Kasus: KKN

  • Aktivis Tapol Napol Jawa Timur Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Nilai Soemitro Lebih Layak

    Aktivis Tapol Napol Jawa Timur Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Nilai Soemitro Lebih Layak

    Surabaya (beritajatim.com) — Polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali mencuat dan menuai penolakan dari sejumlah kalangan.

    Pemerintah melalui Menteri Sosial Saifullah Yusuf sebelumnya menyebut bahwa Soeharto berpeluang mendapat gelar tersebut sebagai bentuk pengakuan atas jasa-jasanya dalam pembangunan bangsa.

    Namun rencana ini langsung mendapatkan kritik keras, khususnya dari mantan tahanan politik era Orde Baru.

    Ketua Forum Tapol Napol Jawa Timur, Trio Marpaung, menegaskan bahwa Soeharto justru merupakan sosok yang tidak layak diberikan gelar kehormatan negara.

    “Mantan Presiden Soeharto tidak layak mendapat gelar Pahlawan Nasional. Ada banyak pelanggaran HAM di era Orba. Dengan dalih pembangunan dan stabilitas politik, pemerintah Soeharto selalu melakukan kekerasan, mulai penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, bahkan pembunuhan terhadap para pengkritiknya,” ujar Trio di Surabaya, Rabu (5/11/2025).

    Trio menilai pemberian gelar tersebut justru akan menjadi preseden buruk bagi sejarah bangsa dan memunculkan upaya pemutihan sejarah Orde Baru.

    “Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan mengkhianati keadilan dan semangat rekonsiliasi masa lalu. Ada upaya glorifikasi yang dilakukan beberapa pihak untuk memutihkan sejarah kekerasan Orde Baru,” ujarnya.

    Usulkan Soemitro sebagai Calon

    Di tengah perdebatan tersebut, Trio Marpaung justru mengusulkan tokoh nasional lain yang dianggap lebih layak mendapat gelar Pahlawan Nasional, yakni ekonom terkemuka Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

    “Saya melihat, jika pemerintah ingin memberikan gelar Pahlawan Nasional, maka Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo jauh lebih pantas. Beliau adalah Begawan Ekonomi Indonesia yang memajukan perekonomian bangsa,” tegas Trio.

    Trio Marpaung Aktivis 98 Jawa Timur

    Trio menyebut integritas moral Soemitro tidak diragukan dan jauh berbeda dibanding Soeharto.

    “Secara integritas moral, Soemitro tidak pernah melakukan KKN dan dugaan pelanggaran HAM berat. Berbeda jauh dengan Soeharto,” lanjut Aktivis ‘98 tersebut.

    Jasa Soemitro dalam Ekonomi Nasional

    Soemitro dikenal sebagai salah satu arsitek ekonomi Indonesia yang melahirkan sejumlah kebijakan fundamental di awal sejarah republik, antara lain:

    Pencetus Program Benteng (1950) untuk mendorong industrialisasi dan pemberdayaan pengusaha pribumi.
    Menjadi perumus fondasi ekonomi nasional yang menjadi arah pembangunan bangsa.
    Kontribusi Intelektual: Menulis sekitar 130 buku dan makalah, serta menjadi Pendiri Fakultas Ekonomi UI yang hingga kini menjadi salah satu pusat pendidikan ekonomi nasional.

    “Soemitro memenuhi syarat integritas moral yang ketat bagi seorang Pahlawan Nasional dan berkontribusi intelektual secara fundamental bagi ekonomi Indonesia di rezim manapun,” imbuh Trio.

    Trio juga menanggapi isu keterlibatan Soemitro dalam PRRI di Sumatera. Menurutnya, Soemitro telah mendapat amnesti dan kembali diangkat dalam jabatan pemerintahan.

    “Jika ada yang mempertanyakan tentang keterlibatan Soemitro dalam PRRI di Sumatera, maka kita wajib jujur bahwa beliau telah mendapat amnesti dan kembali aktif di pemerintahan. Pemberian amnesti ini menghapus konsekuensi pidana, sehingga integritas moralnya tetap terjaga,” pungkasnya. (ted)

  • Mahasiswi Asal Bojonegoro Terseret Banjir Saat Tubing di Sungai Singorojo Kendal Belum Ditemukan

    Mahasiswi Asal Bojonegoro Terseret Banjir Saat Tubing di Sungai Singorojo Kendal Belum Ditemukan

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Tim SAR gabungan masih berupaya mencari mahasiswi asal Bojonegoro yang hilang setelah terseret arus banjir saat kegiatan tubing di Sungai Singorojo, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Korban diketahui bernama Nabila Yulian Dessi Pramesti, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang yang tengah menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Getas, Kecamatan Singorojo.

