Kasus: kekerasan seksual

  • IDI Jabar Tanggapi Dugaan Pelecehan Seksual yang Menyeret Dokter Pendidikan Unpad

    IDI Jabar Tanggapi Dugaan Pelecehan Seksual yang Menyeret Dokter Pendidikan Unpad

    Liputan6.com, Bandung – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Barat (Jabar) turut memberikan tanggapannya atas kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad) sebagai terduga pelaku.

    Kabar soal kasus pelecehan seksual yang terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung ini tersiar luas di media sosial. Diketahui dari unggahan viral tersebut, korban merupakan perempuan penunggu pasien.

    Ketua IDI Jabar, dr Moh Luthfi menyatakan, IDI Jabar telah mengetahui dan akan turut mengikuti perkembangan kasus tersebut.

    “Kami dari IDI Wilayah Jawa Barat, saya mendapatkan informasi bahwa kasusnya tampaknya kasus pidana dan sedang ditangani oleh Kepolisian,” katanya dikutip secara tertulis di Bandung, Rabu (9/4/2025).

    Luthfi mengatakan, IDI Jabar akan menunggu hasil penyelidikan pihak 3. IDI Jabar, imbuhnya, juga akan melakukan pembahasan etik sebagai bentuk tindaklanjut atas kasus tersebut.

    “Sehingga tampaknya kami menunggu dulu hasil penyelidikan dari kepolisian. Terkait dengan profesi yang bersangkutan sebagai dokter, kami akan melakukan pembahasan di Majelis Etika Kedokteran IDI Jawa Barat, untuk dilakukan tindaklanjut terhadap masalah di atas, namun menunggu dl proses penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian,” katanya. 

    Tanggapan Unpad dan RSHS

    Pihak kampus Unpad dan RSHS Bandung telah menyampaikan pernyataan bersama terkait kasus itu melalui siaran pers tertulis diterima Liputan6.com, Rabu, 9 April 2025.

    Dalam siaran pers itu dinyatakan bahwa Unpad dan RSHS Bandung telah menerima laporan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Unpad terhadap seorang anggota keluarga pasien.

    Kasus itu disebut terjadi pada pertengahan Maret 2025 di area rumah sakit.

    Unpad dan RSHS mengecam keras segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, yang terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan dan akademik.

    “Unpad dan RSHS berkomitmen untuk mengawal proses ini dengan tegas, adil, dan transparan, serta memastikan tindakan yang diperlukan diambil untuk menegakkan keadilan bagi korban dan keluarga serta menciptakan lingkungan yang aman bagi semua,” tulis siaran pers tersebut.

    Kasus ini diaku telah direspon secara serius, Unpad dan RSHS Bandung disebut telah sepakat mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

    1. Memberikan pendampingan kepada korban dalam proses pelaporan ke Kepolisian DaerahJawa Barat (Polda Jabar). Saat ini, korban sudah mendapatkan pendampingan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar. Unpad dan RSHS sepenuhnya mendukung proses penyelidikan Polda Jabar.

    2. Berkomitmen melindungi privasi korban dan keluarga.

    3. Karena terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad dengan memberhentikan yang bersangkutan dari program PPDS.

  • Unpad Pecat Dokter PPDS Pelaku Pelecehan di RSHS

    Unpad Pecat Dokter PPDS Pelaku Pelecehan di RSHS

    JABAR EKSPRES – Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang tenaga medis di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung telah menjadi perhatian publik. Kejadian ini diduga terjadi di lantai 7 RSHS Bandung pada pertengahan Maret 2025.

    Setelah keluarga korban mengetahui tindak pelecehan tersebut, mereka segera melaporkan kejadian itu kepada pihak RSHS Bandung dan juga kepolisian. Tidak lama setelah itu, polisi menangkap terduga pelaku pada 28 Maret 2025.

    Berdasarkan informasi yang dihimpin, terduga pelaku yang merupakan dokter tersebut diketahui sebagai peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad).

