Kasus: kekerasan seksual

  • Kasus Pemerkosaan di RSHS, Unpad Evaluasi Sistem Pendidikan Dokter

    Kasus Pemerkosaan di RSHS, Unpad Evaluasi Sistem Pendidikan Dokter

    Bandung, Beritasatu.com – Universitas Padjadjaran (Unpad) memastikan akan melakukan evaluasi menyeluruh atas sistem pendidikan dokter. Kebijakan itu dilakukan buntut kasus pemerkosaan yang dilakukan calon dokter spesialis anastesi program PPDS Unpad di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Rektor Unpad Arief Sjamsulaksan Kartasasmita menegaskan pihak kampus tidak akan tinggal diam dan langsung menginstruksikan evaluasi sistem pendidikan, demi memastikan kejadian serupa tidak terulang.

    “Semua proses akan kita evaluasi. Jangan sampai program dihentikan di RSHS tanpa evaluasi mendalam. Kami pastikan proses evaluasi juga akan menyentuh tempat lain,” ujarnya dalam keterangannya, Sabtu (12/4/2025).

    Arief menyebut, evaluasi ini menjadi langkah penting untuk menutup celah terjadinya pelanggaran hukum maupun etika di lingkungan pendidikan kedokteran. Bahkan, jika ditemukan kelemahan sistem, Unpad tidak akan ragu untuk menghentikan sementara program pendidikan terkait di berbagai bidang.

    Momentum Revisi Kurikulum Kedokteran

    Tak hanya mengevaluasi, Unpad juga memanfaatkan momen ini untuk merevisi kurikulum Fakultas Kedokteran. Arief menekankan pentingnya revisi guna mengantisipasi perundungan, kekerasan seksual, dan bentuk kekerasan lain yang bisa terjadi dalam dunia pendidikan.

    “Ini momen untuk memastikan sistem pendidikan kita mampu mencegah bullying, kekerasan seksual, maupun tindakan tidak pantas lainnya,” tambah rektor Unpad itu.

    Program PPDS Anestesi Dibekukan, Izin Praktik Pelaku Dicabut

    Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mengambil langkah tegas. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Unpad dan RSHS dibekukan selama satu bulan untuk proses evaluasi menyeluruh.

    “Kita freeze dahulu anestesi di Unpad dan RSHS selama sebulan, supaya kita tahu apa yang perlu diperbaiki,” ujar Budi seusai bertemu Presiden Jokowi di Solo.

    Tak hanya itu, Budi juga memastikan surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) milik pelaku akan dicabut. Hal itu dilakukan, sebagai bentuk hukuman tegas dan efek jera bagi tenaga kesehatan yang melanggar hukum.

    “Ini harus ada efek jeranya. Kita pastikan STR dan SIP dicabut supaya tidak bisa praktik lagi,” tegas Menkes.

    Kasus pemerkosaan oleh dokter PPDS di RSHS Bandung ini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. Evaluasi sistem hingga revisi kurikulum di Unpad diharapkan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, profesional, dan berintegritas.

  • TKP Lokasi 3 Korban Rudapaksa Priguna, Cara Dokter Residen PPDS Unpad Beraksi di RSHS – Halaman all

    TKP Lokasi 3 Korban Rudapaksa Priguna, Cara Dokter Residen PPDS Unpad Beraksi di RSHS – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kepolisian mendapat petunjuk atas pengembangan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter residen PPDS Universitas Padjajaran (Unpad), Priguna Anugerah (31).

    Total korban yang kini berjumlah tiga orang telah dimintai keterangan.

    Lokasi kejadian atau Tempat Kejadian Perkara (TKP) tak berbeda dari yang dilakukan terhadap korban FH (21), anak pasien Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Direktur Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Surawan menyebut, TKP yang menimpa dua korban lainnya yakni korban usia 21 tahun dan 31 tahun terjadi di Gedung MCHC lantai 7.

    Ruangan tersebut merupakan ruangan kosong alias belum digunakan sebagai ruangan praktik.

    Ia menjelaskan, aksi keji Priguna terhadap dua korban lainnya dilakukan pada 10 Maret 2025 dan 16 Maret 2025.

    Sementara, korban FH yang pertama melaporkan kasus ini mendapat pelecehan pada 18 Maret 2025.

    Modus tersangka juga tak jauh beda dengan yang dilancarkan kepada FH, yakni dengan dalih analisa anestesi dan uji alergi terhadap obat bius.

