Kasus: kekerasan seksual

  • Iptu Yanti Bicara Pemulihan Anak Korban Kekerasan Seks, Perkuat Sinergi Instansi

    Iptu Yanti Bicara Pemulihan Anak Korban Kekerasan Seks, Perkuat Sinergi Instansi

    Jakarta

    Ps. Panit Subdit IV Ditreskrimum Polda Kepulauan Riau (Kepri) Iptu Yanti Harefa menekankan bahwa penanganan anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus dilakukan secara tuntas. Dia mengungkap perlunya pemulihan korban secara sepenuhnya.

    Iptu Yanti bercerita mengenai cara menangani anak korban kekerasan seksual dalam program Hoegeng Corner detikPagi, Selasa (25/11/2025). Dia menyebut butuh pendekatan khusus agar korban bisa terbuka tentang apa yang dialami.

    “Saya rasa ini panggilan saya, pembina fungsi gitu kan, care, karena itu menjadi penyidik yang empati, simpati, ngerti terhadap korban, karena korban ini kadang dia merasa dirinya bukan korban, ini memang tekniknya, triknya, memang kayak harus sabar, harus bisa pendekatan itu tadi, gimana pendekatan biar dia terbuka,” kata Iptu Yanti.

    Iptu Yanti berujar, terkadang korban tidak terbuka dengan apa yang terjadi sebenarnya. Karena itu, dia melakukan teknis khusus agar korban bisa diselamatkan dan memiliki masa depan yang baik.

    “Mungkin di saya anak ini hanya mengaku dengan satu orang dalam satu malam di hotel, ternyata udah dia dengan 2 orang, udah 8 kali, seorang anak yang awalnya dia kekerasan sekarang dia menikmati. Ini anak-anak penerus bangsa gimana, mau kita biarkan? Kita tindak aja pelakunya? Korban ini gimana, anak ini gimana, masa depannya, kalau nggak kita selamatkan bagaimana? Nggak kita rehabilitasi, tidak kita reintegrasi dia, suatu saat bisa jadi pelaku,” tutur dia.

    “Mungkin saya merasa ini passion saya, ini panggilan saya, mungkin ini Tuhan tempatkan saya di sini bukan karena kebetulan sehingga menjadi pembina fungsi ke Polres, Polsek jajaran. Kita ini Kepri kepulauan, jadi nggak hanya daratan, kita ada 5 Polri di Pulau terluar, ada Anambas, Natuna, Lingga,” ucap dia.

    “Nah keterbatasan tadi, sebagai pembina fungsi, nah saya berpikir ini panggilan Tuhan menempatkan saya di sini. Saya sudah tahu di awal, kalau bukan saya yang mengerjakan tu siapa lagi, ini di awal-awal pindah di PPA, di 2009, September,” imbuhnya.

    “Dari awal itu sampai sekarang, kita udah punya jejaring, sudah jadi pembina fungsi. Saya berpikir, kalau perwira muda perempuan, kalau nangani perempuan dan anak itu aslinya sebenarnya seru, tapi kita menghadapi dumas, keluhan masyarakat,” sebutnya.

    Dalam pengungkapan kasus perempuan dan anak ini, Iptu Yanti dan tim tidak hanya menindak pelaku. Dia juga memastikan pemulihan hak korban.

    “Kita bisa menempatkan diri, ketika kita berhadapan dengan korban maka dalam hal penangan perempuan dan anak kita tidak bisa sembarangan, nggak bisa menstigma mereka, melabel, menjudge, korban yang awalnya tertutup, karena tidak semua korban merasa dirinya korban, mereka malu, mereka tertutup,” ucap dia.

    Iptu Yanti mengungkap bahaya jika korban tidak dipulihkan secara sepenuhnya. Dia menyebut korban bisa saja nantinya menjadi pelaku jika tidak segara dipulihkan.

