Kasus: KKN

  • Kapolres Sumenep Pastikan Seleksi Penerimaan Bintara Brimob Tanpa Pungutan

    Kapolres Sumenep Pastikan Seleksi Penerimaan Bintara Brimob Tanpa Pungutan

    Sumenep (beritajatim.com) – Polres Sumenep mulai melaksanakan Pemeriksaan Administrasi (Rikmin) awal Penerimaan Bintara Brimob TA 2026 Panda Jawa Timur, di Aula Trawang Polres Sumenep pada Kamis (20/11/2025).

    Kegiatan ini merupakan tahapan awal dalam proses seleksi calon Bintara Brimob yang digelar secara serentak di jajaran Polda Jawa Timur.

    Pemeriksaan administrasi awal meliputi pengecekan berkas, kelengkapan dokumen persyaratan, legalitas identitas, serta kesesuaian data yang telah diunggah peserta pada sistem pendaftaran. Setiap calon peserta diperiksa secara teliti oleh panitia untuk memastikan seluruh persyaratan terpenuhi sebelum mengikuti tahapan seleksi berikutnya.

    Kapolres Sumenep AKBP Rivanda mengatakan, proses seleksi dilaksanakan secara profesional dan berpegang pada prinsip BETAH (Bersih, Transparan, Akuntabel, dan Humanis).

    “Seluruh rangkaian penerimaan anggota Polri, termasuk Bintara Brimob, wajib dilaksanakan tanpa pungutan biaya dan bebas dari praktik percaloan. Kami pastikan setiap peserta mendapatkan kesempatan yang sama sesuai ketentuan,” katanya.

    Sebagai bagian dari komitmen Polri dalam menjamin proses yang transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), maka telah dilakukan penandatanganan Pakta Integritas dan pengambilan Sumpah Penerimaan Bintara Brimob Polri.

    “Penandatanganan Pakta Integritas ini adalah bukti komitmen kita bahwa proses seleksi berlangsung bersih. Tanpa suap, tanpa titipan, dan tanpa intervensi apa pun. Kami ingin memastikan bahwa mekanisme berjalan transparan dan hanya mereka yang benar-benar memenuhi syarat yang bisa melanjutkan tahapan,” tandasnya.

    Menurutnya, pengawasan ketat dilakukan untuk menjaga objektivitas seleksi, sekaligus memberikan pemahaman kepada peserta tentang pentingnya kejujuran dan disiplin sejak tahap awal rekrutmen.

    “Polres Sumenep terus memperkuat sistem pengawasan internal untuk menjaga integritas lembaga dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses rekrutmen maupun kegiatan operasional lainnya,” ungkapnya.

    Jumlah pendaftar Bintara Brimob Polri secara online dari Kabupaten Sumenep sebanyak 49 orang dan sudah terverifikasi sebanyak 36 orang. Para peserta yang dinyatakan memenuhi syarat administrasi akan melanjutkan proses seleksi selanjutnya di tingkat Panda Jatim. (tem/but)

  • Tidak Terbukti Lakukan Korupsi jadi Hal Meringankan Vonis Eks Dirut ASDP

    Tidak Terbukti Lakukan Korupsi jadi Hal Meringankan Vonis Eks Dirut ASDP

    Bisnis.com, JAKARTA — Majelis hakim PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjelaskan hal yang meringankan dan memberatkan vonis eks Dirut PT ASDP, Ira Puspadewi dkk.

    Hakim Anggota Nur Sari Baktiana menjelaskan ada sejumlah hal yang meringankan vonis ini yaitu perbuatan Ira dkk dalam akuisisi ini bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi.

    Namun, perbuatan yang dinilai merugikan negara ini merupakan kelalaian yang dilakukan tanpa memperhatikan kehati-hatian dalam prosedur tata kelola aksi korporasi.

    “Perbuatan terdakwa bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, namun kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan itikad baik dalam prosedur dan tata kelola aksi korporasi PT ASDP,” ujar Nur Sari di PN Tipikor, Kamis (20/11/2025).

    Hal yang meringankan lainnya yakni, Ira telah memberikan warisan untuk PT ASDP; memiliki tanggungan keluarga; dan aksi korporasi dalam akuisisi ini dilakukan untuk kepentingan publik.

    Selain itu, Nur Sari menegaskan bahwa Ira Dkk tidak terbukti menerima aliran dana maupun keuntungan finansial dari perkara rasuah ini.

    “Para terdakwa tidak terbukti menerima keuntungan finansial,” imbuhnya.

    Sementara itu, hal yang memberatkan vonis Ira yaitu tidak mendukung program pemerintah dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi atau KKN.

    Selanjutnya, menyalahgunakan kepercayaan sebagai direksi BUMN dan perbuatan para terdakwa juga dinilai telah mengakibatkan PT ASDP terbebani hutang dan kewajiban yang besar atas akusisi PT JN.

    “Dampak perbuatan para terdakwa mengakibatkan pt ASDP terbebani hutang dan kewajiban yang besar,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, dalam perkara ini Ira telah divonis 4,5 tahun dengan denda Rp500 juta. Sementara itu, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi divonis 4 tahun dan denda Rp500 juta.

  • Viral ‘Raw Milk’ Disebut Bikin Anak Lebih Kebal, Dokter Ungkap Fakta Sebenarnya

    Viral ‘Raw Milk’ Disebut Bikin Anak Lebih Kebal, Dokter Ungkap Fakta Sebenarnya

    Jakarta

    Viral belakangan ini di media sosial X sebuah narasi seorang netizen yang mengaku memberikan susu mentah atau unpasteurized untuk anaknya. Cuitan tersebut mengundang banyak komentar netizen yang menyebut langkah itu dapat berbahaya untuk anak.

    Spesialis gizi dr Raissa E DJuanda, SpGK mengungkapkan hingga saat ini tidak ada bukti ilmiah terkait susu unpasteurized lebih sehat dibandingkan susu pasteurisasi atau susu formula. Menurut dr Raissa, nyatanya kandungan gizi dalam susu tidak berkurang signifikan melalui proses pasteurisasi.

    Terlebih susu yang unpasteurized juga masih mengandung banyak patogen yang berbahaya untuk kesehatan pencernaan. Sehingga, risiko penyakitnya lebih besar dibandingkan manfaatnya.

