Kasus: kekerasan seksual

  • Kemenkes Minta KKI Cabut STR Dokter PPDS Tersangka Pelecehan Seksual

    Kemenkes Minta KKI Cabut STR Dokter PPDS Tersangka Pelecehan Seksual

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Kesehatan meminta Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) untuk mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) milik dr. Pap.

    Adapun, langkah tersebut sebagai respons dari kasus dugaan pelecehan seksual di Rumah Sakit dr Hasan Sadikin Bandung yang dilakukan dr. PAP.

    “Sebagai langkah tegas pertama, Kemenkes sudah meminta kepada KKI untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dr PAP. Pencabutan STR akan otomatis membatalkan Surat Izin Praktek (SIP) dr PAP,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman dilansir dari Antara, Kamis (10/4/2025).

    Aji mengatakan bahwa pihaknya merasa prihatin dan menyesalkan adanya kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dr PAP, peserta didik PPDS Universitas Padjajaran Program Studi Anastesi di Rumah Sakit Pendidikan Hasan Sadikin Bandung.

    “Saat ini yang bersangkutan sudah dikembalikan ke pihak Unpad dan diberhentikan sebagai mahasiswa serta diproses secara hukum oleh Polda Jawa Barat,” katanya.

    Kemenkes, ujarnya, juga sudah menginstruksikan kepada Direktur Utama RSUP Hasan Sadikin untuk menghentikan sementara waktu, yakni selama 1 bulan, kegiatan residensi Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSUP Hasan Sadikin, guna evaluasi dan perbaikan pengawasan serta tata kelola bersama Fakultas Kedokteran Unpad.

    Sebelumnya, Polisi Daerah Jawa Barat telah menangkap pelaku pelecehan seksual di RSHS Bandung sebelum Idul Fitri. Adapun kasus tersebut ramai setelah ada korban yang menceritakan peristiwa yang dialaminya di media sosial.

    Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jabar Komisaris Besar Polisi Hendra Rochmawan di Bandung, Rabu, mengatakan bahwa pelecehan tersebut terjadi pada 18 Maret 2025. PAP (31), katanya, melakukan aksinya saat korban dalam kondisi tidak sadarkan diri setelah disuntik cairan bius melalui selang infus.

    “Pelaku meminta korban menjalani transfusi darah tanpa didampingi keluarga di Gedung MCHC RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin) Bandung. Di ruang nomor 711, sekitar pukul 01.00 WIB, korban diminta berganti pakaian dengan baju operasi dan melepas seluruh pakaian,” ujar Hendra.

    Hendra menjelaskan, tersangka PAP diketahui menyuntikkan cairan melalui infus setelah menusukkan jarum ke tangan korban sebanyak 15 kali. Akibatnya, korban mengaku merasa pusing dan tidak sadarkan diri. Peristiwa tersebut, katanya, terjadi saat korban sedang mendampingi ayahnya yang dalam kondisi kritis. Tersangka meminta korban melakukan transfusi darah sendirian dan tidak ditemani keluarganya.

    “Setelah sadar sekitar pukul 04.00 WIB, korban diminta berganti pakaian dan diantar ke lantai bawah. Saat buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tubuhnya yang terkena air,” dia menerangkan.

    Pihaknya telah memeriksa 11 orang saksi, termasuk korban, ibu dan adik korban, beberapa perawat, dokter, serta pegawai rumah sakit lainnya. Dia juga menambahkan, penyidik saat ini sedang mendalami motif pelaku, termasuk kemungkinan adanya kelainan perilaku seksual yang akan diperkuat melalui pemeriksaan psikologi forensik.

    “Sementara itu, sejumlah barang bukti, termasuk hasil visum dan alat kontrasepsi, telah diamankan untuk keperluan penyelidikan lanjutan,” katanya.

  • Momen Mencekam FA, Korban Kebiadaban Dokter Residen Unpad, Dibius 15 Kali sebelum Dicabuli – Halaman all

    Momen Mencekam FA, Korban Kebiadaban Dokter Residen Unpad, Dibius 15 Kali sebelum Dicabuli – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Anastesi Universitas Padjajaran (Unpad), Priguna Anugerah Pratama (31) ditetapkan menjadi tersangka dugaan rudapaksa saat menjalani residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat.

    Adapun korban kebiadaban Priguna berinisial FA (21) yang saat kejadian tengah menemani orangtuanya di IGD RSHS.

    Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Hendra Rochmawan, menceritakan kronologi rudapaksa yang dilakukan Priguna terhadap FA.

    Peristiwa berawal ketika FA tiba-tiba didatangi Priguna untuk menawarkan bantuan agar proses pengambilan darah ayah korban dipercepat pada 18 Maret 2025 dini hari.

    Tak menaruh curiga, korban pun menuruti permintaan Priguna. Kemudian, korban diajak Priguna ke lantai 7 RSHS.

    “Pada tanggal 18 Maret 2025 sekira pukul 01.00 WIB, tersangka meminta korban untuk diambil darah dan membawa korban dari ruang IGD ke gedung MCHC lantai 7,” kata Hendra dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Rabu (9/4/2025).

    Sesampainya di ruang Gedung Ibu dan Anak RSHS, FA langsung disuruh oleh Priguna melepas pakaian dan celanannya untuk mengganti dengan baju operasi.

    Setelah itu, Priguna pun menusukkan jarum suntik sebanyak 15 kali ke tangan kiri dan kanan FA dengan dalih pengambilan darah.

    Namun, ternyata tersangka justru memasukkan cairan obat bius Midazolam ke tubuh FA.

    “Beberapa menit kemudian korban merasakan pusing lalu tidak sadarkan diri,” kata Hendra.

    Tiga jam berlalu, FA akhirnya sadar dan langsung memakai pakaiannya seperti semula.

