Kasus: kekerasan seksual

  • Ramai Kasus Pelecehan, Komisi III DPR Minta Korban Jangan Malu Melapor, Polisi Harus Cepat Respons

    Ramai Kasus Pelecehan, Komisi III DPR Minta Korban Jangan Malu Melapor, Polisi Harus Cepat Respons

    JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez menyoroti maraknya kasus kekerasan seksual belakangan ini, termasuk dugaan pelecehan oleh seorang dokter kandungan di Garut, Jawa Barat. Ia pun mengimbau setiap korban kekerasan seksual untuk melapor dan mendorong Polisi untuk cepat merespons.

    Gilang mengatakan, peristiwa pencabulan di layanan kesehatan sungguh sangat mencederai rasa aman rakyat. Menurutnya, kasus pelecehan yang lagi-lagi melibatkan oknum dokter itu bukan sekadar kasus kriminal, namun insiden ini juga menjadi bukti lemahnya sistem perlindungan bagi masyarakat.

    “Tempat yang seharusnya memberikan pelayanan kesehatan, malah justru menjadi tempat perlakuan tidak nyaman kepada pasien. Bagaimana rakyat bisa merasa sejahtera jika mereka tidak merasa aman di tempat yang harusnya memberikan kesembuhan,” ujar Gilang Dhielafararez, Kamis, 17 April.

    “Dan kita harapkan pengusutan kasus ini dapat berjalan secara profesional dan transparan. Apabila yang bersangkutan terbukti bersalah, harus diberikan sanksi pidana yang setimpal,” sambungnya.

    Gilang menegaskan, negara harus hadir secara tegas dalam menjamin ruang-ruang publik bebas dari kekerasan. Terutama kepada perempuan dan anak sebagai kelompok yang paling sering menjadi korban kekerasan seksual.

    “Ketika rakyat yang datang untuk berobat justru menjadi korban pelecehan, itu adalah pengkhianatan terhadap mandat pelayanan publik. Pemerintah harus introspeksi, bagaimana mungkin pelaku bisa berpraktik sekian lama tanpa ada pengawasan atau pengaduan yang ditindaklanjuti?,” kata Gilang.

    Anggota komisi yang membidangi hukum itu juga menyoroti perlunya evaluasi sistem pengawasan dan sanksi terhadap tenaga medis yang melanggar etika dan hukum. Gilang mendorong Kementerian Kesehatan untuk segera membentuk mekanisme aduan cepat dan responsif agar masyarakat tidak takut melapor.

    “Saya khawatir ini bukan kasus tunggal. Tapi kalau negara tidak hadir memberikan perlindungan dan pendampingan pada korban, akan makin banyak pelaku yang bebas berkeliaran, dan makin banyak rakyat yang kehilangan kepercayaan pada sistem,” kata Legislator PDIP dari Dapil Jawa Tengah II itu.

    Gilang juga mendorong semua pihak untuk tidak hanya mengecam, tapi melakukan pembenahan menyeluruh terhadap sistem layanan kesehatan yang masih rawan disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab.

    “Negara tidak boleh kalah oleh pelaku-pelaku yang mencederai kepercayaan rakyat. Kesejahteraan itu dimulai dari rasa aman dan bermartabat. Itu yang harus kita jaga bersama,” tegas Gilang.

    Lebih lanjut, Gilang mengajak masyarakat agar selalu mengawal kasus-kasus kekerasan seksual yang semakin menjadi. Menurutnya, hal ini perlu agar kasus-kasus lama tidak terlupakan dan bisa diusut tuntas oleh aparat.

    Misalnya kasus pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman, lalu pelecehan sejumlah mahasiswa oleh guru besar Fakultas Farmasi UGM.

    Kemudian pemerkosaan yang dilakukan dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, hingga dugaan pelecehan yang dilakukan dokter kandungan di Garut dan pelecehan oknum guru kepada belasan siswi SD di Depok.

    Kasus kekerasan seksual juga banyak terjadi di layanan fasilitas umum seperti di fasilitas kesehatan dan yang terbaru adalah pelecehan di fasilitas transportasi massal yang menimpa penumpang KRL. Gilang menyatakan, tidak boleh ada toleransi sedikitpun untuk tindak kekerasan seksual.

    “Dan saya mengajak masyarakat untuk mengawal setiap kasus kekerasan seksual hingga tuntas agar tidak terlupakan begitu ada kasus yang baru. Kita harus tetap mengawal bersama sampai korban mendapatkan keadilan,” kata Gilang.

    “Termasuk dalam kasus mantan Kapolres Ngada, penegak hukum berkewajiban untuk terus meng-update sampai mana kemajuan kasusnya. Ini berlaku untuk semua kasus kejahatan seksual,” tambah Anggota BKSAP DPR itu.

    Gilang pun mendorong agar para korban kekerasan seksual untuk segera melaporkan kejadian yang dialaminya kepada aparat penegak hukum.

    “Jika ada yang menjadi korban pelecehan, jangan malu dan takut untuk melapor. Komnas perempuan juga harus bisa memfasilitasi para korban, karena kebanyakan korban malu untuk melapor apa yang dialaminya,” ucapnya.