    “Tapi, untuk yang dua korban tambahan ini merupakan pasien RSHS,” jelas perwira berpangkat tiga melati di pundak, dikutip dari TribunJabar.

    Kombes Pol Surawan, menjelaskan kronologi tindak asusila Priguna terhadap dua korban tambahan, baru diperiksa oleh pihak kepolisian.

    Dua korban tambahan itu diketahui merupakan pasien RSHS Bandung.

    “Jadi, kejadian untuk dua korban tambahan ini, awalnya si pelaku berjaga bersama dokter lain. Kemudian, pelaku menghubungi pasiennya dengan alasan akan melakukan uji anestesi dan pasien dipanggil dan dibawa ke ruangan MCHC lantai 7,” kata Surawan di Mapolda Jabar, Jumat (11/4/2025), dilansir TribunJabar.id.

    “Sedangkan korban satu lagi, dalihnya untuk uji alergi obat bius. Ketika pelayanan pasien itu sama-sama dengan dokter lain, tapi saat melakukan aksinya dia menghubungi sendiri pasiennya dan beraksi sendiri,” sambungnya.

    Menurut Surawan, Priguna bisa diterapkan pasal perbuatan berulang, yakni Pasal 64 KUHP dengan hukuman tambahan pemberatan. 

    “Dua korban tambahan ini usianya 21 tahun dan 31 tahun. Kejadiannya pada 10 Maret dan 16 Maret 2025. Kami pun nanti akan lakukan tes kejiwaan dari pelaku (psikologi forensik),” jelas Surawan.

    Kronologi Kasus Priguna Rudapaksa FH

    Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan, mengungkapkan modus Priguna yakni memanfaatkan kondisi kritis ayah korban dengan dalih akan mengecek darah untuk transfusi darah.

    Peristiwa rudapaksa ini terjadi pada 18 Maret 2025 sekitar pukul 01.00 WIB dinihari.

    Priguna yang saat itu memang sedang bertugas, meminta FH untuk diambil darahnya dan membawa korban dari ruang IGD RSHS Bandung ke Gedung MCHC lantai 7.

    Bahkan, Priguna meminta korban FH agar tidak ditemani adiknya.

    “Tersangka ini meminta korban FH untuk diambil darah dan membawa korban dari ruang IGD ke Gedung MCHC lantai 7 RSHS. Korban sempat merasakan pusing dari cairan yang disuntikkan pelaku, dan selepas siuman korban merasakan sakit pada bagian tertentu,” ujar Hendra dalam konferensi pers di Polda Jabar, Bandung, Rabu (9/4/2025).

    Untuk melancarkan aksinya, Priguna membius korbannya terlebih dahulu.

    “Sesampainya di Gedung MCHC, tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan memintanya melepas baju juga celananya. Lalu, pelaku memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali,” ungkap Hendra.

    Priguna lalu menghubungkan jarum tersebut ke selang infus dan menyuntikkan cairan bening ke dalamnya.

    Selang beberapa menit, korban FH mulai merasakan pusing hingga akhirnya tidak sadarkan diri.

    Di saat itulah, korban dirudapaksa oleh Priguna.

    “Setelah sadar, si korban diminta mengganti pakaiannya lagi. Lalu, setelah kembali ke ruang IGD, korban baru menyadari bahwa saat itu pukul 04.00 WIB,” jelas Hendra.

    “Korban pun menceritakan kepada ibunya bahwa pelaku mengambil darah sebanyak 15 kali percobaan dan menyuntikkan cairan bening yang membuat korban tak sadar. Ketika buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tertentu,” lanjutnya.

    Berdasarkan hasil visum, ditemukan sperma di alat vital korban yang kini masih diselidiki pihak kepolisian untuk dilakukan tes DNA.

    Polisi kemudian berhasil menangkap Priguna di apartemennya di Bandung, pada 23 Maret 2025.

    Hingga pada 25 Maret 2025, polisi akhirnya menetapkan Priguna sebagai tersangka kasus rudapaksa.

    Atas aksi bejatnya, tersangka dijerat Pasal 6 C Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

    “Pelaku dikenakan Pasal 6 C UU No 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun,” paparnya.