    “Karena jangan salah lho, awalnya mereka korban, suatu saat mereka akan jadi pelaku, karena setiap pelaku yang saya tanya latar belakang, dulunya mereka korban, kenapa mereka melakukan kekerasan terhadap anak, kenapa mereka mengeksploitasi anak, karena mereka dulunya korban yang tidak direhabilitasi, yang tidak diperhatikan. Kita perlu perlukan pemulihan terhadap anak, makanya kita harus kolaborasi yang kuat dengan instansi terkait, dan lembaga terkait,” imbuhnya.

    Iptu Yanti senantiasa menggandeng psikolog dalam penanganan korban. Salah satunya, kata dia, dalam menangani kasus balita yang menjadi korban kekerasan.

    “Untuk konseling kita butuh psikologi, waktu itu saya pernah meriksa anak 1 tahun 8 bulan. Gimana caranya meriksa anak perempuan yang belum paham sekali, 1 tahun 8 bulan, waktu itu saya nggak kehilangan akal, saya libatkan psikolog, saya bertanya ke psikolog, nanti psikolog bertanya kepada anak,” ucap Iptu Yanti.

    “Termasuk bagaimana pembuktian terhadap kekerasan seksual yang tidak ada saksi, saat itu TPKS belum keluar, gimana ya caranya, berarti ini saya harus rujuk ke psikolog, karena tidak ada saksi. Untuk pembuktian ya itu, bagaimana sulitnya karena saksi tidak ada,” pungkasnya.

    (lir/knv)

  • DP3AKB Bojonegoro Fokus Pulihkan Psikologi Anak Korban Kekerasan Seksual

    DP3AKB Bojonegoro Fokus Pulihkan Psikologi Anak Korban Kekerasan Seksual

    Bojonegoro (beritajatim.com) — Kasus kekerasan seksual yang menimpa Melati (nama samaran), seorang siswi asal Bojonegoro yang kini tengah mengandung delapan bulan akibat perbuatan ayah kandungnya, menggugah perhatian banyak pihak.

    Di balik proses hukum yang berjalan di Polres Bojonegoro, pendampingan psikologis terhadap korban menjadi fokus utama agar luka batin yang dialami bisa dipulihkan secara bertahap.

    Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Bojonegoro, Ahmad Hernowo Wahyutomo melalui Pelaksana Tugas UPTD PPA, Hadi Wijaya, menegaskan bahwa pendampingan psikososial terhadap anak korban kekerasan seperti Melati menjadi prioritas utama.

    “Selama periode November, ada dua kasus kekerasan yang kami dampingi. Pendampingan yang kami berikan mencakup aspek hukum serta pendampingan psikologi,” ujar Hadi, Selasa (25/11/2025).

    Menurutnya, pendampingan psikologi diberikan berdasarkan hasil analisis awal kondisi korban. Melalui analisis tersebut, tim psikolog merancang strategi terapi dan jadwal pendampingan yang disesuaikan dengan kebutuhan psikologis masing-masing korban.

    “Pendampingan tidak hanya dilakukan sekali. Jadwal dilakukan beberapa kali menyesuaikan kebutuhan psikologi anak, sampai kondisinya benar-benar pulih,” tegasnya.

    Selain pendampingan langsung kepada anak, UPTD PPA juga memberikan dukungan kepada keluarga dan pihak terdekat yang berpotensi mempengaruhi pemulihan psikologis korban. Tujuannya, agar lingkungan terdekat bisa turut menjaga stabilitas emosional korban.

    Pada tahap awal, tim psikolog berupaya menciptakan ruang pendampingan yang aman dan nyaman. Pendampingan dapat dilakukan di rumah korban atau lokasi lain yang dinilai aman. “Ini akan dilakukan sampai kondisi psikologi korban dapat pulih kembali, dan semuanya dilakukan sesuai SOP pelayanan yang berlaku,” jelas Hadi.

    Diberitakan sebelumnya, Kasatreskrim Polres Bojonegoro, AKP Bayu Adjie Sudarmono, menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terungkap setelah pihak sekolah mendeteksi perubahan perilaku dan kondisi fisik Melati.

    “Setelah dilakukan pengecekan oleh pihak sekolah, terungkap fakta bahwa korban memang dalam kondisi hamil,” ungkap AKP Bayu, Senin (24/11/2025).