    “Kalau perlu polisi jemput bola. Polisi juga harus cepat merespons aduan korban pelecehan, jangan bertele-tele apalagi sampai menormalisasi kekerasan seksual dan justru malah menyalahkan atau menyudutkan korban. Karena ini yang sering terjadi dan membuat korban kekerasan seksual enggan melapor,” lanjut Gilang.

    Sejalan dengan itu, Gilang menyoroti masih belum optimalnya implementasi Undang-Undang No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Hal ini lantaran belum semua aturan turunan UU TPKS diterbitkan Pemerintah.

    “Padahal dalam amanat UU tersebut, aturan turunan UU TPKS harus terbit semua dua tahun sejak UU diundangkan, yang artinya adalah semua aturan turunan UU TPKS harus sudah ada maksimal tahun 2024 agar dapat diimplementasikan dengan efektif,” kata Gilang.

    Untuk diketahui, hingga kini baru 4 dari 7 peraturan pelaksana dari UU TPKS yang ditetapkan pemerintah. Masih tersisa 3 aturan yang belum disahkan yakni Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Dana Bantuan Korban TPKS; RPP Pencegahan, Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RPP 4PTPKS); dan Rancangan Perpres (RPerpres) Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.

    Menurut Gilang, belum terbitnya semua peraturan turunan tersebut menjadi hambatan dalam implementasi UU TPKS di lapangan.

    “Peraturan turunan sangat penting karena menjadi pedoman teknis dalam pelaksanaan UU, termasuk pada UU TPKS. Kita harap pemerintah segera merampungkan penyusunan aturan turunan UU TPKS yang belum diterbitkan,” katanya.

    Gilang juga mendukung adanya Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di setiap wilayah guna memberikan pendampingan kepada korban kekerasan seksual. Unit ini dapat dibentuk bila sudah ada aturan teknisnya.

    “Dengan begitu ada unit khusus untuk memberikan pendampingan bagi korban kekerasan seksual di setiap daerah. Kita minta pemerintah segeralah menyelesaikan aturan-aturan teknis ini,” tutup Gilang.

  • Korban Dokter Kandungan Cabul di Garut Disebut Bisa Bertambah, Ini Kata Polisi – Halaman all

    Korban Dokter Kandungan Cabul di Garut Disebut Bisa Bertambah, Ini Kata Polisi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Dokter kandungan cabul di Garut, Jawa Barat, M Syafril Firdaus alias MSF telah ditetapkan sebagai tersangka.

    Ia jadi tersangka setelah seorang wanita melaporkannya atas kasus kekerasan seksual.

    MSF juga sebelumnya viral di media sosial setelah melecehkan seorang ibu hamil.

    Kasat Reskrim Polres Garut, AKP Joko Prihatin menuturkan, tak menutup kemungkinan korban dari MSF bisa bertambah.

    “Kemungkinan korban akan bertambah,” ungkapnya, dikutip dari TribunJabar.id.

    Diketahui, MSF disangkakan Pasal 6 B dan C dan atau Pasal 15 Ayat 1 Huruf B UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

    “Dengan ancaman hukumannya 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta,” ujar Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Hendra Rochmawan.

    Meski terancam 12 tahun penjara, tapi Syafril bisa mendapatkan hukuman lebih berat apabila makin banyak korban yang bersedia melapor secara resmi.

    Mengutip TribunJabar.id, menurut Hendra, laporan dari para korban sangat dibutuhkan supaya pihak kepolisian bisa menjerat tersangka dengan hukuman yang maksimal.

    “Maka kami membuka layanan aduan. Keamanan dan identitas pelapor akan kami jamin rahasianya,” ungkapnya.

    AKBP Fajar Gemilang, Kapolres Garut mengatakan, hingga saat ini baru ada satu orang yang melapor.

    Pelapor yakni seorang wanita berinisial AED (24).

    Kasus AED ini bermula ketika korban berkonsultasi mengenai suntik vaksin gonore.

    “Awalnya memang korban ini berkonsultasi ke klinik tempat tersangka bekerja, kemudian tersangka memberikan resep obat dan menjadwalkan suntik vaksin gonore,” ujarnya, Kamis (17/4/2025).

    Dikutip dari TribunJabar.id, tiga hari berselang, tersangka mendatangi rumah orang tua korban untuk menyuntikkan vaksin.

    Syafril, lanjut Fajar datang menggunakan layanan ojek online.

    Setelah menyuntikkan vaksin tersebut, tersangka meminta korban untuk mengantarnya ke kos.

    “Saat sampai korban menyerahkan uang pembayaran vaksin kemudian ditolak oleh tersangka, tersangka meminta korban menyerahkannya di dalam kos.” 

    “Keduanya kemudian masuk, tersangka lalu mengunci kamar kos dan melakukan perbuatannya dengan mendorong korban ke kasur,” jelasnya.

    Korban pun berhasil melawan dan melarikan diri dari kos tersebut.

    Tak terima, korban pun melaporkan tindakan tersangka ke polisi.