    Selain menangkap tersangka, Polda Jabar juga mengamankan sejumlah barang bukti dari TKP, termasuk dua buah infus full set, dua buah sarung tangan, tujuh buah suntikan, 12 buah jarum suntik, satu buah kondom, dan beberapa obat-obatan.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Dokter PPDS Cabul di RSHS Bisa Dikenakan Pasal Tambahan, 2 Korban Barunya Ternyata Pasien

    (Tribunnews.com/Chrysnha, Nina Yuniar)(TribunJabar.id/Muhamad Nandri Prilatama)

  • Ada Kasus Dokter PPDS Rudapaksa Anak Pasien, Bagaimana Layanan Kesehatan di RSHS Bandung? – Halaman all

    Ada Kasus Dokter PPDS Rudapaksa Anak Pasien, Bagaimana Layanan Kesehatan di RSHS Bandung? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) memastikan, kasus dokter PAP tidak berdampak pada layanan kesehatan di Rumah Sakit Hasan Sadikin atau RSHS Bandung.

    “Kemenkes dan RSHS menjamin penghentian sementara PPDS pada prodi anestesiologi tersebut tidak mengganggu pelayanan kesehatan spesialistik di RS Hasan Sadikin,” dalam keterangan resmi yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (12/4/2025).

    Penghentian residensi prodi anestesiologi di RSHS bersifat sementara.

    Penghentian sementara ini harus segera dilakukan dengan tujuan agar dilakukan evaluasi menyeluruh dan perbaikan dalam sistem pendidikan dokter spesialis khususnya yang diselenggarakan oleh Universitas Padjajaran di lingkungan RSHS.

    Langkah yang dilakukan ini merupakan hasil koordinasi dan didukung sepenuhnya oleh pihak UNPAD sebagai institusi akademik penyelenggara pendidikan kedokteran. 

    “Saat ini kami sedang fokus untuk segera menuntaskan penanganan kasus tersebut bersama pihak UNPAD dan kepolisian guna melakukan perbaikan ke depan sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi,” lanjut keterangan itu.

    Menanggapi kritik Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Kemenkes tidak ingin berpolemik dalam menanggapi kritikan yang tidak substansial, cenderung defensif dan tidak konstruktif dari sejumlah pihak dalam penanganan kasus kekerasan seksual oleh oknum dokter yang sedang mengikuti PPDS.

    Bagaimanapun juga Kemenkes tetap terbuka terhadap masukan untuk penguatan sistem pendidikan kedokteran di Indonesia.

    Namun di sisi lain juga mempertanyakan motif pihak-pihak yang reaktif dan terkesan tidak setuju dengan adanya pembenahan sistem dan pengawasan tersebut, yang salah satunya melalui penghentian sementara prodi anestesiologi.

    Sebelumnya AIPKI mencermati bahwa sudah kali ketiga Kementerian Kesehatan mengambil langkah reaktif dengan menghentikan pendidikan PPDS di rumah sakit vertikal, termasuk yang masih berlangsung seperi PPDS Anestesi UNDIP dan PPDS limu Penyakit Dalam di USRAT.

    AIPKI berharap pemerintah dapat mengambil kebijakan yang lebih bijak, adil, dan mendukung
    kcberlangsungan pendidikan kedokteran, serta mempertimbangkan danmpak luas terhadap sistem pelayanan kesehatan nasional.

     

  • Menkes Respons Kasus Pemerkosaan di RSHS, Soroti Obat Bius Bebas Dipakai

    Menkes Respons Kasus Pemerkosaan di RSHS, Soroti Obat Bius Bebas Dipakai

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin buka suara soal kasus kekerasan seksual yang dilakukan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) prodi anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Ia menyesalkan kejadian tersebut dan tengah melakukan evaluasi pelayanan di rumah sakit vertikal, dengan penghentian sementara program PPDS Unpad di RSHS.

    Dirinya juga dalam waktu dekat akan melakukan audiensi dengan rektor Unpad untuk melihat permasalahan kasus kekerasan seks lebih lanjut. Salah satu pertanyaan yang muncul di balik gaduhnya pemerkosaan di RSHS adalah nihilnya pengawasan pelayanan, juga penggunaan obat-obatan.

    Dalam hal ini, obat bius yang terkesan digunakan secara bebas.

    Menkes juga mengaku heran dengan ‘lolosnya’ penggunaan obat tanpa pengawasan. Mengingat, menurutnya, yang hanya boleh mengambil obat adalah konsulen, pendamping atau pembimbing calon dokter spesialis.

    “Itu yang hanya boleh ngambil obat, itu adalah konsulennya. Harusnya ngambil obat itu bukan si muridnya,” jelas Menkes saat ditemui di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (12/4/2025).