    Dari hasil pemeriksaan lanjutan, diketahui Melati mengalami kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri pada bulan Maret dan April 2025, saat ia tengah tertidur di kamarnya. Melati kemudian bercerita kepada kakeknya, sebelum akhirnya keluarga membawa korban ke tenaga kesehatan yang memastikan usia kandungan telah delapan bulan. Peristiwa itu kemudian dilaporkan kepada Kepolisian Resor Bojonegoro. [lus/ian]

  • APPA Bojonegoro Tuntut Pemerintah Turun Tangan Dampingi Korban Pencabulan

    APPA Bojonegoro Tuntut Pemerintah Turun Tangan Dampingi Korban Pencabulan

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Kasus pencabulan yang menimpa seorang anak di bawah umur oleh ayah kandungnya sendiri di Kabupaten Bojonegoro telah memicu reaksi keras dari aktivis perlindungan anak.

    Kasus tersebut terungkap dari pihak sekolah yang menyadari ada perubahan secara fisik dan psikis korban saat di sekolahan.

    Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) Kabupaten Bojonegoro mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro untuk segera mengambil peran aktif, tidak hanya dalam proses hukum, tetapi terutama dalam pemulihan psikis korban.

    Kasus yang terungkap memilukan ini terjadi beberapa waktu lalu, di mana korban dicabuli sang ayah saat tertidur lelap, yakni pada bulan Maret dan April 2025. Mirisnya, akibat perbuatan bejat pelaku, kini korban diketahui tengah mengandung delapan bulan.

    Pelaku sendiri saat ini telah mendekam di sel tahanan Polres Bojonegoro untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

    Koordinator APPA Bojonegoro, Nafidatul Himah, menilai insiden memalukan ini sebagai tamparan serius bagi Pemkab Bojonegoro. Pasalnya, daerah ini telah menyandang status Kota Ramah Anak selama beberapa tahun terakhir dan gencar melakukan sosialisasi perlindungan anak.

    “Kami berharap, agar pemerintah turut mendampingi korban, karena jelas mental korban bisa jatuh jika tak dapat perhatian serius dari lingkungannya, termasuk Pemkab Bojonegoro,” tegas Himmah, Selasa (25/11/2025).

    Himmah menyuarakan kekhawatiran bahwa tanpa pendampingan yang serius, baik untuk pemulihan mental maupun pengawalan kasus hukum, kasus serupa bisa terulang. “Kami harap pemerintah tidak hanya ikut prihatin saja, tapi juga ada langkah konkret untuk mencegah hal serupa tidak kembali terjadi,” tambahnya, menuntut adanya aksi nyata melampaui sekadar keprihatinan.

    Lebih lanjut, APPA Bojonegoro menyoroti dua faktor utama yang dinilai menjadi akar permasalahan kekerasan seksual terhadap anak, khususnya di ranah keluarga.

    Pertama, Himmah menjelaskan bahwa banyak orang tua saat ini hanya berfokus pada pemenuhan materi, berasumsi hal itu cukup membuat anak bahagia. “Interaksi anak dan orang tua itu sangat penting, sehingga anak tidak canggung ketika curhat dengan orang tua,” ujarnya.

    Kurangnya interaksi ini membuat anak dan orang tua sibuk dengan dunianya masing-masing, menciptakan jarak emosional. Faktor kedua adalah minimnya rasa tanggung jawab terhadap anak yang disebabkan oleh kesibukan kerja kedua orang tua.

    Kelalaian ini, menurutnya, bisa membuka celah bagi munculnya nafsu sesaat yang berujung pada kasus pencabulan oleh orang terdekat.

    APPA Bojonegoro mendesak agar pelaku diberikan hukuman seberat-beratnya. “Kita berharap pelaku dapat dihukum seberat-beratnya, karena selain melakukan pencabulan, pelaku juga telah merusak mental anak kandungnya untuk bertumbuh kembang,” pungkas Himmah.