    “Raw milk juga biasanya masih ada bakteri patogennya seperti E Coli, Salmonella, Listeria, yang semuanya bukan sesuatu yang menguatkan imun. Tidak ada bukti raw milk meningkatkan kekebalan tubuh anak. dan tidak ada nutrisi ‘superior’ yang hanya ada di raw milk,” ungkap dr Raissa ketika dihubungi detikcom, Rabu (19/11/2025).

    dr Raissa lantas membagikan beberapa cara memilih susu yang cocok untuk anak. Untuk anak usia 1-5 tahun sebaiknya pilih susu pasteurisasi atau Ultra High Temperature (UHT), bukan raw milk. Bila memerlukan tambahan nutrisi tertentu, bisa memilih produk susu yang sudah difortifikasi.

    Sedangkan untuk anak usia lebih dari 5 tahun, bisa konsumsi susu pasteurisasi atau UHT biasa. Namun, susu pada usia ini hanya sebagai pelengkap, sebaiknya lebih fokus pada pola makan bergizi seimbang.

    “Raw milk bukan lebih sehat untuk anak. Yang ‘natural’ tidak selalu aman. Pasteurisasi membuat susu jauh lebih aman tanpa merusak nutrisi. Pilihlah susu yang sudah dipastikan higienis, memiliki izin edar, dan sesuai kebutuhan gizi anak,” tandasnya.

    Semua ini berawal dari sebuah cuitan warganet yang mengaku memberikan susu unpasteurized untuk anaknya. Susu yang disebutnya didapat langsung dari peternakan itu dianggap lebih natural dan lebih baik untuk konsumsi anak-anaknya.

    “Raw and unpasteurized milk..Langsung dari peternak. Saya hanya memberi real foods untuk keluarga saya. No ultra processed foods. Oh ya, gimana, anak anda masih konsumsi susu bubuk formula? Yg katanya bikin pintar. Selamat, anda dikibuli oleh produsen sufor,” ujar netizen tersebut.

    “Aku pernah KKN di suatu desa, mrk punya peternakan sapi sendiri. Setiap pagi mereka minum susu nya dan itu direbus dulu loh. Mereka blg gaboleh minum raw milk karna banyak bakteri. Raw milk hanya untuk anak sapi,” balas netizen yang tidak setuju dengan aksi tersebut.

    “Kayanya sebagai dosen teknologi pangan yang fokus ke mikrobiologi gue harus komentar. Susu harus dipasteurisasi sebelum dikonsumsi, Karena susu sangat rentan terkontaminasi patogen (penyebab penyakit) misal Salmonella, E. coli, Listeria dll. Kalau mau ambil resiko, ya silhkn aja,” ujar netizen lain.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Profil Ketua Sidang Rospita yang Viral di Sidang Ijazah Jokowi

    Profil Ketua Sidang Rospita yang Viral di Sidang Ijazah Jokowi

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua sidang ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) Rospita Vici Paulyn viral usai mencecar pihak KPU Surakarta, Jawa Tengah hingga Universitas Gajah Mada (UGM) di sidang Komisi Informasi Pusat (KIP), Jakarta, Senin (17/11/2025)

    Persidangan ini merupakan lanjutan dari gugatan yang diajukan para pemohon mulai dari akademisi, aktivis, dan jurnalis yang tergabung dalam Bongkar ljazah Jokowi (Bonjowi).

    Sementara itu, pihak termohon mencakup lima pihak, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM), KPU RI, KPU DKI Jakarta, KPU Surakarta, dan Polda Metro Jaya.

    Dalam sidang lanjutan itu, sempat memanas ketika KPU Surakarta mengonfirmasi bahwa arsip pencalonan Jokowi saat maju sebagai Wali Kota Solo telah dimusnahkan.

    Pernyataan itu langsung memicu interupsi tegas dari Ketua Majelis, Rospita Vici Paulyn, yang mempertanyakan dasar hukum pemusnahan dokumen negara yang dinilai krusial.

    “PKPU nomor berapa yang menyatakan itu dimusnahkan?” tanya Rospita.

    Rospita mempertanyakan bagaimana dokumen negara, yang berpotensi menjadi objek sengketa, dapat dimusnahkan hanya dalam satu tahun, terlebih PKPU yang menjadi acuan baru terbit pada 2023 dan belum melewati tiga tahun retensi minimal pada 2025.

    Selain itu, dalam sidang ini juga menyoroti soal keberadaan arsip akademik Jokowi selama kuliah di Fakultas Kehutanan, UGM.

    Pasalnya, UGM menyatakan bahwa mereka tidak memiliki dokumen Kartu Rencana Studi (KRS) maupun laporan Kuliah Kerja Nyata (KKN) atas nama Jokowi.

    Profil Rospita Vici Paulyn

    Berdasarkan lama komisiinformasi.go.id yang dikutip Rabu (19/11/2025), Rospita Vici Paulyn adalah Ketua Bidang Penelitian Komisi Informasi.

    Dia lahir pada 11 Juni 1974 di Jayapura, Papua. 

    Sebelum berkarier di Komisi Informasi, Rospita sempat menjadi Dosen di Lembaga Manajemen Sukabumi 4, dan sebagai Direktur pada perusahaan Jasa Konstruksi CV Prima Karya Khatulistiwa hingga 2016. 

    Perempuan lulusan Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Tanjungpura Pontianak ini sempat menjadi Komisioner Komisi Informasi Kalimantan Barat (Kalbar). Dia pun dipercaya menjadi Ketua Komisi Informasi Kalbar.

    Selain itu, Rospita sempat menggeluti jabatan di sejumlah organisasi mulai dari Ketua Umum Forum Sarjana Perempuan (FORSSAP) Kalimantan Barat, Ketua I Ikatan Alumni Fakultas Teknik (IAFT) Universitas Tanjungpura hingga tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kalimantan Barat.

  • BonJowi Ajukan Sengketa Informasi Ijazah Jokowi ke KIP, UGM Akui Tak Punya SOP Legalisasi pada Era 1980–1985

    BonJowi Ajukan Sengketa Informasi Ijazah Jokowi ke KIP, UGM Akui Tak Punya SOP Legalisasi pada Era 1980–1985

    GELORA.CO – Kelompok BonJowi atau Bongkar Ijazah Jokowi, resmi mengajukan sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP), Jakarta Pusat, Senin, 17 November 2025.