    “Nah jadi kenapa bisa turun? Nah itu kita yang mau lihat. Itu aturannya sudah jelas semua. Bahwa itu harus disimpan di tempat tertentu. Yang boleh ngambil siapa? Yang boleh ngambil itu harusnya bukan anak didik. Kok ini bisa sampai ke anak didik? Nah itu kan mesti dicek kan? Di mana lepasnya? Kalau sekarang saya belum bisa jawab,” lanjutnya.

    Menkes menyebut akan mengkaji ulang tata kelola proses pelayanan dan pendidikan PPDS. Butuh waktu sebulan menurutnya untuk benar-benar memahami akar masalah dan melakukan perbaikan atau pengetatan di penjaringan PPDS.

    “Kesimpulannya ini belum ada, jadi kita juga nggak tahu. Belum tahu lah, bolongnya di mana,” beber dia.

    “Itu yang saya bilang, minta waktu sebulan untuk direview dulu. Karena kalau ini nanti terus jalan, kan kita nggak bisa memperbaiki dan menganalisa dengan benar ini di mana. Tidak menghentikan prodi anestesi FK Unpad sepenuhnya, kan dia masih ada praktik di RS lain,” pungkasnya.

    (naf/kna)

  • Atalia Apresiasi Langkah Berbagai Pihak dalam Kasus Dokter Residen Unpad Rudapaksa Keluarga Pasien – Halaman all

    Atalia Apresiasi Langkah Berbagai Pihak dalam Kasus Dokter Residen Unpad Rudapaksa Keluarga Pasien – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Anggota DPR RI Komisi VIII, Atalia Praratya mengapresiasi sejumlah pihak dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan Priguna Anugerah Pratama (PAP), dokter reseden Universitas Padjadjaran (Unpad) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.

    Atalia mengatakan berbagai pihak itu mampu menunjukkan perhatiannya terhadap perlindungan korban.

    “Saya bersyukur juga berterima kasih kepada semua pihak yang bekerja keras sehingga membuat proses dari mulai terjadinya kasus ini sampai dengan hari ini terlihat lancar,” ungkap Atalia dalam konferensi pers, Sabtu (12/4/2025).

    Pertama, Atalia mengapresiasi RSHS sangat responsif membantu proses pelaporan korban kepada pihak kepolisian.

    “Mereka juga berkomitmen menjaga kerahasiaan, saya kira ini penting sekali sampai hari ini kita bisa menjaga korban sehingga tidak terganggu secara psikisnya, karena untuk menyelesaikan traumanya saja yang bersangkutan masih butuh waktu,” ungkap Atalia.

    Atalia juga mengapresiasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang langsung membekukan program pendidikan spesialis untuk melakukan evaluasi.

    “Termasuk mencabut izin praktik dokter yang bersangkutan,” ujarnya.

    Selain itu, pihak Unpad juga diapresiasi Atalia karena telah memberi sanksi tegas dengan memecat dan mengeluarkan pelaku.

    “Kemudian kita juga mendapatkan bantuan dukungan Kemen PPA melalui UPTD PPA Kota Bandung dan juga Jawa Barat ya jadi mereka memberikan bantuan konseling dan juga psikologi forensik begitu.”

    “Kami juga bersyukur karena ternyata Jabar Bantuan Hukum juga mendapat kepercayaan dari keluarga korban untuk mendampingi kasus hukum ini,” ungkapnya.

    Pada kesempatan itu, Atalia menyoroti adanya faktor relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual.

    Kata Atalia, kasus-kasus kekerasan seksual sangat marak terjadi dan muncul ke permukaan.

    “Kita tahu bahwa ini fenomena gunung es, yang muncul adalah mereka-mereka yang berani speak up,” ujarnya.

    Mengutip data Komnas Perempuan tahun 2022, Atalia menyebut sekitar 60 persen korban kasus tindakan kekerasan tidak berani untuk melapor dan harus menjadi perhatian khusus.

    “Kasus-kasus belakangan ini begitu bermunculan ya dari mulai ini tercatat kasus guru besar UGM ini 
    diberhentikan karena terbukti melecehkan banyak mahasiswinya.”

    “Kemudian kasus pesantren Jombang, jadi ini antara relasi kuasa antara kiai dengan santrinya, kemudian Kapolres Ngada begitu, ini seseorang yang dianggap atau institusi yang dianggap mampu untuk melindungi warga masyarakat justru menjadi predator bagi anak-anak kecil gitu ya,” ujarnya.

    “termasuk yang terakhir ini adalah yang muncul ke permukaan yaitu dokter residen Unpad spesialis ya, PAP yang kita sebut seperti itu,” ungkap Atalia.

