Kasus: kekerasan seksual

  • Siswi SMA di Pesisir Selatan Melahirkan di Ruang Kelas, Ternyata Dihamili Sang Paman

    Siswi SMA di Pesisir Selatan Melahirkan di Ruang Kelas, Ternyata Dihamili Sang Paman

    GELORA.CO – Seorang siswi SMA di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, melahirkan bayi perempuan di ruang kelas kosong saat jam pelajaran berlangsung, Selasa (28/10) pukul 09.00 WIB. Siswi tersebut diketahui merupakan korban pemerkosaan.

    Awalnya, siswi itu meminta izin kepada gurunya untuk keluar kelas karena merasa sakit perut. Guru tidak curiga, dan korban ditemani oleh dua orang temannya.

    “Anak ini usap-usap perut, keluar cairan seperti ketuban. Pergi ke ruang kelas lain, kebetulan ruang itu memang kosong,” ujar Kasat Reskrim Polres Pesisir Selatan, AKP M. Yogie Biantoro, saat dihubungi kumparan, Jumat (31/10).

    Yogie mengatakan, teman-temannya tidak mengetahui bahwa korban sedang hamil. Hal yang sama juga tidak disadari guru maupun keluarga korban.

    “Postur tubuh korban memang agak gemuk, jadi tidak kelihatan sedang hamil. Keluarganya juga tidak tahu,” kata dia.

    Proses persalinan pun dibantu oleh dua teman korban. Suasana sekolah langsung heboh, dan korban segera dilarikan ke puskesmas terdekat.

    Setelah pihak keluarga datang dan mengetahui peristiwa itu, mereka tidak terima anaknya menjadi korban pemerkosaan. Kasus tersebut kemudian langsung ditangani kepolisian.

    “Pelaku hari itu juga diamankan di polsek. Keluarga telah membuat laporan resmi, dan pelaku kini kami amankan di polres,” imbuhnya.

    Pelaku Paman Korban

    Pelaku pemerkosaan terhadap siswi kelas X itu merupakan pamannya sendiri, berinisial PRK (32). Korban tidak berani bercerita karena diancam akan dibunuh oleh pelaku.

    Menurut Yogie, kekerasan seksual tersebut sudah terjadi berulang kali sejak Januari 2025.

    “Korban diancam akan dibunuh kalau tidak mau melakukannya. Pelaku melakukan pemerkosaan di rumah orang tua korban,” tandasnya.

  • Heboh Pangeran Andrew Kehilangan Gelar Akibat Skandal Seks

    Heboh Pangeran Andrew Kehilangan Gelar Akibat Skandal Seks

    Jakarta

    Pangeran Andrew, anak ketiga mendiang Ratu Elizabeth II dari Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara, akan kehilangan gelar “pangeran” dan keluar dari kediamannya di Windsor, Royal Lodge.

    Dalam beberapa pekan terakhir Andrew mendapat sorotan publik terkait hubungannya dengan Jeffrey Epstein, seorang pelaku kejahatan seksual yang telah divonis bersalah dan meninggal dunia di Amerika Serikat.

    Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan Kamis (30/10), Kerajaan Bersatu (UK) menyatakan saudara kandung Raja Charles tersebut kini hanya akan menyandang nama Andrew Mountbatten Windsor.

    Baca juga:

    Andrew telah menyerahkan sejumlah gelar kebangsawanan pada awal Oktober lalu, termasuk gelar Duke of York. Langkah itu merupakan imbas dari sorotan publik terhadap kehidupan pribadinya.

    Dalam memoar yang terbit setelah kematiannya, Virginia Giuffre, korban kekerasan seksual Jeffrey Epstein, mengulangi tuduhan bahwa saat masih remaja, dia pernah berhubungan seks dengan Andrew dalam tiga kesempatan terpisah. Andrew selalu membantah tuduhan tersebut.

    Dalam perkembangan terbaru, keluarga mendiang Giuffre mengatakan perempuan yang tewas April lalu itu “telah menjatuhkan seorang pangeran Inggris dengan kebenaran dan keberanian luar biasanya”.

    ShutterstockPangeran Andrew tinggal di Royal Lodge sejak 2004.

    Sementara itu, pihak Kerajaan Bersatu menyebut Raja Charles telah memulai proses formal untuk mencabut titel, gelar kehormatan, dan penghargaan yang dipegang Andrew.

    Istana Buckingham juga bilang bahwa pemberitahuan resmi telah disampaikan agar Andrew menyerahkan Royal Lodge.

    Andrew akan pindah ke akomodasi pribadi di Sandringham Estate. Biaya kehidupan Andrew disebut akan didanai secara pribadi oleh Raja Charles.

    “Tindakan ini dianggap perlu, meskipun Andrew terus membantah tuduhan yang ditujukan padanya,” demikian pernyataan resmi Kerajaan Bersatu.

    Pihak kerajaan dalam pernyataannya juga menyatakan dukungannya bagi korban segala bentuk kekerasan.

    Sementara itu, dua putri Andrew yang telah dewasa, yakni Eugenie dan Beatrice, akan tetap mempertahankan gelar kebangsawanan mereka.

    Sarah Ferguson, mantan istri Andrew, akan pindah dari Royal Lodge dan akan mengatur tempat tinggalnya sendiri.

