Kasus: KKN

  • Dituntut 20 Tahun Penjara, Jaksa: Zarof Ricar Cederai Institusi Peradilan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Mei 2025

    Dituntut 20 Tahun Penjara, Jaksa: Zarof Ricar Cederai Institusi Peradilan Nasional 28 Mei 2025

    Dituntut 20 Tahun Penjara, Jaksa: Zarof Ricar Cederai Institusi Peradilan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Jaksa penuntut umum (JPU) pada
    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) menyatakan, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA)
    Zarof Ricar
    telah mencederai institusi lembaga peradilan.
    Hal ini disampaikan jaksa saat membacakan hal memberatkan tuntutan 20 tahun penjara terhadap Zarof Ricar terkait penanganan perkara kasasi terdakwa
    kasus pembunuhan
    , Gregorius Ronald Tannur.
    “Perbuatan terdakwa telah mencederai kepercayaan masyarakat, khususnya terhadap institusi lembaga peradilan,” kata jaksa, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (28/5/2025).
    Jaksa menilai, tindakan Zarof juga tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
    “Motif perbuatan terdakwa dilakukan secara berulang untuk mendapatkan hasil kejahatan,” ujar jaksa.
    Hal yang meringankan terhadap tuntutan ini adalah Zarof Ricar belum pernah dihukum.
    Eks pejabat MA itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 6 Ayat (1) juncto Pasal 15 dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    Zarof dinilai terbukti melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk menyuap Hakim Agung Soesilo yang menangani perkara kasasi Gregorius Ronald Tannur.
    Kasasi tersebut diajukan oleh jaksa setelah Ronald Tannur divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam kasus pembunuhan, Dini Sera Afrianti.
    Selain pidana badan, Zarof Ricar juga dituntut membayar denda Rp 1 miliar subsidair enam bulan penjara.
    Berdasarkan surat tuntutan, jaksa menyebut, percobaan suap senilai Rp 5 miliar ini dilakukan Zarof bersama pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, pada tahun 2024.
    Upaya ini dilakukan setelah PN Surabaya menyatakan Ronald Tannur bebas dan jaksa menyatakan mengajukan kasasi.
    Selain perkara Ronald Tannur, Zarof juga disebut telah menerima gratifikasi sebesar Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas terkait penanganan perkara lainnya.
    Kejaksaan Agung menemukan uang dan logam mulia yang totalnya mencapai Rp 1 triliun saat menggeledah rumahnya di kawasan Senayan, Jakarta Pusat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemprov Jatim Raih Penghargaan Reformasi Birokrasi dari KemenPAN-RB

    Pemprov Jatim Raih Penghargaan Reformasi Birokrasi dari KemenPAN-RB

    Surabaya (beritajatim.com) – Pemprov Jatim menerima penghargaan Reformasi Birokrasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) RI.

    Penghargaan ini diberikan sebagai pengakuan atas capaian dan kontribusi Pemprov Jatim dalam upaya meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan publik melalui implementasi reformasi birokrasi.

    Tahun 2025 ini, Pemprov Jatim kembali memperoleh predikat A, kategori Memuaskan dengan Catatan.

    Penghargaan diserahkan Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan KemenPAN-RB kepada Sekdaprov Jatim, Adhy Karyono pada acara Satu Dekade Pembangunan Zona Integritas dan Penyerahan Penghargaan Reformasi Birokrasi Perangkat Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2024.

    Hasil evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi, Pemerintah Provinsi Jawa Timur berhasil memperoleh skor 93,82, meningkat 13,26 poin dari tahun sebelumnya 80,56. Capaian Indeks RB ini melebihi target yang telah ditetapkan pada RPJMD Provinsi Jawa Timur Tahun 2019-2024.

    Perolehan ini mencerminkan upaya yang berkelanjutan dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan yang lebih transparan, efektif dan efisien dalam mewujudkan visi pemerintahan berkelas dunia yaitu pemerintahan yang bebas KKN, profesional dan pelayanan publik yang prima.

    Upaya konkrrt yang dilaksanakan antara lain, optimalisasi kinerja Tim RB Provinsi Jawa Timur dengan menyusun Rencana Aksi RB yang komprehensif dan fokus pada perbaikan tata kelola pemerintah bukan hanya sekedar Business as Usual.

    Penyusunan Rencana Aksi yang baik juga diikuti dengan monev secara berkala secara menyeluruh untuk memastikan bahwa rencana aksi berjalan dengan baik dan benar-benar berdampak langsung pada masyarakat. Hal ini berpengaruh pada nilai masing-masing indikator sehingga akumulasi menjadi Indeks RB Provinsi Jawa Timur meningkat secara signifikan.