    Nabila merupakan anak dari pasangan Agus Yulianto dan Sulikah, warga Desa Mojosari, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Hingga Rabu pagi (5/11/2025), pencarian terhadap korban masih terus dilakukan oleh tim SAR gabungan yang terdiri dari BPBD Kendal, Basarnas Jawa Tengah, PMI, TNI-Polri, serta relawan dan warga sekitar.

    Kepala Desa Mojosari, M Teguh Rahayu, membenarkan bahwa salah satu korban hilang merupakan warganya. “Belum ditemukan. Kami sangat berharap dan ikut mendoakan semoga anak dari Pak Agus dan Bu Sulikah segera ditemukan,” ujarnya saat dihubungi melalui telepon.

    Kepala Pelaksana BPBD Bojonegoro Heru Wicaksi juga mengonfirmasi bahwa korban asal Bojonegoro tersebut masih dalam pencarian. “Untuk saat ini survivor atas nama Nabila Yulian Dessi Pramesti dengan alamat Desa Mojosari RT 11 RW 02 Kecamatan Kalitidu masih dilakukan pencarian oleh tim SAR Kendal, dan keluarga korban sudah berangkat ke lokasi kejadian,” ungkapnya.

    Peristiwa tragis itu terjadi pada Selasa (4/11/2025) sekitar pukul 13.53 WIB, ketika enam mahasiswa UIN Walisongo sedang bermain tubing di Sungai Singorojo. Meski cuaca di lokasi cerah, hujan deras di wilayah hulu menyebabkan sungai meluap dan arus mendadak deras hingga menyeret para mahasiswa.

    Dari enam mahasiswa tersebut, tiga ditemukan meninggal dunia: Riska Amelia, Sifa Nadilah, dan M Labib Rizki. Sementara tiga lainnya, yakni M Jibril As Sarafi, Nabila Yulian Dessi Pramesti, dan Bima Pranawira, masih dinyatakan hilang dan terus dicari hingga kini. [lus/beq]

  • 6 Mahasiswa UIN Hanyut di Sungai Kendal Peserta KKN, Pihak Kampus Buka Suara

    6 Mahasiswa UIN Hanyut di Sungai Kendal Peserta KKN, Pihak Kampus Buka Suara

    Kendal

    Enam mahasiswa UIN Walisongo Semarang hanyut di Sungai Singorojo, Kendal, Jawa Tengah. Pihak kampus mengatakan keenam mahasiswa itu merupakan peserta KKN.

    “Kami perwakilan dari UIN Walisongo turut berduka cita atas meninggalnya ketiga mahasiswa kami. Ketiga mahasiswa kami yang meninggal terseret arus sungai bernama Labib, Rizka Amelia dan Syifa Nadila,” kata Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat UIN Walisongo, Semarang, Masrur dilansir detikJateng, Selasa (4/11/2025).

    Tiga dari enam korban hanyut telah ditemukan meninggal dunia. Sementara tiga mahasiswa lainnya masih hilang hingga malam ini.

    Masrur menyebut para mahasiswa yang hanyut merupakan peserta KKN di Desa Getas Kecamatan Singorojo. Mulanya, ada 15 mahasiswa yang bermain di Sungai Singorojo.

    Namun, 9 mahasiswa bisa menyelamatkan diri, sedangkan 6 mahasiswa lainnya terseret derasnya arus sungai. Akibat kejadian ini, KKN di Desa Getas dihentikan.

    Baca selengkapnya di sini

    (ygs/whn)

  • Keceriaan KKN Berujung Musibah, Enam Mahasiswa UIN Semarang Hanyut di Sungai Jolinggo Kendal

    Keceriaan KKN Berujung Musibah, Enam Mahasiswa UIN Semarang Hanyut di Sungai Jolinggo Kendal

    Liputan6.com, Jakarta Enam mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang hanyut di Sungai Jolinggo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Selasa (4/11/2025).