    Gugatan ini dilayangkan terhadap lima badan publik untuk menuntut keterbukaan dokumen akademik Presiden Joko Widodo.

    Kelima lembaga yang digugat adalah Universitas Gadjah Mada (UGM), KPU RI, KPU DKI Jakarta, KPU Surakarta, dan Polda Metro Jaya.

    Sengketa ini diajukan setelah permintaan informasi sejak Juli 2025 dinilai tidak mendapat tanggapan memadai.

    “KPU RI dan DKI mengabulkan sebagian, UGM dan KPU Surakarta tidak memberikan, Polda Metro tidak menanggapi,” tulis BonJowi dalam keterangan resmi.

    Sorotan Kejanggalan pada Salinan Ijazah

    Tim BonJowi mengungkap temuan dari tiga salinan legalisir ijazah yang digunakan Jokowi untuk pencalonan Gubernur DKI 2012, Capres 2014, dan Capres 2019.

    Poin kejanggalan yang mereka temukan adalah adanya perbedaan warna cap legalisir antara dokumen 2012, 2014 dan 2019.

    Kemudian tidak adanya tanggal, bulan, dan tahun legalisasi pada ketiga salinan. Lalu adanya perbedaan posisi cap legalisir di tiap dokumen.

    “Apakah UGM benar menggunakan tinta merah untuk legalisir? Itu tidak lazim untuk dokumen resmi,” ujar tim.

    Majelis Soroti SOP Legalisasi: UGM Akui Tidak Ada SOP pada Era Jokowi Kuliah

    Dalam persidangan, Ketua Majelis, Rospita Vici Paulyn, langsung menyoroti keberadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) legalisasi ijazah pada periode Jokowi kuliah pada 1980–1985, hingga momen pencalonan presiden.

    “SOP dan aturan legalisasi ijazah pada masa permintaan legalisasi?” tanya Rospita.

    “Enggak ada,” jawab perwakilan UGM.

    UGM menyampaikan bahwa Jokowi memang pernah mengajukan legalisasi ijazah, namun kampus tidak memiliki SOP tertulis pada masa tersebut.

    Aturan akademik disebut hanya berbentuk buku panduan, bukan format prosedural baku sebagaimana SOP modern.

    “Kalau SOP ya, SOP dalam artian prosedural seperti sekarang itu memang tidak ada pada zaman itu. Proses aturannya dalam bentuk buku panduan, tapi memang tidak spesifik menjelaskan hal yang diminta pemohon,” ujar perwakilan UGM.

    Majelis kemudian meminta penjelasan isi buku panduan itu. Namun jawaban perwakilan kampus dinilai belum memberikan gambaran lengkap.

    “Dari yang beberapa ini, apa yang ada di dalam buku panduan itu? Misalnya terkait masa studi, ada enggak? Aturan DO?” tanya Rospita.

    “Untuk di dalam buku panduan itu terkait kurikulum ada,” jawab UGM.

    Ketika ditanya mengenai aturan Kuliah Kerja Nyata (KKN), pihak UGM kembali tidak memberikan kepastian.

    “Untuk KKN, dari kami belum bisa memastikan karena itu yang menguasai adalah fakultas,” kata perwakilan kampus.

    Majelis kemudian menyinggung aturan penanganan data akademik pada era tersebut. Pertanyaan ini kembali dijawab dengan ketidakjelasan.

    “Aturan sidang kurang tahu juga karena itu. Kalau untuk penanganan data akademik ini kayaknya enggak ada ya,” ucap perwakilan UGM.

    Sidang akhirnya menyimpulkan bahwa SOP legalisasi ijazah untuk periode 1980–1985 memang tidak ada dalam bentuk yang dibutuhkan pemohon.

    “Iya, kalau yang bentuknya SOP enggak ada,” tutup perwakilan UGM.

    Bukan Soal Palsu atau Asli, Tapi Hak Publik atas Dokumen Akademik

    Jurnalis senior Lukas Luwarso menegaskan bahwa langkah ini bukan untuk mendikotomikan isu ijazah asli atau palsu.

    “Kita ingin membuktikan melalui UU KIP bahwa ada jalan yang elegan dan berbasis bukti,” ujar Lukas Luwarso.

    Sementara itu, Ahmad Akhyar Muttaqin mengatakan persoalan ini berkaitan dengan hak hukum atas dokumen tersebut.

    “Pertanyaannya bukan hanya asli atau palsu, tapi apakah yang bersangkutan berhak secara hukum atas dokumen itu,” ujarnya.

    Kuasa hukum BonJowi, Petrus Celestinus, menilai bahwa ijazah yang digunakan untuk jabatan publik tidak bisa ditutup-tutupi dengan alasan data pribadi.

    “Masyarakat punya hak untuk mengetahui. Jangan sampai Komisi Informasi tersandera oleh kepentingan dalam kasus ijazah ini,” katanya.

    Majelis memutuskan sengketa dilanjutkan ke Ajudikasi. UGM diwajibkan melakukan uji konsekuensi dalam dua minggu untuk membuktikan dasar pengecualian informasi akademik yang mereka klaim sebagai rahasia.

    Sementara KPU RI, KPU DKI, KPU Surakarta, diarahkan ke mediasi, karena sebagian informasi dinyatakan dapat diberikan atau telah diberikan sebelumnya.

  • Sederet Kontroversi Sidang Sengketa Informasi Ijazah Jokowi

    Sederet Kontroversi Sidang Sengketa Informasi Ijazah Jokowi

    Bisnis.com, JAKARTA — Sidang sengketa informasi terkait ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), kembali bergulir di Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Senin (17/11/2025).

    Tiga temuan utama mencuat dan saling berkelindan pemusnahan cepat arsip pencalonan Jokowi oleh KPU Surakarta, absennya sejumlah dokumen akademik Jokowi di Universitas Gadjah Mada (UGM), serta jawaban administrasi UGM yang dinilai tidak memenuhi standar lembaga publik.

    Rangkaian kejanggalan ini memperkuat kontroversi yang mengitari proses sengketa informasi yang diajukan kelompok Bongkar Ijazah Jokowi (Bonjowi).

