Kasus: kekerasan seksual

  • Sosok Putri Wulandari, Tahanan Wanita Diduga Diperkosa Oknum Polisi, Ternyata Seorang Muncikari

    Sosok Putri Wulandari, Tahanan Wanita Diduga Diperkosa Oknum Polisi, Ternyata Seorang Muncikari

    GELORA.CO – Belum lama ini seorang tahanan wanita bernama Putri Wulandari (21) tengah ramai jadi perbincangan publik.

    Tidak lain, hal ini terjadi usai Putri Wulandari disebut menjadi korban kekerasan seksual oleh oknum polisi Polres Pacitan, Jawa Timur.

    Yang mana, oknum polisi bernama Aiptu Lilik Cahyadi ini diduga telah rudapaksa tahanan wanita tersebut.

    Usut punya usut, Putri Wulandari yang disebut jadi korban tindak asusila ini ternyata merupakan seorang muncikari.

    Sebagaimana dikutip Pojoksatu.id dari portal media radarlawu.jawapos.com pada Minggu (20/4/2025).

    Dalam artikelnya, Putri ditetapkan sebagai tahanan lantaran tersandung kasus prostitusi di sebuah hotel kawasan Sidoharjo, Pacitan.

    Yang mana, ditangkapnya tahanan wanita itu usai digerebek pihak kepolisian pada Rabu (26/2/2025) sekitar pukul 15.00 WIB.

    Diketahui, dalam penggerebekan tersebut Putri tertangkap basah bersama dengan seorang wanita lainnya berinisial IA (18).

    Berdasarkan informasi dihimpun, wanita lainnya ini merupakan seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) yang ditugaskan oleh Putri.

    Yang mana, IA disinyalir dipertemukan oleh seorang pria tidak dikenal oleh tahanan wanita tersebut.

    “PW diduga berperan sebagai muncikari, yang mempertemukan seorang pria dengan IA di kamar hotel,” jelasnya.

    Namun, aksi prostitusi ini gagal usai pihak kepolisian mendapatkan laporan adanya praktik ilegal itu.

    Kendati demikian, tuduhan bahwa Putri disebut sebagai muncikari ini justru dibantah oleh kuasa hukumnya, Mustofa Ali Fahmi.

    Fahmi menuturkan bahwa antara Putri dengan wanita berinisial IA sama sekali tidak terikat secara bisnis dalam agenda prostitusi tersebut.

    Sebab, kedua wanita itu disinyalir merupakan seorang keluarga yang sepakat melakukan hal tersebut dengan sukarela.

    “PW usianya 21 tahun, dikenakan Pasal 506. Tapi sebenarnya IA adalah anak tantenya. Mereka datang untuk open BO secara pribadi,” jelasnya.

    Kendati demikian, nama Putri kini kembali disorot publik bukan karena kasus prostitusi yang pernah ia lakukan.

    Melainkan, tahanan wanita itu kembali jadi perbincangan usai diduga jadi korban rudapaksa oknum polisi Polres Pacitan. ***

  • Awal Mula Terbongkarnya Aksi Oknum Polisi di Pacitan Rudapaksa Tahanan Wanita selama 3 Hari – Halaman all

    Awal Mula Terbongkarnya Aksi Oknum Polisi di Pacitan Rudapaksa Tahanan Wanita selama 3 Hari – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Aiptu LC, oknum polisi anggota Polres Pacitan diduga melakukan kekerasan seksual terhadap seorang tahanan wanita berinisial PW (21).

    PW adalah warga asal Jawa Tengah (Jateng) yang ditahan karena diduga berperan sebagai mucikari dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di wilayah Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Jatim).

    Saat ditahan di Mapolres Pacitan guna menjalani proses hukum, PW justru menjadi korban rudapaksa oleh Aiptu LC.

    Aksi oknum polisi rudapaksa tahanan ini terjadi selama kurun waktu Jumat (4/4/2025) hingga Minggu (6/4/2025).

    Diketahui bahwa saat itu, Aiptu LC sedang menjabat sebagai Pejabat Sementara (Ps) Kepala Satuan Tahanan dan Barang Bukti (Kasat Tahti) Mapolres Pacitan. 

    Kasus dugaan rudapaksa ini terbongkar saat pihak internal Sie Propam Polres Pacitan bersama Bidang Propam Polda Jatim melakukan penyelidikan setelah menerima laporan korban.

    Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Jules Abraham Abast mengatakan bahwa sejak kasus ini dilaporkan ke pihak Sie Propam Polres Pacitan dan Bidpropam Polda Jatim pada awal April 2025, serangkaian tahapan penyelidikan dan penyidikan internal telah dilakukan. 