    “Betul, ada mahasiswa yang hanyut. Kami sedang fokus membantu pencarian,” kata Kapolres Kendal AKBP Hendry Sianipar.

    Saat kejadian, debit air tiba-tiba membesar hingga menyebabkan para korban hanyut.

    Dia mengatakan perkembangan pencarian korban akan disampaikan setelah data di lapangan diperoleh.

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, peristiwa yang terjadi sekitar pukul 13.53 WIB itu bermula ketika sejumlah mahasiswa bermain air di tubing Genting Jalinggo di Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal.

    Saat kejadian, kondisi arus sungai cukup kuat akibat hujan deras di bagian hulu.

    Petugas SAR gabungan masih melakukan pencarian terhadap enam mahasiswa UIN Semarang tersebut.

  • Mahasiswa KKN UIN Walisongo Hanyut di Kendal, 4 Meninggal, 2 Masih Dicari
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        4 November 2025

    Mahasiswa KKN UIN Walisongo Hanyut di Kendal, 4 Meninggal, 2 Masih Dicari Regional 4 November 2025

    Mahasiswa KKN UIN Walisongo Hanyut di Kendal, 4 Meninggal, 2 Masih Dicari
    Tim Redaksi
    KENDAL, KOMPAS.com
    – Enam mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Getas, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, hanyut saat bermain air di Tubing Genting Jolinggo, Selasa (4/11/2025).
    Empat mahasiswa—tiga perempuan dan satu laki-laki—telah ditemukan meninggal dunia, sementara dua lainnya masih dicari.
    Kepala Seksi Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD Kabupaten
    Kendal
    , Iwan Sulistyo, menjelaskan pihaknya menerima laporan kejadian tersebut sekitar pukul 13.53 WIB.
    Menurut informasi awal, enam dari 15
    mahasiswa KKN UIN Walisongo
    Semarang sedang bermain air di sungai.
    Kondisi arus saat itu landai, namun mendadak datang banjir bandang akibat hujan deras di wilayah atas Temanggung dan Sumowono, Kabupaten Semarang.
    “Empat korban yang sudah ditemukan, dua korban masih dalam pencarian,” kata Iwan, Selasa (4/11/2025).
    Nama-nama Korban Menurut Data BPBD Kendal
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polemik Asal Usul Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

    Polemik Asal Usul Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Polemik usulan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Presiden ke-2 RI, Soeharto terus bergulir.

    Usulan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto pertama kali digaungkan oleh Kementerian Sosial. Nama Soeharto masuk di antara beberapa nama yang diusulkan turut mendapatkan gelar tersebut.

    Rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kembali mencuat sekitar Maret tahun ini. Saat itu, rencana tersebut dikemukakan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul.

    Dia mengemukakan bahwa pihaknya bersama dengan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) telah membahas pengusulan calon Pahlawan Nasional tahun 2025.

    “Nah, semangatnya Presiden sekarang ini kan semangat kerukunan, semangat kebersamaan, semangat merangkul, semangat persatuan. Mikul duwur mendem jero,” kata Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dilansir dari laman resmi Kementerian Sosial, Rabu (19/3/2025).

    Adapun usulan itu akan diseleksi dan digodok oleh anggota TP2GP yang terdiri dari Staf Ahli, akademisi, budayawan, perwakilan BRIN, TNI, serta Perpustakaan Nasional. Selain lintas unsur sosial, mekanisme pengusulan Pahlawan Nasional juga harus melalui tahapan berjenjang dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat. 

    “Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kita. Jadi memang prosesnya dari bawah,” kata Mensos Gus Ipul.

    Sementara itu, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih mengungkapkan sudah ada 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025. Dari jumlah tersebut, empat nama merupakan usulan baru, sementara enam lainnya merupakan pengajuan kembali dari tahun-tahun sebelumnya.

    “Untuk tahun 2025 sampai dengan saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh. Empat pengusulan baru, dan enam adalah pengusulan kembali di tahun-tahun sebelumnya,” kata Mira Riyati.

    Dalam perkembangan terbaru, Gus Ipul optimistis nama Pahlawan Nasional yang baru dapat diumumkan secara resmi sebelum memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November 2025. 

    Kementerian Sosial tahun ini memberikan berkas usulan sebanyak 40 nama untuk menjadi pahlawan nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), dan sebagian besar nama tersebut merupakan hasil pembahasan dari tahun-tahun sebelumnya.  