    BACA JUGA: Skywalk Teras Cihampelas Kota Bandung Direvitalisasi lagi, Alokasi Rp 3,9 Miiar!

    Kepala Kantor Komunikasi Publik Unpad, Dandi Supriadi, membenarkan bahwa yang bersangkutan adalah peserta PPDS Fakultas Kedokteran Unpad.

    “Sebelumnya RSHS Bandung menerima laporan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh peserta PPDS Fakultas Kedokteran Unpad, terhadap seorang anggota keluarga pasien di area rumah sakit,” kata Dandi saat dikonfirmasi, Rabu (9/4).

    Dandi menegaskan, Unpad dan RSHS Bandung mengecam keras segala bentuk kekerasan, termasuk pelecehan seksual, yang terjadi di lingkungan rumah sakit dan dunia pendidikan.

    “Kami berkomitmen untuk mengawal proses ini dengan tegas, adil, dan transparan,” tegasnya.

    BACA JUGA: Warga Kota Bandung Dihebohkan Suara Ledakan Kembang Api di Pussenif, Masyarakat: Lumayan Lama!

    Pihak Unpad juga telah mengambil langkah-langkah untuk mendukung proses penyelidikan. Korban kini mendapatkan pendampingan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar, dan Unpad bersama RSHS Bandung memastikan pendampingan yang diperlukan dalam proses pelaporan.

    “Unpad dan RSHS sepenuhnya mendukung proses penyelidikan Polda Jabar,” tambah Dandi.

    Selain itu, Dandi mengungkapkan bahwa Unpad dan RSHS Bandung berkomitmen untuk melindungi privasi korban dan keluarganya.

    “Karena terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad,” paparnya.

    Dandi menyebutkan, terduga telah diberhentikan dari program PPDS Fakultas Kedokteran Unpad, karena telah melakukan pelanggaran etik profesi berat dan pelanggaran disiplin.

    “Yang tidak hanya mencoreng nama baik institusi dan profesi kedokteran, tetapi juga telah melanggar norma-norma hukum yang berlaku,” pungkasnya. (Bas)

  • Dugaan Kekerasan Seksual Libatkan Dokter PPDS Unpad, Pihak Kampus dan RSHS Bandung Janji Transparan

    Dugaan Kekerasan Seksual Libatkan Dokter PPDS Unpad, Pihak Kampus dan RSHS Bandung Janji Transparan

    Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kemenkes Azhar Jaya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (9/4/2025) mengatakan, pihaknya sudah memberi sanksi tegas terhadap pelaku pelecehan seksual.

    “Kita sudah berikan sanksi tegas berupa melarang PPDS tersebut untuk melanjutkan residen seumur hidup di RSHS dan kami kembalikan ke FK Unpad. Soal hukuman selanjutnya menjadi wewenang Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran,” kata Azhar Jaya. 

    Dalam keterangan yang sama, Azhar menjelaskan bahwa Universitas Padjadjaran (Unpad) dan RSHS Bandung menerima laporan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Unpad terhadap seorang anggota keluarga pasien yang terjadi pada pertengahan Maret 2025 di area rumah sakit.

    Dia mengatakan bahwa pihak Unpad dan RSHS Bandung mengecam keras segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, yang terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan dan akademik, dan mengambil sejumlah langkah.

    Sejumlah langkah tersebut, kata dia, meliputi pendampingan kepada korban dalam proses pelaporan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar), komitmen melindungi privasi korban dan keluarga, serta pemberhentian terduga pelaku dari PPDS.

    Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Pol Surawan belum menjelaskan lebih detail tentang kasus tersebut, namun dia menyebutkan bahwa semua proses sudah berlangsung secara lengkap, dan pihaknya juga menemukan beberapa barang bukti seperti obat bius dan kondom.