    Pihak kepolisian lantas memeriksa 10 saksi hingga akhirnya tersangka ditangkap.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Dokter Kandungan Garut Jadi Tersangka, Polisi Sebut Korban Kemungkinan Bertambah

    (Tribunnews.com, Muhammad Renald Shiftanto)(TribunJabar.id, Sidqi Al Ghifari)

  • Wamenkes Sebut Dokter Pelaku Pelecehan Terancam Tak Bisa Praktik Seumur Hidup

    Wamenkes Sebut Dokter Pelaku Pelecehan Terancam Tak Bisa Praktik Seumur Hidup

    Jakarta

    Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyesalkan dugaan kasus pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan berinisial QAR ketika berobat di rumah sakit swasta di Kota Malang, Jawa Timur. Dante menegaskan tindakan pelecehan seksual sudah menyalahi kode etik dan etika profesi dari kedokteran.

    “Saya sangat sedih dan sangat menyesalkan segala bentuk kegiatan di luar kegiatan tindakan etis yang seharusnya dilakukan berdasarkan sumpah dokter yang suci,” kata Dante, dikutip dari Antara, Jumat (18/4/2025).

    Pihak Kementerian Kesehatan bakal melakukan penyelidikan terkait kasus tersebut. Penyelidikan nantinya tidak hanya pada aspek etik dan etika, melainkan juga hukum dan legalitas.

    Dante mengatakan pihaknya juga bakal mencabut surat tanda registrasi (STR) dokter yang memang terbukti terlibat dalam kasus pelecehan atau kekerasan seksual.

    “Yang berkaitan dengan kegiatan asusila kami cabut standar registrasinya oleh Kementerian Kesehatan, kalau dicabut dia tidak bisa praktik seumur hidup,” sambungnya.

    Berkaitan dengan beberapa peristiwa serupa yang terjadi sebelumnya, Dante menekankan kembali pentingnya pengawasan dan pembinaan dokter bersama organisasi profesi. Ia juga menyinggung pentingnya pemeriksaan psikologis sebelum seseorang ditetapkan menjadi dokter atau spesialis.

    “Untuk penyaringan proses ujian akan ada proses penyaringan namanya penyaringan psikologis yang kita sebut sebagai Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI),” ujar Dante.

    “Yang tidak cocok untuk menjalankan profesi dokter tentu akan kami tolak walaupun secara akademis mampu. Kami akan terapkan dengan ketat,” tandasnya.

    (avk/kna)

  • Kasus Dugaan Pelecehan Seksual oleh Dokter di Malang, Kuasa Hukum Korban Siap Tempuh Jalur Hukum

    Kasus Dugaan Pelecehan Seksual oleh Dokter di Malang, Kuasa Hukum Korban Siap Tempuh Jalur Hukum

    Malang (beritajatm.com) – Kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret seorang dokter umum berinisial AY di Malang, Jawa Timur, memasuki babak baru. Kuasa hukum korban, perempuan berinisial QAR, menyatakan pihaknya akan segera melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum.

    “Kami ditunjuk oleh korban sebagai kuasa hukumnya. Perbuatan terduga pelaku ini melanggar UU RI No 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kami akan melengkapi materi hukum dan secepatnya akan melapor ke pihak kepolisian,” ujar Satria Marwan, Kamis (17/4/2025).

    Menurut Satria, pihaknya tengah mengumpulkan bukti-bukti yang menguatkan laporan, termasuk percakapan melalui WhatsApp antara korban dan terduga pelaku. Bukti percakapan ini sebelumnya telah tersebar di media sosial dan menjadi perhatian publik.

    “Korban ini baru berani speak up karena adanya banyak faktor. Ia mengalami trauma dan merasa takut,” lanjut Satria.

    Kasus ini pertama kali mencuat di media sosial setelah QAR mengungkap pengalaman tidak menyenangkannya saat berobat pada 2022 silam. Ia menceritakan bahwa saat itu tengah mengalami sinusitis dan vertigo berat hingga harus datang ke instalasi gawat darurat (IGD) terdekat. Di sana, ia ditangani oleh AY, yang kemudian disebut mulai menghubungi QAR melalui pesan singkat.

    Komunikasi tersebut tidak direspons oleh QAR. Namun, dugaan pelecehan terjadi ketika AY memeriksa QAR dengan menggunakan stetoskop dan meminta korban membuka bajunya. Dengan dalih memeriksa jantung, AY menempatkan stetoskop di area payudara sebelah kanan. QAR juga menyebut AY diduga merekam atau memotret bagian tubuhnya saat memegang ponsel.

    AY belakangan diketahui bertugas sebagai dokter di Persada Hospital Malang. Pihak rumah sakit pun telah mengakui bahwa AY merupakan bagian dari tenaga medis mereka.

    Supervisor Humas Persada Hospital, Sylvia Kitty Simanungkalit, menjelaskan bahwa pihaknya langsung mengambil tindakan dengan menonaktifkan AY sementara sambil menunggu hasil investigasi internal.

    “Kami telah membentuk Tim Investigasi Internal untuk menelusuri kasus ini secara menyeluruh. Apabila terbukti, kami akan menindak tegas pelaku sesuai hukum yang berlaku. Kami tetap berkomitmen untuk memberikan pelayanan yang professional dan bermutu kepada masyarakat,” ujar Kitty, Rabu (16/4/2025).