    “Penghargaan ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus melakukan perbaikan tata kelola yang lebih transparan, efektif dan efisien baik melalui Reformasi Birokrasi General dan Tematik,” tegas Adhy.

    Pada kesempatan yang sama, juga diberikan Penghargaan Reformasi Birokrasi kepada 50 Perangkat Daerah Provinsi Jawa Timur, sebagai bentuk apresiasi dan motivasi kepada Perangkat Daerah yang telah mendukung pelaksanaan Reformasi Birokrasi Provinsi Jawa Timur serta bukti nyata bahwa implementasi RB benar-benar berdampak nyata dalam memberikan kemudahan bagi Masyarakat.

    Adhy berpesan agar seluruh unit kerja provinsi dan kabupaten/kota di Jawa Timur untuk terus menjaga integritas dan memberikan pelayanan prima bagi masyarakat. “Marilah kita jadikan integritas sebagai legacy bagi anak cucu generasi penerus bangsa. Bagi kabupaten/kota yang masih belum memperoleh predikat WBK/WBBM jangan berkecil hati, tetap semangat membangun zona integritas, karena ini hanyalah masalah waktu, saya yakin semua akan WBK pada waktunya,” pungkasnya. (tok/ian)

  • KPK Sambut Baik UU BUMN Digugat ke MK

    KPK Sambut Baik UU BUMN Digugat ke MK

    KPK Sambut Baik UU BUMN Digugat ke MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) menyambut baik gugatan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (
    UU BUMN
    ) ke
    Mahkamah Konstitusi
    (MK).
    “KPK menyambut baik hal tersebut, tentunya karena itu menjadi salah satu hak konstitusi seorang warga negara,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (9/5/2025).
    UU BUMN tengah menjadi sorotan karena mengancam mengurangi kewenangan KPK untuk menindak kasus korupsi yang menjerat direksi dan komisaris BUMN.
    Budi mengatakan bahwa KPK telah memastikan posisi terkait implikasi atas berlakunya UU BUMN tersebut, khususnya Pasal 9G dalam UU BUMN yang menyatakan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan Penyelenggara Negara.
    Dia menegaskan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan mengusut kasus korupsi di BUMN dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
    “KPK tegas berpedoman pada Undang-Undang 28 Tahun 1999 dalam melihat status direksi, komisaris, dan Dewan Pengawas pada BUMN adalah sebagai penyelenggara negara,” ujarnya.
    Budi juga menambahkan bahwa Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap memiliki kewajiban melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan penerimaan gratifikasi.
    “Pada aspek pencegahan, KPK juga berkesimpulan bahwa direksi, komisaris, dan pengawas pada BUMN juga wajib melaporkan LHKPN-nya dan melaporkan jika melakukan penerimaan gratifikasi,” tuturnya.
    Terkait Pasal 4B UU BUMN yang menyatakan bahwa kerugian BUMN bukanlah kerugian negara, Budi mengatakan bahwa putusan MK sudah menyatakan bahwa keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk BUMN.
    “Oleh karena itu, KPK berpandangan tetap dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara-perkara di BUMN karena statusnya sebagai penyelenggara negara dan atau adanya kerugian negara karena perbuatan melawan hukum ataupun penyalahgunaan wewenang BUMN,” ucap dia.
    Sebelumnya,
    UU BUMN digugat ke MK
    oleh dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
    Dalam sidang pendahuluan, Kamis (8/5/2025), di Gedung MK, para pemohon menjelaskan bahwa gugatan ini dilayangkan karena proses pembentukan UU BUMN tidak melibatkan partisipasi publik.
    “Pengesahan undang-undang a quo tidak melibatkan partisipasi publik, sehingga menciptakan meaningful participation,” ujar kuasa hukum para pemohon, Nicholas Indra Cyrill Kataren, dalam sidang pendahuluan.
    Nicholas mengatakan bahwa UU BUMN yang baru disahkan seharusnya dibahas secara transparan dan terbuka dengan partisipasi bermakna dari elemen masyarakat.
    Namun, menurut pemohon, asas keterbukaan itu tidak dilakukan sehingga melanggar perintah konstitusi pada Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
    Ia juga menyinggung Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf d, dan huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengharuskan terpenuhinya seluruh asas secara kumulatif.
    Pemohon kemudian berkesimpulan bahwa DPR tidak mematuhi aturan pembentukan undang-undang dan melanggar hak konstitusional para pemohon.
    “Dengan demikian, menurut para pemohon, UU BUMN tidak sah karena tidak melalui prosedural pembentukan peraturan perundang-undangan yang sesuai,” kata Nicholas.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Manuver Gugat Pasal ‘Kebal Hukum’ UU BUMN

    Manuver Gugat Pasal ‘Kebal Hukum’ UU BUMN

    Bisnis.com, JAKARTA — Undang-undang atau UU No.1/2025 tentang BUMN diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu gugatan diajukan oleh Muhammad Jundi Fathi beserta dua orang lainnya, yaitu A. Fahrur Rozi dan Dzakwan Fadhil Putra Kusuma.