    Surawan juga menyebutkan pihaknya akan merilis secara detail lebih lanjut. Kasus pelecehan seksual ini menjadi ramai setelah ada korban yang menceritakan peristiwa yang dialaminya di media sosial.

  • Unpad Berhentikan PPDS Pelaku Kekerasan Seks di RSHS!

    Unpad Berhentikan PPDS Pelaku Kekerasan Seks di RSHS!

    Jakarta

    Pihak Universitas Padjajaran (Unpad) mengeluarkan residen terduga pelaku kekerasan seksual dari program pendidikan dokter spesialis (PPDS) prodi anestesi. Hal ini menyusul gaduh kabar pasien yang menjadi korban pemerkosaan saat tengah mendampingi keluarga untuk perawatan di ICU.

    Korban dikelabui saat hendak melakukan pengambilan darah untuk donor keperluan ayah korban sebelum operasi. Saat itu, korban diberikan obat bius dan tidak sadarkan diri. Hasil visum belakangan menunjukkan adanya bekas sperma.

    Kepala Kantor Komunikasi Publik Unpad Dandi Supriadi mengkonfirmasi kabar pemberhentian yang bersangkutan, setelah ditemukan bukti-bukti kuat tindakan kekerasan seksual.

    “Pemberhentian dari program PPDS, berarti pemutusan studi,” tegas Dandi saat dikonfirmasi detikcom, Rabu (9/4/2025).

    Unpad disebutnya mengecam keras tindakan kekerasan seksual yang dilakukan di lingkup pelayanan maupun pendidikan. Dengan pertimbangan tersebut, sanksi tegas diberikan kepada pelaku dan berlaku seumur hidup untuk juga tidak bisa praktik di RSHS.

    “Karena terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad dengan memberhentikan yang bersangkutan dari program PPDS,” lanjut klarifikasi RSHS.

    (naf/kna)

  • Diduga Lakukan Kekerasan Seksual, Peserta PPDS Unpad Dikeluarkan

    Diduga Lakukan Kekerasan Seksual, Peserta PPDS Unpad Dikeluarkan

    FAJAR.CO.ID, BANDUNG — Universitas Padjadjaran (Unpad) memastikan akan menindak tegas dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Dekan Fakultas Kedokteran Unpad, Yudi Mulyana Hidayat, menyampaikan bahwa laporan mengenai peristiwa tersebut diterima pada pertengahan Maret 2025.

    “Unpad dan RSHS berkomitmen untuk mengawal proses ini dengan tegas, adil, dan transparan, serta memastikan tindakan yang diperlukan diambil untuk menegakkan keadilan bagi korban dan keluarga,” ujar Yudi, Rabu (9/4/2025), di Bandung.

    Ia menegaskan bahwa institusinya mengecam keras segala bentuk kekerasan, khususnya kekerasan seksual, di lingkungan pelayanan kesehatan maupun akademik.

    Sejumlah langkah telah diambil, termasuk pendampingan terhadap korban selama proses pelaporan di Kepolisian Daerah Jawa Barat.

    “Saat ini korban sudah mendapatkan pendampingan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar,” ujar Yudi.

    Yudi menambahkan, Unpad berkomitmen menjaga privasi seluruh pihak yang terlibat dan mendukung penuh jalannya proses hukum. Ia juga menekankan pentingnya pencegahan kekerasan seksual dalam lingkungan pendidikan dan pelayanan kesehatan.

    “Karena terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad dengan memberhentikan yang bersangkutan dari program PPDS,” kata Yudi. (*)

  • Pembunuhan Jurnalis Juwita, TNI AL: Pengadilan Militer Jadi Pembuktian

    Pembunuhan Jurnalis Juwita, TNI AL: Pengadilan Militer Jadi Pembuktian

    Banjarmasin, Beritasatu.com – TNI Angkatan Laut menegaskan seluruh dugaan terkait kasus pembunuhan jurnalis Juwita (23) oleh oknum TNI AL, Kelasi Satu Jumran, akan diuji kebenarannya melalui proses sidang terbuka di pengadilan militer.

    Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Dinas Penerangan TNI AL (Kadispenal) Laksamana Pertama TNI IM Wira Hady AWM dalam konferensi pers yang digelar di markas Pangkalan TNI AL Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada Selasa (8/4/2025).

    “Kami menekankan dalam proses hukum tidak boleh hanya mengandalkan asumsi. Semua dugaan harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang sah,” ujar Laksma Wira dikutip dari Antara.

    Salah satu dugaan yang ramai diperbincangkan publik adalah kemungkinan korban mengalami kekerasan seksual sebelum dibunuh. Beberapa wartawan mengangkat temuan autopsi yang menyebut adanya sperma dalam jumlah banyak serta luka lebam pada bagian sensitif korban, yang memicu spekulasi adanya pemerkosaan.

    Tak hanya itu, muncul pula pertanyaan apakah pelaku bertindak sendirian atau melibatkan pihak lain, meskipun hasil penyelidikan sementara menyebut Jumran sebagai pelaku tunggal. Dugaan lain adalah penggunaan identitas palsu untuk membeli tiket pesawat demi melarikan diri ke Kalimantan Timur seusai kejadian.

    Laksma Wira menegaskan pihaknya tidak akan membiarkan kasus ini berhenti sampai semua aspek terang-benderang di pengadilan.

    “Kami telah berkomunikasi dengan kuasa hukum keluarga korban bahwa semua dugaan tersebut akan diuji secara hukum. Jika terbukti ada pelaku lain, TNI AL akan memburu sampai tertangkap. Tidak akan ada kompromi,” tegasnya.

    Saat ini, penyidik Polisi Militer Angkatan Laut (Denpomal) Banjarmasin masih melengkapi berkas dan bukti untuk diserahkan ke Oditurat Militer (Odmil) III-15 Banjarmasin sebagai syarat kelengkapan sebelum persidangan dimulai.

    Tersangka Jumran sendiri telah resmi diserahkan ke Odmil untuk menjalani proses hukum lebih lanjut, dan sidang militer akan digelar secara terbuka.

    Juwita diketahui merupakan jurnalis media daring lokal di Banjarbaru, Kalimantan Selatan dan telah mengantongi uji kompetensi wartawan (UKW) dengan status wartawan muda.

    Juwita ditemukan tak bernyawa di pinggir Jalan Trans Gunung Kupang, Kelurahan Cempaka, Banjarbaru, pada Sabtu, 22 Maret 2025 sekitar pukul 15.00 WITA. Di lokasi kejadian juga ditemukan sepeda motornya, yang sempat memunculkan dugaan sebagai korban kecelakaan tunggal.

    Namun, warga yang pertama kali menemukan jasad korban tidak melihat tanda-tanda kecelakaan. Mereka justru mendapati luka lebam di leher dan barang pribadi seperti ponsel yang hilang, yang kemudian mengarah pada dugaan pembunuhan terhadap jurnalis Juwita.

  • 13 Korban Diperiksa UGM: Guru Besar Mesum Cabuli Mahasiswi di Rumah

    13 Korban Diperiksa UGM: Guru Besar Mesum Cabuli Mahasiswi di Rumah

    Yogyakarta, Beritasatu.com – Universitas Gadjah Mada (UGM) akan melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru besar Fakultas Farmasi berinisial EM terhadap 13 mahasiswi.

    Pemeriksaan ini berbeda dari yang telah dilakukan sebelumnya, karena fokus pada dugaan pelanggaran disiplin sebagai aparatur sipil negara (ASN).

    Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu menyampaikan, langkah ini diambil setelah pihak universitas menyerahkan rekomendasi pemberhentian EM sebagai ASN dan sebagai guru besar kepada pemerintah pusat.

    Pemeriksaan ini dilakukan oleh tim pemeriksa kepegawaian, sesuai permintaan dari kementerian terkait.