    Kasus ini menjadi pengingat penting akan perlunya pengawasan ketat terhadap etika profesi medis serta sistem pendampingan hukum dan psikologis bagi korban kekerasan seksual. Publik pun menanti perkembangan lebih lanjut dari proses hukum yang akan ditempuh kuasa hukum QAR. [luc/suf]

  • 1
                    
                        Fakta Baru Pelecehan Seksual Dokter MSF di Garut: Kasus Beda di Kosan, Pengakuan 4 Kali
                        Bandung

    1 Fakta Baru Pelecehan Seksual Dokter MSF di Garut: Kasus Beda di Kosan, Pengakuan 4 Kali Bandung

    Fakta Baru Pelecehan Seksual Dokter MSF di Garut: Kasus Beda di Kosan, Pengakuan 4 Kali
    Editor
    KOMPAS.com
    – Kasus dugaan
    pelecehan seksual
    yang melibatkan tersangka
    dokter kandungan
    M
    Syafril Firdaus
    alias
    MSF
    menjadi sorotan.
    Fakta baru terungkap dalam konferensi pers Polres
    Garut
    yang mengungkap aksi pelecehan seksual yang terjadi di
    kamar kos
    pribadi MSF di kawasan Tarogong Kidul, Garut.
    Karena pelecehan tersebut pula, MSF telah ditetapkan menjadi tersangka. 
    “Atas nama pelapor inisialnya AED, TKP kekerasan seksual ini tempatnya di kamar kos tersangka,” ujar Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Hendra Rochmawan, dalam keterangan pers di Mapolres Garut, Kamis (17/4/2025).
    Informasi ini sekaligus memperluas lingkup penyelidikan karena berbeda dengan yang sebelumnya masyarakat ketahui, yakni dugaan pelecehan seksual dari video viral yang memperlihatkan tindakan pemeriksaan MSF terhadap pasien perempuan di sebuah klinik.
    Ternyata, ada kasus lain, yakni dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di luar fasilitas kesehatan.
    Kronologi Peristiwa
    Kronologi peristiwa bermula ketika korban, AED (24), menghubungi MSF melalui aplikasi pesan WhatsApp untuk berkonsultasi mengenai gangguan keputihan.
    Setelah pemeriksaan dilakukan di klinik pada 22 Maret 2025, MSF menyarankan vaksinasi tambahan senilai Rp 6 juta, yang kemudian disuntikkan di rumah orangtua korban.
    Namun, kejadian tak terduga terjadi setelah proses vaksinasi.
    Saat korban hendak pergi mengendarai motor, MSF yang datang menggunakan ojek
    online
    meminta untuk diantar karena arah mereka sejalan. Korban pun menyetujui.
    Di depan kamar kos MSF, korban ingin menyerahkan uang pembayaran, tetapi MSF menolak transaksi dilakukan di luar.
    Ia mengajak korban masuk ke dalam kamar kos dengan alasan tidak enak transaksi dilihat orang.
    MSF kemudian menarik tangan korban, menutup pintu, dan menguncinya.
    Ketegangan meningkat saat korban menyatakan akan melaporkan perbuatannya ke polisi.
    MSF justru mendorong korban hingga jatuh di kasur, lalu memegangi kedua tangannya dan melakukan pelecehan seksual.
    Korban melawan dengan menendang tersangka dan segera melarikan diri.
    Kombes Hendra menegaskan MSF kini telah dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
    “Ancaman hukumannya paling lama 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 300 juta,” katanya.
    4 Kali Lakukan Pelecehan
    Tersangka MSF mengaku empat kali melakukan perbuatan pelecehan seksual. Pengakuan ini disampaikan MSF dalam pemeriksaan awal oleh penyidik Polres Garut.
    “Dari hasil pemeriksaan sementara, pelaku mengakui sekitar empat kali dari hasil pemeriksaan sementara, tetapi kami masih mendalami,” ujar Kapolres Garut AKBP Mochamad Fajar Gemilang saat konferensi pers di Aula Mapolres Garut, Kamis (17/4/2025) pagi.
    Fajar menambahkan, penyidik masih terus mendalami kasus ini dan membuka kemungkinan bertambahnya jumlah korban, baik yang mengalami pelecehan di tempat praktik MSF maupun di luar.
    “Kami masih mendalami tentu dengan berjalannya waktu dan nanti korban-korban yang akan melaporkan akan memeriksa kembali, berapa korban yang mendapatkan kekerasan seksual ini, baik di fasilitas kesehatan maupun di luar,” katanya.
    Sementara itu, Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Hendra Rochmawan mengimbau masyarakat dan pegiat media sosial untuk menjaga privasi korban serta mendukung proses hukum yang berjalan.
    (Penulis Kontributor Garut Kompas.com: Ari Maulana Karang)
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korban Dokter Kandungan Cabul di Garut Disebut Bisa Bertambah, Ini Kata Polisi – Halaman all

    Tak hanya 12 Tahun Penjara, Hukuman Dokter Kandungan Cabul di Garut Bisa Lebih Berat – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Dokter kandungan cabul Syafril Firdaus alias MSF di Garut, Jawa Barat jadi tersangka atas kasus pencabulan.

    Ia disangkakan Pasal 6 B dan C dan atau Pasal 15 Ayat 1 Huruf B UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

    “Dengan ancaman hukumannya 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta,” ujar Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Hendra Rochmawan.

