan konflik kepentingan.
Transparansi kekayaan, larangan keras keterlibatan keluarga dalam urusan negara, serta kepastian hukum yang cepat membuat korupsi menjadi risiko karier yang permanen, bukan spekulasi sesaat.
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa korupsi tidak diberantas, melainkan digantikan. Digantikan oleh sistem yang membuat korupsi tidak rasional secara ekonomi, politik, dan sosial.
Georgia pasca-2004, misalnya, tidak memulai dengan memburu semua pelaku lama, tetapi dengan memotong total ruang rente melalui digitalisasi layanan publik, deregulasi radikal, dan pemecatan massal aparat korup. Hasilnya, peluang korupsi runtuh karena sistemnya tidak lagi menyediakan celah.
Pelajaran utamanya jelas: negara harus beralih dari pendekatan moralistik ke rekayasa insentif. Pembiayaan politik harus transparan dan murah.
Hukuman harus menargetkan manfaat ekonomi, bukan sekadar badan. Konflik kepentingan keluarga harus ditutup secara sistemik.
Data anggaran dan pengadaan harus terbuka, dapat dilacak, dan diawasi publik. KPK perlu diposisikan bukan hanya sebagai penindak, tetapi sebagai arsitek sistem pencegahan yang mengikat.
Namun, desain negara tidak akan bekerja tanpa masyarakat. Dalam teori
collective action
(Olson, 1965), kejahatan sistemik bertahan karena publik tidak bertindak serempak.
Normalisasi korupsi kecil, toleransi politik uang, dan cepatnya publik melupakan skandal membuat korupsi hidup dari kelelahan sosial.
Negara-negara yang berhasil menekan korupsi membangun ingatan publik yang panjang, bukan sekadar kemarahan sesaat.
Korupsi di Indonesia tidak akan berhenti karena kita membencinya. Ia berhenti ketika sistem membuatnya bodoh untuk dilakukan.
Ketika biaya politik transparan, ketika hukuman finansial melampaui hasil kejahatan, ketika keluarga tidak lagi menjadi benteng, dan ketika publik tidak mudah lupa.
Selama jabatan masih diperlakukan sebagai investasi, proyek sebagai panen, dan kekuasaan sebagai warisan, korupsi akan terus hidup. Bukan sebagai kecelakaan, tetapi sebagai konsekuensi desain yang belum kita berani ubah.
Pertanyaannya kini tinggal satu: apakah negara siap mengganti korupsi dengan sistem yang lebih rasional, atau terus hidup dalam korupsi yang ia rancang sendiri?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/19/69443a035669c.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Saat 3 Jaksa Penuntut Jadi Pesakitan: Berkomplot dengan Pengacara Peras Warga Korea
Saat 3 Jaksa Penuntut Jadi Pesakitan: Berkomplot dengan Pengacara Peras Warga Korea
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Tiga orang jaksa di Banten diduga terlibat dalam pemerasan terhadap warga negara asing (WNA) asal Korea Selatan (Korsel).
Ketiganya ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (17/12/2025).
Para jaksa ini ditangkap bersama dua orang lain dari pihak swasta yang merupakan pengacara dan penerjemah.
Ketiga jaksa ini lebih dahulu terjaring OTT KPK pada Rabu malam. Pada Kamis dini hari, berkas kasus ini dilimpahkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
KPK menyebutkan, Kejagung telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) lebih dulu. Tapi, para tersangka ini justru lebih dahulu ditangkap tim Gedung Merah Putih.
“Ternyata di sana (Kejagung) sudah memang terhadap orang-orang tersebut sudah jadi tersangka, dan sudah terbit surat perintah penyidikannya. Untuk kelanjutan penyidikannya, tentu nanti dilanjutkan di Kejaksaan Agung,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (19/12/2025) dini hari.
Kasus tiga jaksa dan dua pihak swasta ini kemudian dilimpahkan ke Kejagung untuk ditindaklanjuti.
Usai menerima pelimpahan ini, Kejagung un merilis inisial para jaksa dan status kepegawaian mereka.
Tiga jaksa yang telah ditetapkan sebagai tersangka ini adalah:
1. HMK selaku Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Kejaksaan Negeri Tigaraksa.
2. RV selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU).
3. RZ yang menjabat sebagai pejabat struktural Kasubag di Kejaksaan Tinggi Banten.
Sementara, dua pihak swasta yang telah ditetapkan sebagai tersangka adalah seorang pengacara berinisial DF dan seorang penerjemah atau ahli bahasa berinisial MS.
*Modus Pemerasan*
Kelima tersangka ini diduga melakukan pemerasan terhadap WNA Korsel yang tengah menghadapi proses pidana di Banten.