    Karier Dokter PAP Lenyap

    TAMPANG TERSANGKA – Priguna Anugerah Pratama, dokter residen terduga pelaku rudapaksa keluarga pasien RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Priguna terdaftar sebagai peserta didik baru Program Studi Spesialis Anestesi Universitas Padjadjaran, Bandung. (Kolase Tribunnews)

    Sementara itu, Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) langsung mengambil langkah tegas terhadap Priguna Anugerah Pratama (PAP) dengan mencabut Surat Izin Praktik (SIP) dan menonaktifkan Surat Tanda Registrasi (STR).

    Priguna Anugerah Pratama telah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.

    “KKI secara resmi menonaktifkan Surat Tanda Registrasi (STR) milik yang bersangkutan pada Kamis (10/4/2025), segera setelah status tersangka ditetapkan oleh aparat penegak hukum,” ujar Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) drg Arianti Anaya, MKM pada keterangan resmi, Jumat (11/5/2025).

    Langkah ini diikuti dengan koordinasi bersama Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat untuk mencabut Surat Izin Praktik (SIP) atas nama Priguna Anugerah Pratama.

    Arianti menegaskan pencabutan STR dan SIP merupakan sanksi administratif tertinggi dalam profesi kedokteran di Indonesia.

    “Dengan demikian, setelah SIP dicabut, yang bersangkutan tidak dapat lagi berpraktik sebagai dokter seumur hidup,” tegasnya.

    Sebagai langkah lanjutan, Kementerian Kesehatan juga telah memerintahkan penghentian sementara Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSUP Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat.

    Penghentian ini bertujuan memberikan ruang untuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem tata kelola dan pengawasan dalam pelaksanaan program PPDS di RSHS.

    “Evaluasi yang dilakukan diharapkan mampu menghasilkan sistem pengawasan yang lebih ketat, transparan, dan responsif terhadap potensi pelanggaran hukum maupun etika oleh peserta program pendidikan dokter spesialis,” tutup drg Arianti.

    (Tribunnews.com/Gilang Putranto, Aisyah Nursyamsi)

  • KemenHAM: Tindakan Dokter yang Perkosa Keluarga Pasien Tak Bisa Ditoleransi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        12 April 2025

    KemenHAM: Tindakan Dokter yang Perkosa Keluarga Pasien Tak Bisa Ditoleransi Nasional 12 April 2025

    KemenHAM: Tindakan Dokter yang Perkosa Keluarga Pasien Tak Bisa Ditoleransi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan Hak Asasi Manusia (HAM)
    Kementerian HAM
    , Munafrizal Manan, mengecam pemerkosaan yang dilakukan oleh
    Priguna Anugerah
    , dokter anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Padjajaran, terhadap keluarga pasien di RS Hasan Sadikin, Bandung.
    Dia mengatakan, kejahatan dokter tersebut tidak bisa ditoleransi karena dinilai sebagai tindakan yang sangat keji.
    “Kekerasan seksual dengan modus penuh siasat muslihat seperti yang dilakukan oleh oknum dokter tersebut jelas tidak dapat ditolerir dan harus dipastikan jangan terulang lagi di lingkungan pendidikan kedokteran,” ucap Munafrizal dalam keterangan pers, Sabtu (12/4/2025).
    Dia juga mengingatkan, dunia pendidikan kedokteran pernah menjadi sorotan karena kasus perundungan yang mengakibatkan dokter residen meninggal dunia.
    Maka dari itu, Munafrizal mendorong Kementerian Kesehatan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dunia pendidikan kedokteran dan dunia kesehatan.
    Kemenkes, kata Munafrizal, harus melakukan audit HAM di dunia pendidikan, khususnya di dunia praktik kesehatan, agar selaras dengan prinsip kepatuhan HAM.
    “Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan HAM KemenHAM akan segera melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Dirjen terkait di Kemenkes untuk membahas detail hal ini,” ucap dia.
    Indonesia memiliki instrumen hukum HAM yang cukup memberikan perlindungan kepada perempuan, termasuk ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
    Munafrizal mengatakan, tindakan kekerasan seksual atau perundungan yang terjadi di dunia pendidikan mencoreng ratifikasi dan instrumen hukum yang telah berlaku.
    Padahal, profesi dokter adalah profesi kemanusiaan. “Para penyandang profesi ini seharusnya lebih memiliki sensitivitas kemanusiaan,” tandas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komnas Perempuan: Korban Perkosaan Dokter Priguna Berhak Lakukan Aborsi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        12 April 2025