    Saat akan kembali ke IGD untuk menjaga ayahnya yang dirawat, FA kaget karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 04.00 WIB.

    Sesaat kemudian, korban merasa ingin buang air kecil. Namun, ketika kencing, FA merasa sakit di bagian alat vitalnya.

    Merasakan hal tersebut, FA pun melakukan visum di RSHS dan hasilnya, ditemukan bekas cairan sperma di kemaluannya.

    Pihak keluarga korban langsung melaporkan kejadian tersebut ke Polda Jawa Barat dan Priguna pun berhasil ditangkap lima hari kemudian di salah satu apartemen di Kota Bandung.

    Priguna pun resmi ditetapkan menjadi tersangka dan terancama hukuman 12 tahun penjara.

    ”PAP ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 6 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ia terancam 12 tahun penjara,” ujar Hendra.

    Ada 2 Korban Lainnya, Diduga Pasien

    Dirkrimum Polda Jabar, Kombes Surawan, pada kesempatan yang sama, mengatakan ada dua korban lainnya yang diduga pasien, tetapi belum melapor ke polisi.

    Surawan mengatakan hal itu diketahui dari keterangan pihak rumah sakit.

    “Satu yang kita tangani (korban FA), jadi yang dua masih di rumah sakit (laporannya) belum kita diperiksa. Keterangan dari rumah sakit,” kata Surawan.

    Dia memastikan kedua korban bukan keluarga pasien seperti FA. Dia mengatakan kedua korban itu bernasib nyaris sama dengan FA.

    Surawan meminta korban lainnya yang juga diduga dilecehkan tersangka untuk melakukan laporan resmi ke pihak kepolisian.

    “Iya kita mendorong. Kalau yang satu sih sebelum Lebaran sudah mau kita minta keterangan cuman keburu Lebaran. Kita masih menunggu. Waktu itu didampingi kuasa hukum juga si korban ini. Kita masih menunggu waktunya untuk datang dia,” tuturnya.

    Priguna Diduga Miliki Kelainan Seksual, Sempat Ingin Akhiri Hidup

    PELAKU RUDAPAKSA – Priguna Anugerah Pratama, dokter residen terduga pelaku rudapaksa keluarga pasien RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Priguna terdaftar sebagai peserta didik baru Program Studi Spesialis Anestesi Universitas Padjadjaran, Bandung. (Kolase Tribunnews)

    Surawan mengungkapkan adanya dugaan kelainan seksual pada Priguna. Dia mengatakan hal itu diketahui dari pemeriksaan psikologi forensik oleh ahli.

    “Dari pemeriksaan beberapa hari ini memang kecenderungan pelaku ini mengalami sedikit kelainan dari segi seksual ya,” jelasnya.

    “Begitu juga dengan hasil pemeriksaan dari pelaku ini, nanti kami akan perkuat dengan pemeriksaan dari psikologi forensik, ahli psikologi untuk tambahan pemeriksaan,” jelasnya.

    Selain itu, ada fakta lain terkait Priguna yang hendak mengakhiri hidupnya di apartemennya di Kota Bandung saat hendak ditangkap pada 23 Maret 2025.

    Surawan mengatakan tersangka mencoba memotong urat nadi di tangannya dan berujung sempat dirawat di rumah sakit.

    “Jadi, pelaku, setelah ketahuan, itu sempat berusaha bunuh diri juga. Memotong urat-urat nadi,” kata Surawan.

    “Ditangkap di apartemen, pelaku sempat mau bunuh diri juga, sempat memotong mencoba memotong nadi. Sempat dirawat, setelah dirawat baru ditangkap,” imbuhnya.

    Nasib Priguna sebagai Dokter: STR Dicabut, Imbasnya Tak Bisa Buka Praktik

    Tindakan biadab Priguna ini berujung hancurnya kariernya sebagai dokter lantaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menjatuhkan sanksi pencabutan surat tanda registrasi (STR).

    Pencabutan ini pun berujung dirinya tak mendapatkan izin praktek sebagai dokter.

    “Sebagai langkah tegas pertama, Kemenkes sudah meminta kepada Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi dr PAP.”

    “Pencabutan STR akan otomatis membatalkan Surat Izin Praktek (SIP) dr PAP,” demikian keterangan dari Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Rabu (9/4/2025).

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Rini Ayu Panca Rini)

  • Legislator Dorong Pendidikan Karakter Usai PPDS Perkosa Pendamping Pasien

    Legislator Dorong Pendidikan Karakter Usai PPDS Perkosa Pendamping Pasien

    Jakarta

    Anggota Komisi IX DPR RI Ashabul Kahfi mendorong pembenahan sistem buntut kasus pemerkosaan yang dilakukan Priguna Anugerah P, dokter residen anestesi PPDS FK Unpad terhadap pendamping pasien di RSHS Bandung. Menurutnya, kasus tersebut harus menjadi momentum dalam memperbaiki tata kelola pendidikan dokter.

    “Ini bukan cuma soal menghukum pelaku, tapi juga soal membenahi sistem. Peristiwa ini harus jadi momentum kita semua-pemerintah, kampus, rumah sakit, dan masyarakat-untuk memperbaiki tata kelola layanan kesehatan dan pendidikan kedokteran di negeri ini,” kata Ashabul kepada wartawan, Rabu (9/4/2025).

    Ashabul menilai aksi bejat pelaku mencoreng kepercayaan publik terhadap pelayanan kesehatan di RI. Di sisi lain, ia mengapresiasi langkah kampus yang tegas memberhentikan pelaku dari program spesialisasi.