    Mulai dari memeriksa secara internal kode etik Polri terhadap Aiptu LC.

    Termasuk melakukan penyelidikan lanjutan dengan menggali kesaksian dari korban.

    Kini, Aiptu LC telah dilakukan penahanan di tempat khusus yang berlokasi di Gedung Bidpropam Mapolda Jatim. 

    “Memang benar sudah kurang lebih sekitar 1 minggu terakhir ini dari personil Propam Polda Jatim telah melakukan proses pelanggaran kode etik dan penahanan dalam tempat khusus terhadap salah satu personil Polres Pacitan inisial LC yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap salah seorang tahanan perempuan,” kata Abraham saat dihubungi, Jumat (18/4/2025), dilansir Surya.co.id.

    Proses penahanan akan diterapkan secara berlanjut terhadap Aiptu LC selama proses penyelidikan dan penyidikan atas kasus tersebut, bergulir. 

    Manakala berkas perkara secara kode etik internal Polri atas kasus tersebut telah dinyatakan rampung oleh penyidik Bidpropam Polda Jatim, Aiptu LC bakal menjalani sidang kode etik internal Polri. 

    “Kejadian tersebut diduga terjadi pada awal bulan April 2025. Dan saat ini yang bersangkutan (Aiptu LC) telah diproses dan telah ditahan oleh Propam Polda Jatim. Dan secepatnya akan disidangkan oleh Propam Polda Jatim,” ujar Abraham.

    Menurut Abraham, Bidpropam Polda Jatim bakal secara tegas memberikan hukuman terhadap Aiptu LC manakala terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum yakni merudapaksa korban.

    Ancaman sanksi yang dapat diberikan yakni pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), secara kode etik Profesi Polri. 

    Bahkan, tidak menutup kemungkinan, Aiptu LC juga dapat dikenakan sanksi dari undang-undang tindak pidana lainnya yang mengikat sebagai konsekuensi atas perbuatannya yang merugikan pihak korban secara psikis, fisik atau materiil.

    “Serta yang bersangkutan dapat dikenakan ancaman pemberhentian dengan tidak hormat maupun sanksi hukum lainnya,” sebut Abraham.

    Sebagian artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul Oknum Polisi Polres Pacitan Diduga Rudapaksa Tahanan Wanita Asal Jateng, Diperiksa Propam

    (Tribunnews.com/Nina Yuniar) (Surya.co.id/Luhur Pambudi/ Pipit Maulidiya)

  • Marak Kasus Dokter Cabul, Pakar Hukum UB Desak Evaluasi Satgas TPKS

    Marak Kasus Dokter Cabul, Pakar Hukum UB Desak Evaluasi Satgas TPKS

    Malang, Beritasatu.com – Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur angkat bicara terkait maraknya kasus dugaan kekerasan seksual oleh dokter cabul terhadap pasien yang belakangan mencuat ke publik. Kasus tersebut dinilai sebagai fenomena “gunung es”.

    Pakar hukum pidana UB Fachrizal Afandi menilai lahirnya dokter cabul mencerminkan lemahnya sistem pencegahan kekerasan seksual di lingkungan medis. “Ini adalah puncak dari kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dengan kelainan seksual. Kuncinya ada pada sistem pencegahan,” ujar Fachrizal, Minggu (20/4/2025).

    Menurutnya, keberadaan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas TPKS) di kampus-kampus setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih belum berjalan efektif. Ia pun mendesak evaluasi menyeluruh satgas tersebut.

    Ia menilai, kemunculan kasus-kasus ini di publik menunjukkan sistem pencegahan masih lemah. Namun, Fachrizal juga menyoroti keberanian korban untuk melapor adalah dampak positif dari hadirnya UU TPKS dan satgas.

    “Satgas-satgas ini perlu dievaluasi dan diperkuat, tetapi tren korban yang mulai speak up adalah hal positif,” tambahnya terkait maraknya kekerasan seksual oleh dokter cabul.

    Fachrizal juga mengingatkan pentingnya penerapan SOP ketat di dunia medis untuk mencegah penyalahgunaan akses terhadap obat-obatan oleh dokter maupun calon dokter. “Kasus kekerasan seksual seperti ini tidak boleh diselesaikan damai. Harus ditindak tegas agar memberikan efek jera,” tegasnya.

    Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran UB Wisnu Barlianto menegaskan, pelecehan seksual dalam bentuk apa pun tidak bisa dibenarkan, terutama di lingkungan pelayanan kesehatan. Ia menekankan, sejak pendidikan awal, calon dokter sudah dibekali etika dan cara menghadapi pasien secara profesional.