    Arsip Pencalonan Dimusnahkan dalam Waktu Satu Tahun

    Sidang memanas ketika KPU Surakarta mengonfirmasi bahwa arsip pencalonan Jokowi saat maju sebagai Wali Kota Solo telah dimusnahkan.

    Pernyataan itu langsung memicu interupsi tegas dari Ketua Majelis, Rospita Vici Paulyn, yang mempertanyakan dasar hukum pemusnahan dokumen negara yang dinilai krusial.

    “PKPU nomor berapa yang menyatakan itu dimusnahkan?” tanya Rospita.

    Pihak KPU menjawab bahwa dokumen tersebut masuk kategori “arsip musnah” berdasarkan PKPU Nomor 17 Tahun 2023 dengan masa retensi satu tahun aktif dan dua tahun inaktif.

    Namun jawaban itu justru memperkuat kecurigaan majelis. Rospita mempertanyakan bagaimana dokumen negara — yang berpotensi menjadi objek sengketa — dapat dimusnahkan hanya dalam satu tahun, terlebih PKPU yang menjadi acuan baru terbit pada 2023 dan belum melewati tiga tahun retensi minimal pada 2025.

    “Saya tidak tahu arsip mana yang satu tahun kemudian dimusnahkan,” ujarnya.

    Ketidakjelasan landasan hukum pemusnahan ini membuat majelis menegaskan akan menelusuri lebih jauh prosedur penghancuran arsip tersebut.

    UGM Tak Punya Salinan KRS, KKN, hingga Ijazah Fisik

    Kejanggalan tidak berhenti di KPU Surakarta. Giliran UGM mendapat sorotan saat majelis memeriksa keberadaan arsip akademik Jokowi selama kuliah di Fakultas Kehutanan.

    UGM menyatakan bahwa mereka tidak memiliki dokumen Kartu Rencana Studi (KRS) maupun laporan Kuliah Kerja Nyata (KKN) atas nama Jokowi. Bahkan setelah dilakukan pelacakan internal hingga ke fakultas, dokumen tersebut dinyatakan tidak ditemukan.

    “Tidak ada itu. Kami telah mencoba sedemikian rupa,” ujar perwakilan UGM saat ditanya Rospita mengenai KRS.

    Hal yang sama dijawab ketika ditanya tentang laporan KKN.
    UGM juga mengakui tidak lagi memegang salinan fisik ijazah yang pernah diserahkan ke Polda Metro Jaya dalam perkara sebelumnya. Yang tersisa, menurut mereka, hanya salinan digital atau hasil pemindaian berwarna.

    Kondisi ini membuat majelis mempertanyakan apakah UGM benar-benar masih menguasai dokumen akademik penting seorang kepala negara.

    Rospita menekankan bahwa sidang belum menyentuh soal keterbukaan data pribadi—yang dipersoalkan UGM—melainkan hanya menilai apakah dokumen-dokumen tersebut masih berada dalam penguasaan universitas.

    “Ada tidak dalam penguasaan UGM?” tegasnya.

    UGM Disebut Tidak Menggunakan Kop Resmi dan Tanpa Tanda Tangan

    Selain persoalan hilangnya dokumen, standar administrasi UGM kembali dipertanyakan ketika majelis menyoroti surat balasan UGM kepada pemohon yang dikirim melalui email pada 14 Agustus.

    Surat tersebut disebut tidak menggunakan kop resmi UGM dan tidak ditandatangani pejabat pengelola informasi.

    “Kenapa tidak menggunakan kop? Ini badan publik. Menjawab permohonan informasi seharusnya memakai surat resmi. Ini bahkan tidak ditandatangani,” kata Rospita.

    Dia menegaskan bahwa pejabat pengelola informasi di UGM memiliki kewenangan administratif berdasarkan SK Rektor, sehingga tidak ada alasan untuk mengirim balasan informal. Tanpa kop, tanpa tanda tangan, dan tanpa kejelasan penanggung jawab, menurutnya jawaban itu tidak memenuhi standar legalitas lembaga publik.

    “Surat resmi harus dijawab secara resmi, tidak boleh asal,” ujarnya.

    Sidang sengketa informasi ini mempertemukan Bonjowi dengan lima badan publik sekaligus. Namun hingga persidangan hari itu ditutup, belum ada titik terang yang memuaskan baik soal pemusnahan arsip, keberadaan dokumen akademik, maupun validitas administrasi balasan UGM.

    KIP menegaskan pemeriksaan akan berlanjut untuk menggali lebih jauh potensi pelanggaran prosedur, kelalaian administrasi, dan kejanggalan retensi dokumen. Seiring itu, kontroversi pun semakin mencuat—bukan hanya soal keberadaan ijazah Jokowi, melainkan tata kelola arsip dan standar transparansi lembaga publik yang kini ikut dipertaruhkan.

  • Perwakilan UGM Dicecar Majelis Sidang KIP soal Ijazah Jokowi: Banyak Jawaban ‘Tidak Ada’

    Perwakilan UGM Dicecar Majelis Sidang KIP soal Ijazah Jokowi: Banyak Jawaban ‘Tidak Ada’

    GELORA.CO – Majelis sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) mendapati banyak jawaban “tidak ada” saat menginterogasi perwakilan Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang prosedur legalisasi ijazah. Pertanyaan khusus diajukan terkait Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku saat masa kuliah hingga pencalonan Presiden Joko Widodo.

    Sidang sengketa informasi publik terkait ijazah Presiden ke-7 RI ini digelar di Jakarta, Senin (17/11/2025).

    Hadir sebagai pemohon koalisi Bongkar Ijazah Jokowi (Bonjowi) yang terdiri dari akademisi, aktivis, dan jurnalis, sementara termohon dihadiri perwakilan UGM, KPU DKI Jakarta, KPU Surakarta, dan Polda Metro Jaya.

    “SOP dan aturan legalisasi ijazah pada masa permintaan legalisasi?” tanya Ketua Majelis Sidang, Rospita Vici Paulyn.

    “Enggak ada,” jawab pihak termohon.