    Komnas Perempuan: Korban Perkosaan Dokter Priguna Berhak Lakukan Aborsi Nasional 12 April 2025

    Komnas Perempuan: Korban Perkosaan Dokter Priguna Berhak Lakukan Aborsi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (
    Komnas Perempuan
    ) menyatakan bahwa para korban perkosaan oleh Priguna Anugerah berhak menggugurkan kehamilan.
    Priguna adalah dokter anestesi dari Program Spesialis Universitas Padjajaran yang bertugas di RS Hasan Sadikin Bandung yang memerkosa keluarga pasien.
    Hal ini merujuk pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
    “Berhak menggugurkan kandungannya sebelum 14 minggu. Berdasarkan Pasal 75 ayat 2 UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer, dalam keterangannya, Sabtu (12/4/2025).
    Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dalam kondisi tertentu, termasuk kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.
    Chatarina juga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur lebih lanjut mengenai aborsi akibat perkosaan.
    “Aborsi karena perkosaan hanya boleh dilakukan paling lama 40 hari sejak hari pertama haid terakhir,” jelasnya.
    Selain itu, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menetapkan kebijakan “Zona Tanpa Toleransi” terhadap kekerasan di seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia.
    Komnas Perempuan juga mendorong RSHS untuk mengambil langkah konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual dalam bentuk apapun agar kejadian serupa tidak terulang.
    Peristiwa perkosaan ini diharapkan menjadi momentum untuk evaluasi menyeluruh terhadap jaminan ruang aman di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
    Komnas Perempuan menegaskan bahwa rumah sakit harus menjadi tempat yang bebas dari kekerasan, baik bagi tenaga kesehatan maupun pasien dan keluarganya.
    Sebagai informasi, Priguna Anugerah memperkosa keluarga pasien pada pertengahan Maret 2025 di salah satu ruangan lantai 7 gedung RSHS.
    Pada saat itu, pelaku yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Unpad meminta korban untuk menjalani
    crossmatch
    .
    Alasan yang digunakan pelaku adalah mencocokkan jenis golongan darah yang akan ditransfusikan kepada orang lain.
    Ketika didatangi oleh pelaku, korban sedang menjaga ayahnya yang menjalani perawatan dan membutuhkan transfusi darah.
    Pelaku memerkosa korban dalam keadaan tidak sadarkan diri. Berdasarkan pengakuan korban, ia merasakan nyeri di bagian tangan yang telah diinfus dan area kemaluan setelah siuman.
    Korban akhirnya menjalani visum dan hasilnya terdapat cairan sperma di area kemaluan.
    Pihak keluarga tidak tinggal diam mengetahui hal tersebut dan melaporkan peristiwa yang dialami korban ke Polda Jabar.
    Setelah Polda Jabar menerima laporan dari keluarga korban, polisi menangkap dan menahan pelaku pada Minggu (23/3/2025).
    Setelah kasus ini terungkap, diketahui ada dua korban lainnya yang turut melapor peristiwa yang sama.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Apa Itu Anestesi? Ini Jenis, Penggunaan dan Efek Sampingnya

    Apa Itu Anestesi? Ini Jenis, Penggunaan dan Efek Sampingnya

    Jakarta

    Belakangan publik dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Seorang dokter program pendidikan spesialis (PPDS) anestesi dari Universitas Padjajaran menjadi tersangka kasus pemerkosaan terhadap pasien setelah dibius atau dalam keadaan tidak sadar.

    Kejadian ini membuat masyarakat menyoroti aspek sensitif dalam praktik medis, yakni penyalahgunaan anestesi. Prosedur medis yang seharusnya digunakan untuk menolong pasien malah disalahgunakan.

    Maka dari itu, perlu dipahami lebih lanjut terkait prosedur anestesi, bagaimana cara kerjanya, dan siapa yang seharusnya melakukan prosedur tersebut.

    Apa Itu Anestesi?

    Anestesi atau pembiusan lokal merupakan penggunaan obat-obatan yang disebut anestesi untuk mencegah pasien merasakan nyeri selama prosedur atau pembedahan. Dikutip dari Cleveland Clinic, anestesi memblokir sinyal sensorik dari pusat di lokasi prosedur ke pusat-pusat di otak untuk sementara waktu.

    Berbagai jenis anestesi bekerja dengan cara yang berbeda. Beberapa obat anestesi membuat bagian tubuh tertentu mati rasa. Anestesi lainnya membuat otak pasien mati rasa, sehingga dapat tidur selama prosedur pembedahan yang lebih invasif.