    Ketiga penggugat itu mempersoalkan norma imunitas dan penegasan tentang keuntungan atau kerugian Danantara bukan bagian dari risiko keuangan negara, yang menurut mereka justru akan menyuburkan praktik korupsi di lingkungan BUMN.

    “Kami menilai hal ini justru menyuburkan praktik korupsi di lingkungan BUMN,” tutur Jundi di Jakarta, Selasa (6/5/2025).

    Selain itu, implementasi norma-norma hukum tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip pendelegasian dalam sistem ketatanegaraan sehingga merugikan pemohon sebagai mahasiswa dan bertentangan dengan UUD 1945.

    Menurutnya, seseorang dapat dikenakan delik pidana gratifikasi seperti yang diatur Pasal 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jika pelakunya merupakan pegawai negeri atau penyelenggara negara. 

    “Hak imunitas yang menyatakan kerugian yang terjadi pada BUMN dan Danantara bukan kerugian negara itu tidak tepat,” kata Jundi.

    Dia kemudian menekankan seharusnya persoalan penetapan kerugian penyelenggaraan badan sebagai kerugian negara kembali pada interpretasi aparat penegak hukum secara komprehensif dan bijaksana serta bukan persoalan dari pemberlakuan suatu norma undang-undang.

    “Kami juga mempersoalkan norma yang menyebut pejabat atau pegawai atau karyawan Danantara bukan merupakan penyelenggara negara. Padahal seluruh sumber modal Danantara berasal dari aset negara dan dividen BUMN serta organ penyelenggara Danantara pun dibiayai dan didukung oleh modal negara,” ujarnya.

    Menurutnya, pengecualian terhadap organ Danantara dari kategori penyelenggara negara juga telah mendiskriminasi dan membuka peluang bagi operasional yang tidak transparan pada perusahaan pelat merah. 

    “Ini sekaligus menimbulkan ketidaksesuaian normatif yang bisa merugikan kepentingan publik sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945,” tuturnya.

    Kekhawatiran KPK

    Keberadaan pasal ‘kebal hukum’ di UU BUMN itu juga dikhawatirkan oleh aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka cukup khawatir jika aturan itu justru kontraproduktif dan menyulitkan penyidik untuk menangani perkara yang menjerat direksi BUMN.

    “KPK memaknai ada beberapa ketentuan yang dianggap akan membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang terjadi di BUMN,” ujar Ketua KPK Setyo Budiyanto melalui keterangan resmi, Rabu (7/5/2025).

    Setyo menuturkan KPK telah menyampaikan tanggapannya secara khusus pada dua pasal di UU BUMN. Yaitu terkait dengan hilangnya status penyelenggara negara bagi direksi, komisaris dan dewan pengawas BUMN, serta mengenai kerugian BUMN dianggap bukan kerugian negara.

    Mengenai aturan bahwa anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN bukan status penyelenggara negara, yang diatur dalam pasal 9G UU No. 1/2025, Setyo menyebut ketentuan itu kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

    Utamanya, pasal 1 angka 1 serta pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya yang tertuang dalam UU No. 28/1999.

    Perwira tinggi Polri bintang tiga itu menjelaskan, UU No.28/1999 merupakan hukum administrasi khusus yang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN. Oleh sebab itu, dia menegaskan penegakan hukum kasus korupsi berkenaan dengan penyelenggara negara akan berpedoman pada UU tersebut. 

    Di sisi lain, pasal 9G UU BUMN yang baru dalam penjelasannya menyebut: “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.”

    Ketentuan demikian, lanjut Setyo, dapat dimaknai bahwa status Penyelenggara Negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.

    “Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” tegas Setyo.

    Oleh sebab itu, dengan sikap tersebut, maka direksi/komisaris/dewan pengawas BUMN tetap wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta penerimaan gratifikasi.