    UGM mengakui Jokowi pernah melakukan legalisasi ijazah, namun kampus tidak memiliki SOP tertulis sejak masa kuliah Jokowi di Fakultas Kehutanan (1980–1985) hingga pendaftaran capres 2014 dan 2019. SOP hanya tersedia dalam bentuk buku panduan tanpa format baku.

    “Sampai sekarang ada, sudah ada belum, enggak ada juga? Terkait penanganan permintaan verifikasi ijazah juga enggak ada aturannya?” tanya Rospita.

    “Kami yakin ya, eh, dengan status Pak Jokowi di kami, ada, ada Bu,” jawab termohon.

    “Ada ya? SOP-SOP enggak pernah ada?” tanya Rospita lagi.

    Perwakilan UGM menjelaskan, “Kalau SOP ya, SOP dalam artian prosedural yang kita maknai saat ini itu memang, memang tidak ada pada zaman itu. Jadi, pada saat itu proses aturannya itu dalam bentuk buku panduan. Jadi buku panduan, tapi memang tidak spesifik juga ya apa menjelaskan perihal SOP yang Bapak/Ibu dari pemohon itu minta, gitu.”

    Ketua majelis kemudian mendalami isi buku panduan yang dimaksud, namun jawaban yang diterima dinilai tidak lugas. Termohon menyebut buku panduan hanya memuat kurikulum dan aturan drop out (DO), sementara informasi seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau proses akademik lain harus ditanyakan ke fakultas.

    “Nah, dari yang beberapa ini apa yang ada di dalam buku panduan itu? Misalnya terkait masa studi, ada enggak? Aturan DO?” tanya Rospita.

    “Mohon izin. Ya. Untuk yang di dalam buku panduan itu terkait dengan kurikulum ada,” jawab termohon.

    “Kurikulum ada?” tanya Rospita lagi.

    “Terkait dengan drop out ada,” jawab termohon.

    “KKN?” tanya Rospita.

    “Untuk KKN, kalau dari kami belum bisa memastikan ya karena itu yang menguasai adalah fakultas, nanti yang bisa menjelaskan fakultas,” jawab termohon.

    Rangkaian pertanyaan berlanjut hingga majelis menyimpulkan banyak ketiadaan aturan. “Oke, dicek lagi ya, aturan sidang?” tanya Rospita.

    “Aturan sidang kurang tahu juga karena itu. Kalau untuk penanganan data akademik ini kayaknya enggak ada ya…”

    Penelusuran berakhir dengan pengakuan resmi dari UGM bahwa periode 1980-1985 memang tidak ada SOP legalisasi ijazah dalam format yang diminta pemohon. “Iya, kalau untuk yang bentuknya SOP enggak ada,” jawab termohon menutup keterangan.

  • Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa

    Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa

    Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa
    Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute
    PADA
    peringatan Hari Pahlawan tahun ini, Indonesia menambah 10 nama baru dalam daftar Pahlawan Nasional. Sejak gelar itu dianugerahkan pertama kali pada 1959 hingga 2023, negeri sudah memiliki 206 orang pahlawan nasional.
    Menariknya, dari daftar 10 nama baru itu, terselip dua nama yang jalan hidupnya berseberangan dalam panggung sejarah: Soeharto dan
    Marsinah
    .
    Soeharto adalah pendiri sekaligus penguasa tertinggi rezim Orde Baru yang mengangkangi negeri ini selama 32 tahun. Sebaliknya, Marsinah adalah sosok rakyat jelata yang dibunuh secara keji oleh sistem Orde Baru.
    Bayangkan, dalam beberapa tahun ke depan, ketika pelajaran sejarah akan dituturkan kepada generasi baru, bagaimana menceritakan Soeharto dan Marsinah?
    Bisahkah kisah Marsinah, yang dibunuh secara keji pada awal Mei 1993, dituturkan tanpa menyebut Soeharto dan Orde Baru-nya?
    Marsinah, yang lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, lahir dari keluarga miskin. Ia kemudian diasuh oleh nenek dan bibinya. Marsinah muda merasakan pahit-getirnya terlempar dari bangku sekolah karena biaya pendidikan.
    Marsinah adalah satu contoh dari mereka yang tersisih dari derap pembangunan era Orde Baru. Lahir dari keluarga miskin, bukan keluarga PNS atau ABRI, pilihan Marsinah untuk menaiki tangga sosial sangatlah terbatas. Pilihan yang terbuka hanya menjadi buruh pabrik.
    Awalnya, ia bekerja di pabrik sepatu bata di Surabaya. Lalu, setahun berselang, ia pindah tempat bekerja: menjadi buruh PT Catur Putra Surya (PT. CPS), pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
    Namun, ketika bekerja sebagai buruh, ia diperhadapkan dengan sistem perburuhan Orde Baru: politik upah murah, hubungan industrial Pancasila, dan pelibatan militer dalam konflik industrial (Dwi-Fungsi ABRI).
    Saat itu, upah Marsinah hanya Rp 1.700 per hari. Di tahun yang sama, harga beras adalah Rp 700/kg. Artinya, 41,18 persen upah hari buruh habis hanya untuk satu kilogram beras.
    Pada 1993, upah pekerja naik sebesar 20 persen berdasarkan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Seharusnya upah Marsinah dan kawan-kawannya naik menjadi Rp 2.250 per hari. Namun, perusahan tempat Marsinah bekerja tak mengindahkan beleid itu.
    Situasi itulah yang membuat Marsinah dan kawan-kawannya memakai cara yang diakui oleh hukum perburuhan negara beradab: mogok kerja.
    Namun, politik perburuhan Orde Baru menekankan stabilitas di bawah panji-panji hubungan industrial Pancasila: buruh, bersama pengusaha dan pemerintah, dianggap ”satu keluarga besar” yang seharusnya hidup harmonis.
    Dalam cara pandang itu, aksi mogok dianggap sebagai tindakan yang tidak pancasilais dan tidak indonesia (Vedi Hadiz, 1998).
    Pada masa itu, untuk menegakkan politik stabilitas, termasuk menegakkan hubungan industrial Pancasila, penguasa Orde Baru melibatkan tentara. Dan itu dimungkinkan karena ada doktrin Dwifungsi ABRI.
    Pada 1986, Menteri Tenaga Kerja Sudomo mengeluarkan Keputusan Menteri 342/1986 yang mengharuskan aparat keamanan (Kodim dan Korem) terlibat dalam penyelesaian penyelesaian industrial.
    Bahkan, petugas Depnaker perlu berkoordinasi dengan Pemda, Polres dan Kodim ketika menanggulangi ancaman tindakan fisik dalam pemogokan (Rudiono, 1992: 80).
    Tahun 1990-an, ketika aksi mogok buruh mulai berkembang karena kondisi kerja yang buruk dan politik upah murah, Bakorstanas melalui Surat Keputusan Nomor 02/Satnas/XII/1990 memberi wewenang kepada militer untuk mendeteksi, mencegah, dan menekan gejolak buruh.
    Situasi itulah yang memberi pintu pada Koramil Porong dan Kodim Sidoarjo untuk bergerak mengintervensi aksi mogok yang digelar oleh Marsinah dan kawan-kawannya.
    Pada 5 Mei 1993, hari ke-3 aksi mogok kerja, sebanyak 13 buruh ditangkap dan digelandang ke Kodim Sidoarjo.
    Hari itu, Marsinah sempat mendatangi markas Kodim Sidoarjo untuk menanyakan nasib kawan-kawannya. Namun, setelah itu, keberadaan Marsinah tak diketahui lagi.
    Hingga, pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di hutan jati Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Sebelum meninggal, Marsinah mengalami penganiayaan dan penyiksaan super berat. Ia bahkan diperkosa sebelum dibunuh.
    Di sini jelas sekali bahwa Marsinah adalah korban dari sistem politik perburuhan Orde Baru. Dan penanggung jawab tertinggi dari sistem itu adalah Soeharto.
    Tentu saja, kita tak bisa hidup dalam situasi yang disebut oleh Paul Ricœur (2000) sebagai ”ingatan berlebihan”, yang membuat kita hanya berkutak dengan masa lalu dan tak berusaha mencari jalan keluar untuk menatap masa depan.
    Namun, ingatan bangsa tak boleh mengabaikan ”luka sejarah” atau ”memoria passionis” tetap menjadi luka yang menganga dan tak tersembuhkan.
    Di sini, Ricœur (2000) menawarkan dua jalan. Pertama, narasi sejarah yang benar, berpijak pada fakta-fakta yang bisa diuji secara ilmiah, sebagai jalan mengubur hantu-hantu masa lalu.
    Pemahaman sejarah yang benar akan menuntun kita untuk tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.
    Kedua, pemulihan keadilan dengan meruntuhkan tembok impunitas dan pengakuan bersalah dari pelaku. Tanpa keduanya, rekonsoliasi nasional hanya ”kosmetik politik” dan proyek politik yang rapuh.
    Namun, keputusan mengangkat Marsinah bersanding dengan Soeharto justru berusaha menyusun ingatan bangsa dalam narasi sejarah yang bermasalah, mempertebal impunitas, dan memperlebar luka sejarah yang belum tersembuhkan.
    Tanpa narasi sejarah yang benar, Marsinah adalah korban politik perburuhan dan doktrin Dwifungsi ABRI era Orde Baru, bangsa ini tidak pernah belajar dari masa lalu.
    Dan seperti dikatakan penulis Spanyol, George Santayana, ”mereka yang tak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.”
    Selain itu, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, tokoh yang bertanggung-jawab terhadap banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, hanya mempertebal tembok impunitias dan membuka luka sejarah semakin menganga.
    Kasus pembunuhan Marsinah, yang terjadi pada 32 tahun yang lampau, sampai sekarang belum terang-benderang. Saat itu, ada sembilan orang ditangkap, yang sebagian besar petinggi PT CPS dan Satpam.
    Pada tingkat kasasi, keputusan Mahkamah Agung mememutuskan para tersangka bebas murni karena tak terbukti membunuh Marsinah. Dalam kesaksiannya, para tersangka mengaku disiksa oleh aparat militer setempat untuk mengaku sebagai pembunuh Marsinah.
    Padahal, dari kronologi hingga temuan forensik, ada peran aparat yang sangat besar dalam kasus tersebut.
    Abdul Mun’im Idries, seorang saksi ahli yang menuliskan temuannya dalam Indonesian X-Files (2013), penyebab kematian Marsinah bukan karena sodokan balok tumpul, melainkan senjata api yang ditembakkan ke rongga kemaluan dan menghancurkan tulang di sekelilingnya.
    Padahal, Ricœur mengingatkan, ingatan kolektif bukan sekadar mengingat beberapa potongan kejadian di masa lalu, tetapi ingatan yang menagih agar kejahatan masa lalu diselesaikan secara adil.
    ”Setiap orang berhak atas keadilan, bahkan ketika ia sudah tiada,” kata Ricœur.
    Tentu saja, keputusan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan tak hanya melukai rasa keadilan bagi Marsinah, tapi juga membuat luka
    memoria passionis
    yang diderita oleh mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dari peristiwa 1965 hingga peristiwa Mei 1998, semakin mengangaga.
    Sebagai bangsa, ia hanya mempertebal ingatan kelam kita pada kebijakan pembangunan yang sentralistik (bertumpu di Jawa), politik pembangunan
    top-down
    yang menggilas rakyat jelata atas nama pembangunan, kapitalisme kroni, praktik KKN yang dianggap lumrah, budaya asal bapak senang (ABS), dan pembungkaman kebebasan berserikat dan berpendapat.
    Akhirnya, ingatan bangsa tak membuat kita melangkah maju, tetapi hanya berkutat dalam pertempuran masa lalu.
    Sebab, ada tagihan masa lalu, dalam hal ini pengungkapan kebenaran dan tegaknya keadilan, yang belum dibayar tunai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tanggung Jawab Presiden Prabowo Harus Dimaknai KPK untuk Serius Usut Whoosh

    Tanggung Jawab Presiden Prabowo Harus Dimaknai KPK untuk Serius Usut Whoosh

    GELORA.CO -Komitmen Presiden Prabowo Subianto yang akan bertanggung jawab terhadap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh harus dimaknai sebagai sinyal pengusutan dugaan tindak pidana korupsi yang sudah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus terus dilakukan.

    Begitu yang disampaikan Koordinator Simpul Aktivis Angkatan 98 alias Siaga 98, Hasanuddin, merespons pernyataan Presiden Prabowo yang mengaku siap tanggung jawab terhadap utang Whoosh.

