Kasus: kekerasan seksual

  • Soal Penanganan Kasus Agus Tunadaksa NTB, Polri Dinilai telah Lindungi Kelompok Rentan – Halaman all

    Soal Penanganan Kasus Agus Tunadaksa NTB, Polri Dinilai telah Lindungi Kelompok Rentan – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Polri dinilai telah memenuhi perlindungan terhadap kelompok rentan baik perempuan maupun disabilitas dalam kasus dugaan kekerasan seksual oleh Agus Tunadaksa alias IWAS di Nusa Tenggara Barat (NTB).

    Perlindungan kepada kelompok rentan ini khususnya mereka yang tengah berhadapan dengan kasus hukum baik sebagai korban maupun pelaku.

    Direktur Eksekutif CENTRA Initiative  Muhammad Hafiz menyebut dari data yang ada, kelompok rentan seperti perempuan memang kerap menjadi korban kekerasan seksual.

    “Dengan adanya respon terhadap situasi yang terjadi, terutama pengaduan yang dilaporkan oleh salah seorang korban, kepolisian daerah NTB berhasil mendorong korban-korban Agus lain untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Dengan adanya pengaduan ini, bisa dikatakan bahwa korban berada pada kondisi nyaman dan aman untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya,” kata Hafiz dalam keterangannya, Rabu (18/12/2024). 

    Dalam proses penyelidikan maupun penyelidikan, kata Hafiz, kepolisian nampak telah memiliki persepektif yang memadai yakni setidaknya memastikan adanya keterlibatan dari Komisi Nasional Disabilitas NTB di dalam prosesnya.

    Meski menjadi terduga pelaku kekerasan seksual, Polri pun tetap memastikan hak-hak Agus sebagai penyandang disabilitas.

    Perlindungan pun diberikan salah satunya menangguhkan penahanannya, namun kepolisian tetap fokus pada skema pembuktian perkara dan menjaga independensi proses peradilan. 

    “Setidaknya, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan,” jelasnya. 

    Hafiz mengatakan penegakkan hukum yang inklusif juga dilakukan guna mendapat dukungan dan kepercayaan publik agar tetap berlaku adil dan akuntabel dalam penegakan hukum, terutama kekerasan seksual.  

    “Selain itu, upaya kepolisian membangun skema koordinasi dengan lembaga penegak hukum lain, organisasi penyandang disabilitas, termasuk penyedia layanan juga meningkatkan efektifitas penanganan kasus yang lebih inklusif dan partisipatif. Dari sisi internal, sejumlah diklat dan penguatan di internal kepolisian setidaknya telah cukup terbukti dalam penanganan kasus Agus di NTB ini,” tuturnya. 

    Meski begitu, ada catatan dari Hafiz soal langkah lanjutan penegakkan hukum inklusif khususnya di Korps Bhayangkara di antaranya penguatan kebijakan kepolisian yang menjadi rujukan dalam proses penegakan hukum, terutama di tahap penyelidikan dan penyidikan.

    Kemudian, meningkatkan kapasitas dan jumlah personel yang memiliki pemahaman dan keterampilan, termasuk kemampuan bahasa isyarat, sebagai prasyarat pencapaian sistem penegakan hukum yang inklusif. 

    “Meningkatkan sarana dan prasarana aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas, di antaranya dengan melakukan audit infrstruktur akses di seluruh unit kerja kepolisian, menyusun roadmap pelaksanaan dan targetnya, serta secara kolaboratif dan partisipatif dengan organisasi penyandang disabilitas untuk mewujudkannya,” jelasnya.

    Hal ini lah yang bisa menjadi pedoman bagi Polri untuk menangani perkara yang bersinggungan dengan penyandang disabilitas.

    “Kebijakan ini setidaknya menjadi pedoman bagi Kepolisian ketika menangani situasi-situasi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana,” ucapnya. 

    17 Wanita Diduga Jadi Korban 

    Untuk informasi, Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) terus mendalami kasus kekerasan seksual dengan tersangka I Wayan Agus Suartama (21), alias Agus Tunadaksa.

    Hingga saat ini, 17 korban telah melapor, termasuk anak di bawah umur.

    Sejumlah saksi telah diperiksa, dan rekonstruksi digelar untuk melengkapi berkas penyelidikan.

    Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Joko Jumadi, mengungkapkan ada dua korban tambahan yang mengaku dilecehkan oleh tersangka.

    “Dua korban ini ada yang langsung datang ke Polda NTB, sementara satu lainnya menghubungi tim pendamping setelah videonya viral,” kata Joko, Jumat (13/12/2024).

    Joko menambahkan, para korban akan didampingi untuk membuat laporan polisi (LP). Kepolisian mempertimbangkan pembuatan laporan terpisah untuk korban anak-anak dan dewasa.

    Agus diduga menggunakan modus manipulasi emosional untuk mendekati korban.

    Dia mencari korban yang terlihat rapuh, menggali informasi pribadi, lalu mengancam mereka untuk menuruti keinginannya.

    “Agus mengancam korban dengan cerita aib mereka. Dia juga menggunakan ancaman akan menggerebek dan menikahkan korban jika mereka melawan,” jelas Joko.

     

     

     

     

  • Logika Keliru Selesaikan Kasus Kekerasan Seksual dengan Pernikahan

    Logika Keliru Selesaikan Kasus Kekerasan Seksual dengan Pernikahan

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyayangkan banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan diselesaikan secara adat dengan pernikahan antara pelaku dan korban.

    Menurut Sahroni, logika atas penyelesaian secara adat tersebut keliru dan sangat berbahaya terutama terhadap korban karena yang bersangkutan sudah trauma dan kemungkinan besar menerima pernikahan di bawah tekanan.

    “Saya kira logika kearifan lokal yang seperti ini perlu dikoreksi. Ini jelas keliru dan perlu diubah. Kekerasan seksual itu jelas merupakan kejahatan dan ada pidananya, bukan suatu takdir yang seakan dimaklumi begitu saja,” ujar Sahroni kepada wartawan, Rabu (18/12/2024).

    Sahroni juga mengkritik banyak orang tua yang justru mendukung pernikahan pasca terjadi kekerasan seksual. Menurut Sahroni, tidak bisa serta dianggap cara-cara kekeluargaan atau adat bisa menentukan nasib hidup korban kekerasan seksual.

    “Apalagi dari banyak kasus, sang korban justru mendapat tekanan dari orang tua untuk menikahi pelaku. Ini kan salah. Korban kan sudah trauma, jangan justru dinikahkan dengan pelaku,” tandas politikus Nasdem ini.

    Sahroni pun meminta pihak kepolisian mengambil langkah-langkah tegas dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Terutama, kata dia, demi mencegahnya pernikahan paksaan yang kerap terjadi.

    “Maka saya selalu minta polisi terbiasa untuk jemput bola dalam setiap kasus kekerasan seksual. Polisi harus menjadi pihak yang memberikan ketegasan, bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan dan wajib dihukum pidana,” tutur dia.

    “Bayangkan si korban harus menikahi pelaku, dari awal saja sudah kriminal, apalagi ke depannya? Inilah juga menjadi salah satu alasan banyaknya terjadi KDRT dan perbuatan keji di rumah tangga,” tambah Sahroni.

    Sahroni berharap setiap korban dari kasus kekerasan seksual bisa mendapat keadilan yang sesungguhnya. “Korban kasus kekerasan seksual seharusnya mendapat keadilan, bukan paksaan. Polisi harus lindungi korban dari upaya mediasi ‘cuci otak’ yang menyebut menikahi pelaku merupakan solusi,” pungkas Sahroni.

    Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyebut banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang diselesaikan melalui cara adat atau tradisi dengan dinikahkan antara pelaku dan korban. Menurut Kapolri, perlu kajian dan penelitian khusus terkait penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan pernikahan karena pihak pihak yang protes dengan solusi tersebut.

    “Apakah karena itu kemudian diselesaikan dengan tradisi yang ada di wilayah masing-masing, karena memang kadang kala ini juga yang sering didapatkan protes, masalah-masalah tersebut kemudian diselesaikan dengan cara dinikahkan dinikahkan, tetapi pertanyaannya apakah kemudian dengan dinikahkan tersebut kemudian masalah bisa selesai?” ujar Kapolri saat membuka kegiatan Gender Mainstreaming Insight dan Launching Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO Bareskrim Polri di The Tribrata, Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2024).

    Menurutnya, hal itu perlu ada penelitian mendalam, sehingga kalau memang ternyata cara-cara seperti itu ternyata tidak cocok, tentunya perlu disiapkan cara yang paling pas.