    Pasal Kebal Korupsi

    Sementara itu, mengenai pasal 4B UU BUMN yang mengatur bahwa kerugian BUMN bukan kerugian keuangan negara, serta pasal 4 ayat (5) berkenaan dengan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.

    Atas aturan tersebut, KPK menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan. Putusan MK dimaksud yakni No.48/PUU-XXI/2013 dan No.62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan dengan masing-masing putusan No.59/PUU-XVI/2018 dan No.26/PUU-XIX/2021.

    Setyo menerangkan bahwa MK telah memutuskan bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN, yang merupakan derivasi penguasaan negara.

    “Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan Negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (TPK) kepada Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN,” lanjut Setyo.

    Meski demikian, Setyo mengingatkan bahwa kerugian keuangan negara di BUMN dapat dipidanakan sesuai UU Tipikor selama itu akibat dari perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgement Rule (BJR).

    Prinsip BJR itu tertuang pada pasal 3Y dan 9F UU No.1/2025, di mana diatur bahwa kerugian keuangan negara yang dapat dipidanakan harus diakibatkan oleh fraud, suap, ketiadaan itikad baik, konflik kepentingan serta kelalaian dalam mencegah timbulnya kerugian keuangan negara oleh para petinggi BUMN.

    “Dari uraian tersebut, KPK berpandangan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan TPK yang dilakukan oleh Direksi/Komisaris/Pengawas di BUMN,” pungkas Setyo.

    Erick Thohir Koordinasi 

    Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku berkoordinasi dengan berbagai lembaga untuk membahas sederet perubahan di tubuh perusahaan pelat merah menyusul lahirnya UU BUMN. Salah satunya mengenai posisi komisaris hingga direksi BUMN yang diatur bukan merupakan penyelenggara negara.

    Erick menjelaskan kementeriannya saat ini masih berkoordinasi untuk menyinkronkan berbagai aturan baru di UU BUMN, termasuk mengenai status penyelenggara negara pada petinggi pelat merah. Dia menyebut koordinasi dilakukan salah satunya dengan KPK.

    Lebih lanjut, Menteri BUMN sejak 2019 itu memastikan bakal ada peraturan turunan yang akan mendefinisikan lebih lanjut aturan mengenai status penyelenggara negara bagi komisaris-direksi BUMN sebagaimana tertuang di dalam UU.

    Menurutnya, beleid tersebut belum sepenuhnya dijalankan dan masih dirapikan sebelum seutuhnya diterapkan.

    “Iya pasti, ini kan namanya baru lahir. Baru lahir, belum jalan. Justru kita rapikan sebelum jalan, daripada nanti ikut geng motor tabrak-tabrakan, mendingan kita rapikan,” kata pria yang merangkap sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara itu.

  • Divonis 7 Tahun Penjara, Dua Hakim Pembebas Ronald Tannur Dinilai Melanggar Sumpah Jabatan – Halaman all

    Divonis 7 Tahun Penjara, Dua Hakim Pembebas Ronald Tannur Dinilai Melanggar Sumpah Jabatan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dua hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik dan Mangapul sama-sama divonis 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan.

    Majelis hakim Pengadilan Tipikor menjelaskan, hal yang memberatkan hukuman terhadap Erintuah Damanik dan Mangapul.

    Keduanya dinilai telah melanggar sumpah jabatan sebagai hakim.

    “Perbuatan terdakwa melanggar sumpah jabatan sebagai hakim,” kata Hakim Ketua Teguh Santoso, dalam sidang putusan atau vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).

    Tak hanya itu, majelis hakim juga menilai, perbuatan Erintuah dan Mangapul tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

    Meski demikian, majelis hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan hukuman kepada dua dari tiga hakim yang memutus bebas Ronald Tannur itu.

    Hukuman Erintuah dan Mangapul diringankan karena dinilai memiliki tanggungan keluarga.

    Kemudian, keduanya juga dinilai bersikap kooperatif dengan mengakui perbuatan mereka.

    “Dan memberikan keterangan yang dapat mendukung pembuktian dalam perkara lain atas nama Heru Hanindyo, Lisa Rachmat, Zarof Ricar, dan Meirizka Widjaja,” ucap Hakim Tipikor.

    Selain itu, untuk Erintuah, majelis hakim mengatakan, terdakwa dengan itikad baik telah mengembalikan uang yang diterima dari Lisa Rachmat.

    “Terdakwa belum pernah dihukum,” tutur hakim membacakan hal meringankan hukuman terdakwa.

    Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta terhadap dua hakim nonaktif Pengadilan Negeri Surabaya Erintuah Damanik dan Mangapul.