    “Tanggung jawab dimaksud adalah mendorong entitas terkait BUMN dan regulator dan investasi BP BUMN beserta BPI Danantara menyelesaikan kewajibannya dengan tetap menghormati kontrak kerja sama bilateral ini dengan tujuan kepastian investasi dan penghormatan terhadapnya harus tetap dijaga,” kata Hasanuddin kepada RMOL, Senin, 10 November 2025.

    Selain itu kata Hasanuddin, pernyataan Presiden Prabowo tersebut juga menjadi sinyal kepada KPK untuk tetap melanjutkan proses hukum yang saat ini sudah dalam tahap penyelidikan sejak awal 2025.

    “Presiden Prabowo akan bertanggung jawab terkait whoosh harus dimaknai penyelidikan tetap terus berjalan,” terang Hasanuddin.

    Sebab kata Hasanuddin, investasi yang profesional dan sehat harus tanpa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Hal itu akan membangun kepercayaan dunia internasional bahwa investasi di Indonesia bersih KKN.

    “Hal ini penting, sebab harus dibedakan kontrak kerja sama di satu sisi, dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur di sisi lain yang terbuka untuk dievaluasi atau diselidiki,” tutur Hasanuddin.

    Hasanuddin menerangkan, penghormatan terhadap kontrak kerja sama bukan bermaksud melindungi atau menjadi tameng proyek tersebut tidak bisa diusut atau ditindak dalam hal ada suap, mark up atau penerimaan komitmen fee penyelenggara negara berkenaan adanya kerja sama tersebut.

    “Siaga 98 mendukung pernyataan Prabowo tersebut dan sekaligus mendukung langkah KPK dalam penyelidikannya. Sebab dalam beberapa kesempatan hal ini sejalan dengan sikap Presiden Prabowo bahwa semua bentuk korupsi di Indonesia harus diberantas dan diakhiri demi masa depan bangsa dan negara,” pungkas Hasanuddin

  • Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Polemik dan Warisannya di Mata Publik

    Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Polemik dan Warisannya di Mata Publik

    Bisnis.com, JAKARTA — Setelah melalui tiga rezim pemerintahan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mewujudkan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. 

    Keputusan tersebut akan diumumkan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025) yang kabarnya akan dilaksanakan di Istana Kepresidenan, Jakarta.

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan hal itu usai menghadiri rapat terbatas di kediaman Presiden, Jalan Kertanegara IV, Jakarta, Minggu (9/11/2025) malam.

    “Iya,” ujar Prasetyo saat dikonfirmasi apakah rapat tersebut berkaitan dengan Hari Pahlawan.

    Dia menjelaskan, rapat malam itu membahas proses finalisasi daftar tokoh yang akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun ini. 

    “Bapak Presiden juga mendapatkan masukan dari Ketua MPR, kemudian juga dari Wakil Ketua DPR. Karena memang cara bekerja beliau, menugaskan beberapa untuk berkomunikasi dengan para tokoh, mendapatkan masukan dari berbagai pihak sehingga diharapkan apa yang nanti diputuskan Presiden, oleh pemerintah, sudah melalui berbagai masukan,” jelasnya.

    Ketika ditanya apakah pengumuman itu akan disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo, Prasetyo membenarkan hal tersebut.

    Menurutnya, bahkan ada sekitar sepuluh nama tokoh yang akan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tahun ini.

    Saat ditanya apakah di antara nama-nama tersebut termasuk Soeharto, Prasetyo menegaskan bahwa nama Bapak Pembangunan itu masuk dalam daftar.

    “Ya, masuk, masuk [dari 10 nama yang akan dapat gelar pahlawan],” ucapnya.

    Dia menambahkan, keputusan ini merupakan bentuk penghormatan negara terhadap jasa para pendahulu bangsa. 

    “Itu kan bagian dari bagaimana kita menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin kita, yang apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” tuturnya.

    Langkah ini menandai pertama kalinya pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, setelah wacana tersebut sempat muncul sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, tetapi tak pernah terealisasi.

    Dinamika Panjang Menuju Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

    Perjalanan untuk menjadikan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional bukanlah proses yang singkat. Wacana ini telah bergulir lebih dari dua dekade, melewati tiga rezim pemerintahan berbeda—Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo (Jokowi), hingga akhirnya terealisasi di era Presiden Prabowo Subianto.

    Setelah lengser pada 1998 di tengah krisis multidimensi dan gelombang reformasi, figur Soeharto kerap menimbulkan perdebatan di ruang publik. Di satu sisi, banyak kalangan menilai Soeharto sebagai tokoh pembangunan yang berhasil membawa Indonesia pada masa stabilitas ekonomi dan pertumbuhan pesat selama tiga dasawarsa kepemimpinannya. Namun di sisi lain, warisan pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman politik, dan praktik korupsi yang melekat pada rezim Orde Baru membuat wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional selalu menjadi isu sensitif.

    Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah organisasi masyarakat dan tokoh politik pernah mengusulkan agar Soeharto mendapat pengakuan sebagai pahlawan. Namun, pemerintah kala itu memilih bersikap hati-hati, dengan alasan perlu menyeimbangkan pandangan publik dan memastikan proses seleksi tetap sesuai dengan prinsip keadilan sejarah.

    Wacana serupa muncul kembali di masa Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Beberapa menteri bahkan sempat mengonfirmasi bahwa nama Soeharto masuk dalam pembahasan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Namun hingga akhir masa jabatan Jokowi, keputusan itu tidak pernah diambil, dengan alasan masih adanya perbedaan pandangan yang tajam di masyarakat.

    Baru di era Presiden Prabowo Subianto—mantan perwira TNI yang dikenal dekat secara personal dan ideologis dengan Soeharto—keputusan itu akhirnya terealisasi. Melalui pendekatan konsultatif dengan berbagai tokoh nasional, lembaga legislatif, dan Dewan Gelar, pemerintah menilai bahwa Soeharto layak mendapat pengakuan atas jasa-jasanya dalam menjaga keutuhan bangsa dan meletakkan dasar pembangunan nasional.

    Misalnya, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menyatakan sepakat atas usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Ke-2 RI Soeharto, terlepas dari kontroversinya.