    “Sehingga di satu sisi yang namanya kekerasan terhadap perempuan terhadap anak betul-betul bisa kita tekan, di sisi lain penyelesaiannya pun juga sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perempuan dan anak,” sambung Listyo terkait kasus kekerasan seksual diselesaikan dengan pernikahan.

  • Kasus Agus Buntung, Polri Dinilai Sudah Lindungi Korban dan Penuhi Hak Kelompok Disabilitas

    Kasus Agus Buntung, Polri Dinilai Sudah Lindungi Korban dan Penuhi Hak Kelompok Disabilitas

    loading…

    Polda NTB saat menggelar rekonstruksi kasus Agus Buntung, tersangka kasus dugaan pelecehan mahasiswi di Mataram, Rabu (11/12/2024). Foto: iNews/Hari Kasidi

    JAKARTA – Polri dinilai telah memenuhi perlindungan terhadap kelompok rentan baik perempuan maupun disabilitas terkait penanganan kasus dugaan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh IWAS atau dikenal Agus Buntung di NTB. Direktur Eksekutif CENTRA Initiative Muhammad Hafiz memberikan catatan tentang perlindungan kelompok rentan yang berhadapan dengan hukum oleh kepolisian .

    Dia menuturkan, data-data menunjukkan bahwa disabilitas, terutama perempuan, lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual. Dalam kasus yang terjadi di NTB, seorang penyandang disabilitas justru menjadi pelaku, dengan korban yang semakin banyak mengadukan pelaku dengan kasus serupa.

    “Dengan adanya respons terhadap situasi yang terjadi, terutama pengaduan yang dilaporkan oleh salah seorang korban, kepolisian daerah NTB berhasil mendorong korban-korban Agus lain untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya,” kata Muhammad Hafiz dalam keterangannya, Rabu (18/12/2024).

    “Dengan adanya pengaduan ini, bisa dikatakan bahwa korban berada pada kondisi nyaman dan aman untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya,” sambungnya.

    Selain itu, dari proses penyelidikan dan penyidikan, tampak bahwa penegak hukum, terutama kepolisian, telah memiliki perspektif yang cukup memadai, setidaknya untuk memastikan adanya keterlibatan dari Komisi Nasional Disabilitas NTB di dalam prosesnya.

    Kepolisian memastikan pula hak-hak Agus, sebagai penyandang disabilitas, yang diduga sebagai pelaku tetap dilindungi, seperti dengan penangguhan penahanannya, namun kepolisian tetap fokus pada skema pembuktian perkara dan menjaga independensi proses peradilan.

    “Setidaknya, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan,” ujarnya.

    Adanya pemahaman yang memadai aparat penegak hukum ini tidak dapat dipisahkan dari beberapa hal, di antaranya adalah adanya dukungan dan kepercayaan publik kepada kepolisian untuk tetap berlaku adil dan akuntabel dalam penegakan hukum, terutama kekerasan seksual.

  • Penyebab Predator Seks Reynhard Sinaga Dikeroyok di Penjara Inggris

    Penyebab Predator Seks Reynhard Sinaga Dikeroyok di Penjara Inggris

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pelaku kejahatan seksual asal Indonesia, Reynhard Sinaga, dikeroyok narapidana di dalam penjara Inggris hingga nyaris mengalami cedera parah.

    Pengeroyokan itu terjadi pada Juli lalu di penjara HMP Wakefield, West Yorkshire.

    Menurut seorang sumber yang bicara kepada The Sun, penyebab Reynhard dikeroyok gara-gara sikapnya yang arogan dan kejahatan yang dilakukannya terlampau bejat.

    “Sinaga arogan dan dibenci secara universal. Dia adalah target yang jelas di penjara karena kejahatannya yang bejat,” kata sumber tersebut.

    Sumber yang sama menyebutkan Reynhard nyaris celaka jika saja sipir tak turun tangan.

    “Dia nyaris dalam bahaya yang sangat serius. Dia dalam bahaya,” ucapnya.

    Reynhard merupakan warga negara Indonesia (WNI) yang dipenjara di Inggris karena kasus kekerasan seksual terhadap ratusan pemuda saat dia tinggal di Manchester pada 2015-2017.

    Ia dihukum atas 159 kasus kejahatan seksual, di antaranya pemerkosaan terhadap 136 pemuda.