    Hingga Oktober ini, Sarah masih mempertahankan gelar Duchess of York. Namun dia kembali menggunakan nama mudanya, Sarah Ferguson, setelah Andrew secara sukarela melepaskan penggunaan gelar Duke of York.

    Menurut kabar yang beredar di lingkungan Istana Buckingham, keputusan mencabut gelar pangeran Andrew telah dikonsultasikan dengan pemerintah Kerajaan Bersatu di bawah pimpinan Perdana Menteri Keir Starmer.

    Pemerintah UK disebut mendukung pencabutan gelar itu.

    Menanggapi berita tersebut di BBC Question Time, Menteri Kebudayaan UK, Lisa Nandy, menyebut pencabutan gelar Andrew menunjukkan “dukungan yang sangat kuat kepada korban pelecehan seksual dan kejahatan seksual”.

    “Ini adalah perkembangan besar dan langkah besar yang diambil oleh Raja. Saya harus mengatakan, sebagai respons awal, saya benar-benar mendukung langkah yang dia ambil,” ujar Nandy.

    Getty ImagesSarah Ferguson, yang terlihat di sini bersama Andrew, juga akan pindah dari Royal Lodge.

    Pencabutan gelar Andrew menandai puncak tekanan yang semakin meningkat terhadap keluarga kerajaan dalam beberapa pekan terakhir.

    Skandal terkait hubungan Andrew dengan Jeffrey Epstein kembali mencuat setelah tuduhan pelecehan seksual disebut-sebut dalam memoar yang ditulis Virginia Giuffre.

    Meskipun Andrew selalu membantah, surat elektronik dari tahun 2011 yang mencuat ke publik menunjukkan Andrew tetap berhubungan dengan Epstein beberapa bulan setelah dia mengklaim persahabatan mereka berakhir.

    Rincian tentang pengaturan tempat tinggal Andrew juga menjadi sorotan. Muncul pertanyaan baru tentang bagaimana Andrew dapat membiayai gaya hidupnya meskipun bukan lagi anggota kerajaan yang aktif.

    Andrew tinggal di Royal Lodge sejak 2004. Saat itu dia menandatangani perjanjian sewa selama 75 tahun dengan pemilik properti, Crown Estate, yang beroperasi sebagai perusahaan properti independen.

    Royal Lodge, yang terdaftar sebagai bangunan bersejarah Kelas II di kompleks Windsor, dilengkapi dengan rumah tukang kebun, Chapel Lodge, rumah berukuran enam kamar tidur, dan akomodasi petugas keamanan.

    Rincian bagaimana Andrew selama ini membiayai kediamannya itu terkuak setelah perjanjian sewa diungkap ke publik.

    Merujuk berkas perjanjian tersebut, Andrew hanya pernah membayar sewa tahunan simbolis untuk Royal Lodge. Pembayaran itu sebenarnya tidak diperlukan berdasarkan perjanjian Andrew dengan Crown Estate, seperti dalam klausul sewa yang dilihat oleh BBC News.

    Berdasarkan kesepakatan tersebut, Andrew membayar sejumlah besar uang tunai di muka, termasuk untuk renovasi, alih-alih membayar sewa tahunan.

    Bagi pihak Kerajaan Bersatu, pengumuman pencabutan gelar Andrew adalah upaya untuk mengakhiri skandal yang melilit laki-laki berumur 65 tahun tersebut.

    (ita/ita)

  • Cegah Kasus Timothy Berulang, Satgas Perkuat Pencegahan Perundungan di Kampus
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        30 Oktober 2025

    Cegah Kasus Timothy Berulang, Satgas Perkuat Pencegahan Perundungan di Kampus Surabaya 30 Oktober 2025