    Meski terancam 12 tahun penjara, namun Syafril bisa mendapatkan hukuman lebih berat apabila makin banyak korban yang bersedia melapor secara resmi.

    Mengutip TribunJabar.id, menurut Hendra, laporan dari para korban sangat dibutuhkan supaya pihak kepolisian bisa menjerat tersangka dengan hukuman yang maksimal.

    “Maka kami membuka layanan aduan. Keamanan dan identitas pelapor akan kami jamin rahasianya,” ungkapnya.

    AKBP Fajar m Gemilang selaku Kapolres Garut mengatakan, hingga saat ini baru ada satu orang yang melapor.

    Pelapor yakni seorang wanita berinisial AED (24).

    Kasus AED ini bermula ketika korban berkonsultasi mengenai suntik vaksin gonore.

    “Awalnya memang korban ini berkonsultasi ke klinik tempat tersangka bekerja, kemudian tersangka memberikan resep obat dan menjadwalkan suntik vaksin gonore,” ujarnya, Kamis (17/4/2025).

    Dikutip dari TribunJabar.id, tiga hari berselang, tersangka mendatangi rumah orang tua korban untuk menyuntikkan vaksin.

    Syafril, lanjut Fajar datang menggunakan layanan ojek online.

    Setelah menyuntikkan vaksin tersebut, tersangka meminta korban untuk mengantarnya ke kos.

    “Saat sampai korban menyerahkan uang pembayaran vaksin kemudian ditolak oleh tersangka, tersangka meminta korban menyerahkannya di dalam kos.” 

    “Keduanya kemudian masuk, tersangka lalu mengunci kamar kos dan melakukan perbuatannya dengan mendorong korban ke kasur,” jelasnya.

    Korban pun berhasil melawan dan melarikan diri dari kos tersebut.

    Tak terima, korban pun melaporkan tindakan tersangka ke polisi.

    Pihak kepolisian lantas memeriksa 10 saksi hingga akhirnya tersangka ditangkap.

    Polisi Kontak Influencer

    Sebagai langkah lanjutan, pihak Polda Jabar juga menghubungi sejumlah influencer yang berkaitan dengan informasi jumlah korban.

    Namun, langkah Polda Jabar masih belum mendapat jawaban.

    “Kami menyampaikan kepada seluruh masyarakat untuk bisa menjaga privasi korban, karena di sini ketika dia sudah menjadi korban kekerasan seksual, juga menjadi korban sosial di media sosial,” ujar Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Hendra, Kamis (14/4/2025).

    Hendra mengatakan bahwa hukum dalam kasus ini bergantung pada keberanian korban untuk melapor secara resmi.

    “Bagi masyarakat yang merasa menjadi korban, kami harap bisa melapor,” ungkapnya.

    Ia menuturkan, tim Polda Jabar juga sudah menghubungi sejumlah akun media sosial yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual ini.

    “Terkait hal ini, tim kami sudah melakukan profiling dan menghubungi pemilik akun melalui pesan langsung. Unit PPA dan tim siber Polda juga telah mencoba menjalin komunikasi, tapi sampai sekarang belum ada tanggapan atau timbal balik dari mereka,” ucap Hendra, dikutip dari TribunJabar.id.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Dokter Kandungan di Garut Terancam Hukuman Lebih Berat, Saat Ini Baru Satu Korban yang Melapor

    (Tribunnews.com, Muhammad Renald Shiftanto)(TribunJabar.id, Sidqi Al Ghifari)

  • Polisi Duga Lebih dari Satu Korban Dokter Kandungan Cabuli Pasien di Garut

    Polisi Duga Lebih dari Satu Korban Dokter Kandungan Cabuli Pasien di Garut

    GARUT – Kepolisian Resor (Polres) Garut terus melakukan pendalaman kasus oknum dokter spesialis kandungan yang mencabuli pasiennya di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pendalaman dilakukan lantaran terindikasi perbuatan terduga pelaku dilakukan beberapa kali dan korbannya banyak.

    “Kita masih mendalami, tentu dengan berjalannya waktu, dan nanti korban-korban yang akan melaporkan akan memeriksa kembali berapa korban,” kata Kepala Kepolisian Resor Garut AKBP Mochamad Fajar Gemilang saat jumpa pers penetapan tersangka seorang dokter kasus asusila terhadap pasien di Markas Polres Garut, Kamis 17 April, disitat Antara.

    Ia menuturkan, Polres Garut saat ini sudah menetapkan oknum dokter inisial MSF (33) warga Bandung sebagai tersangka dalam kasus kejahatan seksual terhadap seorang pasien perempuan di Kabupaten Garut.

    Hasil pemeriksaan sementara terhadap tersangka, kata dia, sudah empat kali melakukan perbuatan asusila terhadap pasiennya, pengakuannya itu masih terus didalami, termasuk korbannya.

    “Dari hasil pemeriksaan sementara pelaku hanya mengakui sekitar empat kali dari hasil pemeriksaan sementara,” katanya.

    Ia menegaskan, pemeriksaan lebih dalam lagi itu untuk mengetahui berapa banyak korban yang menjadi kejahatan seksualnya, kemudian dilakukan di mana saja apakah di tempat fasilitas kesehatan atau ada tempat lain.