    “Ya mudah-mudahan, insyaallah sih. Insyaallah sebelum 10 November dan nanti dari nama-nama itu akan dipilih beberapa nama,” kata dia dilansir dari Antara, Selasa (28/10/2025).

    Namun, dia memastikan bahwa proses penetapan calon pahlawan nasional dilakukan melalui mekanisme seleksi berlapis dan melibatkan berbagai unsur, mulai dari masyarakat hingga tim ahli tingkat pusat.

    “Ya nanti itu menyesuaikan Dewan Gelar ya untuk punya kesempatan lapor kepada Presiden. Seperti Presiden Soeharto dan Presiden Gus Dur misalnya, itu sudah diusulkan lima atau 10 tahun yang lalu. Tapi kemarin itu karena masih ada hambatan-hambatan tentang syarat-syarat formal, maka masih ditunda. Tetapi karena syarat-syarat formalnya sudah terpenuhi semua, maka untuk tahun ini kita usulkan ke Dewan Gelar,” kata dia.

    Golkar Usulkan Nama Soeharto ke Prabowo

    Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menghadap Presiden Prabowo Subianto untuk mengajukan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    “Saya bilang Bapak Presiden, dengan penuh harapan, lewat mekanisme rapat DPP Partai Golkar kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai pahlawan nasional,” ujar Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin.

    Bahlil menilai Soeharto memiliki jasa besar bagi bangsa dan negara, antara lain dalam membangun kedaulatan pangan dan energi, menekan inflasi tinggi, serta membawa Indonesia dikenal sebagai salah satu kekuatan ekonomi di Asia pada masanya.

    Sebagai tokoh pendiri dan pembina Partai Golkar yang memimpin Indonesia lebih dari tiga dekade, Bahlil mengatakan Soeharto telah memberikan kontribusi penting terhadap pembangunan nasional.

    “Saya pikir sudah sangat layak, pantas, dan sudah saatnya untuk kemudian pemerintah bisa memberikan sebagai gelar Pahlawan Nasional. Itu yang tadi keputusan daripada DPP Partai Golkar,” kata Bahlil dilansir dari Antara, Senin (3/11/2025).

    Dalam pertemuan tersebut, Bahlil mengatakan Presiden Prabowo menerima aspirasi Partai Golkar terkait usulan tersebut dan menyatakan akan mempertimbangkannya sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

    “Bapak Presiden Prabowo mengatakan bahwa saya menerima dan akan mempertimbangkan. Sudah barang tentu itu lewat mekanisme internal, kan ada, ada mekanisme yang harus dilalui,” ucap Bahlil.

    Melanggar Hukum

    Direktur Eksekutif Lembaga Kajian demokrasi dan kebajikan publik Public Virtue Research Institute (PVRI), Muhammad Naziful Haq menolak rencana penetapan gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto 

    Menurutnya, jika gelar tersebut tetap diberikan, maka sama saja mengkhianati cita-cita kemerdekaan Indonesia. Hal ini tidak lepas dari historis Soeharto yang lekat dengan pelanggaran HAM, penyelewengan kekuasaan, hingga militeristik. 

    “Soeharto bukan bukan nominasi yang tepat. Secara historis, dia adalah bagian dari otoritarianisme masa lalu yang mengkhianati cita-cita kemerdekaan,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

    Dia juga menyoroti usulan nama yang mendapatkan gelar pahlawan di mana dari 40 nama, 10 di antaranya berlatar belakang militer, 11 memiliki latar belakang elite agama, 19 lainnya dari berbagai latar. 

    Naziful menilai, hal ini berkaitan erat dengan kepentingan politik antara para elite untuk memberikan gelar pahlawan.

    “Nominasi nama-nama pahlawan di satu sisi tidak lepas dari politik pengkultusan individu, namun di sisi lain mencerminkan kompromi antara aktor penguasa dan kelompok agama yang sedang diakomodasi,” ujarnya.

    Selain itu, menurut Peneliti PVRI, Alva Maldini usulan nama Soeharto seolah mencoba mengubur masalah-masalah yang terjadi masa itu. Terlebih, katanya, nama Marsinah dan Gus Dur masuk dalam usulan sebagai simbol kelompok buruh dan ikon demokrasi. 