    Cegah Kasus Timothy Berulang, Satgas Perkuat Pencegahan Perundungan di Kampus
    Tim Redaksi
    SURABAYA, KOMPAS.com
    – Kasus meninggalnya mahasiswa FISIP Universitas Udayana, Timothy Anugerah Saputra pada Rabu (15/10/2025) menjadi perhatian besar bagi di dunia akademisi.
    Timothy diduga meninggal dunia usai terjun dari lantai 4 dengan sengaja atau bunuh diri. Namun, diduga ia juga mengalami perundungan.
    Sebab, setelah kasus kematian tersebut, 6 mahasiswa ketahuan melakukan percakapan tidak berempati kepada Timothy.
    Kasus tersebut kini masih dalam tahap penyelidikan pihak kepolisian.
    Tak ingin kejadian berulang, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) dari 48 kampus di Indonesia memperkuat pencegahan dan penanganan kasus segala bentuk kekerasan.
    Forum tahunan tersebut di Surabaya pada Rabu (29/10/2025).
    Mulanya berfokus pada kekerasan seksual, kini meluas ke isu kekerasan secara umum termasuk bullying.
    Direktur Satgas Pencegahan dan Penanggulangan Isu Strategis (PPIS) Universitas Negeri Surabaya, Mutimmatul Faidah menyebut kasus Timothy menjadi perhatian bersama.
    Penyebab kematian Timothy Anugerah diduga kuat karena bunuh diri karena belum dapat dipastikan keterkaitan bullying.
    Meski begitu, Mutimmatul menegaskan bahwa kasus perundungan di kampus tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.
    “Apapun bahwa kita tidak bisa membenarkan di perguruan tinggi masih ada kekerasan apakah itu bentuk pengucilan, bullying atau menyudutkan. Benar-benar tidak bisa diterima,” kata Mutimmatul, Rabu (29/10/2025).
    Selama ini, penanganan kasus bullying di lingkungan perguruan tinggi ditangani secara administratif dan bersandar pada Permendikbud Nomor 55 Tahun 2024.
    “Ada sanksi ringan, sedang, dan berat. Sanksi ringan menulis pernyataan maaf, sanksi sedang skorsing, dan sanksi berat drop out (DO),” terangnya.
    Namun, apabila dalam kasus tersebut ditemukan adanya unsur pidana, maka akan menjadi wewenang dari pihak kepolisian untuk melakukan penanganan.
    “Kami punya komitmen bersama, harus kuat mental dan siap menghadapi berbagai macam permasalahan di kampus. Harapannya kami punya recharging,” jelasnya.
    Satgas PPKPT akan membahas pendalaman motif kasus kekerasan di lapangan untuk memetakan prosedur seperti apa yang harus ditempuh.
    Untuk itu, Satgas PPKPT mendorong penegakan hukum harus ditegakkan dengan jelas dan transparan serta berpihak pada korban.
    “Jadi tidak ditutup. Jangan kemudian nama baik kampus, kemudian ditutup lalu muncul
    no viral no justice
    . Satgas berperan kasus itu viral atau gak viral harus melakukan penanganan sesuai prosedur,” jelasnya.
    Menurut Mutimmatul, apabila penanganan kasus kekerasan seperti bullying tidak tegas, dapat berpotensi terjadi pengulangan masalah.
    Selain itu, ia juga mendorong memperkuat edukasi yang relevan sesuai generasinya agar mudah dicerna dan diterima.
    “Kemudian, permasalahan mahasiswa juga tak lepas dari peran keluarga karena relasi. Jadi bagaimana kampus menilai itu, dari pemicunya sampai pengasuhannya,” ungkapnya.
    Pendalaman terhadap lingkungan keluarga menurutnya sangat penting.
    Setiap keluarga memiliki peran masing-masing dalam proses pembentukan setiap anggotanya.
    Keluarga menjadi lingkaran kecil yang berpotensi memunculkan siklus korban dan pelaku
    “Jangan-jangan dia korban, dia pelaku kemudian muncul korban lagi. Maka ini harus diputus,” imbuhnya.
    Selain itu, pembentukan karakter lewat pendidikan dan cara mengonsumsi informasi dari sosial media juga bisa menjadi pengaruh.
    “Kami mendorong satgas kampus lain untuk memproses secara transparan. Membuka sedetil-detilnya agar publik tahu. Ini yang akan menjadi komitmen kami bersama,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • El Fasher Jatuh, ‘Neraka Baru’ di Jantung Darfur Sudan

    El Fasher Jatuh, ‘Neraka Baru’ di Jantung Darfur Sudan

    Jakarta

    Sekitar 260.000 warga sipil terjebak di El Fasher di timur Sudan, separuh dari mereka adalah anak-anak. Selama berbulan-bulan kota itu telah dikepung oleh milisi Rapid Support Forces (RSF) dan terputus dari segala bentuk kontak dengan dunia luar.

    Bahkan pasokan makanan pun sudah lama tidak lagi masuk ke kota yang terletak sekitar 200 kilometer dari perbatasan dengan Chad di Provinsi Darfur. Menurut saksi mata, banyak orang kini bertahan hidup dengan memakan pakan ternak.

    Pada hari Senin (27/10), Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan keprihatinannya yang mendalam. Pengambilalihan itu merupakan “eskalasi mengerikan dari konflik,” kata Guterres. “Tingkat penderitaan yang kita saksikan di Sudan sungguh tak tertahankan.”

    Guterres bereaksi terhadap pernyataan dari RSF yang bersifat paramiliter. Mereka pada hari Minggu (26/10) mengumumkan bahwa mereka telah memperoleh kendali penuh atas kota tersebut. Sementara itu, menurut pernyataan dari Asosiasi Jurnalis Sudan, seluruh komunikasi di kota itu telah diputus, termasuk jaringan satelit.

    Dikhawatirkan terjadi peningkatan tajam situasi

    Para ahli kini memperkirakan akan terjadi peningkatan tajam dalam situasi, yang ditandai dengan kekerasan besar-besaran terhadap penduduk sipil yang terjebak di kota.

    Selama berbulan-bulan warga sipil, begitu pula para tentara Sudanese Armed Forces (SAF) yang ada di sana, hampir tidak memiliki kebutuhan dasar, ujar Ketua Forum Sudan dan Sudan Selatan Jerman, Marina Peter, dalam wawancaranya dengan DW. “Selama berminggu-minggu warga sipil yang terjebak telah mencoba meninggalkan kota. Sejak mulai terlihat bahwa RSF dapat sepenuhnya merebut kota itu, upaya pelarian meningkat kembali.”

    Namun peluang mereka sangat kecil, lanjut Peter: “Memang, beberapa orang masih bisa melarikan diri hingga baru-baru ini. Namun yang lain ditembak mati saat mencoba melarikan diri.”