    Langkah konkret Pemkab Bojonegoro untuk memastikan hak-hak korban terpenuhi, seperti termasuk hak atas pemulihan trauma, dan memastikan status Kota Ramah Anak benar-benar terwujud dalam perlindungan nyata bagi seluruh anak di wilayahnya. [lus/ted]

  • Polres Ponorogo Ungkap Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Anak, Satu Tersangka Diamankan

    Polres Ponorogo Ungkap Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Anak, Satu Tersangka Diamankan

    Ponorogo (beritajatim.com) – Polres Ponorogo menetapkan kakek berinisial ME (55) sebagai tersangka kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.

    Korban, yang masih berusia 7 tahun, dilaporkan oleh pihak keluarga, setelah muncul gelagat yang dinilai mencurigakan. Pihak keluarga akhirnya mengetahui korban disetubuhi oleh tersangka dan diduga sudah dilakukan beberapa kali.

    Wakapolres Ponorogo Kompol Ari Bayuaji menegaskan bahwa penyidik telah melakukan penanganan sesuai prosedur, termasuk pendampingan khusus bagi korban yang masih dibawah umur. Dari hasil penyelidikan awal, dugaan tindak pidana tersebut diperkirakan telah berlangsung sejak pertengahan 2023. Tersangka diduga melakukan perbuatannya lebih dari satu kali.

    “Jadi kasus persetubuhan ini, sudah dilakukan tersangka sejak pertengahan tahun 2023 lalu, dan sudah lebih dari 5 kali,” kata Kompol Ari Bayuaji, Selasa (25/11/2025).

    Penyidik mengungkap, hubungan kedekatan antara pelaku dan korban bermula ketika ME kerap mengajak korban berjalan-jalan menggunakan sepeda motor dan membelikannya jajan. Modus tersebut membuat korban merasa akrab dan memudahkan tersangka melakukan pendekatan. Tersangka juga beberapa kali memberikan uang jajan kepada korban, termasuk sebelum maupun setelah peristiwa terjadi.

    “Pelaku memanfaatkan situasi dan pendekatan personal untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum itu,” jelas Wakapolres.

    Peristiwa persetubuhan ini, terjadi di kamar rumah tersangka. Dalam penyidikan, polisi mengamankan sejumlah barang bukti berupa pakaian dan perlengkapan yang berkaitan dengan kejadian, antara lain celana dalam warna merah muda, kaos dalam putih, seprai bermotif hewan, serta pakaian milik tersangka yang digunakan saat kejadian.

    Atas perbuatannya, ME dijerat Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun, dan paling lama 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar. Kompol Ari Bayuaji menegaskan bahwa proses hukum akan berjalan tanpa kompromi.

    “Kami memastikan penyidikan dilakukan secara profesional dan transparan. Yang utama, memastikan korban mendapatkan pendampingan dan pemulihan secara menyeluruh,” pungkasnya. (end/ted)

  • Anak-anak Paling Rentan, Kekerasan Seksual Dominasi Kasus di Jakarta Sepanjang 2025

    Anak-anak Paling Rentan, Kekerasan Seksual Dominasi Kasus di Jakarta Sepanjang 2025

    JAKARTA – Tren kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jakarta pada tahun ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2024. Temuan ini disampaikan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta Iin Mutmainnah.

    Berdasarkan pencatatan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani oleh Dinas PPAPP periode Januari hingga November 2025 sebanyak 1.917 kasus. Angka ini hampir setara dengan kasus sepanjang tahun 2024 dengan total 2.041 kasus.

    “Kalau trennya naik memang setiap tahun, trennya naik dari jumlah data tahun lalu dengan tahun ini terlihat bulan ini saja sudah hampir menyamai di akhir tahun lalu di 2024. Jadi, memang trennya naik,” kata Iin kepada wartawan, Senin, 24 November.

    Berdasarkan identitas kependudukan, korban kekerasan periode Januari-November 2025 paling banyak berasal dari Kota Administrasi Jakarta Timur, dengan total 513 korban atau mencakup 25,5% dari keseluruhan data.