    “Berapa korban yang telah mendapatkan kekerasan seksual ini baik di tempat fasilitas kesehatan, maupun di luar fasilitas kesehatan,” katanya.

    Ia mengungkapkan, terkait pasien yang pernah menjadi korbannya diketahui banyak, namun untuk bersedia memberikan laporan secara resmi baru satu orang.

    Korban yang berani lapor itu, kata dia, terkait kasus pelecehan seksual yang dilakukan dokter di rumah kontrakannya pada 24 Maret 2025, sedangkan pasien lain yang menjadi korbannya belum memberikan laporan.

    “Banyak korban, namun yang membuat laporan secara tertulis baru satu, ada satu lagi korban, namun yang bersangkutan masih belum bersedia untuk dibuatkan laporan polisi, jadi masih berupa pemeriksaan saksi,” katanya.

    Polres Garut sebelumnya melakukan penyelidikan terkait sebaran video rekaman CCTV yang menayangkan dugaan pelecehan seksual oleh dokter terhadap pasien di sebuah klinik di Garut Kota.

    Jajaran Polres Garut kemudian mengamankan dokter yang ada dalam video tersebut, kemudian dilakukan pemeriksaan, dan diketahui ada kejadian dan korban lainnya sampai akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

    Kapolres mengimbau masyarakat yang pernah menjadi korban pelecehan maupun kejahatan seksual oleh dokter tersebut untuk segera lapor ke Polres Garut agar dapat ditindaklanjuti.

    “Para korban yang lainnya untuk dapat melaporkan hal ini kepada kepolisian,” katanya.

    Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Garut dr Rizki Safaat menyatakan, pihaknya sudah menindaklanjuti terkait etik profesi dokter yang diduga dilakukan oleh dokter inisial MSF, termasuk masalah izin praktiknya di Garut.

    Adanya kejadian tersebut, kata dia, maka IDI Garut menyerahkan proses hukum sepenuhnya kepada kepolisian untuk ditindaklanjuti sesuai aturan hukum yang berlaku apalagi perbuatan tersebut sudah mencoreng profesi dokter.

    “Kami menyatakan rasa keprihatinan yang mendalam dan dukungan moril terhadap para korban pelecehan seksual ini, serta mengutuk perbuatan tercela yang dilakukan oleh tersangka karena bertentangan dengan kemanusiaan, dan mencoreng marwah organisasi profesi kedokteran,” katanya.

  • Miris! Mahasiswi KKN Unram Dihamili Oknum Pegawai Kampus, Kini Harus Jadi Ibu di Tengah Proses Studi

    Miris! Mahasiswi KKN Unram Dihamili Oknum Pegawai Kampus, Kini Harus Jadi Ibu di Tengah Proses Studi

    TRIBUNNEWS.COM, MATARAM – Seorang mahasiswi Universitas Mataram (Unram) harus menanggung beban berat usai mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN).

    Alih-alih membawa pulang pengalaman pengabdian, ia justru pulang dalam kondisi hamil akibat diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh pegawai Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Unram.

    Peristiwa memilukan ini terjadi di tengah kegiatan KKN di wilayah Mataram, Nusa Tenggara Barat. Oknum pelaku berinisial S, yang merupakan pegawai LP2M, kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda NTB setelah penyelidikan mendalam.

    Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati, mengungkapkan bahwa pelaku seharusnya menjalankan tugas sebagai pendamping dan pembimbing mahasiswa selama KKN.

    Namun, kepercayaan itu malah disalahgunakan hingga berujung pada tindakan yang melanggar hukum.

    “Dia diberi tanggung jawab oleh lembaga untuk mendampingi mahasiswa, tetapi malah melakukan tindakan yang menyebabkan peristiwa kekerasan seksual,” jelasnya.

    Sudah Melahirkan

    Menurut informasi dari kepolisian, mahasiswi korban kini telah melahirkan anak hasil dari peristiwa tersebut. Kasus ini sontak menjadi perhatian publik, terutama di lingkungan kampus.

    Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unram, Joko Jumadi, memastikan korban sudah mendapat pendampingan secara psikologis dan hukum.

    “Ini bentuk komitmen kami untuk mewujudkan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual,” ujarnya.

    Kasus ini menjadi pengingat bahwa program KKN yang seharusnya menjadi ruang pengabdian dan pembelajaran, bisa berubah menjadi mimpi buruk ketika oknum tak bertanggung jawab menyalahgunakan kekuasaan.

    Kini, sang mahasiswi harus melanjutkan hidup sebagai ibu muda di tengah proses studi—sebuah kondisi yang tak seharusnya dialami oleh siapa pun di lingkungan akademik.

    Kasus ini menambah daftar panjang kekerasan seksual di ranah pendidikan tinggi.

    Banyak pihak mendorong agar kampus memperkuat pendidikan tentang kekerasan seksual, meningkatkan pengawasan selama KKN, serta memperketat seleksi dan pengawasan terhadap pembimbing lapangan.