    Hukuman tersebut diberikan terhadap Erintuah Damanik dan Mangapul yang merupakan dua dari tiga terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi vonis bebas Ronald Tannur.

    “Menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan digantikan kurungan selama 3 bulan,” kata Hakim Ketua Teguh Santoso, dalam sidang pembacaan putusan, di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).

    Majelis hakim menyatakan, terdakwa Erintuah Damanik dan Mangapul telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama menerima suap dan gratifikasi sebagaimana dalam dakwaan kumulatif ke satu alternatif pertama dan dalam dakwaan kumulatif kedua.

    Vonis Erintuah Damanik dan Mangapul lebih rendah daripada tuntutan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung.

    Adapun terdakwa Erintuah Damanik dan Mangapul dituntut 9 tahun penjara. 

    Keduanya juga dituntut pidana denda sebesar Rp750 juta. Apabila denda tersebut tak dibayarkan, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan. 

    Sementara, satu terdakwa lainnya, yakni Heru Hanindyo dituntut lebih berat dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda sebesar Rp750 juta. Apabila denda tak dibayarkan, makabdiganti pidana penjara selama 6 bulan. 

    Ketiganya dianggap telah terbukti melanggar Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Tiga hakim pembebas Ronald Tannur itu diduga menerima suap sebesar Rp4,67 miliar serta gratifikasi dalam bentuk mata uang rupiah, dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi.

     

     

  • KPK Ngotot Berwenang Tangani Kasus Korupsi, Meski Ada UU BUMN

    KPK Ngotot Berwenang Tangani Kasus Korupsi, Meski Ada UU BUMN

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap ngotot memiliki kewenangan untuk menangani kasus korupsi di tubuh perusahaan pelat merah meski ada aturan BUMN yang baru.

    KPK berkukuh jika mereka yang berada pada jabatan direksi BUMN merupakan seorang pejabat negara. Untuk itu, penanganan kasus korupsi masih dapat ditangani komisi anti rasuah.

    KPK Setyo Budiyanto menyebut pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah yang ingin memperkuat peran BUMN dalam mengelola sektor-sektor penting demi kesejahteraan rakyat. Dia menyebut lembaganya memiliki tugas pokok dan fungsi terkait dengan pemberantasan korupsi.

    Namun, Setyo mengakui terdapat sejumlah aturan baru pada Undang-Undang (UU) No. 1/2025 tentang BUMN yang dianggap akan membatasi kewenangan KPK dalam mengusut kasus korupsi.

    “KPK memaknai ada beberapa ketentuan yang dianggap akan membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang terjadi di BUMN,” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (7/5/2025).

    Untuk itu, lanjut Setyo, KPK menyampaikan tanggapannya secara khusus pada dua pasal di UU BUMN. Yaitu terkait dengan hilangnya status penyelenggara negara bagi direksi, komisaris dan dewan pengawas BUMN, serta mengenai kerugian BUMN dianggap bukan kerugian negara.

    Mengenai aturan bahwa anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN bukan status penyelenggara negara, yang diatur dalam pasal 9G UU No. 1/2025, Setyo menyebut ketentuan itu kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

    Utamanya, pasal 1 angka 1 serta pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya yang tertuang dalam UU No. 28/1999.

    Perwira tinggi Polri bintang tiga itu menjelaskan, UU No.28/1999 merupakan hukum administrasi khusus yang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN. Oleh sebab itu, dia menegaskan penegakan hukum kasus korupsi berkenaan dengan penyelenggara negara akan berpedoman pada UU tersebut. 

    Di sisi lain, pasal 9G UU BUMN yang baru dalam penjelasannya menyebut: “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.”

    Ketentuan demikian, lanjut Setyo, dapat dimaknai bahwa status Penyelenggara Negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.

    “Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” tegas Setyo.

    Oleh sebab itu, dengan sikap tersebut, maka direksi/komisaris/dewan pengawas BUMN tetap wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta penerimaan gratifikasi.

    Sementara itu, mengenai pasal 4B UU BUMN yang mengatur bahwa kerugian BUMN bukan kerugian keuangan negara, serta pasal 4 ayat (5) berkenaan dengan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.

    Atas aturan tersebut, KPK menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan. Putusan MK dimaksud yakni No.48/PUU-XXI/2013 dan No.62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan dengan masing-masing putusan No.59/PUU-XVI/2018 dan No.26/PUU-XIX/2021.

    Setyo menerangkan bahwa MK telah memutuskan bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN, yang merupakan derivasi penguasaan negara.