    Posisi kedua ditempati oleh Jakarta Selatan dengan 337 korban (16,8 persen), disusul oleh Jakarta Barat dengan 316 korban (15,7 persen), dan Jakarta Utara dengan 303 korban (15,1 persen). Sementara itu, Jakarta Pusat mencatat 223 korban (11,1 persen). Wilayah Kepulauan Seribu mencatat angka terendah dengan 16 korban.

    Ditinjau dari jenis kasusnya, anak-anak dan perempuan menjadi kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan. Kekerasan Seksual pada anak menjadi kasus tertinggi dengan jumlah 588 kasus (21,9 persen). Kasus kedua terbanyak adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan sebanyak 412 kasus (15,4 persen).

    “Dari komposisi perempuan dan anak itu, trennya naiknya itu lebih tinggi memang anak. Komposisinya 53 persen dari total jumlah kasus ini anak perempuan dan laki-laki di bawah umur 18 tahun,” ujar Iin.

    Lebih lanjut, Iin mengungkap Pemprov DKI saat ini memiliki kanal pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Korban bisa mendatangi UPT PPA serta 44 titik pos pengaduan di setiap kecamatan atau RPTRA yang memiliki konselor dan paralegal untuk melayani pengaduan.

    “jadi kami menindaklanjuti ini dasarnya adalah pengaduan. Kalau si korban tidak mengadu, tidak ada orang yang mengadu terhadap hal ini itu tidak bisa kami tangani, karena dasarnya adalah pengaduan yang kami jadikan catatan atau data,” jelas dia.

  • Siswa di Bojonegoro Hamil, Ternyata 2 Kali Ditiduri Ayah Kandung

    Siswa di Bojonegoro Hamil, Ternyata 2 Kali Ditiduri Ayah Kandung

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Sebuah peristiwa yang mengguncang nurani terjadi di Kabupaten Bojonegoro. Seorang ayah berinisial BS (35) diduga melakukan persetubuhan dengan anak kandungnya sendiri hingga korban mengandung delapan bulan. Kisah pilu ini terbongkar berawal dari kewaspadaan pihak sekolah yang memperhatikan perubahan signifikan pada diri korban.

    Melati (nama samaran), sang korban, mengaku mengalami kekerasan seksual oleh ayah kandungnya saat ia tertidur lelap di kamarnya. Kasatreskrim Polres Bojonegoro, AKP Bayu Adjie Sudarmono, menjelaskan bahwa pihak sekolah pertama kali mendeteksi perubahan perilaku dan fisik pada Melati.

    “Setelah dilakukan pengecekan oleh pihak sekolah, terungkap fakta bahwa korban memang dalam kondisi hamil,” jelas AKP Bayu, Senin (24/11/2025).

    Dari pemeriksaan lebih lanjut, terungkap bahwa korban mengalami trauma berat akibat perbuatan ayahnya yang terjadi pada Maret dan April 2025. Melati mengaku kepada kakeknya bahwa ia telah menjadi korban kekerasan seksual sebanyak dua kali oleh ayah kandungnya sendiri.

    Menyadari kondisi darurat ini, sang nenek segera membawa Melati untuk memeriksakan kehamilannya. Hasil pemeriksaan bidan desa mengejutkan keluarga – kandungan Melati telah berusia delapan bulan. Keluarga pun mengambil langkah tegas dengan melaporkan kejadian ini kepada Kepolisian Resor Bojonegoro.

    “Kami langsung mengamankan pelaku tak lama setelah laporan diterima. Saat ini pelaku telah ditahan di Polres Bojonegoro,” tegas perwira polisi yang menyelesaikan pendidikan di Akpol tahun 2015 tersebut.

    Akibat perbuatannya, BS terancam berat berdasarkan Pasal 81 ayat (1), (2), (3) Juncto Pasal 76D dan/atau Pasal 82 ayat (1), (2) Juncto Pasal 76E Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman yang dijatuhkan bisa mencapai 5 hingga 20 tahun penjara. [lus/but]

  • Ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Jakarta

    Ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Jakarta

    Jakarta (ANTARA) – Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mencatat 1.917 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di daerah itu sejak Januari hingga pertengahan November 2025.