    Reynhard tinggal di Inggris usai pindah dari Indonesia pada 2005 sebagai mahasiswa. Sejak itu, ia mulai menargetkan pria-pria mabuk di luar kelab malam dan pub.

    Reynhard akan membujuk pemuda-pemuda untuk datang ke apartemennya di Manchester sebelum membius mereka dan memperkosa mereka.

    Pada Juni 2017, korban terakhir Reynhard siuman dari bius saat diperkosa dan melawan Reynhard sebelum akhirnya melapor ke polisi.

    Polisi pun menangkap Reynhard dan menemukan ratusan rekaman pemerkosaan Reynhard terhadap para korbannya yang tak sadarkan diri.

    Polisi berhasil melacak para korban Reynhard karena ia menyimpan berbagai barang milik korbannya, seperti jam tangan, ponsel, hingga kartu identitas.

    Reynhard akhirnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dengan minimal bui 40 tahun. Ia kini mendekam di penjara HMP Wakefield Kategori A, tempat para penjahat kelas kakap dihukum.

    Penjara Kategori A di Inggris biasanya diisi oleh penjahat yang menimbulkan ancaman terbesar terhadap keamanan publik, polisi, atau nasional, seperti terorisme, kejahatan terorganisasi, dan pelanggaran serius lainnya.

    (blq/dna/bac)

  • Komisi VII DPR RI minta perlindungan pekerja perempuan diperkuat

    Komisi VII DPR RI minta perlindungan pekerja perempuan diperkuat

    Perlindungan terhadap pekerja perempuan menjadi hal yang harus terus dilakukan

    Bandarlampung (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Chusnunia Chalim meminta agar perlindungan bagi pekerja perempuan harus tetap dilakukan serta diperkuat.

    “Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai regulasi untuk melindungi perempuan salah satunya pekerja perempuan sudah disahkan, akan tetapi memang masih perlu banyak hal yang harus dibenahi,” ujar Chusnunia Chalim di Bandarlampung, Selasa.

    Ia menjelaskan, perlindungan terhadap pekerja perempuan menjadi hal yang harus terus dilakukan, sebab akan mencegah adanya tindak diskriminasi terhadap perempuan, meningkatkan kesejahteraan serta terjaminnya hak-hak pekerja perempuan.

    “Memang untuk perlindungan pekerja perempuan ini harus lebih spesifik, kalau terkait aturan memang sudah ada tapi ada yang belum tuntas. Misalkan kalau di dunia politik contohnya afirmasi perempuan persen di calon legislatif, partai dan dewan sudah tercukupi, akan tetapi di birokrat dan swasta belum selesai karena keterlibatan perempuan masih kurang,” katanya.

    Dia melanjutkan berbagai persoalan perlindungan pekerja perempuan yang belum tuntas harus tetap diperjuangkan.

    “Seperti para jurnalis perempuan ini pekerjaan yang rentan dan harus terus diperjuangkan perlindungannya, kemudian Undang-undang Ketenagakerjaan juga perlu direvisi agar tetap melindungi pekerja perempuan,” ucap dia.

    Menurut dia, para perempuan juga harus tetap aktif memperjuangkan dan menjaga agar hak sebagai perempuan tetap terlindungi. Meski regulasi mengenai perlindungan perempuan telah dibuat.

    “Implementasi ini tidak menunggu sempurna tapi kita para perempuan yang harus mengejarnya, dan yang pasti perempuan tidak boleh manja dengan mengatas namakan perempuan. Perempuan harus mandiri, berdaya saing untuk meningkatkan kemampuan diri serta mengedukasi keluarganya,” tambahnya.

    Pewarta: Ruth Intan Sozometa Kanafi
    Editor: Sambas
    Copyright © ANTARA 2024

  • Google Dipaksa Berubah atau Terancam Blokir, Waktunya Cuma 3 Bulan

    Google Dipaksa Berubah atau Terancam Blokir, Waktunya Cuma 3 Bulan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Inggris mulai menerapkan kebijakan razia keamanan online pada Senin (16/12) waktu setempat. Kebijakan tersebut akan memperketat pengawasan terhadap konten negatif di ranah online.

    Raksasa platform teknologi seperti Google, Meta, dan TikTok berpotensi mendapat sanksi denda dalam jumlah besar jika masih menyebarkan konten negatif untuk para pengguna.