    Dia mengatakan bahwa Partai NasDem melihat sisi positif terhadap pemberian gelar pahlawan tersebut. Meskipun ada kekurangan, tetapi dia menilai Soeharto telah memberikan peran dan dan arti terhadap pembangunan negara.

    “Sukar juga kita menghilangkan objektivitas bahwa sosok Soeharto telah memberikan posisi, peran, dan arti, keberadaan beliau sebagai Presiden yang membawa progres pembangunan nasional kita cukup berarti, seperti apa yang kita nikmati hari ini,” kata Surya Paloh usai acara FunWalk HUT Ke-14 NasDem di Jakarta, Minggu (9/11/2025).

    Selama 32 tahun memimpin Indonesia, menurut dia, Soeharto pasti tak lepas dari kekurangan, kesalahan, dan kesilapan. Namun jika ingin membawa gerakan perubahan, dia mengatakan bahwa faktor objektif atas peran Soeharto juga harus dihargai bersama.

    “Saya pikir memang kalau sudah mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk konsekuensi pro dan kontra, polemik yang terjadi, bagi NasDem melihat sisi positifnya saja,” tuturnya.

    Senada, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menanggapi wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto yang menuai perdebatan publik.

    Dia menilai, perbedaan pendapat terkait hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam demokrasi, tetapi bangsa Indonesia tetap harus menghargai jasa para tokoh yang telah berkontribusi besar bagi negara.

    “Bagi kami, Pak Harto adalah seorang tokoh, kemudian pemimpin bangsa 32 tahun yang mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100% kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” ujarnya.

    Meski begitu, menurut Bahlil, tidak ada manusia yang sempurna, termasuk para pemimpin bangsa. Oleh karena itu, dia mengajak semua pihak untuk menilai jasa para tokoh secara proporsional dan menghargai kontribusi positif yang telah mereka berikan bagi kemajuan Indonesia.

    Bahkan, Bahlil menilai bahwa apabila perlu partainya menyarankan agar seluruh tokoh-tokoh bangsa terkhusus mantan-mantan presiden agar dapat dipertimbangkan untuk meraih gelar pahlawan nasional.

    “Kalau kita mau bicara tentang manusia yang sempurna, kesempurnaan itu cuma Allah Subhanahu wa taala. Semua masih ada plus minus, sudahlah yang yang baik ya kita harus hargai semua para pendiri dan para tokoh bangsa,” imbuhnya.

    Termasuk saat ditanya mengenai usulan agar Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga diberi gelar serupa, Bahlil menegaskan bahwa Golkar bersikap terbuka terhadap penghargaan bagi seluruh mantan presiden yang telah wafat.

    Dia juga menilai Gus Dur dan BJ Habibie merupakan tokoh besar yang turut memberikan kontribusi penting bagi perjalanan bangsa.

    “Pak Gus Dur juga mempunyai kontribusi yang terbaik untuk negara ini. Ya, kami menyarankan juga harus dipertimbangkan agar bisa menjadi pahlawan nasional. Pak Habibie juga, semuanyalah ya,” pungkas Bahlil

    Pro dan Kontra di Lapangan

    Ketua Dewan Setara Institute Hendardi menilai rencana pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto melanggar hukum. Menurutnya, Soeharto lekat dengan masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan.

    Hendardi mengatakan, upaya mengharumkan mertua Prabowo Subianto itu sudah berjalan sistematis. Sebab, katanya, tepat sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

    Menurutnya, pencabutan TAP MPR itu mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah dinilai seolah ingin melepaskan nama Soeharto dari masalah-masalah yang pernah dibuatnya.

    “Selain itu jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

    Dia menuturkan bahwa dalam aturan tersebut, untuk memperoleh gelar tanda jasa harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur di Pasal 24, yakni WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara; berkelakuan baik; setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    “Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan,” ujar Ketua Dewan Setara Institute Hendardi.

    Hendardi juga menyinggung putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US$315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sekitar Rp4,4 triliun dengan kurs saat itu.

    Selain itu, Soeharto turut didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta pihak-pihak terdekat Cendana

    “Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan,” tegasnya.

    Berbeda pandangan, Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) menyebut bahwa mayoritas responden setuju pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    Kesimpulan itu diungkapkan KedaiKOPI ketika merilis hasil survei terbarunya mengenai persepsi publik terhadap wacana pengangkatan Presiden RI ke-2, Soeharto, dan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai Pahlawan Nasional.

    Survei dilaksanakan dengan metode CASI (Computer Assisted Self Interviewing) pada 5-7 November 2025 dengan melibatkan 1.213 responden.

    Founder Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menyebut 80,7% publik setuju Presiden ke-2 Soeharto mendapatkan gelar pahlawan, 15,7% tidak mendukung, dan 3,6% tidak tahu.

    Dia menjelaskan alasan publik mendukung Soeharto adalah karena keberhasilannya dalam program swasembada pangan 78% dan Pembangunan Indonesia 77,9%.

    Selain itu, memori akan sekolah dan sembako murah 63,2% serta stabilitas politik yang baik 59,1% juga menjadi pertimbangan penting bagi responden yang mendukung.

    “Yang terbanyak karena berhasil membawa Indonesia swasembada pangan, kemudian berhasil melakukan pembangunan di Indonesia, karena sekolah murah dan sembako murah, karena stabilitas politik yang baik, lainnya macam-macam ada perjuangan kemerdekaan dan militer,” kata Hensa, dalam keterangan, dikutip Minggu (9/11/2025).

    Kemudian, bagi responden yang tidak mendukung, 88% beralasan bahwa Soeharto lekat dengan kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), 82,7% terkait isu pembungkaman kebebasan berpendapat dan pers, dan isu pelanggaran HAM mendapatkan respon 79,6%.

    Menurutnya, alasan ini tidak bisa dihilangkan dari ingatan masyarakat sehingga pemerintah diminta mempertimbangkan kembali pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto.

    “Ini adalah poin krusial. Dukungan pada Soeharto didasarkan pada aspek pembangunan dan kesejahteraan ekonomi, namun penolakan didominasi oleh isu KKN, pelanggaran HAM, dan kebebasan sipil. Ini adalah hal yang harus dipertimbangkan oleh Dewan Gelar,” jelas Hendri.