    “Namun ketika dua nama ini bersanding dengan nama Suharto dalam situasi militerisme dan menyempitnya ruang sipil, ada risiko dua nama ini menjadi apologi untuk situasi saat ini atau bahkan tukar guling politik,” jelas Alva.

    Ketua Dewan Setara Institute Hendardi menilai rencana pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto melanggar hukum. Menurutnya, Soeharto lekat dengan masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan.

    Hendardi mengatakan, upaya mengharumkan mertua Prabowo Subianto itu sudah berjalan sistematis. Sebab, katanya, tepat sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 

    Menurutnya, pencabutan TAP MPR itu mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah dinilai seolah ingin melepaskan nama Soeharto dari masalah-masalah yang pernah dibuatnya.

    “Selain itu jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

  • Dukung Soeharto Jadi Pahlawan, Unggahan PSI yang Menyerang Keluarga Cendana Kembali Viral

    Dukung Soeharto Jadi Pahlawan, Unggahan PSI yang Menyerang Keluarga Cendana Kembali Viral

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kini mendukung Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, jadi pahlawan nasional. Hal itu dinilai kontras dengan sikap PSI sebelumnya.

    Pada 15 Mei 2018, PSI melalu akun resminya di X mengunggah sebuah video yang membandingkan keluarga Presiden ke-7 Jokowi dengan Soeharto. Di situ, PSI membeberkan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) keluarga Cendana alias Soeharto.

    “Anak-anak Jokowi mah gak manfaatin jabatan bapaknya. Beda sama anak penguasa rezim Orba,” tulis PSI di video tersebut, dikutip Sabtu (1/11/2025).

    Setelahnya, dugaan KKN itu dipaparkan. Misalnya anak Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, serta anaknya yang lain.

    “Tutut misalnya, punya ribuah hektare lahan sawit, stasiun tv, dan jalan tol.
    Bambang bangun bimantara dan manfaatkan Bulog untuk impor pangan,” paparnya.

    “Tommy memonopili impor barang mewah dan tata niaga cengkeh,” sambungnya.

    Selain itu, disebutkan pula banyak yayasan dibentuk. Bahkan, kroni Soeharto pun disebut dipermudah membangun kerajaan bisnis.

    “Banyak yayasan mereka didirikan untuk keruk keuntungan. Para kroninya juga dipermudah menguasai lahan bisnis,” jelasnya.

    “1998, Cendana mengantongi kekayaan Rp200 triliun rupiah. Lawan rezim KKN, dukung presiden jujur!” tambahnya.

    Sebelumnya, PSI menilai rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, merupakan langkah yang tepat dan berani. Menurutnya, bangsa Indonesia perlu menilai Soeharto secara utuh – bukan hanya dari sisi kontroversinya, tapi juga dari kontribusinya yang besar bagi pembangunan nasional.

  • Tiga Hakim Vonis Lepas Kasus Korupsi CPO Dituntut 12 Tahun Penjara

    Tiga Hakim Vonis Lepas Kasus Korupsi CPO Dituntut 12 Tahun Penjara

    Bisnis.com, JAKARTA — Tiga hakim yang menjatuhkan vonis lepas (ontslag) terhadap kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada tahun 2022 masing-masing dituntut pidana 12 tahun penjara.

    Ketiga hakim tersebut, yakni hakim ketua Djuyamto bersama dengan para hakim anggota Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharuddin.

    “Kami menuntut agar para terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap yang dilakukan secara bersama-sama,” kata jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) Syamsul Bahri Siregar dikutip dari Antara, Selasa (29/10/2025).

    Selain pidana penjara, JPU juga menuntut agar ketiga terdakwa dijatuhkan pidana denda masing-masing sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan.

    Tak hanya itu, ketiga hakim juga dituntut agar dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, dengan memperhitungkan aset terdakwa yang telah dilakukan penyitaan dalam penyidikan sebagaimana pembayaran uang pengganti berupa bangunan dan tanah.

    Secara perinci, Djuyamto dituntut untuk membayar uang pengganti senilai Rp9,5 miliar serta Ali dan Agam masing-masing Rp6,2 miliar, dengan masing-masing subsider 5 tahun penjara.

    Dengan demikian, JPU menuntut agar ketiga terdakwa dinyatakan bersalah sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sebelum melayangkan tuntutan, JPU mempertimbangkan perbuatan ketiga terdakwa yang tidak mendukung program rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), telah mencederai kepercayaan masyarakat khususnya terhadap institusi lembaga peradilan yudikatif, serta telah menikmati hasil tindak pidana, sebagai hal memberatkan.