    Perebutan kekuasaan terbuka

    Konflik di Sudan berakar pada berakhirnya pemerintahan Presiden otoriter Omar al-Bashir pada tahun 2019. Ia membangun kekuasaannya di atas angkatan bersenjata resmi, Sudanese Armed Forces (SAF), yang kini berada di bawah komando penguasa de facto Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Namun, Al-Bashir juga mengandalkan beberapa milisi yang berafiliasi dengan tentara, termasuk yang disebut Rapid Support Forces (RSF), yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Daglo, dikenal sebagai “Hemeti.”

    Kelompok Hemeti, sama seperti SAF, menjadi bagian dari dewan transisi sipil yang dibentuk setelah tergulingnya Al-Bashir. Namun pada Oktober 2021, kedua kelompok tersebut melakukan kudeta bersama. Hemeti menjadi wakil Al-Burhan. Namun kemudian kedua komandan itu berselisih tentang struktur dan hierarki dari sebuah tentara gabungan. Hemeti menolak untuk mengintegrasikan militianya ke dalam angkatan bersenjata nasional.

    Pada bulan April 2023, hal ini berujung pada perebutan kekuasaan terbuka di antara keduanya. Sejak saat itu, negara tersebut berada dalam keadaan perang.

    Pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan

    Rapid Support Forces berasal dari apa yang disebut Janjaweed, milisi berkuda beretnis Arab yang pada awal tahun 2000-an juga digunakan untuk melawan kelompok pemberontak beretnis non-Arab, seperti Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice and Equality Movement (JEM) di Darfur Barat. Bahkan saat itu, milisi-milisi tersebut telah menggunakan kekerasan ekstrem, termasuk terhadap warga sipil.

    “RSF dan milisi-milisi sekutunya telah secara luas menargetkan dan membunuh warga sipil, banyak di antaranya karena etnis mereka,” demikian bunyi laporan organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) pada Juni tahun ini. “RSF juga melakukan kekerasan seksual yang meluas, terutama pemerkosaan berkelompok, serta penjarahan. Mereka juga menghancurkan kota dan desa, sering kali dengan cara membakar, serta menjarah bantuan kemanusiaan dalam skala besar.” Mahkamah Pidana Internasional menemukan adanya indikasi kejahatan perang di Sudan.

    Tujuan: Mematahkan semangat musuh

    Pola ini, menurut Peter, dikhawatirkan akan terulang dalam beberapa hari mendatang di El Fasher. Para komandan kerap memerintahkan tentara yang berada di bawah pengaruh narkoba berat. Sebagian dari mereka bahkan adalah tentara anak-anak.

    “Kami mengenali pola dan logika yang kini diterapkan di El Fasher dari tempat-tempat lain di Sudan,” lanjut Peter. “Tujuannya adalah untuk, dalam arti tertentu, mematahkan semangat musuh. Dan hal itu dilakukan paling efektif dengan memperkosa perempuan — dan semakin sering juga laki-laki. Selain itu, RSF telah menggali parit-parit di sekitar kota sehingga tidak ada yang bisa melarikan diri. Tujuannya adalah untuk membuat kota itu kelaparan secara sistematis. Nyawa manusia tidak berarti apa-apa dalam konflik ini.”

    Hal serupa juga dilaporkan oleh Arjan Hehenkamp dari organisasi bantuan International Rescue Committee (IRC), kepala penanganan krisis untuk Darfur. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke Kota Tawila, di mana sudah ratusan ribu orang mencari perlindungan. “Orang-orang yang melarikan diri dari El Fasher datang dari neraka,” kata Hehenkamp di situs organisasi tersebut. “Mereka tidak memiliki apa-apa selain pakaian yang mereka kenakan. Banyak dari mereka sangat trauma dan mencari perlindungan serta harapan.” Namun Tawila pun kini berada di ambang batas kemampuannya. “Tanpa perluasan besar-besaran bantuan kemanusiaan, penderitaan ini akan terus meningkat.”

    Namun bukan hanya RSF yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Sudanese Armed Forces (SAF) juga melakukan “serangan brutal terhadap penduduk sipil,” demikian isi laporan HRW. “Daftar kekejaman mereka semakin panjang, hampir setiap hari.”

    Selama berbulan-bulan, kekhawatiran meningkat bahwa Sudan dapat terpecah akibat perang ini. “Bahaya ini,” pungkas Marina Peter, “menjadi semakin nyata setiap hari perang ini berlangsung.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Rizki Nugraha

    (ita/ita)

  • Nasib Pengungsi Anak di Laut: Perjalanan Sendirian yang Mematikan

    Nasib Pengungsi Anak di Laut: Perjalanan Sendirian yang Mematikan

    Jakarta

    “Tak seorang pun akan mempertaruhkan nyawanya di laut jika ada cara yang lebih baik. Tapi tidak ada alternatif. Itulah mengapa kami mempertaruhkan nyawa kami.”

    Itulah kata-kata seorang bocah berusia 15 tahun dari Guinea yang diselamatkan sebagai anak yang tidak didampingi di laut oleh NGO yang berbasis di Berlin, SOS Humanity.

    Organisasi yang telah menyelamatkan pengungsi dan migran di laut selama satu dekade ini memperingatkan bahwa semakin banyak anak-anak dan remaja yang berangkat sendirian dari Libya atau Tunisia menuju Eropa dengan kapal yang terlalu penuh dan sering kali tidak layak laut. Sekitar seperlima dari mereka yang diselamatkan adalah anak di bawah umur.