    Pengawas telekomunikasi dan media Inggris, Ofcom, mempublikasikan panduan edisi pertama untuk platform teknologi. Di dalamnya terperinci hal-hal yang harus dilakukan platform untuk menghadang konten ilegal seperti teror, ucaran kebencian, penipuan, dan kekerasan seksual.

    Ofcom mengatakan para platform diberi waktu hingga 16 Maret 2025 atau sekitar 3 bulan untuk menyapu bersih konten ilegal dan mematuhi aturan yang berlaku.

    Langkah-langkah tersebut merupakan serangkaian tugas pertama yang diberlakukan oleh regulator berdasarkan Undang-Undang Keamanan Online (Online Safety Act).

    Undang-Undang Keamanan Online meminta para raksasa teknologi mengimplementasikan “kewajiban kehati-hatian” untuk memastikan mereka bertanggung jawab atas konten berbahaya yang diunggah dan disebarkan di platform mereka.

    Aturan tersebut sudah disahkan sejak Oktober 2023 lalu, namun belum sepenuhnya berlaku. Secara efektif, per Senin (16/12), pemerintah mengatakan penegakkan aturan diresmikan.

    Dalam tenggat 3 bulan, platform harus mulai menerapkan langkah-langkah untuk mencegah risiko konten ilegal, termasuk moderasi yang lebih baik, pelaporan yang lebih mudah, dan uji keamanan di dalam platform, menurut Ofcom.

    “Kami akan mengawasi industri ini dengan cermat untuk memastikan perusahaan mematuhi standar keselamatan ketat yang ditetapkan bagi mereka berdasarkan kode dan panduan pertama kami, dengan persyaratan lebih lanjut yang akan segera menyusul pada paruh pertama tahun depan,” kata Chief Executive Ofcom Melanie Dawes, dalam pernyataan resmi, dikutip dari CNBC International, Selasa (17/12/2024).

    Di bawah Undang-Undang Keamanan Online, Ofcom bisa menetapkan sanksi denda sebesar 10% dari total pendapatan tahunan platform jika ketahuan melanggar.

    Untuk pelanggaran berulang, manajer senior perusahaan bisa menghadapi hukuman penjara. Dalam kasus yang lebih serius, Ofcom berhak mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta pemblokiran akses layanan platform di Inggris atau membatasi akses ke penyedia pembayaran atau pengiklan.

    Menteri Teknologi Inggris, Peter Kyle, mengatakan panduan konten ilegal dari Ofcom merupakan langkah lanjutan untuk mengubah ranah maya agar lebih aman. Artinya, mulai Maret 2024, platform harus secara aktif memblokir konten-konten berbau terorisme, gambar kekerasan seksual terhadap anak, dan konten negatif lainnya.

    “Jika platform gagal untuk berubah sesuah aturan yang berlaku, regulator [Ofcom] mendapat dukungan penuh dari saya untuk menggunakan kekuasaan penuh mereka, termasuk mengeluarkan denda dan meminta pengadilan memblokir akses ke platform,” Kyle menuturkan.

    (fab/fab)

  • Kapolri Heran Ratusan Ribu Kasus Kekerasan Perempuan Tak Ditangani Polri

    Kapolri Heran Ratusan Ribu Kasus Kekerasan Perempuan Tak Ditangani Polri

    Kapolri Heran Ratusan Ribu Kasus Kekerasan Perempuan Tak Ditangani Polri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo heran karena ada ratusan ribu kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tetapi tidak ditangani oleh Polri.
    Sigit menyebutkan, berdasarkan data Komnas Perempuan, ada 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 15.120 kekerasan anak yang terjadi selama lima tahun terakhir, sedangkan jumlah kasus yang ditangani Polri hanya sekitar 100.000 kasus.
    “Yang ditangani oleh unit Subdit PPA/PPO ada 105.475 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, di mana tertinggi adalah
    KDRT
    , pencabulan, kekerasan fisik dan psikis, persetubuhan, dan pemerkosaan,” kata Sigit di Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2024).
    “Yang ditangani unit kami angkanya jauh lebih kecil. Saya tidak tahu
    loss
    -nya di mana atau hilangnya di mana,” ujar Sigit melanjutkan.
    Kapolri mengakui  bahwa ada banyak pihak yang memprotes karena kasus-kasus kekerasan seksual diselesaikan melalui cara-cara tradisional, misalnya menikahkan pelaku dan korban.
    Sigit menilai, cara seperti itu tidak tepat karena belum tentu menyelesaikan masalah.
    “Ini harus diteliti lebih dalam. Cara seperti itu tidak cocok dan harus disiapkan solusi yang paling pas,” kata dia.
    Sigit menekankan, penyelesaian kasus kekerasan harus sesuai dengan harapan korban, serta mengedepankan tindakan tegas dan solusi yang tidak menambah masalah baru.
    “Salah satu solusinya adalah menambah personel
    Polwan
    yang dibekali dengan kemampuan dan kualitas,” kata Sigit.
    “Kehadiran Polwan di lapangan sangat penting, terutama saat situasi kritis. Dengan pendekatan feminisme yang dimiliki Polwan, kehadiran mereka bisa meredam potensi konflik,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Perempuan dan Anak, Inikah Pemicunya?

    Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Perempuan dan Anak, Inikah Pemicunya?

    Jakarta

    Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyebut tren kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak masih tinggi. Terlihat dalam pantauan perbandingan data periode 2016 dan 2024. Lebih dari tiga hingga empat persen perempuan dan anak di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual.

    Hal ini menurutnya termasuk kondisi ‘darurat’. Mengingat, perempuan mengisi hampir separuh populasi Indonesia, yakni 49,42 persen, dan anak sebanyak 31,6 persen.

    “Kita menyatakan darurat kekerasan seksual untuk perempuan dan anak,” kata dia dalam Forum Merdeka Barat, Senin (16/12/2024).

    Apa Pemicunya?

    Beberapa faktor di balik tingginya kasus kekerasan seksual anak dan perempuan adalah minimnya ruang aman bagi kelompok tersebut. Terlebih, ada tren nihilnya kepedulian di masyarakat sekitar, sehingga korban seringnya sulit mendapat pertolongan.

    Kedua, berkaitan dengan pola asuh anak. Anak saat ini lebih dekat dengan gadget, tetapi dampaknya tidak selalu positif. Sejumlah contoh kekerasan seksual sering didapatkan dari kedekatan dengan gadget, tanpa pengawasan ketat orangtua.

    “Orangtua hanya tau anaknya sedang belajar di gadget,” tutur dia.

    “Anak-anak kita sekarang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, beberapa kali saya turun ke lokasi kabupaten, atau kota yang ada kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Misalnya di Banyuwangi anak umur 6 tahun mengalami kekerasan seks hingga akhirnya meninggal,” pungkasnya.

    Prevalensi kasus kekerasan terhadap perempuan di usia 15 tahun ke atas dari pasangan juga terpantau tinggi. Kekerasan fisik dialami 1,8 persen dari populasi, sementara angka kekerasan seksual relatif lebih tinggi yakni 1,9 persen.

    Pada kasus kekerasan emosional, KemenPPPA juga mencatat angka tinggi korban sebanyak 4,1 persen. Namun, dari segala aspek, dua jenis kekerasan tertinggi yang dialami perempuan dari pasangan adalah persoalan ekonomi dan pembatasan aktivitas.

    (naf/kna)

  • Telegram Berubah Total Usai CEO Ditangkap, Begini Nasibnya Sekarang

    Telegram Berubah Total Usai CEO Ditangkap, Begini Nasibnya Sekarang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Aplikasi pesan singkat Telegram dirombak habis-habisan setelah CEO Pavel Durov ditangkap di Prancis pada Agustus lalu. Saat ini Durov memang sudah bebas bersyarat dengan membayar tebusan senilai 5 juta euro (Rp 84 miliar).

    Kendati demikian, layanan buatannya yang merupakan pesaing berat WhatsApp kian mendapat tekanan. Durov yang sebelumnya blak-blakan tak mau diatur pemerintah, kini patuh melakukan moderasi konten negatif.

    Dikutip dari TechCrunch, Senin (16/12/2024), Telegram sudah menghapus 15,5 juta grup dan channel negatif sepanjang 2024. Pemblokiran tersebut dilakukan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI).

    Salah satu yang dititikberatkan pemerintah dalam pembebasan Durov adalah membersihkan Telegram dari konten-konten berbahaya dan provokatif. Hal itu pula yang menjadi alasan pemerintah menangkap Durov di awal.