    “Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan Negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (TPK) kepada Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN,” lanjut Setyo.

    Meski demikian, Setyo mengingatkan bahwa kerugian keuangan negara di BUMN dapat dipidanakan sesuai UU Tipikor selama itu akibat dari perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgement Rule (BJR).

    Prinsip BJR itu tertuang pada pasal 3Y dan 9F UU No.1/2025, di mana diatur bahwa kerugian keuangan negara yang dapat dipidanakan harus diakibatkan oleh fraud, suap, ketiadaan itikad baik, konflik kepentingan serta kelalaian dalam mencegah timbulnya kerugian keuangan negara oleh para petinggi BUMN.

    “Dari uraian tersebut, KPK berpandangan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan TPK yang dilakukan oleh Direksi/Komisaris/Pengawas di BUMN,” pungkas Setyo.

  • Ketua KPK: UU BUMN Bisa Batasi Kewenangan Usut Korupsi Para Direksi

    Ketua KPK: UU BUMN Bisa Batasi Kewenangan Usut Korupsi Para Direksi

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto akhirnya menyampaikan tanggapan resmi lembaga soal sejumlah aturan pada Undang-Undang (UU) No. 1/2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

    Setyo menyebut pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah yang ingin memperkuat peran BUMN dalam mengelola sektor-sektor penting demi kesejahteraan rakyat. Dia menyebut lembaganya memiliki tugas pokok dan fungsi terkait dengan pemberantasan korupsi.

    Meski demikian, Setyo mengakui terdapat sejumlah aturan baru di beleid tersebut yang dianggap akan membatasi kewenangan KPK dalam mengusut kasus korupsi.

    “KPK memaknai ada beberapa ketentuan yang dianggap akan membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang terjadi di BUMN,” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (7/5/2025).

    Untuk itu, lanjut Setyo, KPK menyampaikan tanggapannya secara khusus pada dua pasal di UU BUMN. Yaitu terkait dengan hilangnya status penyelenggara negara bagi direksi, komisaris dan dewan pengawas BUMN, serta mengenai kerugian BUMN dianggap bukan kerugian negara.

    Mengenai aturan bahwa anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN bukan status penyelenggara negara, yang diatur dalam pasal 9G UU No. 1/2025, Setyo menyebut ketentuan itu kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

    Utamanya, pasal 1 angka 1 serta pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya yang tertuang dalam UU No. 28/1999.

    Perwira tinggi Polri bintang tiga itu menjelaskan, UU No.28/1999 merupakan hukum administrasi khusus yang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN. Oleh sebab itu, dia menegaskan penegakan hukum kasus korupsi berkenaan dengan penyelenggara negara akan berpedoman pada UU tersebut. 

    Di sisi lain, pasal 9G UU BUMN yang baru dalam penjelasannya menyebut: “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.”

    Ketentuan demikian, lanjut Setyo, dapat dimaknai bahwa status Penyelenggara Negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.

    “Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” tegas Setyo.

    Oleh sebab itu, dengan sikap tersebut, maka direksi/komisaris/dewan pengawas BUMN tetap wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta penerimaan gratifikasi.

    Sementara itu, mengenai pasal 4B UU BUMN yang mengatur bahwa kerugian BUMN bukan kerugian keuangan negara, serta pasal 4 ayat (5) berkenaan dengan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.

    Atas aturan tersebut, KPK menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan. Putusan MK dimaksud yakni No.48/PUU-XXI/2013 dan No.62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan dengan masing-masing putusan No.59/PUU-XVI/2018 dan No.26/PUU-XIX/2021.

    Setyo menerangkan bahwa MK telah memutuskan bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN, yang merupakan derivasi penguasaan negara.

    “Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan Negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (TPK) kepada Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN,” lanjut Setyo.

    Meski demikian, Setyo mengingatkan bahwa kerugian keuangan negara di BUMN dapat dipidanakan sesuai UU Tipikor selama itu akibat dari perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgement Rule (BJR).

    Prinsip BJR itu tertuang pada pasal 3Y dan 9F UU No.1/2025, di mana diatur bahwa kerugian keuangan negara yang dapat dipidanakan harus diakibatkan oleh fraud, suap, ketiadaan itikad baik, konflik kepentingan serta kelalaian dalam mencegah timbulnya kerugian keuangan negara oleh para petinggi BUMN.

    “Dari uraian tersebut, KPK berpandangan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan TPK yang dilakukan oleh Direksi/Komisaris/Pengawas di BUMN,” pungkas Setyo.

    Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku berkoordinasi dengan berbagai lembaga untuk membahas sederet perubahan di tubuh perusahaan pelat merah menyusul lahirnya UU BUMN. Salah satunya mengenai posisi komisaris hingga direksi BUMN yang diatur bukan merupakan penyelenggara negara.

    Erick menjelaskan kementeriannya saat ini masih berkoordinasi untuk menyinkronkan berbagai aturan baru di UU BUMN, termasuk mengenai status penyelenggara negara pada petinggi pelat merah. Dia menyebut koordinasi dilakukan salah satunya dengan KPK.

    Lebih lanjut, Menteri BUMN sejak 2019 itu memastikan bakal ada peraturan turunan yang akan mendefinisikan lebih lanjut aturan mengenai status penyelenggara negara bagi komisaris-direksi BUMN sebagaimana tertuang di dalam UU.

    Menurutnya, beleid tersebut belum sepenuhnya dijalankan dan masih dirapikan sebelum seutuhnya diterapkan.

    “Iya pasti, ini kan namanya baru lahir. Baru lahir, belum jalan. Justru kita rapikan sebelum jalan, daripada nanti ikut geng motor tabrak-tabrakan, mendingan kita rapikan,” kata pria yang merangkap sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara itu.

  • Pejabat BUMN tetap penyelenggara negara dan wajib lapor LHKPN

    Pejabat BUMN tetap penyelenggara negara dan wajib lapor LHKPN

    Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto. ANTARA/Fianda Sjofjan Rassaat

    KPK: Pejabat BUMN tetap penyelenggara negara dan wajib lapor LHKPN
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Rabu, 07 Mei 2025 – 21:24 WIB

    Elshinta.com – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Setyo Budiyanto menegaskan bahwa pejabat badan usaha milik negara (BUMN) tetap merupakan penyelenggara negara dan wajib menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) maupun penerimaan gratifikasi.

    Setyo dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (7/5), mulanya menjelaskan ketentuan Pasal 9G Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN bertentangan dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

    Pasal 9G dalam Undang-Undang BUMN terbaru berbunyi: “Anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”

    Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 berbunyi: “Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

    Sementara Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 mengatur penyelenggara negara meliputi pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Penjelasan Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menyebutkan bahwa yang dimaksud “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” salah satunya meliputi direksi, komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada BUMN dan badan usaha milik daerah (BUMD).

    Setyo lantas menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpedoman pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 karena merupakan hukum administrasi khusus yang bertujuan mengurangi KKN.

    Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 9G Undang-Undang BUMN dapat dimaknai status penyelenggara negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.

    “Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dewan pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999,” katanya menegaskan.

    Sumber : Antara

  • Setyo Budiyanto Tegaskan KPK Tetap Berwenang Tangani Tindak Pidana Korupsi di BUMN – Halaman all

    Setyo Budiyanto Tegaskan KPK Tetap Berwenang Tangani Tindak Pidana Korupsi di BUMN – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menegaskan lembaganya tetap berwenang menangani tindak pidana korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

    Hal ini disampaikan Setyo terkait telah disahkannya UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

    Di mana dalam UU BUMN yang baru itu disebutkan Pasal 9G bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan Penyelenggara Negara.

    Sehingga banyak narasi yang menyimpulkan KPK tidak lagi berwenang mengusut kasus korupsi bila menyentuh bos BUMN karena bukan lagi berstatus sebagai penyelenggara negara.

    “KPK berpandangan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi/komisaris/pengawas di BUMN,” kata Setyo dalam keterangan tertulis, Rabu (7/5/2025).

    “Karena dalam konteks hukum pidana, status mereka tetap sebagai penyelenggara negara, dan kerugian yang terjadi di BUMN merupakan kerugian negara, sepanjang terdapat perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR),” imbuhnya.

    Setyo menyebut bahwa ketentuan Pasal 9G UU BUMN kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

    Menurutnya, keberadaan UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan penyelenggara negara, yang memang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN. 

    “Maka sangat beralasan jika dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi berkenaan dengan ketentuan penyelenggara negara, KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999,” kata Setyo.

    Setyo turut menyoroti penjelasan Pasal 9G UU BUMN yang berbunyi, “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.”

    Menurut Setyo, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa status penyelenggara negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.

    “Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” ujarnya.

    Oleh karena itu, kata Setyo, sebagai penyelenggara negara, maka direksi/komisaris/pengawas BUMN tetap memiliki kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan penerimaan gratifikasi.

    Kerugian BUMN sebagai Kerugian Negara

    KPK juga merespons soal Pasal 4B UU BUMN berkenaan dengan Kerugian BUMN bukan Kerugian Keuangan Negara, serta Pasal 4 ayat (5) berkenaan dengan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.