    Esther, seorang psikolog klinis asal Jerman, menjadi relawan sebagai petugas kesehatan mental dalam misi penyelamatan di Mediterania pada November dan Desember 2024.

    Dalam konferensi pers di Berlin pada Selasa, di mana Esther tidak menyebutkan nama belakangnya, ia mengatakan bahwa selama berada di laut, enam kapal yang membawa 347 orang berhasil diselamatkan. Di antara mereka terdapat 43 orang muda, sebagian besar anak yang tidak didampingi, dalam kondisi fisik dan mental yang buruk.

    “Sering kali mereka berada di laut tanpa makanan atau minuman selama beberapa hari dan malam, mengalami dehidrasi, mabuk laut, dan sering memiliki luka bakar akibat bahan bakar dan air laut. Banyak juga yang menderita scabies atau infeksi dan luka lainnya, karena mereka telah berada di kamp-kamp di Libya dalam waktu lama. Semua mereka kelelahan secara emosional,” ujarnya.

    Anak-anak sangat berisiko di kamp-kamp Libya

    Selama bertahun-tahun, Libya, yang berdasarkan kesepakatan multimiliar euro dengan Uni Eropa seharusnya mengambil alih pengendalian perbatasan dan secara drastis mengurangi jumlah migran, menghadapi kritik keras atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
    “Orang muda menceritakan kepada saya tentang kekerasan seksual ekstrem, penyiksaan, kerja anak, kehilangan anggota keluarga, dan kasus perdagangan manusia yang melibatkan perempuan,” kenang Esther. “Beberapa dari mereka menunjukkan bukti fisik dari apa yang mereka alami. Beberapa memiliki bekas luka akibat penyiksaan, serta foto dan video yang diambil di kamp-kamp Libya yang menunjukkan mereka diikat dan dipukuli.”

    Lebih dari 3.500 anak hilang atau meninggal

    Anak-anak yang berhasil melarikan diri dari kamp menghadapi bahaya yang lebih besar selama perjalanan.

    Menurut perkiraan UNICEF pada April, sekitar 3.500 anak telah meninggal atau hilang dalam 10 tahun terakhir saat mencoba mencapai Italia melalui rute Mediterania tengah. Ini berarti hampir satu anak meninggal atau hilang setiap hari selama satu dekade penuh.

    Statistik ini membuat SOS Humanity menyerukan penghentian segera kerja sama UE dengan Libya dan Tunisia.

    “Proporsi anak-anak di antara mereka yang melarikan diri sebenarnya meningkat secara stabil selama 10 tahun terakhir. Sekitar seperlima dari semua kedatangan di Italia adalah anak-anak. Dalam penyelamatan kami, rata-ratanya bahkan lebih dari sepertiga,” kata Till Rummenhohl, direktur pelaksana SOS Humanity.

    “Kami baru-baru ini mengevakuasi seluruh kapal yang hanya berisi anak-anak, 120 orang. Mereka adalah anak-anak yang benar-benar panik, bepergian sendirian dan meloncat ke air karena takut terhadap penjaga pantai Libya,” tambahnya.

    Kebijakan Trump potong bantuan USAID berdampak dramatis

    Jumlah anak-anak dan remaja yang semakin banyak menempuh perjalanan berbahaya ke Eropa kemungkinan akan meningkat di masa depan, kata Lanna Idriss, kepala SOS Children’s Villages Worldwide. Penyebabnya: pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump telah membubarkan badan bantuan pembangunan USAID, dengan konsekuensi dramatis.

    Dalam sebuah studi yang diterbitkan musim panas ini, jurnal medis The Lancet menghitung bahwa pemotongan USAID dapat mengakibatkan lebih dari 14 juta kematian global dalam lima tahun ke depan, termasuk hingga 5 juta anak di bawah usia 5 tahun. Jerman juga telah memotong bantuan pembangunan hampir €1 miliar (sekitar Rp19,3 triliun).

    “Kita sedang memasuki siklus buruk yang akan membuat lebih banyak anak-anak menempuh rute ini,” kata Idriss, dengan mengutip Somalia sebagai contoh. “Negara itu 80% bergantung pada USAID. Tahun lalu, kami menjangkau 4,5 juta anak-anak dan remaja di Somalia; tahun ini, hanya 1,3 juta. Mengapa? Karena kamp-kamp yang seharusnya mendukung anak-anak ini kosong sejak musim panas.”

    Vera Magali Keller memimpin firma hukum di Berlin yang berspesialisasi mendukung organisasi kemanusiaan, termasuk yang melakukan penyelamatan di laut.

    Anak-anak dan remaja harus diberikan perlindungan dan evakuasi prioritas selama penyelamatan di laut, kata pengacara itu kepada DW, merujuk pada Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang telah disepakati semua negara anggota PBB.

    “Di beberapa negara Eropa, ada prospek khusus untuk mendapatkan izin tinggal, hak perlindungan, dan hak reunifikasi keluarga. Di Italia, misalnya, hal ini sering berlaku sampai usia dewasa secara hukum. Secara umum, anak-anak dan remaja harus ditempatkan terpisah dari orang dewasa dan diberi perlindungan khusus. Penahanan harus dihindari sejauh mungkin,” kata Keller.