    “Sementara hal meringankan yang dipertimbangkan, yakni para terdakwa belum pernah dihukum serta bersikap kooperatif dan mengakui perbuatannya,” ungkap JPU.

    Dalam perkara tersebut, tiga hakim didakwa menerima suap secara total Rp21,9 miliar. Disebutkan bahwa uang diterima para hakim sebanyak dua kali.

    Pertama, diterima oleh Djuyamto sebesar Rp1,7 miliar serta Agam dan Ali masing-masing Rp1,1 miliar. Kedua, diterima oleh Djuyamto senilai Rp7,8 miliar serta Agam dan Ali masing-masing Rp5,1 miliar.

    Uang suap diduga diterima bersama-sama dengan mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.

    Secara total, uang yang diterima para hakim bersama Arif dan Wahyu sebesar 2,5 juta dolar AS atau Rp40 miliar.

    Suap diduga diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi pada kasus CPO, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

    Atas perbuatannya, ketiga hakim didakwa melanggar Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf c atau Pasal 12B jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Aroma Haus Kekuasaan Keluarga Jokowi Sudah Tercium Sejak Lama

    Aroma Haus Kekuasaan Keluarga Jokowi Sudah Tercium Sejak Lama

    GELORA.CO -Aroma haus kekuasaan keluarga Joko Widodo sudah terlihat sejak awal sosok yang akrab disapa Jokowi itu menjadi Presiden Indonesia.

    Hal tersebut diungkap aktivis sekaligus akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun saat menguliti kebijakan kontroversial mantan Presiden Jokowi, termasuk soal proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh. 

    “Saya tahu data, informasi yang valid, keluarga ini (Jokowi) menggunakan strategi populisme ‘menutupi’ hal-hal yang terkait praktik KKN. Tanda-tandanya sudah kelihatan dari awal berkuasa,” kata sosok yang akrab disapa Ubed dikutip dari podcast Abraham Samad Speak Up, Rabu, 29 Oktober 2025.

    Ubed tercatat sudah beberapa kali melaporkan Jokowi dan keluarganya terkait dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun sayangnya, hingga kini laporan ke KPK tidak membuahkan hasil.

    Ubed mencermati, praktik kekuasaan Jokowi selama dua periode menjadi presiden terasa janggal.

    “Banyak praktik kekuasaannya memunculkan pertanyaan-pertanyaan besar, ini harus dihentikan karena haus kekuasaan. Saya sudah mengingatkan kekuasaan ini semakin bahaya, ditambah (ada) represi terhadap para aktivis pada waktu itu,” cerita Ubed.

    Menurutnya, Jokowi cukup cerdik menggunakan popularitasnya untuk menyembunyikan hasrat haus kekuasaan. 

    “Makin kelihatan dia bersembunyi di balik populisme untuk menyembunyikan otoritariannya, menyembunyikan hasrat berkuasanya, menyembunyikan kleptokrasinya,” tandas Ubed

  • Setara Institute: Rencana Gelar Pahlawan untuk Soeharto Melanggar Hukum

    Setara Institute: Rencana Gelar Pahlawan untuk Soeharto Melanggar Hukum

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Dewan Setara Institute Hendardi menilai rencana pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto melanggar hukum. Menurutnya, Soeharto lekat dengan masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan.

    Hendardi mengatakan, upaya mengharumkan mertua Prabowo Subianto itu sudah berjalan sistematis. Sebab, katanya, tepat sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 

    Menurutnya, pencabutan TAP MPR itu mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah dinilai seolah ingin melepaskan nama Soeharto dari masalah-masalah yang pernah dibuatnya.

    “Selain itu jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

    Dia menuturkan bahwa dalam aturan tersebut, untuk memperoleh gelar tanda jasa harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur di Pasal 24, yakni WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara; berkelakuan baik; setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 

    “Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan,” ujar Ketua Dewan Setara Institute Hendardi.

    Hendardi juga menyinggung putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US$315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sekitar Rp4,4 triliun dengan kurs saat itu.

    Selain itu, Soeharto turut didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta pihak-pihak terdekat Cendana 

    “Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan,” tegasnya.