    Pada September lalu atau setelah dibebaskan, Durov memang membuat pengumuman besar bahwa Telegram akan menyapu bersi konten ilegal dari platformnya. Janji tersebut sepertinya benar ditepati.

    Adapun grup dan channel yang dihapus Telegram antara lain terkait penipuan dan terorisme. Telegram baru-baru ini juga meluncurkan laman khusus moderasi untuk menjadi wadah koordinasi upaya moderasi ke publik.

    Pantauan CNBC Indonesia dalam laman moderasi Telegram, penghapusan konten paling banyak dilakukan pada 22 September 2024, yakni lebih dari 203.000 konten.

    Konten yang paling banyak diblokir terkait kekerasan seksual terhadap anak, yakni 707.000-an konten. Selanjutnya terkait propaganda terorisme sebanyak 130.000-an konten.

    Jika pengguna menemukan konten negatif di Telegram, bisa melaporkannya dengan menekan konten, lalu memilih opsi ‘Report’. Lalu, masukkan alasan kenapa konten tersebut berbahaya atau negatif.

    (fab/fab)

  • Kinerja Polri dalam Penanganan Kasus Agus Buntung Diapresiasi

    Kinerja Polri dalam Penanganan Kasus Agus Buntung Diapresiasi

    loading…

    Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia Ratna Batara Munti mengapresiasi langkah cepat Polri dalam menangani kasus kekerasan seksual yang melibatkan IWAS atau dikenal Agus Buntung. Foto/Istimewa

    JAKARTA – Langkah cepat Polri dalam menangani kasus kekerasan seksual yang melibatkan IWAS atau dikenal Agus Buntung diapresiasi oleh Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia Ratna Batara Munti. Ratna mengatakan, percepatan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam proses penyidikan dan penyelidikan menunjukkan komitmen Polri untuk menangani kasus kekerasan seksual dengan serius.

    “Kami mengapresiasi kinerja Polri yang telah bekerja cepat dalam menangani kasus Agus. Proses penyelidikan yang dilakukan tidak memakan waktu lama, bahkan tersangka sudah ditetapkan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini tentunya memberi harapan kepada para korban bahwa kasus kekerasan seksual dapat diproses secara cepat dan adil,” ujar Ratna dalam acara diskusi di auditorium Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (16/12/2024).

    Ratna juga menyatakan bahwa pihaknya berharap agar hak-hak korban, yang sudah berani melapor, dapat sepenuhnya dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Selain itu, Ratna menyoroti pentingnya perhatian khusus terhadap tersangka yang merupakan individu dengan disabilitas.

    Menurutnya, penanganan terhadap tersangka disabilitas harus tetap mengacu pada undang-undang terkait, agar hak-hak tersangka juga tetap dihormati, sambil memastikan proses hukum tetap berjalan.

    “Walaupun tersangka berasal dari kelompok disabilitas, kami berharap agar penanganannya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang disabilitas yang ada. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap individu, baik korban maupun tersangka, mendapat perlakuan yang sesuai dengan hak-haknya,” ujar Ratna.

    Ratna juga menyoroti pentingnya pembentukan Ddrektorat baru di Polri, yaitu Direktorat Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang diharapkan bisa mempercepat penanganan kasus-kasus serupa di masa depan. Ia mengungkapkan bahwa meskipun sudah ada upaya penanganan, di lapangan masih banyak ditemui kelambanan dalam proses hukum terhadap kasus kekerasan seksual, yang sering kali membuat korban merasa terabaikan.

    “Kami berharap dengan adanya direktorat baru ini, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat lebih cepat dan efisien. Harus ada kemajuan yang nyata dalam sistem penanganan kasus kekerasan seksual, agar korban bisa mendapatkan keadilan tanpa harus menunggu terlalu lama,” tegas Ratna.

    Ratna juga mengingatkan pentingnya perspektif baru di tubuh Polri, khususnya di Direktorat PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) dan PPO (Pelayanan dan Pengaduan Online), untuk terus fokus dalam memberikan pelayanan terbaik bagi korban kekerasan seksual di Indonesia.

    “Kami berharap Polri, khususnya Direktorat baru ini, terus membangun perspektif yang lebih sensitif terhadap masalah kekerasan seksual dan memberikan pelayanan yang optimal untuk korban di masa yang akan datang,” pungkasnya.

    (rca)