    “Artinya, kesadaran masyarakat semakin tinggi dan berani mengungkapkan kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Kami miliki 44 pos pengaduan dengan dua tenaga ahli yakni konselor dan para legal. Mereka kita tempatkan di 44 kecamatan atau RPTRA,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta Iin Mutmainnah di Jakarta, Senin.

    Berdasarkan data itu, kasus yang terbanyak adalah kasus kekerasan seksual pada anak dengan 588 kasus atau 21,9 persen, perempuan jadi korban KDRT dengan 412 kasus atau 15,4 persen. Kemudian perempuan jadi korban kekerasan psikis 318 kasus atau 11,9 persen dan perempuan jadi korban kekerasan fisik sebanyak 276 kasus atau 10,3 persen.

    Lokasi kekerasan kepada perempuan dan anak itu paling banyak terjadi di dalam rumah dengan 1.132 kasus atau 56,3 persen, di jalan dengan 135 kasus atau 6,7 persen. Lalu di kos-kosan 126 kasus atau 6,3 persen, terjadi di sekolah sebanyak 119 kasus atau 5,9 persen lalu di kontrakan 88 kasus atau 4,4 persen, dan di hotel 86 kasus atau 4,3 persen.

    Kemudian untuk terlapor pelaku kekerasan perempuan dan anak paling banyak adalah suami dengan 503 kasus atau sekitar 22,3 persen, kemudian dilakukan oleh teman sebanyak 351 orang atau 15, 7 persen, dan orang tidak dikenal sebanyak 281 kasus atau 12,6 persen.

    Lalu, kekerasan yang dilakukan oleh tetangga sebanyak 203 kasus atau 9,1 persen, kekerasan dilakukan ayah kandung ada 197 kasus dengan 8,8 persen, dan pacar dengan 147 kasus atau sekitar 6,6 persen.

    Sementara untuk korban kekerasan anak dan perempuan terbanyak berdasarkan kota atau KTP korban yang terbanyak ada di Jakarta Timur dengan 513 korban, diikuti Jakarta Selatan 337 korban, dan Jakarta Barat 316 korban.

    Untuk menyikapi persoalan itu, kata dia, pihaknya berupaya melakukan potensi mitigasi risiko dengan menyusun revisi Perda Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan.

    Menurut Iin, perda ini akan direvisi menjadi dua peraturan daerah pada tahun 2026, yakni Perda Perlindungan Perempuan dan Perda Penyelenggaraan Kota dan Kabupaten Layak Anak

    “Itu nantinya masuk dalam substansi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam Perda Nomor 8 Tahun 2011 itu belum ada tentang TPKS. Maka, pada 2026 kami akan membahas untuk memasukkan substansi di UU TPKS ini,” ujarnya.

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 3 Petani di Kebumen Ditangkap usai Cabuli Anak 12 Tahun
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        24 November 2025