Warga Korsel itu disebut sedang menjalani sidang untuk kasus terkait Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Ini terkait dengan penanganan perkara tindak pidana umum ITE, di mana yang melibatkan warga negara asing sebagai pelapor, dan juga tersangkanya ada warga negara asing dan warga negara Indonesia,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, saat ditemui di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (19/12/2025).
Ketiga jaksa disebut memeras WNA Korsel yang tengah bersidang itu dengan memberikan sejumlah ancaman.
Sebelum kasus ini dilimpahkan ke Kejagung, KPK menemukan, jaksa mengancam akan memberikan vonis yang lebih tinggi kepada WNA Korsel itu.
“Modus-modusnya di antaranya ancaman untuk pemberian tuntutan yang lebih tinggi, penahanan, dan ancaman-ancaman dalam bentuk lainnya,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (19/12/2025).
Penasehat hukum dan penerjemah juga diduga terlibat dalam proses pemerasan tersebut.
Saat ini, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang pemerasan.
Penyidik juga telah menyita uang tunai sebesar Rp 941 juta.
*Diberhentikan Sementara*
Ketiga jaksa yang terjaring OTT KPK ini telah diberhentikan sementara oleh Kejaksaan Agung.
“Yang jelas untuk ini sudah diberhentikan sementara, baik itu Kasipidum, Kasubag, dan Jaksa yang terlibat sekarang,” kata Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna, Jumat.
Anang mengatakan pemberhentian sementara ini dilakukan untuk menjaga independensi dan objektivitas penanganan perkara yang kini diambil alih oleh Kejaksaan Agung.
Lebih lanjut, Anang menegaskan, pihaknya tidak akan melindungi oknum internal apabila penyidikan menemukan alat bukti yang kuat, termasuk jika perkara ini berkembang dan melibatkan pihak dengan jabatan lebih tinggi.
“Prinsipnya kita tidak akan melindungi terhadap oknum-oknum di kita selama itu barang bukti dan alat buktinya kuat cukup kita tindaklanjuti,” tegasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/20/6945c5190e8f2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Bongkar Alur Pemerasan: Uang Kepala Dinas Tak Langsung ke Kejari HSU, Lewat Anak Buah Dulu
KPK Bongkar Alur Pemerasan: Uang Kepala Dinas Tak Langsung ke Kejari HSU, Lewat Anak Buah Dulu
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dua klaster perantara aliran uang pemerasan dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Hulu Sungai Utara (HSU) Albertinus P. Napitupulu.
Skema ini melibatkan dua pejabat Kejari HSU sebagai penghubung antara Kajari dan para kepala dinas.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, aliran dana hasil pemerasan ke Albertinus tidak diterima secara langsung, melainkan dibagi ke dalam dua klaster perantara, yakni melalui Tri Taruna Fariadi sebagai Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara dan Asis Budianto sebagai Kepala Seksi Intelijen Kejari HSU.
“Albertinus diduga menerima aliran uang sekurang-kurangnya sebesar Rp 804 juta secara langsung maupun melalui perantara yakni ASB (Asis Budianto) dan TAR (Tri Taruna),” ujar Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (19/12/2025).
Klaster pertama melalui Tri Taruna Fariadi, Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejari HSU. Melalui klaster ini, KPK mencatat penerimaan uang dari RHM, Kepala Dinas Pendidikan HSU, sebesar Rp 207 juta, serta dari EVN, Direktur RSUD HSU, sebesar Rp 235 juta.
Sementara klaster kedua melalui Asis Budianto, Kepala Seksi Intelijen Kejari HSU. Dari jalur ini, Albertinus diduga menerima uang dari YND, Kepala Dinas Kesehatan HSU, sebesar Rp 149,3 juta.
Asep menjelaskan, Asis Budianto merupakan pejabat yang lebih dahulu bertugas di Kejari HSU dan diduga menjadi perantara pemerasan dalam periode Februari hingga Desember 2025.
Selain berperan sebagai perantara, Asis juga diduga menerima aliran dana pribadi sebesar Rp 63,2 juta.
Atas perbuatannya, KPK menetapkan Albertinus P. Napitupulu, Asis Budianto, dan Tri Taruna Fariadi sebagai tersangka.
Dua di antaranya telah ditahan untuk 20 hari pertama sejak 19 Desember 2025, sementara satu tersangka lain yaitu Tri Taruna masih dalam pencarian.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2002 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP jo Pasal 64 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Bantuan 30 Ton Beras dari UEA Dikembalikan, Laode M Syarif: Kebodohan Diselimuti Kesombongan
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menyorot tajam terkait bantuan beras 30 ton.