    “Pemeriksaan itu, kita belum tahu prosesnya seperti apa, tetapi ada deadline-nya dalam proses itu nanti akan diklarifikasi beberapa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan khususnya untuk disiplin kepegawaian. Kalau etik itu sudah, yang kemarin diperiksa oleh satgas. Setelah selesai pemeriksaan, hasilnya akan diserahkan ke rektor. Rektor akan bersurat kepada menteri untuk menyampaikan rekomendasi itu,” ujar Andi Sandi pada Selasa (8/4/2025).

    Sebelumnya, berdasarkan hasil pemeriksaan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM, EM telah diberikan sanksi pemberhentian dari jabatannya sebagai dosen dan Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi.

    Menurut Andi Sandi, hingga saat ini tercatat sebanyak 13 korban telah melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru besar UGM EM. Korban mayoritas adalah mahasiswi yang menjalin komunikasi dengan pelaku untuk kepentingan akademik, seperti bimbingan skripsi, tesis, disertasi, maupun pendampingan lomba ilmiah.

    “Korban dan saksinya ada 13, yang diperiksa dan memberikan keterangan. Kalau modusnya, kegiatannya itu dilakukan lebih banyak di rumah. Mulai dari diskusi bimbingan, dokumen akademik, yaitu skripsi, tesis dan disertasi. Kemudian juga di research center-nya dan juga kegiatan-kegiatan lomba” jelas Andi Sandi.

    Kasus kekerasan seksual yang dilakukan guru besar UGM ini menjadi perhatian serius UGM, yang menegaskan komitmennya dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Pihak universitas juga menyatakan akan terus mendampingi para korban dan memastikan proses penanganan berjalan transparan dan akuntabel.

  • Viral Kekerasan Seks Dokter PPDS ke Pasien, RSHS Buka Suara

    Viral Kekerasan Seks Dokter PPDS ke Pasien, RSHS Buka Suara

    Jakarta

    Viral laporan kasus pemerkosaan pasien oleh dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Diduga dilakukan residen anestesi yang memberikan obat bius dan membuat pasien tidak sadar.

    Dalam unggahan akun Instagram @ppdsgramm, pasien diceritakan tidak memahami bagaimana alur proses yang dilakukan, sehingga hanya mengikuti arahan dokter terkait. Korban kala itu sebenarnya hendak diambil darah-nya untuk orangtua korban di ICU yang memerlukan donor sebelum operasi.

    “Di lantai 7, korban disuruh ganti baju pake baju pasien, terus dipasang akses, pasien juga ga paham prosedur crosmatch seperti apa, makannya manut, terus dimasukin mida**l*m, terus terjadi, kejadiannya sekitar tengah malam,” demikian dugaan kronologi yang diunggah dalam postingan viral.

    Terduga korban kemudian disebut baru sadar menjelang subuh, di pukul 04:00 pagi. Ia berjalan keluar tetapi merasakan nyeri di bagian kemaluan.

    “Akhirnya si korban minta visum ke SpOG. Ketahuan lah ada bekas sperma,” lanjut keterangan tersebut.

    Unpad dan RSHS Buka Suara

    Pihak Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung disebut sudah menerima laporan terkait dari keluarga pasien sebulan lalu, Maret 2025.

    Pihaknya memastikan mengecam segala tindakan kekerasan seksual di dalam pelayanan kesehatan maupun akademik. RSHS disebut akan mendampingi korban dalam proses pelaporan yang saat ini berjalan ke kepolisian daerah Jawa Barat atau Polda Jabar.

    “Saat ini, korban sudah mendapatkan pendampingan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar. Unpad dan RSHS sepenuhnya mendukung proses penyelidikan Polda Jabar,” demikian keterangan tertulis yang diterima detikcom, dikonfirmasi Direktur Kesehatan Lanjutan Azhar Jaya, Rabu (9/4/2025).