    Pemerintah Jerman memotong dana untuk penyelamatan laut

    SOS Humanity telah mengumumkan rencana untuk mengerahkan kapal penyelamat lain di Mediterania pada 2026. Kapal ini akan beroperasi terutama di lepas pantai Tunisia, mencari kapal migran dan memantau pelanggaran hak asasi manusia.

    Untuk melakukannya, organisasi penyelamatan laut ini akan mengandalkan donasi, karena pemerintah Jerman telah menghentikan dana tahunan €2 juta (sekitar Rp38,6 miliar) untuk penyelamatan laut sipil. Ini menjadi salah satu alasan Keller pesimis tentang masa depan.

    “Mengingat perkembangan politik dan hukum saat ini, saya tidak melihat prospek yang positif. Saya khawatir kriminalisasi dan penindasan terhadap penyelamatan laut sipil akan meningkat di bawah koalisi saat ini. Standar perlindungan dan penerimaan bagi pengungsi di Eropa yang sudah buruk kemungkinan akan terus memburuk,” katanya.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Rahka Susanto

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga Video: Alasan Pengungsi Perang Thailand-Kamboja Tak Mau Kembali ke Rumah

    (ita/ita)

  • Menteri PPPA: Pernikahan Usia Anak Cikal Bakal Kekerasan pada Anak dan Perempuan

    Menteri PPPA: Pernikahan Usia Anak Cikal Bakal Kekerasan pada Anak dan Perempuan

    Menteri PPPA: Pernikahan Usia Anak Cikal Bakal Kekerasan pada Anak dan Perempuan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan, pernikahan pada usia anak menjadi pemicu terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan.
    “Pernikahan usia anak menjadi salah satu penyebab tingginya angka kekerasan pada anak dan perempuan karena pernikahan ini menjadi cikal bakal adanya kekerasan,” ujar Arifah di Kantor KemenPPPA, Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Menurut Arifah, usia ibu yang belum matang dapat memicu anak stunting karena kondisi tubuh masih dalam masa pertumbuhan dan belum memiliki pengalaman.
     
    “Karena usianya belum matang, sudah melahirkan, anak kurang baik, kurang gizi, stunting, karena masih usia anak, dia harus mengasuh anak, jadi anak ngasih anak, belum memiliki ilmu pengasuhan anak,” ucap dia.
    Bukan cuma itu, pernikahan usia anak juga mengurangi kesempatan untuk melanjutkan sekolah maupun peluang pekerjaan.
    “Kesempatan pendidikan sempit sehingga kesempatan mendapat pekerjaan untuk meningkatkan ekonomi keluarga juga terhambat,” tutur dia.
    Kendati demikian, Arifah menuturkan, di beberapa daerah masih ada tradisi yang mengizinkan pernikahan usia anak (dini) sebagai bagian dari adat dan budaya.
    Untuk diketahui, selama satu tahun ini, Kementerian PPPA mencatat peningkatan pelaporan dan pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
    Hingga 20 Oktober 2025, tercatat 25.627 kasus kekerasan dengan korban sebanyak 27.325 orang.
    Untuk menghadapi itu, Kementerian PPPA telah membentuk 39 Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
    Dengan perkembangan tersebut, hingga Oktober 2025, 34 provinsi dan 389 kabupaten/kota atau 73 persen dari 552 daerah di Indonesia telah memiliki UPTD PPA.
    Kementerian PPPA memastikan akan mengedepankan proses hukum agar para pelaku kekerasan seksual pada anak dan perempuan mendapat hukuman setimpal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bisa-bisanya! Pelaku Pelecehan di Inggris ‘Salah’ Dibebaskan

    Bisa-bisanya! Pelaku Pelecehan di Inggris ‘Salah’ Dibebaskan

    London

    Polisi Inggris menangkap warga Ethiopia yang juga terpidana pelecehan seksual, Hadush Kebatu. Pria itu ditangkap lagi usai secara ‘tidak sengaja’ sempat dibebaskan dari penjara akibat kesalahan memalukan oleh otoritas Inggris

    Dilansir AFP, Minggu (26/10/2025), Kebatu (38) ditangkap Kepolisian Metropolitan London di utara ibu kota pada Minggu pagi atau hampir 48 jam setelah dia dibebaskan secara keliru dari lokasi yang berjarak sekitar 48 kilometer jauhnya.

    Kebatu sedang menjalani bulan pertama dari hukuman 1 tahun karena melakukan pelecehan seksual terhadap dua orang perempuan. Dia dilaporkan akan dideportasi saat kesalahan Dinas Penjara terjadi pada Jumat lalu.

    Kasus yang melibatkan Kebatu mendapat sorotan publik awal tahun ini di Epping, timur laut London. Kasusnya telah memicu demonstrasi di berbagai kota di Inggris tempat para pencari suaka diyakini ditempatkan.

    Komandan James Conway, yang mengawasi perburuannya, mengatakan ‘informasi dari publik’ mengarahkan petugas ke kawasan Finsbury Park di London. Kebatu pun ditemukan di sana.

    “Ia ditahan oleh polisi, tetapi akan dikembalikan ke tahanan Dinas Penjara,” ujarnya.