  • Tangis Vivi, Eks Pemain Sirkus Taman Safari, Mengaku Disetrum dan Dikurung di Kandang Macan

    Tangis Vivi, Eks Pemain Sirkus Taman Safari, Mengaku Disetrum dan Dikurung di Kandang Macan

    GELORA.CO – Sebuah pengakuan mengejutkan datang dari Vivi, perempuan yang pernah menjadi bagian dari pertunjukan sirkus di Taman Safari Indonesia (TSI), Cisarua, Bogor.

    Dalam sebuah video wawancara yang viral di media sosial sejak awal pekan ini, Vivi dengan air mata mengisahkan pengalaman kelamnya selama bertahun-tahun sebagai pemain sirkus. Ia mengaku menjadi korban kekerasan fisik, eksploitasi, dan penyiksaan seksual di balik panggung hiburan yang selama ini dianggap ramah keluarga.

    “Vagina saya disetrum. Saya pernah dipasung. Saya juga pernah dirantai dan dikurung seperti binatang,” ungkap Vivi dalam video berdurasi lebih dari 10 menit yang pertama kali diunggah oleh seorang aktivis kemanusiaan dan satwa. Dalam rekaman tersebut, Vivi tampak masih trauma, suaranya bergetar saat mencoba mengingat ulang kejadian yang dialaminya sejak belia.

    Menurut penuturannya, Vivi direkrut ke dalam dunia sirkus sejak usia sangat muda. Ia kemudian tinggal dan bekerja di kawasan Taman Safari, di mana ia tidak hanya tampil dalam pertunjukan, tetapi juga harus menjalani hidup dalam keterbatasan dan ketakutan.

    Vivi mengklaim bahwa ia tidak diberi kebebasan untuk meninggalkan lokasi, dan sempat dikurung di kandang harimau untuk waktu yang tidak dijelaskan secara rinci.

    “Saya tidak bisa keluar. Saya tidak boleh ke mana-mana. Seperti tahanan. Saya juga tidak tahu harus lapor ke mana waktu itu,” kata Vivi.

    Ia menambahkan bahwa selama bertahun-tahun dirinya mengalami siksaan berupa setrum di area sensitif tubuh, pemukulan, serta dipaksa tidur di lantai tanpa alas di dalam kandang bekas binatang.

    Menanggapi pengakuan tersebut, pihak Taman Safari Indonesia memberikan klarifikasi resmi. Melalui Kepala Humas TSI, Yulius H. Suprihardo, pihaknya menyatakan bahwa mereka menyesalkan beredarnya video tersebut, dan saat ini sedang melakukan penelusuran internal. “Kami sedang mengecek kebenaran informasi yang disampaikan. Jika memang benar ada pelanggaran, tentu harus ada proses hukum,” ujar Yulius kepada Tirto, Rabu (17/4/2025).

    Yulius juga menambahkan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, TSI telah melakukan reformasi besar-besaran dalam sistem atraksi dan pertunjukan. “Kami sudah tidak lagi menampilkan pertunjukan sirkus manusia atau sirkus dengan kekerasan terhadap satwa. Kami lebih fokus pada aspek edukasi dan konservasi,” jelasnya.

    Namun, hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Taman Safari mengenai apakah Vivi benar pernah bekerja atau tinggal di lokasi tersebut secara legal atau sebagai bagian dari sistem kerja yang tercatat. Pihak manajemen juga belum memastikan apakah akan membuka jalur pelaporan dan pemulihan bagi Vivi maupun dugaan korban lainnya.

    Kisah Vivi menuai simpati dan kemarahan luas dari publik. Tagar #KeadilanUntukVivi dan #StopEksploitasiManusia menduduki posisi trending topic di media sosial Indonesia sejak Rabu pagi. Banyak pengguna internet meminta pihak berwenang, termasuk Komnas HAM dan Komnas Perempuan, untuk turun tangan menyelidiki kasus tersebut.

    Komnas Perempuan, dalam pernyataan singkat yang diunggah di akun media sosialnya, menyatakan akan mengkaji video pengakuan tersebut dan membuka ruang konsultasi dengan Vivi jika ia bersedia.

    Sementara itu, LSM pemerhati hak anak dan perempuan menyebut pengakuan Vivi mengindikasikan adanya kemungkinan perdagangan manusia dan eksploitasi anak dalam sistem kerja hiburan yang tertutup. “Ini bisa jadi fenomena gunung es. Kita tidak tahu berapa banyak anak-anak yang mengalami hal serupa di masa lalu,” ujar Koordinator SAFEnet, Damar Juniarto.

    Pengamat sosial dan aktivis hak pekerja, Luviana, menyebut bahwa kasus seperti ini membutuhkan investigasi lintas lembaga, mengingat potensi pelanggaran multidimensi yang terjadi. “Kalau benar ia tinggal di sana sejak kecil, ini masuk ranah eksploitasi anak. Kalau dia mengalami kekerasan seksual, harus ada proses pidana. Negara tak boleh diam,” tegasnya.

    Luviana juga menyoroti potensi minimnya pengawasan terhadap sistem kerja informal di sektor hiburan dan pariwisata. “Kita terlalu lama menganggap industri seperti sirkus atau atraksi sebagai hiburan netral, padahal sering jadi tempat rawan pelanggaran hak asasi manusia,” tambahnya.