    Setyo menyatakan bahwa Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Nomor 62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 dan Nomor 26/PUU-XIX/ 2021 menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan.

    Telah diputuskan oleh majelis hakim MK bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara. 

    Sehingga segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK.

    “Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (tindak pidana korupsi) kepada direksi/komisaris/pengawas BUMN,” kata Setyo.

    Pengusutan tindak pidana korupsi dapat dilakukan sepanjang kerugian keuangan negara yang terjadi di BUMN diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR) vide Pasal 3Y
    dan 9F UU No.1 Tahun 2025.

    Misalnya diakibatkan adanya fraud, suap, tidak dilakukan dengan iktikad baik, terdapat konflik kepentingan, dan lalai mencegah timbulnya keuangan negara, yang dilakukan oleh direksi/komisaris/pengawas BUMN.

    Setyo mengatakan, kewenangan KPK untuk tetap bisa mengusut tindak pidana korupsi di BUMN juga sejalan berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU 19/2019 tentang KPK serta Putusan MK Nomor 62/PUU-XVII/2019.

    Di mana kata “dan/atau” dalam pasal tersebut dapat diartikan secara kumulatif maupun alternatif. 

    “Artinya, KPK bisa menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya,” katanya.

    KPK berpandangan bahwa penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di BUMN merupakan upaya untuk mendorong BUMN dalam menerapkan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). 

    Sehingga pengelolaan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai.

  • KPK: Direksi dan Komisaris BUMN Tetap Penyelenggara Negara, Bisa Dijerat Korupsi

    KPK: Direksi dan Komisaris BUMN Tetap Penyelenggara Negara, Bisa Dijerat Korupsi

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menegaskan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara kendati adanya Undang-Undang (UU) Nomor 1/2025 tentang BUMN. 

    Sebagaimana diketahui, pada beleid tersebut, anggota direksi, dewan komisaris, serta dewan pengawas perusahaan pelat merah dinyatakan bukan penyelenggara negara. Hal itu dianggap bisa mencegah KPK dalam mengusut kasus korupsi yang menjerat para petinggi BUMN. 

    Meskipun demikian, melalui pernyataan sikap secara resmi, Setyo mengatakan bahwa pasal 9G UU BUMN itu kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 

    “Ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup Penyelenggara Negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta Penjelasannya dalam UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (7/5/2025).

    Perwira tinggi Polri bintang tiga itu menjelaskan, UU 28/1999 merupakan hukum administrasi khusus yang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN. Untuk itu, dia menyebut KPK berpedoman pada UU 28/1999 dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh penyelenggara negara.

    “Maka sangat beralasan jika dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi berkenaan dengan ketentuan Penyelenggara Negara, KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999,” lanjut Setyo.  

    Di sisi lain, pasal 9G UU BUMN yang baru dalam penjelasannya menyebut: “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.”

    Ketentuan demikian, lanjut Setyo, dapat dimaknai bahwa status Penyelenggara Negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN. 

    “Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” tegas Setyo. 

    Oleh sebab itu, dengan sikap tersebut, maka direksi/komisaris/dewan pengawas BUMN tetap wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta penerimaan gratifikasi. 

    Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku berkoordinasi dengan berbagai lembaga untuk membahas sederet perubahan di tubuh perusahaan pelat merah menyusul lahirnya UU BUMN. Salah satunya mengenai posisi komisaris hingga direksi BUMN yang diatur bukan merupakan penyelenggara negara. 

    Erick menjelaskan kementeriannya saat ini masih berkoordinasi untuk menyinkronkan berbagai aturan baru di UU BUMN, termasuk mengenai status penyelenggara negara pada petinggi pelat merah. Dia menyebut koordinasi dilakukan salah satunya dengan KPK.

    Lebih lanjut, Menteri BUMN sejak 2019 itu memastikan bakal ada peraturan turunan yang akan mendefinisikan lebih lanjut aturan mengenai status penyelenggara negara bagi komisaris-direksi BUMN sebagaimana tertuang di dalam UU. 

    Menurutnya, beleid tersebut belum sepenuhnya dijalankan dan masih dirapikan sebelum seutuhnya diterapkan. 

    “Iya pasti, ini kan namanya baru lahir. Baru lahir, belum jalan. Justru kita rapikan sebelum jalan, daripada nanti ikut geng motor tabrak-tabrakan, mendingan kita rapikan,” kata pria yang merangkap sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara itu.