    RSHS berjanji akan melindungi privasi korban serta keluarga. Adapun sanksi kepada diduga pelaku, akan diproses oleh pihak universitas.

    “Karena terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad dengan memberhentikan yang bersangkutan dari program PPDS,” lanjut klarifikasi RSHS.

    (naf/up)

  • Soroti Pasal yang Ganggu Kebebasan Pers, AJI Minta Larangan Siaran Langsung Persidangan Dihapus

    Soroti Pasal yang Ganggu Kebebasan Pers, AJI Minta Larangan Siaran Langsung Persidangan Dihapus

    JAKARTA – Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nani Afrida, menyoroti pasal-pasal yang dianggap mengganggu kebebasan pers dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Misalnya, soal larangan peliputan dan siaran langsung persidangan. 

    “(Misalnya) Sidang itu tertutup, atau harus streaming, harus ada izin dari ketua pengadilan. Kita merasa itu mengganggu kerja-kerja PERS yang harusnya transparan, kita harus tahu apa yang terjadi di dalam,” ujar Nani, Selasa, 8 April.

    Nani yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar pasal-pasal yang menganggu kebebasan pers seperti itu dihapus. Karena peliputan persidangan dinilai bagian dari kepentingan umum. 

    “Makanya saya bersama dengan teman-teman dari koalisi ikut mencoba supaya pasal-pasal seperti ini yang mengganggu kita kerja-kerja sekarang, itu bisa dicopot dari situ, kalau bisa dihapuskan,” tegasnya.  

    “Karena itu hak semua bangsa, itu kan ada hubungan dengan kepentingan umum ketika sebuah proses pengadilan itu terjadi. Apalagi kalau misalnya melibatkan yang namanya kepentingan umum, kayak korupsi misalnya, atau pembunuhan berencana, dan yang lain-lain,” sambung Nani. 

    Kecuali, lanjutnya, jik pengadilan tentang kekerasan seksual mungkin bisa dilakukan secara tertutup. “Dan kita kan punya etika soal itu. Aku rasa wartawan-wartawan pasti paham dan mereka pasti nggak akan meliput,” katanya. 

    “Tapi yang berhubungan dengan kepentingan umum, ya pasti kita harus liput. Itu aja,” imbuh Nani. 

    Menurut Nani, dalih larangan siaran langsung persidangan agar para saksi tidak mencontek atau merubah keterangan bukanlah sebuah alasan. “Itu tidak bisa menjadi alasan. Tapi kalau di luar pengadilan mereka bisa saling ketahuan dari pengacaranya. Gimana cara nutupinya? Nggak mungkin juga,” ucapnya. 

    “Nah ini sekarang yang paling penting adalah membuka akses buat jurnalis juga untuk tahu apa yang terjadi di dalam pengadilan. Makanya kami dari AJI itu semangat untuk, kalau bisa jangan mengganggu kerja-kerja kita lah sebagai jurnalis. Ini enam tahun terakhir, proses pembuatan legislasi itu kan banyak kritik dari masyarakat,” lanjutnya. 

    Sebelumnya, advokat Juniver Girsang mengusulkan agar revisi KUHAP melarang media melakukan siaran langsung persidangan tanpa izin pengadilan. Hal itu disampaikan Juniver dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Senin, 24 Maret.  

    “Usul kami yang dimaksud pasal 253 ayat itu, ‘Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang untuk mempublikasikan/liputan langsung proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan,’” kata Juniver. 

    Meski begitu, Juniver menekankan siaran langsung bisa diperbolehkan jika mendapat izin langsung dari majelis hakim.

    “Dilarang mempublikasikan atau liputan langsung, tanpa seizin, bisa saja diizinkan oleh hakim, tentu ada pertimbangannya,” jelasnya. 

    Juniver pun mengungkapkan kekhawatirannya bahwa siaran langsung persidangan dapat membuat saksi yang belum diperiksa mengubah keterangannya.  