    3 Petani di Kebumen Ditangkap usai Cabuli Anak 12 Tahun Regional 24 November 2025

    3 Petani di Kebumen Ditangkap usai Cabuli Anak 12 Tahun
    Tim Redaksi
    KEBUMEN, KOMPAS.com
    — Polres Kebumen menangkap tiga pria yang diduga kuat melakukan tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur (ABH) berinisial L (12) di Kecamatan Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah.
    Penangkapan dilakukan setelah polisi menerima laporan dari Dinas Sosial serta orang tua korban.
    Kasat Reskrim Polres
    Kebumen
    , AKP Dwi Atma Yofi Wirabrata, menyebut ketiga tersangka berinisial M (66), S (59), dan D (42). Mereka merupakan petani yang tinggal di sekitar lingkungan rumah korban.
    Unit PPA Satreskrim Polres Kebumen mengamankan ketiganya pada Rabu (22/10/2025).
    “Dari penyelidikan yang kami lakukan, korban mengalami kekerasan berulang kali oleh para pelaku,” ujar AKP Dwi Atma saat konferensi pers, Senin (24/11/2025).
    Menurut penyidik Unit PPA, para pelaku memanfaatkan hubungan kedekatan dan lingkungan untuk mendekati korban.
    M diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap korban pada September 2024 dengan cara membujuk korban menggunakan iming-iming uang.
    Sementara S dan D diduga melakukan tindakan serupa sepanjang 2025 di waktu dan lokasi berbeda. Penyidik menyebut pola mendekati korban terjadi berulang dan dilakukan dalam situasi yang membuat anak sulit menghindar.
    Untuk kepentingan proses hukum, polisi menjerat M dengan Pasal 81 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
    Dua tersangka lain, S dan D, dijerat Pasal 82 UU yang sama.
    Kedua pasal tersebut memuat ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
    Polisi juga telah mengamankan sejumlah barang bukti berupa pakaian yang terkait dengan kejadian untuk memperkuat proses penyidikan.
    Menanggapi maraknya kasus serupa, Polres Kebumen mengimbau orang tua meningkatkan pengawasan melekat terhadap anak, terutama saat beraktivitas di luar rumah.
    “Tanamkan sejak dini pengetahuan agama dan norma kesusilaan. Luangkan waktu untuk berkomunikasi dan mendengarkan keluh kesah anak. Anak adalah amanah yang harus kita jaga bersama,” ujar AKP Dwi Atma.
    Masyarakat yang mengetahui tanda-tanda mencurigakan terkait keselamatan anak diminta segera melapor ke Polres Kebumen, Polsek terdekat, atau Bhabinkamtibmas di desa masing-masing agar penanganan segera dilakukan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • WHO Ungkap 840 Juta Wanita di Dunia Menghadapi Kekerasan Seksual

    WHO Ungkap 840 Juta Wanita di Dunia Menghadapi Kekerasan Seksual

    JAKARTA – Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi salah satu krisis hak asasi manusia yang paling persisten di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap bahwa hampir 1 dari 3 wanita atau diperkirakan 840 juta wanita telah mengalami kekerasan seksual selama hidup mereka.

    Angka tersebut hampir tak berubah sejak tahun 2000. Dalam 12 bulan terakhir saja, 316 juta wanita, 11 persen dari mereka berusia 15 tahun, menjadi sasaran kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim.

    “Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu ketidakadilan tertua dan paling meluas di antara umat manusia, namun, masih menjadi salah satu yang paling tidak ditindaklanjuti,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari laman resmi WHO, Jumat, 21 November 2025.

    Laporan WHO bersama mitra PBB tersebut juga mencakup perkiraan nasional dan regional tentang kekerasan seksual pada perempuan, selain dari pasangan. Ditemukan 263 juta wanita telah mengalami kekerasan seksual non-pasangan sejak usia 15 tahun.

    Wanita yang mengalami kekerasan seksual akan menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, risiko lebih tinggi terkena infeksi menular seksual, dan mengalami depresi. Oleh karena itu, masalah ini harus segera diatasi dengan baik.

    “Mengakhiri kekerasan ini bukan hanya masalah kebijakan, ini adalah masalah martabat, kesetaraan, dan hak asasi manusia,” tuturnya.

    Layanan kesehatan seksual dan reproduksi adalah titik masuk penting bagi penyintas, untuk menerima perawatan berkualitas tinggi yang mereka butuhkan. Untuk itu, bagi pemerintah tiap negara diharapkan melakukan penanganan kekerasan seksual pada wanita mengikuti anjuran WHO berikut ini.

    – Meningkatkan program pencegahan berbasis bukti

    – Memperkuat layanan kesehatan, hukum, dan sosial yang berpusat pada penyintas

    – Berinvestasi dalam sistem data untuk melacak kemajuan dan menjangkau kelompok yang paling berisiko

    – Menegakkan hukum dan kebijakan yang memberdayakan perempuan dan anak perempuan

    “Memberdayakan perempuan dan anak perempuan bukanlah pilihan, itu adalah prasyarat untuk perdamaian, perkembangan, dan kesehatan. Dunia yang lebih aman untuk wanita adalah dunia yang lebih baik untuk semua orang,” pungkas Tedros.