    “Ini sudah mencoreng nama baik dunia kedokteran dan merusak kepercayaan publik terhadap pelayanan kesehatan kita. Kami apresiasi langkah cepat dari institusi pendidikan yang langsung mengambil tindakan tegas, memberhentikan pelaku dari programnya. Itu penting sebagai sinyal bahwa dunia pendidikan dan kesehatan tidak memberi ruang pada pelanggaran berat seperti ini. Kami juga mendukung penuh agar proses hukum dijalankan seadil-adilnya dan korban mendapat pendampingan yang layak,” ucapnya.

    Politikus PAN itu mendorong agar sistem pengawasan di RS pendidikan diperkuat sejak seleksi masuk. Dengan begitu, hal serupa tak terulang di kemudian hari.

    “Komisi IX mendorong agar sistem pengawasan di rumah sakit pendidikan maupun di kampus benar-benar diperkuat. Mulai dari seleksi masuk, pembinaan karakter, sampai pengawasan di lapangan harus diperketat. Jangan sampai hal seperti ini terulang lagi,” tegasnya.

    “Kita juga perlu langkah-langkah preventif yang lebih sistematis. Misalnya, pelatihan anti-kekerasan seksual wajib diberikan sejak awal pendidikan. Setiap rumah sakit pendidikan juga harus punya unit khusus yang bisa jadi tempat aman untuk melapor kalau ada dugaan pelanggaran,” jelasnya.

    Seperti diketahui, Kasus pelecehan seksual yang dilakukan pelaku dilaporkan oleh korban pada 18 Maret 2025. Tersangka diketahui menyuntik korban hingga tak sadar lalu memerkosanya.

    Sebelum melakukan aksi bejatnya, Priguna melakukan pengecekan darah kepada korban, yang merupakan anak salah satu pasien yang dirawat di RSHS.

    Menurut Hendra, tersangka meminta korban berinisial FH diambil darah dan membawa korban dari ruang IGD ke gedung MCHC lantai 7 RSHS Bandung pada 18 Maret 2025 pada pukul 01.00 WIB.

    Setelah sampai di gedung MCHC, tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi warna hijau. Pakaian korban diminta tersangka. Pada saat itu, tersangka memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban kurang lebih 15 kali.

    (taa/aud)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • DPR Minta Eks Guru Besar UGM Diproses Hukum atas Dugaan Pelecehan

    DPR Minta Eks Guru Besar UGM Diproses Hukum atas Dugaan Pelecehan

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani meminta aparat penegak hukum segera menindaklanjuti dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh eks Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Edy Meiyanto (EM), terhadap 13 mahasiswi. Ia juga mendorong para korban untuk segera mengambil langkah hukum demi mendapatkan keadilan.

    “Ketika korban merasa sangat dirugikan, tentu kami menyarankan agar kasus ini diproses secara hukum. Kami sangat mempersilakan hal itu dilakukan,” ujar Lalu dalam keterangan video kepada wartawan, Rabu (9/4/2025).

    Lalu menyatakan keprihatinannya atas kasus ini. Menurutnya, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi sangat disayangkan karena seharusnya kampus menjadi tempat yang aman dan bebas dari tindakan kekerasan.

    “Pendidikan tinggi seharusnya menjadi teladan dalam membangun budaya kampus yang aman, inklusif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta menolak segala bentuk kekerasan,” ujar politisi PKB tersebut.

    Ia juga menekankan pentingnya penerapan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini mewajibkan setiap kampus memiliki satuan tugas khusus yang menangani kekerasan fisik, psikis, perundungan, hingga kekerasan seksual.

    “Setiap kasus kekerasan di lingkungan kampus harus ditangani serius melalui kebijakan antikekerasan dan mekanisme pelaporan yang jelas,” tegas Lalu.

    Sebelumnya diberitakan, Edy Meiyanto dilaporkan telah melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswi di kediaman pribadinya. Dugaan pelecehan ini dilakukan dengan modus bimbingan skripsi atau tesis di luar kampus pada periode 2023–2024, meskipun UGM telah menetapkan seluruh kegiatan akademik harus dilaksanakan di lingkungan kampus.

    Pihak UGM belum mengungkap secara resmi jumlah korban dan statusnya, namun menyatakan terdapat 13 orang yang telah dimintai keterangan oleh Satgas PPKS. Saat ini, Edy Meiyanto juga terancam sanksi pidana berat atas perbuatannya.

  • Miris, Ayah Korban Pelecehan Dokter Residen di RSHS Bandung Meninggal Dunia – Halaman all

    Miris, Ayah Korban Pelecehan Dokter Residen di RSHS Bandung Meninggal Dunia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Miris nasib korban pelecehan dokter residen anestesi di RSHS Bandung, dikabarkan juga kehilangan sang ayah.

    Diketahui korban FH (21) saat kejadian tengah menunggu ayahnya pasca-operasi di ruang ICU.

    Sudah menjadi korban pelecehan oleh Priguna Anugerah Pratama alias PAP, korban juga merasa duka setelah sang ayah meninggal dunia.

    Kabar tersebut dibagikan drg Mirza melalui Instagram Story @drg.mirza pada Rabu (9/4/2025).

    Dokter Mirza mendapatkan pesan dari keluarga korban dan mengabarkan sang ayah meninggal pada 28 Maret 2025 lalu.

    Selisih 10 hari setelah kejadian yang menimpa korban.

    “Bapak sudah meninggal tanggal 28 kemarin di RSHS,” tulis pesan yang diterima drg Mirza.

    Dokter yang sekaligus pihak yang memviralkan kasus ini pun ikut berduka atas meninggalnya ayah korban.

    “Innalillahi wa innaillaihi roji’un. Semoga almarhum bapaknya husnul khotimah,” tulis @drg.mirza.

    Kini tersangka Priguna Anugerah Pratama telah diringkus oleh Polda Jawa Barat.