    “Kenapa ini harus kita setuju? Karena orang dalam persidangan pidana kalau diliput langsung, saksi-saksi bisa mendengar, bisa saling mempengaruhi, bisa nyontek, itu kita setuju itu,” kata Juniver.

     

  • Puan ingatkan kampus harus jadi ruang aman bagi para peserta didik

    Puan ingatkan kampus harus jadi ruang aman bagi para peserta didik

    Jakarta (ANTARA) – Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan agar kampus harus menjadi institusi pendidikan yang memberikan ruang aman bagi para peserta didik dengan tidak menolerir segala bentuk pelecehan ataupun kekerasan seksual.

    “Kampus seharusnya jadi ruang aman, bermartabat, dan menjadi benteng utama dalam membangun nilai-nilai etika serta peradaban, bukan malah menjadi tempat pelecehan berulang,” kata Puan dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

    Hal itu disampaikannya merespons kasus kekerasan seksual yang dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa oleh seorang guru besar berinisial EM di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM).

    “Tidak boleh ada sedikitpun toleransi terhadap kekerasan seksual di dunia pendidikan. Pelaku kekerasan seksual harus dihukum seberat-beratnya, ujarnya.

    Menurut dia, tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen dengan modus bimbingan skripsi atau tesis kepada sejumlah mahasiswanya itu telah mencoreng nama baik perguruan tinggi, serta merusak kepercayaan publik terhadap integritas dunia akademik.

    Dia mendorong agar penegak hukum menjatuhkan hukuman berat kepada pelaku tanpa adanya toleransi, sebagaimana pemberat hukuman dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) jika pelaku kekerasan seksual merupakan seorang tokoh pendidik.

    “Sekali lagi, tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap kekerasan seksual, terlebih jika itu terjadi di institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi generasi muda kita,” tuturnya.

    Puan berharap proses hukum dapat berjalan secara profesional dan tidak ada kekebalan hukum, meski pelaku merupakan guru besar atau tokoh terkemuka.

    Dia juga mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) memperkuat Implementasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) dengan memberikan kewenangan lebih luas dan dukungan yang memadai agar tidak menjadi formalitas semata.

    Dia pun menilai harus ada audit menyeluruh terhadap sistem pengawasan akademik sebab kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen dengan mahasiswa kerap terjadi karena relasi kuasa.

    Termasuk, tambah dia, perlu adanya sistem pelaporan yang aman dan terjaga kerahasiaannya, serta menjamin perlindungan saksi dan korban secara konkret.

    “Relasi kuasa yang timpang antara dosen dan mahasiswa menjadi celah bagi pelecehan untuk terus terjadi. Karena relasi kuasa ini menyebabkan korban ketakutan untuk melapor sebab mereka khawatir akan berdampak terhadap nilai akademik di kampus. Budaya seperti ini yang harus diputus,” paparnya.

    Lebih lanjut, dia mendorong pembentukan pusat krisis dan pendampingan nasional terhadap korban pelecehan seksual di lingkungan pendidikan tinggi secara nasional, yang bersifat independen dari kampus dan dapat diakses 24 jam selama 7 hari.

    “Kita juga harus menggalakkan kampanye nasional yang menentang adanya relasi kuasa di kampus. Tentunya ini memerlukan dukungan semua pihak, termasuk dari internal kampus itu sendiri,” ucapnya.

    Dia memandang publik perlu diberikan edukasi terus-menerus tentang bahaya relasi kuasa dalam sistem pendidikan agar para mahasiswa memiliki kesadaran dan keberanian untuk melapor jika menjadi korban.

    Dia pun menegaskan bahwa DPR RI akan terus mengawal penanganan kasus kekerasan seksual tersebut dan mendorong terciptanya reformasi sistemik pada lingkungan pendidikan di tanah air.

    “Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana intelektualitas dan nilai-nilai luhur berkembang, bukan ruang di mana kuasa disalahgunakan untuk menindas yang lemah,” kata dia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Azhari
    Copyright © ANTARA 2025