  • Perundungan Kian Marak, HNW Dorong Perlindungan Anak Diperkuat

    Perundungan Kian Marak, HNW Dorong Perlindungan Anak Diperkuat

    Jakarta

    Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW) menyatakan keprihatinannya atas meningkatnya kasus perundungan anak yang kini dinilai sudah memasuki tahap darurat. Ia mendesak pemerintah, sekolah, keluarga, dan lembaga terkait untuk memperkuat pencegahan dan pengawasan agar kekerasan terhadap anak tidak terus berulang.

    HNW menegaskan negara harus hadir sejak tanda awal perundungan muncul, bukan setelah kasusnya membesar dan menimbulkan korban jiwa.

    Ia juga mendorong penguatan anggaran dan kewenangan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) agar upaya perlindungan anak dapat berjalan lebih efektif di lapangan.

    Sebagai contoh, Komisi VIII bekerja sama dengan KPAI, lembaga yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan perlindungan anak sesuai amanat UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

    HNW menilai kasus kekerasan terhadap anak, khususnya perundungan, sudah berada pada tahap darurat karena terus berulang di berbagai sekolah.

    “Oleh karena itu harus ada penguatan pada pengawasan di lapangan, melalui KPAI dan KPAD, agar Negara hadir pada saat gejala awal perundungan terjadi, bukan hanya ketika sudah terjadi apalagi kejadiannya semakin parah dan menimbulkan luka berat hingga kehilangan nyawa anak-anak,” tambah HNW dalam keterangan tertulis, Rabu (19/11/2025).

    Sekolah dan pemerintah perlu segera turun tangan sejak awal perundungan, dengan KPAI dan KPAD mendampingi korban serta mengedukasi siswa dan orang tua pelaku agar eskalasi tidak berlanjut menjadi lebih parah.

    “Misalnya ketentuan Pasal 9 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas menyebutkan bahwa Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain,” sambung HNW.

    Pada 2025, KemenPPPA mendapat alokasi Rp300,5 miliar dan KPAI Rp17 miliar. Namun, pada 2026 anggaran keduanya turun tajam menjadi Rp214,1 miliar untuk KemenPPPA dan Rp5,7 miliar untuk KPAI.

    Padahal, KemenPPPA merupakan lembaga negara yang secara khusus disebut dalam konteks perlindungan anak. Sementara itu, KPAI adalah lembaga yang dibentuk langsung melalui Undang-Undang sejak UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, diperkuat dengan perubahan di UU 35/2014, dan pengangkatannya dilakukan langsung oleh Presiden.

    HNW menekankan penguatan pencegahan dan pengawasan semakin mendesak di tengah darurat kekerasan terhadap anak, yang mencakup perundungan, kekerasan seksual, hingga kejahatan daring seperti pornografi dan TPPO.

    “Semoga dengan meningkatnya awareness kedaruratan ini, apalagi Presiden Prabowo juga sudah merespons (17/11), ada afirmasi terhadap lembaga pencegahan dan pengawasan khususnya dalam konteks kami di Komisi VIII melalui penguatan kewenangan dan anggaran bagi KemenPPPA dan KPAI,” lanjutnya.

    HNW mendorong agar penguatan regulasi perlindungan anak, termasuk mekanisme pencegahan, dimasukkan dalam Revisi UU Sisdiknas yang telah masuk Prolegnas Prioritas 2026.

    Dengan demikian, Sistem Pendidikan Nasional yang dirancang menuju Indonesia Emas menjadi sistem yang menolak dan mencegah segala bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan, khususnya pada jenjang yang diikuti anak.

    HNW menegaskan menuju Indonesia Emas diperlukan keseriusan dalam mengatasi berbagai darurat anak, mulai dari perundungan, kejahatan seksual, hingga stunting. Ia mengingatkan bahwa cita-cita Indonesia Emas sulit tercapai jika anak-anak terus hidup dalam kecemasan akibat masalah tersebut.

    “Hanya oleh generasi Emas, yang bebas dari segala bentuk kekerasan sebagaimana amanat UU Perlindungan Anak, Indonesia Emas dapat tercapai,” pungkasnya.

    (prf/ega)