    Kabidhumas Polda Jawa Barat Kombes Pol. Hendra Rochmawan membeberkan, kasus rudapaksa mulai terungkap saat korban melaporkan tersangka pada 18 Maret 2025.

    Semua bermula saat FH mendampingi orang tuanya yang sedang dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Priguna Anugerah mulai melancarkan aksi bejatnya dengan melakukan pengecekan darah.

    FH dibawa tersangka dari ruangan IGD ke Gedung Mother and Child Health Care (MCHC) Rumah Sakit Dokter Hasan Sadikin yang ada di lantai 7.

    “(Tersangka) membawa korban dari ruang IGD ke gedung MCHC lantai 7 pada pukul 01.00 WIB,” kata Kombes Hendra, dikutip dari kanal YouTube KOMPASTV, Rabu (9/4/2025).

    Kombes Hendra melanjutkan, sebelum pergi, tersangka meminta FH agar tidak ditemani oleh siapapun, termasuk adiknya.

    Singkat cerita, tersangka membawa korban ke ruang nomor 711.

    “Tersangka meminta korban untuk mengganti pakaian dengan baju operasi warna hijau dan meminta korban untuk melepas baju dan celananya,” urai Kombes Hendra.

    Priguna Anugerah kemudian memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan tangan korban kurang lebih 15 kali percobaan.

    Kemudian tersangka menghubungkan jarum tersebut ke selang infus Setelah itu tersangka menyuntikkan cairan bening ke selang infus tersebut.

    Beberapa menit kemudian korban merasakan pusing lalu tidak sadarkan diri.

    “Setelah tersadar, korban diminta untuk berganti pakaian kembali dan diantar sampai lantai 1 di gedung MCHC.”

    “Setelah sampai ruang IGD korban baru sadar bahwa pada saat itu sudah pukul
    04.00 WIB.”

    “Lalu korban bercerita kepada ibunya bahwa tersangka mengambil darah dengan 15 kali percobaan dan memasukkan cairan bening ke dalam selang infus yang membuat korban tidak sadarkan diri,” kata Kombes Hendra.

    FH baru sadar jadi korban rudapaksa saat merasakan sakit saat buang air kecil.

    Bagian intimnya merasa perih saat terkena air.

    Korban kemudian melaporkan kejadian yang menimpanya ke polisi.

    Kombes Hendra menyebut dalam perjalan kasus, ada 11 orang dimintai keterangan.

    “Ada FH sendiri sebagai korban, ada ibunya kemudian, ada beberapa perawat, ada kurang lebih tiga perawat, dan adik korban. Kemudian dari farmasi, dokter, dan pegawai rumah sakit Hasan Sadikin dan juga apoteker. Dan Dirkrimsus juga akan meminta keterangan ahli untuk mendukung proses penyidikan,” jelas dia.

    Kini PAP telah ditetapkan sebagai tersangka kasus rudapaksa.

    Ia kini terancam hukuman 12 tahun penjara.

    “Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 yaitu tentang tindak pidana kekerasan seksual.”

    “Adapun ancaman hukumannya dipidana dengan pidana penjara paling lama adalah 12 tahun,” urai Kombes Hendra.

    Selain jadi tersangka, Priguna Anugerah juga akan ditahan selama 20 hari guna mempermudah pendalaman kasus lebih lanjut. (*)

    (Tribunnews.com/ Siti N/ Endra)

  • Terbongkar Cara Dokter Residen Bius Anak Pasien, 15 Kali Ditusuk Jarum, Korban Tak Sadar 3 Jam – Halaman all

    Terbongkar Cara Dokter Residen Bius Anak Pasien, 15 Kali Ditusuk Jarum, Korban Tak Sadar 3 Jam – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kabidhumas Polda Jawa Barat Kombes Pol. Hendra Rochmawan membongkar cara dokter residen bius anak pasien untuk dirudapaksa.

    Diketahui kasus ini melibatkan dokter residen spesialis anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung bernama Priguna Anugerah Pratama alias PAP (31).

    Ia rudapaksa wanita muda berinisial FH (21) dengan cara dibius.

    Semua bermula saat FH mengantarkan orang tuanya ke IGD Rumah Sakit Hasan Sadikin guna mendapatkan perawatan medis pada 18 Maret 2025, sekira pukul 01.00 WIB.

    Priguna Anugerah lalu mendekati FH dan menyampaikan perlu memeriksa darahnya.

    “Tersangka membawa korban dari ruang IGD ke gedung MCHC (Gedung Mother and Child Health Care) lantai 7 pada pukul 01.00 WIB. Dan meminta korban untuk tidak ditemani oleh adiknya,” kata Kombes Hendra, dikutip dari kanal YouTube KOMPASTV, Kamis (10/4/2025).

    Singkat cerita, tersangka membawa korban ke ruang nomor 711.

    Tersangka meminta korban untuk mengganti pakaian dengan baju operasi warna hijau dan meminta korban untuk melepas baju dan celananya.

    Kombes Hendra melanjutkan, Priguna Anugerah mulai melancarkan aksinya.

    Tersangka mulai membius korban dengan cara menusukan jarum ke tangan FH.

    “Tersangka memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan tangan korban kurang lebih 15 kali percobaan.”

    “Kemudian menghubungkan jarum tersebut ke selang infus Setelah itu tersangka menyuntikan cairan bening ke selang infus tersebut.”

    “Dan beberapa menit kemudian korban merasakan pusing lalu tidak sadarkan diri,” urainya.

    Saat tak sadar itulah, Priguna Anugerah rudapaksa korban saat tidak berdaya.

    FH baru sadar setelah 3 jam usai dibius tersangka.

    “Setelah tersadar korban diminta untuk berganti pakaian kembali dan diantar sampai lantai 1 di gedung MCHC.”