Bantuan ini disebut datang dari bantuan negara asing yaitu Uni Emirat Arab (UEA).
Bantuan beras hingga 30 ton ini ditujukan ke lokasi terdampak banjir di Kota Medan.
Namun yang disorot oleh Laode M Syarif adalah kabar soal bantuan tersebut yang dikembalikan.
Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, ia memberikan sindiran dan menyebut hal ini sebagai kesombongan.
“Ketika Kebodohan diselimuti kesombongan 😩,” tulisnya dikutip Jumat (19/12/2025).
Sebelumnya, Pemerintah Kota Medan mengembalikan bantuan 30 ton beras dari Pemerintah Uni Emirat Arab (UAE) yang ditujukan bagi korban banjir.
Wali Kota Medan Rico Waas menyebut pengembalian ini dilakukan usai pihaknya melakukan pengecekan regulasi dari Pemerintah Pusat.
“Intinya adalah memang kita sudah cek tentang regulasi dan penyampaian. Kita cek BNPB juga, dan Kementerian Pertahanan bahwasanya memang melalui koordinasi semua, ini tidak diterima dulu,” ujar Rico
Adapun alasan pengembalian ini dilakukan lantaran pemerintah pusat memang tidak mengizinkan bantuan dari asing untuk korban bencana.
(Erfyansyah/fajar)
-
/data/photo/2025/12/18/694432223caed.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Feri Amsari: Kalkulasi Politik dan Anggaran Bikin Pemerintah Enggan Tetapkan Bencana Nasional Sumatera Regional 19 Desember 2025
Feri Amsari: Kalkulasi Politik dan Anggaran Bikin Pemerintah Enggan Tetapkan Bencana Nasional Sumatera
Tim Redaksi
SEMARANG, KOMPAS.com
– Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai keengganan pemerintah menetapkan status bencana nasional terhadap tiga provinsi di Sumatera tidak lepas dari kesalahan kalkulasi politik dan keterbatasan anggaran negara.
“Bencana ini disebabkan kalkulasi politik yang tidak cermat, terutama ketidakpatuhan kepada Undang-Undang Dasar. Akibatnya timbul bencana,” kata Feri usai menghadiri Sarasehan Hari Anti Korupsi Sedunia bertajuk “Korupsi dan Darurat Iklim” di Semarang, Kamis (18/12/2025).
Feri juga menilai, status
bencana nasional
tidak ditetapkan Presiden Prabowo Subianto karena pemerintah pusat tidak memiliki cukup anggaran untuk menangani bencana di
Sumatera
Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.
“Kalkulasi lain ya karena angka-angka mereka tidak sanggup untuk bertanggung jawab. Kalau diterapkan sebagai status bencana nasional kan seluruh penanggulangan akan diserahkan kepada pemerintah pusat,” lanjutnya.
Ia menyebut salah satu faktor utama adalah ketidakmampuan pemerintah pusat menanggung konsekuensi penanganan bencana nasional.
“Sementara uang pemerintah pusat sedang tidak ada, buktinya dana penanggulangan bencana dipotong 50 persen. Itu yang menyebabkan tersendat-sendat dan mereka tidak mampu kemudian untuk menerapkan ini sebagai status bencana nasional,” ujarnya.
Menurut Feri, penetapan status bencana nasional juga memiliki konsekuensi penting yang kerap dihindari pemerintah, salah satunya kewajiban mengevaluasi kebijakan yang selama ini dijalankan.
“Di balik penetapan status bencana nasional itu ada konsekuensi lain, misalnya me-review kebijakan sebelumnya di tata kelola tambang atau kewajiban melakukan evaluasi kebijakan lingkungan hidup,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa bencana yang terjadi tidak semata-mata akibat faktor alam, melainkan hasil dari kebijakan negara.
“Ini bukan karena peristiwa alam, tetapi akibat ulah orang yang berdasarkan dari kebijakan negara,” kata Feri.
Feri menilai kondisi penanganan bencana di lapangan masih jauh dari harapan.
Karena itu, ia mendesak pemerintah segera menetapkan status bencana nasional agar bantuan internasional dapat masuk dan tersalurkan kepada korban.
“Status bencana nasional harus segera diumumkan. Kita itu terbuka mestinya dibantu sebagai mitra. Ini kan negara-negara ASEAN dan warga dunia,” ujarnya.
Ia menegaskan, menerima bantuan internasional tidak akan meruntuhkan kewibawaan negara maupun kepemimpinan nasional.
“Apa salahnya menerima bantuan? Ini bukan meruntuhkan kewibawaan negara atau seorang pemimpin menerima bantuan,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

/data/photo/2025/12/16/69416eb59f4df.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