    Kebatu kini diperkirakan akan dideportasi. Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, mengatakan dirinya terkejut oleh kesalahan ‘yang sama sekali tidak dapat diterima’ hingga menyebabkan Kebatu dibebaskan alih-alih dikirim ke pusat penahanan imigrasi.

    Surat kabar Telegraph mengatakan Kebatu secara keliru dikategorikan untuk dibebaskan berdasarkan izin dan diberikan hibah pembebasan sebesar GBP 76 atau sekitar Rp 1,6 juta.

    Polisi telah meminta Kebatu untuk menyerahkan diri pada Sabtu (25/10). Permintaan itu disampaikan setelah muncul laporan Kebatu tampak bingung dan enggan meninggalkan penjara di Chelmsford, Inggris timur.

    Seorang sopir pengiriman barang menceritakan pengalamannya melihat Kebatu beberapa kali dalam keadaan ‘sangat bingung’. Sopir tersebut mengatakan kepada Sky News bahwa dia melihat Kebatu di luar penjara dan bertanya ‘Saya mau ke mana? Apa yang saya lakukan?’.

    “Dia mulai kesal, dia mulai stres,” kata sopir tersebut.

    Ayah dari korban perbuatan Kebatu mengatakan ‘sistem peradilan telah mengecewakan kita’. Polisi menangkap pencari suaka tersebut pada Juli lalu setelah dia berulang kali mencoba mencium seorang gadis berusia 14 tahun dan menyentuh kakinya, serta melontarkan komentar-komentar vulgar kepadanya.

    Dia juga melakukan kekerasan seksual terhadap seorang perempuan dewasa, dengan meletakkan tangannya di paha perempuan tersebut. Saat itu, dia menginap di Hotel Bell Epping, tempat puluhan pencari suaka lainnya ditampung, dan menjadi sasaran protes berulang kali.

    Halaman 2 dari 2

    (haf/imk)

  • Polres Jember Bekuk Terduga Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Kader Perempuan PMII

    Polres Jember Bekuk Terduga Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Kader Perempuan PMII

    Jember (beritajatim.com) – Aparat Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, berhasil membekuk terduga pelaku kekerasan seksual terhadap kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

    Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Jember Ajun Komisaris Angga Riatma mengatakan, terduga pelaku ditangkap di Kabupaten Sidoarjo. “Dia bersembunyi di tempat kakak sepupunya,” katanya, Sabtu (25/10/2025).

    Terduga pelaku menganiaya dan mencoba memperkosa kader perempuan PMII di Kecamatan Balung, 14 Oktober 2025. Setelah berbuat, dia melarikan diri pulang ke rumah sang ibu. “Dia mengganti nomor HP, dan baru 19 Oktober 2025 kabur ke Sidoarjo,” kata Angga.

    Sementara itu korban setelah dianiaya dan mengalami percobaan perkosaan melapor ke Kepolisian Sektor Balung. “Dilakukan visum. Kondisi korban belum memungkinkan untuk diambil keterangan saat itu, sehingga keesokan harinya diambil keterangan. Kami lakukan tes psikiatri dengan didampingi Polsek Balung,” kata Angga.

    Polres Jember mengambil alih perkara pada 20 Oktober 2025 dan segera melakukan pengejaran. Terduga pelaku ditangkap pada 23 Oktober 2025. Saat ini polisi masih menyelidiki motif kekerasan seksual tersebut.

    Penangkapan tersebut disambut gembira oleh Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jember Sutrisno. “Kami berterima kasih atas kerja keras kepolisian,” katanya.

    Sutrisno menegaskan komitmen IKAPMII untuk mengawal kasus itu sampai selesai. “Korban harus mendapatkan keadilan sejati,” katanya. [wir]

  • Pihak Korban Perkosaan Jember Minta Dugaan Pelanggaran Etik Polsek Balung Diusut
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        24 Oktober 2025

    Pihak Korban Perkosaan Jember Minta Dugaan Pelanggaran Etik Polsek Balung Diusut Surabaya 24 Oktober 2025