    “Setelah sampai ruang IGD korban baru sadar bahwa pada saat itu sudah pukul 04.00 WIB, lalu korban bercerita kepada ibunya bahwa tersangka mengambil darah,” kata Kombes Hendra.

    FH baru sadar jadi korban rudapaksa saat merasakan sakit saat buang air kecil.

    Bagian intimnya merasa perih saat terkena air.

    Korban kemudian melaporkan kejadian yang menimpanya ke Polda Jabar.

    Kombes Hendra menyebut dalam perjalan kasus, ada 11 orang dimintai keterangan.

    “Ada FH sendiri sebagai korban, ada ibunya kemudian, ada beberapa perawat, ada kurang lebih tiga perawat, dan adik korban.”

    “Kemudian dari farmasi, dokter, dan pegawai rumah sakit Hasan Sadikin dan juga apoteker. Dan Dirkrimsus juga akan meminta keterangan ahli untuk mendukung proses penyidikan,” jelas dia.

    Polda Jabar sudah menetapkan Priguna Anugerah sebagai tersangka atas kasus rudapaksa terhadap korban seorang perempuan berinisial FH.

    Ia kini terancam hukuman 12 tahun penjara.

    “Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 yaitu tentang tindak pidana kekerasan seksual.”

    “Adapun ancaman hukumannya dipidana dengan pidana penjara paling lama adalah 12 tahun,” urai Kombes Hendra.

    Selain jadi tersangka, Priguna Anugerah juga akan ditahan selama 20 hari guna mempermudah pendalaman kasus lebih lanjut.

    PELAKU PENCABULAN – Pelaku pencabulan terhadap salah seorang keluarga pasien RS Hasan Sadikin Bandung, ditampilkan oleh Ditreskrimum Polda Jabar, Rabu (9/4/2025). Oknum dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran (FK) di salah satu universitas di Sumedang, Jabar, ditetapkan sebagai tersangka. (Tangkap layar kanal YouTube Kompas TV)

    Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jawa Barat Kombes Surawan menambahkan, Priguna Anugerah memiliki kelainan seksual.

    Fakta tersebut didapatkan polisi lewat pemeriksaan yang sudah dilakukan.

    “Dari pemeriksaan beberapa hari ini memang ada kecenderungan pelaku ini mengalami sedikit kelainan dari segi seksual,” urainya.

    Oleh karena itu, Polda Jabar akan berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk mendalami kelainan seksual tersebut.

    Termasuk meminta keterangan ahli dan psikolog.

    “Kita akan perkuat dengan pemeriksaan dari psikologi forensik, ahli-ahli psikologi, maupun psikologi forensik untuk tambahan pemeriksaan.”

    “Sehingga kita menguatkan adanya kecenderungan kelainan dari perilaku seksual,” tegasnya.

    (Tribunnews.com/Endra)

  • Dokter Pelaku Pemerkosaan di RSHS Ditangkap, Kemenkes Beri Sanksi Seumur Hidup

    Dokter Pelaku Pemerkosaan di RSHS Ditangkap, Kemenkes Beri Sanksi Seumur Hidup

    Jakarta

    Seorang residen prodi anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (FK Unpad) diduga menjadi pelaku kekerasan seksual saat berpraktik di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Kota Bandung. Keluarga korban melaporkan tindakan tersebut ke pihak RS, pertengahan Maret 2025.

    Kejanggalan disadari korban pasca menjalani crossmatch, yakni pemeriksaan penting yang dilakukan sebelum transfusi darah untuk memastikan kecocokan antara darah donor dan penerima, mencegah reaksi penolakan oleh sistem imun.

    Tes ini dibutuhkan korban sebelum donor darah kepada ayahnya yang tengah dirawat di ICU dan hendak persiapan melakukan operasi.

    Nahas, korban malah diberikan obat bius dan baru kembali tersadar sekitar pukul 04:00 pagi. Setelah kejadian tersebut, korban mengaku kebingungan saat mendapati nyeri tidak hanya di bagian lengan pengambilan darah, melainkan pada kemaluan.

    Ia kemudian berinisiatif untuk segera melakukan visum ke spesialis obgyn.

    “Kejadiannya terjadi sekitar tengah malam, si pelaku-nya itu nunggu sampai pasiennya agak sadar sekitar jam 4 pagi. Terus habis cross match itu pasiennya ngeluh kok yang sakit bukan cuma tangan bekas akses IV, tetapi di kemaluan juga sakit.”

    “Akhirnya si korban minta visum ke SpOG. Ketahuan lah ada bekas sperma,” lanjut potongan kronologi yang viral di media sosial.

    Unpad Setop PPDS Pelaku Kekerasan Seks

    Pihak Unpad dengan tegas mengecam aksi kekerasan seks pelaku. Residen tersebut tidak lagi bisa melanjutkan PPDS di Unpad.

    Kepala Kantor Komunikasi Publik Unpad Dandi Supriadi menegaskan hal ini dilakukan setelah bukti-bukti yang ditemukan menguatkan tindakan kekerasan seksual terduga pelaku.

    “Pemberhentian dari program PPDS, berarti pemutusan studi,” tegas Dandi saat dikonfirmasi detikcom, Rabu (9/4/2025).

    Sanksi Seumur Hidup dari Kemenkes

    Kementerian Kesehatan RI yang memiliki sejumlah RS vertikal termasuk RSHS, memastikan pelaku seumur hidupnya tidak akan diterima sebagai dokter di rumah sakit pemerintah. Utamanya RSHS, yang selama ini menjadi pusat rujukan provinsi Jawa Barat.

    Langkah tegas Kemenkes RI demi memastikan RS vertikal saat ini aman dan nyaman bagi pasien maupun pendamping pasien.