    Anestesi yang digunakan oleh layanan kesehatan bergantung pada jenis dan cakupan prosedur, yakni:

    1. Anestesi lokal

    Anestesi ini membuat bagian kecil tubuh mati rasa. Tim medis biasanya menggunakan anestesi lokal ini untuk prosedur invasif minimal, seperti operasi katarak atau biopsi kulit.

    Dengan anestesi ini, pasien tetap terjaga selama prosedur berlangsung.

    2. Anestesi regional

    Anestesi ini memblokir rasa sakit di bagian tubuh yang lebih besar, seperti tubuh atau bagian tubuh di bawah dada. Contohnya, termasuk epidural untuk meredakan nyeri saat melahirkan atau blok lengan untuk operasi tangan.

    Tim medis dapat memberikan anestesi regional sebagai tambahan sedasi, atau mereka dapat memberikannya sendiri.

    3. Anestesi umum

    Perawatan ini membuat pasien tidak sadar dan tidak peka terhadap rasa sakit atau rangsangan lainnya. Tim medis menggunakan anestesi umum atau general ini untuk prosedur yang lebih invasif, seperti operasi kepala, dada, atau perut.

    Bagaimana Prosedur Anestesi Dilakukan?

    Untuk prosedur yang relatif sederhana dan memerlukan pembiusan pada area kecil, tim medis yang melakukan prosedur pada pasien akan sering memberikan anestesi lokal. Pada prosedur yang lebih kompleks dan invasif, dokter anestesi yang akan meresepkan obat anestesi dan mengelola rasa sakit sebelum, selama, dan setelah operasi.

    Selain dokter anestesi, prosedur ini dapat dilakukan oleh:

    Dokter yang sedang menjalani pelatihan (rekan atau residen).Perawat anestesi terdaftar bersertifikat.Asisten ahli anestesi bersertifikat.

    Sebelum anestesi diberikan, dokter akan mengevaluasi kondisi pasien secara menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan, alergi, hingga obat-obatan yang mungkin sedang dikonsumsi. Umumnya, pasien akan diminta untuk berpuasa beberapa jam sebelum operasi.

    Selama prosedur, dokter anestesi akan memberikannya melalui suntikan, infus, atau inhalasi atau dihirup. Setelah itu, kondisi pasien akan dimonitor secara ketat, mulai dari tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, serta pernapasan untuk memastikan prosedur berjalan dengan baik.

    Apa Saja Efek Samping dari Anestesi?

    Sebagian besar efek samping anestesi bersifat sementara dan hilang dalam waktu 24 jam, seringkali lebih cepat. Itu bergantung pada jenis anestesi dan cara tim medis memberikannya.

    Umumnya, pasien akan mengalami kondisi nyeri punggung, menggigil akibat suhu tubuh rendah (hipotermia), kesulitan buang air kecil, kelelahan, sakit kepala, gatal-gatal, mual dan muntah, nyeri kemerahan atau memar di tempat suntikan, hingga radang tenggorokan (faringitis).

    (sao/kna)

  • AIPKI Kritik Kemenkes Terlalu Reaktif di Kasus Dokter PPDS Cabul

    AIPKI Kritik Kemenkes Terlalu Reaktif di Kasus Dokter PPDS Cabul

    Bisnis.com, JAKARTA– Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) mengkritisi sikap Kementerian Kesehatan atau Kemenkes dalam kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oleh salah satu dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).

    Kemenkes dinilai terlalu reaktif atas kasus asusila yang dilakukan oleh residen anestesi dari PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Priguna Anugerah Pratama.

    Pasalnya, Kemenkes langsung bertindak dengan cara menghentikan sementara kegiatan PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran selama satu bulan.

    “AIPKI mencermati bahwa ini adalah kali ketiga Kementerian Kesehatan mengambil langkah reaktif dengan menghentikan pendidikan PPDS di rumah sakit vertikal, termasuk yang masih berlangsung seperti PPDS Anestesi UNDIP dan PPDS Ilmu Penyakit Dalam di USRAT,” tutur Ketua Umum AIPKI, Budi Santoso di Jakarta, Jumat (11/4).

    Budi berharap pemerintah bisa mengambil kebijakan yang tepat, adil dan melihat dunia kedokteran serta memperhatikan dampak dari kebijakan tersebut.

    “Kami berharap pemerintah mengambil kebijakan yang bijak, adil, dan mendukung keberlangsungan pendidikan kedokteran, serta mempertimbangkan dampak luas terhadap sistem pelayanan kesehatan nasional,” katanya.