    Pihak Korban Perkosaan Jember Minta Dugaan Pelanggaran Etik Polsek Balung Diusut
    Tim Redaksi
    JEMBER, KOMPAS.com
    – Tim advokasi SF (21), mahasiswi korban pemerkosaan asal Kecamatan Balung, Kabupaten Jember, Jawa Timur menilai adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan pihak Polsek Balung karena lambat memproses laporan perkosaan. 
    Tim advokasi yang terdiri dari LBH IKA PMII, Kopri PMII, dan LBH PC Fatayat NU Jember menduga kuat ada pelanggaran kode etik atas kelambanan dalam penanganan awal laporan korban pada 15 Oktober 2025.
    Ketua PC Fatayat NU Jember, Nurul Hidayah menyampaikan kelegaannya atas tertangkapnya SA (27), terduga pelaku pemerkosaan SF.
    “Kami menyampaikan terima kasih kepada Polres Jember atas respons cepatnya. Penangkapan pelaku menjadi bukti bahwa kerja advokasi dan tekanan publik bisa mempercepat penegakan hukum,” ungkap Nurul, Jumat (24/10/2025).
    Meski Polres Jember telah berhasil menangkap terduga pelaku, Nurul mengingatkan agar juga mengusut dugaan pelanggaran etik di internal Polsek Balung.
    Laporan yang dibuat korban pada hari yang sama saat kejadian tidak langsung ditangani, sehingga banyak pihak yang geram dan memberikan berbagai kritik kepada aparat.
    Padahal, kala itu SF datang membuat laporan dengan kondisi wajah yang masih babak belur usai mendapatkan kekerasan seksual dan penganiayaan.
    Senada, tim advokasi LBH IKA PMII Jember, Hairil Safril Sholeh mengatakan, selain memberikan perhatian terhadap keadilan yang didapatkan korban, harus ditegakkan penerapan kode etik kepolisian.
    “Selain menegakkan hukum terhadap pelaku, penting juga menegakkan tanggung jawab etika di internal kepolisian agar korban kekerasan seksual mendapat perlakuan yang layak sejak awal,” kata Safril.
    Sebelumnya, Kapolres Jember, AKBP Bobby Adimas Condroputro menyampaikan bahwa pihaknya tengah melakukan pendalaman mengenai dugaan pelanggaran etik anggota Polsek Balung.
    Ia telah memerintahkan Kasi Propam untuk mendalaminya. “Kasi Propam saya minta segera didalami, apakah ada pelanggaran disiplin anggota atau tidak,” katanya.
    Bobby mengatakan, Polsek Balung seharusnya segera berkoordinasi dengan Polres Jember untuk meminta bantuan.
    Menurutnya, tindak kekerasan seksual merupakan perkara yang harus menjadi prioritas penanganan.
    Ia mengatakan, saat korban membuat laporan, Kapolsek Balung tengah melaksanakan umrah, sedangkan Kanit Reskrim Polsek Balung masih dalam suasana berkabung lantaran anaknya meninggal.
    “Tapi itu bukan alasan, karena pelayanan kepada masyarakat harus tetap berjalan,” ucapnya.
    Kini, perkara ditangani Polres Jember sejak diambil alih dari Polsek Balung pada 19 Oktober 2025.
    Terduga pelaku pemerkosaan juga telah dibekuk oleh tim Resmob Polres Jember di kawasan industri di Sidoarjo dan langsung dibawa ke Jember untuk diperiksa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ribuan Korban Pelecehan Seks Militer Australia Gugat Pemerintah

    Ribuan Korban Pelecehan Seks Militer Australia Gugat Pemerintah

    Canberra

    Ribuan wanita dalam Angkatan Bersenjata Australia mengajukan gugatan class action dengan tuduhan kekerasan dan pelecehan seksual, serta diskriminasi yang meluas dan sistemik.

    Gugatan hukuman ini, seperti dilansir AFP, Jumat (24/10/2025), diajukan terhadap pemerintah Australia atas nama wanita-wanita yang menjadi korban pelecehan seksual dalam periode 21 tahun, antara November 2003 hingga Mei 2025, saat bertugas untuk Angkatan Bersenjata Australia (ADF).

    “Ancaman perang seringkali bukan ketakutan terbesar bagi personel wanita ADF, melainkan ancaman kekerasan seksual di tempat kerja mereka,” kata pengacara dari firma hukum JGA Saddler, Josh Aylward, yang mewakili para penggugat dalam gugatan tersebut.

    “Warga Australia akan terkejut dengan laporan kekerasan dan pelecehan seksual, viktimisasi, pemerkosaan, dan ancaman fisik, tetapi yang lebih meresahkan adalah serangan-serangan brutal terhadap wanita-wanita yang berani mengajukan pengaduan,” ujarnya.

    Gugatan ini, yang diajukan di Pengadilan Federal Sydney, sedang diproses dengan sistem opt-out, yang berarti semua wanita yang bertugas selama periode tersebut diikutsertakan, kecuali mereka mengatakan bahwa mereka tidak mengalami dugaan pelecehan seksual tersebut.

    Ribuan wanita, menurut firma hukum JGA Saddler, diperkirakan akan bergabung dalam gugatan class action ini.

    Gugatan class action tersebut mengklaim militer Australia “bertanggung jawab secara tidak langsung” atas kegagalan mereka melindungi wanita dari pelecehan seksual selama bertugas.

    Laporan berulang tentang pelecehan seksual, diikuti komitmen untuk reformasi budaya, menurut firma hukum JGA Saddler, “tidak pernah” menghasilkan perubahan yang berarti.

    “Kasus hukum ini merupakan tuntutan untuk bertindak, untuk akuntabilitas, dan untuk perubahan nyata,” kata Aylward.

    Departemen Pertahanan Australia, dalam pernyataannya, mengatakan pihaknya telah mengetahui adanya gugatan tersebut.

    “Semua personel Departemen Pertahanan berhak dihormati dan berhak mendapatkan pengalaman kerja yang positif. Tidak ada tempat untuk kekerasan seksual atau pelanggaran di Departemen Pertahanan,” tegas juru bicara Departemen Pertahanan Australia.

    “Departemen Pertahanan mengakui masih banyak yang harus dilakukan,” sebut juru bicara tersebut.

    Pemerintah Australia juga mengatakan pihaknya sedang menerapkan rekomendasi terkait kekerasan seksual, yang dibuat tahun 2024 setelah penyelidikan terhadap kasus bunuh diri di kalangan militer dan veteran, “sebagai prioritas”.

    Dikatakan juga oleh Canberra bahwa pemerintah juga berupaya menerapkan “strategi pencegahan pelanggaran seksual yang komprehensif”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)