    “Kita sudah berikan sanksi tegas berupa melarang PPDS tersebut untuk melanjutkan residen seumur hidup di RSHS dan kami kembalikan ke FK Unpad,” jelas Direktur Kesehatan Lanjutan Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI), Azhar Jaya, saat dikonfirmasi detikcom Rabu (9/4).

    “Soal hukuman selanjutnya, maka menjadi wewenang Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran,” sambungnya.

    Kemenkes RI juga mengusulkan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) untuk membatalkan surat tanda registrasi (STR) dokter yang bersangkutan, sehingga surat izin praktik (SIP) otomatis tidak lagi berlaku. Dengan begitu, pelaku kekerasan seks tersebut tidak lagi bisa berpraktik di manapun.

    NEXT: Pelaku Sudah Ditahan

    Polda Jabar menahan peserta PPDS FK Unpad yang belakangan diketahui bernama Priguna Anugerah P atau (PAP). Pria 31 tahun itu ditangkap anggota Ditreskrimum Polda Jabar di apartemennya di Kota Bandung, 23 Maret 2025 lalu.

    Menurut Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Hendra Rochmawan, tersangka meminta korban berinisial FH untuk diambil darah dan membawa korban dari ruang IGD ke gedung MCHC lantai 7 RSHS Bandung pada Tanggal 18 Maret 2025 pada pukul 01.00 WIB.

    Setelah sampai di Gedung MCHC tersangka meminta korban untuk mengganti pakaian dengan baju operasi warna hijau. Lalu diminta untuk melepas baju dan celananya. Pada saat itu, tersangka memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban kurang lebih 15 kali.

    “Kemudian tersangka menghubungkan jarum tersebut ke selang infus, setelah itu tersangka menyuntikkan cairan bening ke selang infus tersebut dan beberapa menit kemudian korban merasakan pusing lalu tidak sadarkan diri,” ungkapnya, dikutip dari detikJabar.

    “Setelah sadar korban diminta untuk mengganti pakaian kembali. Setelah kembali ke ruang IGD korban baru sadar bahwa pada saat itu sudah pukul 04.00 WIB,” tambahnya.

    Menyadari ada hal janggal yang dialami korban. Korban pun menceritakan kejadian ini kepada ibunya.

    “Lalu korban bercerita kepada ibunya bahwa tersangka mengambil darah dengan 15 kali percobaan dan memasukkan cairan bening ke dalam infus yang membuat korban tidak sadarkan diri dan kemudian saat korban buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tertentu,” terangnya.

    Penyidik juga telah mengamankan sejumlah barang bukti terdiri dari 2 buah infus fullset, kemudian 2 buah sarung tangan, 7 buah suntikan, 12 buah jarum suntik, 1 buah kondom, dan beberapa obat-obatan.

    Untuk undang-undang dan pasal yang akan ditetapkan yaitu Pasal 6 C, Undang-undang nomor 12 tahun 2022 yaitu tentang tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman hukuman penjara paling lama 12 tahun.

    Korban Tengah Didampingi

    Tidak lepas tangan, pihak RSHS maupun FK Unpad ikut bertanggung jawab dalam mendampingi korban. Korban saat ini diberikan pendampingan melalui Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).

    “Saat ini, korban sudah mendapatkan pendampingan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar. Unpad dan RSHS sepenuhnya mendukung proses penyelidikan Polda Jabar,” demikian klarifikasi pihak RSHS dan Unpad dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Rabu (9/4).

    RSHS berjanji akan melindungi privasi korban serta keluarga.

  • Awal Mula Dokter PPDS Unpad Lakukan Pelecehan Seksual Menjelang Sahur – Halaman all

    Awal Mula Dokter PPDS Unpad Lakukan Pelecehan Seksual Menjelang Sahur – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG – Awal mula kasus pelecehan seksual oleh dokter PPDS Unpad, PAP (31), terjadi menjelang Sahur pada bulan Ramadan 18 Maret 2025 lalu. 

    Lokasi kejadian berada di gedung MCHC RSHS Bandung.

    Dokter tersebut diduga melakukan pelecehan terhadap beberapa korban.

    Pelaku sudah menargetkan korban incaran.

    PAP melihat korban berinisial FH di ruang IGD RSHS Bandung.

    Setelah menargetkan korban, pelaku meminta korban dari ruang IGD ke Lantai 7 Gedung MCHC RSHS Bandung.

    Di waktu-waktu tiga sampai empat jam menjelang Sahur, pelaku melecehkan korban. 

    Hal itu diungkap Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Hendra Rochmawan.

    “Pelaku meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan memintanya melepas baju juga celananya,” ujar Kombes Hendra pada saat sesi jumpa pers di Ditreskrimum Polda Jawa Barat pada Rabu (9/4/2025).

    Di salah satu ruang kosong di Gedung MCHC RSHS Bandung, pelaku menodai korban.

    Pelaku memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali.

    Setelah itu, pelaku menghubungkan jarum tersebut ke selang infus dan menyuntikkan cairan bening ke dalamnya. Beberapa menit kemudian, korban mulai merasakan pusing hingga akhirnya tidak sadarkan diri.

    Setelah sadar, si korban diminta mengganti pakaiannya lagi. Lalu, setelah kembali ke ruang IGD, korban baru menyadari bahwa saat itu pukul 04.00 WIB. 

    “Korban pun menceritakan kepada ibunya bahwa pelaku mengambil darah sebanyak 15 kali percobaan dan menyuntikkan cairan bening yang membuat korban tak sadar. Ketika buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tertentu,” kata dia.

    Korban Diduga Berjumlah Lebih dari Satu

    Jumlah korban dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter PPDS FK Unpad, Priguna Anugerah P alias PAP, terus bertambah.

    Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jawa Barat, Kombes Surawan, mengungkapkan bahwa selain korban yang telah melapor, yaitu FH (21), ada dua korban lainnya yang juga diduga menjadi sasaran pelecehan pelaku.