    Di akhir video, Vivi berharap pengakuannya dapat membuka mata banyak pihak bahwa pertunjukan bukan selalu sekadar hiburan. “Saya cuma ingin orang tahu. Di balik sirkus, bisa saja ada orang seperti saya yang tersiksa,” ujarnya sambil menitikkan air mata.

    Hingga berita ini diturunkan, belum ada laporan resmi dari aparat kepolisian mengenai tindak lanjut terhadap pengakuan Vivi. Namun desakan publik agar kasus ini diselidiki secara tuntas terus bergema, menandai dimulainya upaya pencarian keadilan yang lama tertunda.***

  • Pegawai LP2M Universitas Mataram Jadi Tersangka Usai Hamili Mahasiswi saat KKN – Halaman all

    Pegawai LP2M Universitas Mataram Jadi Tersangka Usai Hamili Mahasiswi saat KKN – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Penyidik Subdit IV Direktorat Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) menetapkan seorang pegawai Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Mataram (Unram) berinisial S sebagai tersangka atas kasus dugaan kekerasan seksual.

    S ditetapkan sebagai tersangka setelah terbukti menghamili seorang mahasiswi.

    Peristiwa itu terjadi ketika korban sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN).

    “Itu (laporan) sudah dalam proses penyidikan, minggu depan kita melakukan pemeriksaan yang bersangkutan sebagai tersangka,” kata Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati, Kamis (17/4/2025), dikutip dari TribunLombok.com.

    Puje menyampaikan bahwa penetapan status tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dan korban. 

    Ia juga menegaskan bahwa jumlah saksi yang telah dimintai keterangan oleh pihaknya lebih dari dua orang.

    Mengenai kronologi kejadian tersebut, Puje enggan menjelaskan secara detail. Ia menilai tindakan yang dilakukan tersangka itu telah melanggar hukum.

    “Dia diberikan kewenangan, diberikan tanggung jawab oleh lembaga, untuk melakukan suatu tindakan tetapi dia salah menggunakan, sehingga mengakibatkan peristiwa kekerasan seksual,” jelas Puje.

    Puje menjelaskan, peristiwa itu terjadi di wilayah Mataram, NTB.

    Sementara itu, mahasiswi yang menjadi korban dan dihamili oleh pelaku telah melahirkan.

    Kasus ini menjadi sorotan warga Mataram, terutama di kalangan civitas akademika.

    Karena itu, Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unram, Joko Jumadi, mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Polda NTB.

    Ia menegaskan bahwa laporan tersebut merupakan bentuk komitmen Unram dalam mewujudkan lingkungan kampus yang bebas dari kekerasan seksual.

    “Jadi pelaporan ke polisi sebagai komitmen Unram untuk mewujudkan kampus bebas kekerasan seksual,” katanya.

    Namun, Joko enggan memberikan keterangan lebih jauh terkait kasus itu. 

    Ia hanya memastikan bahwa korban saat ini telah mendapatkan pendampingan dari Satgas PPKS.

    Kasus serupa

    Seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim di Kota Malang, Jawa Timur, mengaku merudapaksa mahasiswi kampus lain.

    Pelaku berinisial IPF melancarkan aksinya saat korban dalam kondisi mabuk dan tidak sadarkan diri.

    Menindaklanjuti perbuatan tersebut, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Malang telah menjalankan proses investigasi internal dan menjatuhkan sanksi pemecatan atau drop out (DO) kepada IPF.

    Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Nomor 684 Tahun 2025 yang ditandatangani Rektor, M. Zainuddin.

    Selain sanksi akademik, IPF kini juga harus berhadapan dengan proses hukum usai korban yang berinisial NB melaporkannya ke Satreskrim Polresta Malang Kota.

    Kuasa hukum korban, Tri Eva, mengatakan bahwa kliennya telah menjalani visum yang digunakan sebagai bukti kasus rudapaksa.

    “Kami bersama korban, telah membuat laporan ke Satreskrim Polresta Malang Kota pada Senin (14/4/2025) sore.”

    “Selain melapor, korban juga sudah menjalani visum tetapi hasil visumnya masih belum keluar,” bebernya, Selasa (15/4/2025), dikutip dari SuryaMalang.com.

    Kasat Reskrim Polresta Malang Kota, Kompol Muhammad Soleh, mengaku telah menerima laporan kasus rudapaksa dengan terlapor IPF.

    “Yang kami periksa yaitu terduga korban dan satu orang perempuan yang merupakan teman dari terduga korban,” tuturnya.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, korban sempat menenggak minuman alkohol sebelum dirudapaksa.

    “Kami belum bisa menyimpulkan apakah ada pemerkosaan atau tidak.”

    “Tetapi dari hasil pemeriksaan, korban mengaku telah disetubuhi di saat kondisinya tidak sadar karena keadaan mabuk,” katanya.

    Sejumlah saksi akan dipanggil untuk mengungkap kronologi kasus kekerasan seksual.

    “Kami telah menyiapkan penyelidikan dan penyidikan dan beberapa orang saksi akan kami panggil. Termasuk terduga pelaku akan kami panggil untuk diperiksa,” sambungnya.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunLombok.com dengan judul Hamili Mahasiswa KKN, Oknum Pegawai LP2M Unram Jadi Tersangka 

    (Tribunnews.com/Falza/Mohay) (TribunLombok.com/Robby Firmansyah)