    Dia berpandangan bahwa Indonesia masih kekurangan dokter spesialis, sementara dari pihak pemerintah seringkali mengeluarkan kebijakan yang tidak tepat dan merugikan dunia dokter spesialis di Indonesia 

    “Oleh karena itu, pilihan untuk penutupan sementara program studi ketika ada tindakan pidana yang dilakukan oleh oknum peserta didik dari salah satu program studi tidak bijak dan dapat menghambat proses pendidikan serta menganggu pelayanan,” ujarnya.

    Penghentian Sementara 

    Sebelumnya, Kementerian Kesehatan telah menginstruksikan kepada RSUP Hasan Sadikin (RSHS) menghentikan sementara kegiatan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran di lingkungan RSHS selama satu bulan.

    Langkah ini diambil untuk mengevaluasi dan melakukan perbaikan pengawasan serta tata kelola setelah adanya tindak pidana kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dr. PAP yang merupakan peserta PPDS Anestesiologi.

    “Penghentian sementara ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi proses evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola dan sistem pengawasan PPDS di lingkungan RSHS,” kata Aji Muhawarman, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes pada Kamis (10/04). 

    Kemenkes juga meminta pihak RSHS agar bekerjasama dengan FK Unpad untuk upaya-upaya perbaikan yang diperlukan sehingga insiden serupa atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan etika kedokteran tidak terulang kembali. 

    Selain itu, Kemenkes juga akan mewajibkan seluruh Rumah Sakit Pendidikan Kemenkes untuk melakukan test kejiwaan berkala bagi peserta PPDS di seluruh angkatan. Tes ini diperlukan untuk menghindari manipulasi tes kejiwaan dan mengidentifikasi secara dini kesehatan jiwa peserta didik. 

    Sebagai bentuk komitmen dalam menjaga integritas profesi, Kemenkes sudah meminta Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) atas nama dr. PAP. Pencabutan STR ini secara otomatis akan membatalkan Surat Izin Praktik (SIP) yang bersangkutan.

  • DPR siap panggil Kemenkes hingga RSHS terkait kasus dokter PPDS

    DPR siap panggil Kemenkes hingga RSHS terkait kasus dokter PPDS

    Situasi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/4/2025). (ANTARA/Rubby Jovan)

    DPR siap panggil Kemenkes hingga RSHS terkait kasus dokter PPDS
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 11 April 2025 – 11:34 WIB

    Elshinta.com – Komisi IX DPR RI siap memanggil sejumlah pihak, mulai dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dekan FK Unpad, RSHS Bandung, Konsil Kedokteran Indonesia, hingga Kemendiktisaintek untuk membahas kasus pemerkosaan oleh calon dokter spesialis anastesi di RSHS.

    “Langkah ini diambil untuk meminta klarifikasi, mengevaluasi sistem pembinaan dan pengawasan tenaga medis, serta memastikan kasus serupa tidak terulang di masa mendatang,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh dalam keterangan kepada wartawan yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Ia juga menegaskan Komisi IX DPR mengecam kasus pemerkosaan itu.

    Menurutnya, kasus tersebut mencerminkan kegagalan sistem pengawasan hingga perlindungan pasien di lingkungan rumah sakit.

    Dia juga mengatakan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dokter residen PPDS anestesi Unpad di RSUP Hasan Sadikin (RSHS) Bandung itu harus segera ditanggapi dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh dan sistemik.

    “Kami meminta Kementerian Kesehatan RI dan Konsil Kedokteran Indonesia untuk melakukan evaluasi dan tindakan disipliner terhadap tenaga medis yang terlibat,” ucapnya.

    Menurut dia, Universitas Padjadjaran (Unpad) dan RSHS Bandung harus memperkuat sistem pelaporan, perlindungan korban, dan pengawasan terhadap peserta pendidikan dokter spesialis.

    Selain itu, Kementerian Kesehatan perlu memberikan pendampingan psikologis, hukum, dan kesehatan kepada korban sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban, sesuai amanat Pasal 55 dan 64 Undang-Undang Kesehatan.

    Sebelumnya, Kepolisian Daerah Jawa Barat menahan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) berinisial PAP (31) atas dugaan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Polisi juga mengungkapkan adanya indikasi kelainan perilaku seksual pada pelaku, yang menjadi tersangka kasus pemerkosaan terhadap keluarga pasien. Temuan itu berdasarkan pemeriksaan awal terhadap dokter PPDS terduga pelaku pemerkosaan berinisial PAP (31).

    Sumber : Antara