    Meski demikian, kedua korban tersebut belum melaporkan kejadian tersebut secara resmi ke pihak kepolisian.

    “Korban FH sudah kita tangani, sementara dua korban lainnya masih berada di rumah sakit dan belum menjalani pemeriksaan,” kata Surawan, Rabu (9/5/2025).

    Surawan memastikan bahwa kedua korban lainnya bukanlah keluarga pasien, seperti halnya FH, meskipun kejadiannya hampir serupa.

    Ia mendorong kedua korban tersebut untuk segera melapor agar proses penyelidikan dapat segera dilakukan.

    “Kami mendorong mereka untuk datang dan memberikan keterangan. Satu korban sudah berniat melapor sebelum Lebaran, tetapi terhambat waktu,” tambahnya.

    Pihak kepolisian masih menunggu kedatangan korban untuk memberikan kesaksian lebih lanjut, sementara investigasi terhadap kasus ini terus berlanjut.

    Berdasarkan data dari KTP, pelaku diketahui beralamat di Kota Pontianak namun saat ini tinggal di Kota Bandung. Sementara itu, korban merupakan warga Kota Bandung.

    “Kami juga sudah meminta keterangan dari para saksi dan nantinya akan melibatkan keterangan ahli untuk mendukung proses penyidikan ini,” ujar Hendra.

    Polda Jabar juga telah mengamankan sejumlah barang bukti dari lokasi kejadian, termasuk dua buah infus full set, dua buah sarung tangan, tujuh buah suntikan, 12 buah jarum suntik, satu buah kondom, dan beberapa obat-obatan.

    Pelaku dijerat dengan Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

    “Pelaku dikenakan pasal 6C UU no 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun,” tegas Hendra.

    Seorang dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung terancam sanksi berat setelah terungkap sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap pasien. 

    Dokter tersebut bisa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan hukum yang berlaku.

    Hal itu diungkap Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan Aji Muhawarman.

    Sebagai langkah pertama, Kemenkes sudah meminta Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dr PAP. 

    “Pencabutan STR akan otomatis membatalkan Surat Izin Praktek (SIP) dr PAP,” tegas Aji saat dikonfirmasi, Rabu (9/4/2025). 

    Aji Muhawarman merasa prihatin dan menyesalkan adanya kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dr PAP sebagai peserta didik PPDS Universitas Padjajaran Program Studi Anastesi di Rumah Sakit Pendidikan Hasan Sadikin Bandung. 

    Saat ini yang bersangkutan sudah dikembalikan ke pihak Universitas Padjajaran (Unpad) dan diberhentikan sebagai mahasiswa serta diproses secara hukum oleh Polda Jawa Barat.

    Kemudian, pihaknya juga sudah menginstruksikan kepada Dirut RSUP Hasan Sadikin untuk menghentikan sementara waktu atau selama 1 bulan, kegiatan residensi Program

    Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSUP Hasan Sadikin, untuk dilakukan evaluasi dan perbaikan pengawasan serta tata kelola bersama FK Unpad. 

    Sementara itu, Universitas Padjadjaran (Unpad) tegas menyikapi pelecehan seksual di Rumah Sakit Hasan Sadikin atau RSHS Bandung.

    Unpad mengeluarkan dokter terduga pelaku dari program PPDS.

    “Karena terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad dengan memberhentikan yang bersangkutan dari program PPDS,” tulis keterangan resmi yang diterima Tribunnews.com, Rabu (9/4/2025).

    Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung telah menerima laporan kekerasan seksual itu.

    Disampaikan bahwa pelecehan seksual kepada keluarga pasien itu terjadi pada pertengahan Maret 2025 di area rumah sakit.

    Sebelumnya Direktur Jenderal (Dirjen) Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Azhar Jaya menegaskan, bahwa seluruh kekerasan berupa fisik hingga seksual tidak boleh terjadi di lingkungan pendidikan kedokteran.

    Karenanya, Kemenkes telah memberikan sanksi tegas kepada pelaku berupa larangan seumur hidup kepada bersangkutan untuk kembali melanjutkan residen di RSHS Bandung seumur hidup.

    “Kami sudah berikan sanksi tegas berupa melarang PPDS tersebut untuk melanjutkan residen seumur hidup di RSHS dan kami kembalikan ke FK Unpad. Soal hukuman selanjutnya, maka menjadi wewenang FK Unpad,” tutur Azhar kepada wartawan, Rabu (9/4/2025).

    Diketahui, terduga pelaku memanfaatkan ketidaktahuan korban pada prosedur medis. Pelaku memberikan obat penenang hingga korban tak sadarkan diri.

    Korban lalu sadar 4-5 jam setelah diberikan obat dan merasakan sakit di area kemaluan.

  • Puan Kecam Kekerasan Seks di Kampus: Harus Dihukum Seberat-beratnya!

    Puan Kecam Kekerasan Seks di Kampus: Harus Dihukum Seberat-beratnya!

    Jakarta

    Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengatakan tidak boleh ada toleransi bagi praktik kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk di kampus. Ia mendorong agar pelaku pelecehan seksual mendapat hukuman setimpal.

    “Tidak boleh ada sedikitpun toleransi terhadap kekerasan seksual di dunia pendidikan. Pelaku kekerasan seksual harus dihukum seberat-beratnya,” kata Puan Maharani dalam keterangannya, Rabu (9/5/2025).

    Puan menyoroti kasus kekerasan seksual di ranah kampus yang masih menjadi momok di publik. Terbaru, seorang Guru Besar di Universitas Gajah Mada (UGM) dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap belasan mahasiswi di kediaman pribadinya.

    “Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan tinggi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap integritas dunia akademik,” ujar perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.

    Puan menegaskan, seharusnya institusi pendidikan menjadi ruang aman bagi para peserta didik, bukan menjadi tempat yang mengancam masa depan. Ia menekankan nilai etika dalam membangun peradaban.

    “Kampus seharusnya jadi ruang aman, bermartabat, dan menjadi benteng utama dalam membangun nilai-nilai etika serta peradaban, bukan malah menjadi tempat pelecehan berulang,” ujar Puan.

    “Sekali lagi, tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap kekerasan seksual. Terlebih jika itu terjadi di institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi generasi muda kita,” jelas Ketua DPP PDIP ini.

    “Dalam UU TPKS juga diatur adanya pemberat hukuman jika pelaku merupakan seorang tokoh pendidik. Saya harap hal ini juga menjadi pertimbangan dalam proses hukum kasus ini,” tambahnya.

    “Dan tidak boleh ada kekebalan hukum meski pelaku adalah guru besar atau tokoh terkemuka. Hukum harus berdiri tegak, tanpa pandang bulu. Siapa pun pelakunya, harus bertanggung jawab di hadapan hukum,” ujar Puan.

    Selain itu, Puan mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) untuk memperkuat Implementasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Ia menegaskan harus ada sistem yang efektif agar regulasi itu benar-benar dijalankan di lingkungan kampus.

    “Satuan Tugas PPKS perlu diberi kewenangan lebih luas dan dukungan yang memadai agar tidak menjadi formalitas semata,” kata Puan.

    “Kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen dengan mahasiswa biasanya terjadi karena relasi kuasa. Maka harus ada audit menyeluruh terhadap sistem pengawasan akademik,” sambungnya.

    Puan menambahkan, perlu juga adanya sistem pelaporan yang aman dan rahasia, serta menjamin perlindungan saksi dan korban secara konkret. Ia mendesak pembentukan pusat krisis dan pendampingan nasional terhadap korban pelecehan seksual.

    “Kita juga harus menggalakkan kampanye nasional yang menentang adanya relasi kuasa di kampus. Tentunya ini memerlukan dukungan semua pihak, termasuk dari internal kampus itu sendiri,” ungkapnya.

    Menurut Puan, publik perlu diberikan edukasi terus-menerus tentang bahaya relasi kuasa dalam sistem pendidikan. Tujuannya agar mahasiswa memiliki kesadaran dan keberanian untuk melapor jika menjadi korban.

    Di sisi lain, ia memastikan DPR RI akan mengawal penanganan kasus tersebut secara serius. Pun, ia mendorong adanya reformasi sistemik demi terwujudnya ruang pendidikan yang adil, aman dan manusiawi bagi seluruh anak bangsa.

    “Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana intelektualitas dan nilai-nilai luhur berkembang, bukan ruang di mana kuasa disalahgunakan untuk menindas yang lemah,” imbuhnya.

    (dwr/aud)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Dokter PPDS Pelaku Kekerasan Seksual di RSHS Bandung Dikeluarkan Unpad, Rektor: Pelanggaran Norma

    Dokter PPDS Pelaku Kekerasan Seksual di RSHS Bandung Dikeluarkan Unpad, Rektor: Pelanggaran Norma

    PIKIRAN RAKYAT – Universitas Padjadjaran mengeluarkan dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Unpad di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, diduga pelaku kekerasan seksual pada keluarga pasien.

    Menurut Rektor Unpad Prof Arief S. Kartasasmita, keputusan pemutusan studi diambil sebagai bentuk ketegasan institusi menanggapi dugaan pelanggaran hukum dan norma yang dilakukannya.

    “Tentu Unpad dalam hal ini sangat prihatin terhadap kasus ini,” ucap Prof Arief di Bandung, Jawa Barat pada Rabu, 9 April 2025 seperti dikutip dari Antara.

    Pemutusan Studi

    Menurutnya Unpad sudah memiliki cukup indikasi dan dasar menjatuhkan sanksi akademik berupa pemutusan studi, meski proses hukum masih berlangsung dan belum ada putusan pengadilan.

    “Secara umum Unpad tidak akan menoleransi segala bentuk pelanggaran hukum maupun pelanggaran norma yang berlaku,” lanjut Prof Arief. 

    Unpad memastikan Ia tak lagi memiliki status sebagai peserta didik dan tidak diperbolehkan menjalani kegiatan apapun di lingkungan kampus serta rumah sakit pendidikan.

    “Ada aturan internal di Unpad yang menyatakan bahwa setiap mahasiswa, dosen, maupun karyawan, yang melakukan tindakan pidana akan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku,” lanjut Arief.

    Ia akan memberi pendampingan pada korban dan sudah menjalin koordinasi dengan pihak RSHS serta kepolisian agar proses hukum bisa berjalan dengan adil dan transparan.

    “Kami turut prihatin dan menyampaikan penyesalan mendalam kepada korban dan keluarganya. Semoga kejadian serupa tidak terjadi lagi pada masa mendatang,” lanjutnya.

    Sistem Pengawasan

    Unpad akan memperkuat sistem pengawasan pada proses pendidikan di jenjang spesialis serta non-spesialis.

    “Tujuannya agar kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi, baik di lingkungan Unpad maupun di tempat-tempat lain yang menjadi bagian dari pendidikan Unpad, termasuk di masyarakat pendidikan,” lanjutnya.

    Menurutnya kasus ini berkaitan dengan aspek akademik, pengawasan, serta pembinaan peserta didik di rumah sakit pendidikan.

    “Yang bersangkutan berasal dari Program Studi Anestesiologi. Kami sudah berkoordinasi dengan Dekan Fakultas Kedokteran, Direktur Utama RSHS, serta Kementerian Kesehatan, agar penanganan kasus ini dilakukan secara komprehensif,” lanjutnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News