    Wisnu juga menyebut adanya tes psikologi seperti MMPI dalam proses seleksi calon spesialis untuk mengukur integritas dan kepribadian. Profesi dokter, kata dia, memiliki muruah tinggi yang menjunjung nilai-nilai profesionalisme.

    “Kami berharap, kasus seperti ini tidak terulang lagi dan proses seleksi calon spesialis diperketat,” tutupnya terkait maraknya kekerasan seksual oleh dokter cabul.

  • Abaikan Kesehatan Mental Bisa Picu Kekerasan Seksual

    Abaikan Kesehatan Mental Bisa Picu Kekerasan Seksual

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemahaman terhadap kesehatan mental dinilai menjadi faktor penting dalam mencegah kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Semua pihak diharapkan dapat menjadikan hal itu sebagai prioritas bersama.

    Menurut pengamat sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawat, banyak tindakan menyimpang berakar dari kondisi mental yang terganggu, tetapi tidak tertangani. Bahkan, cenderung diabaikan.

    “Gangguan mental bukan kutukan, sangat bisa disembuhkan, sama halnya dengan penyakit fisik,” ujar Devie dalam program “Beritasatu Sore”, Sabtu (19/4/2025).

    Devie mengungkapkan, masyarakat masih sering mengabaikan kesehatan mental, padahal ketidakseimbangan mental bisa berdampak fatal baik pada diri sendiri maupun orang lain. Bahkan, gangguan mental yang tak terdeteksi bisa menjadi pemicu kekerasan seksual.

    Selain mengajak masyarakat untuk membuka wawasan tentang kesehatan mental, Devie juga menegaskan perlunya pemeriksaan rutin bagi semua profesi, tak hanya fisik tetapi juga mental. Hal itu perlu dilakukan sebagai langkah pencegahan.

    Ia juga menyoroti peran keluarga dalam membentuk mental anak. Sayangnya, banyak orang tua merasa cukup memberi gawai pada anak tanpa pengawasan, yang justru bisa menjadi “racun sosial” dalam perkembangan jiwa anak.

    “Banyak orang tua merasa paling tahu, padahal 90% anak mengaku orang tuanya tidak tahu apa yang mereka lakukan. Ini bukti kesombongan yang berbahaya,” jelasnya.

    Devie menutup dengan ajakan membangun kesehatan mental adalah tugas kolektif seluruh masyarakat, bukan hanya pemerintah. Tanpa kesadaran kolektif, kekerasan seksual akan terus menjadi ancaman di lingkungan sosial.

  • Kasus Pelecehan Seksual oleh Dokter Bertambah, Terbaru dari PPDS UI
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        20 April 2025

    Kasus Pelecehan Seksual oleh Dokter Bertambah, Terbaru dari PPDS UI Megapolitan 20 April 2025

    Kasus Pelecehan Seksual oleh Dokter Bertambah, Terbaru dari PPDS UI
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Deretan kasus
    pelecehan seksual
    oleh oknum dokter kembali bertambah. Terbaru, seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Indonesia (UI) diduga melecehkan mahasiswi.
    Kasus ini menambah daftar panjang pelecehan seksual oleh tenaga medis yang terungkap beberapa waktu terakhir. 
    Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, AKBP Muhammad Firdaus menjelaskan, insiden pelecehan seksual yang dilakukan
    dokter PPDS UI
    berinisial MAES terhadap mahasiswi berinisial SS terjadi di sebuah indekos di Jakarta, Selasa (15/4/2025).
    Mulanya, korban sedang mandi di kamar indekosnya. Kamar korban disebut bersebelahan dengan kamar MAES.
    “Tiba-tiba pada saat pelapor mandi, menyadari ada yang berusaha merekam dengan menggunakan
    handphone
    ,” ujar Firdaus, Jumat (18/4/2025). 
    Menyadari aktivitasnya direkam, korban langsung berteriak. Korban bersama pihak indekos lantas melaporkan kejadian ini ke polisi.
    Menindaklanjuti laporan ini, polisi telah memeriksa korban, pelaku, pemilik indekos, dan teman korban. Polisi juga telah mengecek tempat kejadian perkara (TKP) dan melakukan gelar perkara.
    MAES pun sudah ditetapkan sebagai tersangka dan kini ditahan di Polres Metro Jakarta Pusat.
    “Penyidik sudah melakukan penahanan terhadap tersangka,” kata Firdaus.
    Tersangka dijerat Pasal 29 juncto Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 35 juncto Pasal 9 UU RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
    Menanggapi kasus tersebut, pihak Universitas Indonesia (UI) menyampaikan keprihatinan mendalam. Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional UI, Arie Afriansyah mengatakan, kasus ini adalah perkara serius.
    “Terkait kasus ini, UI sangat prihatin dan menyesalkan adanya laporan dugaan pelecehan seksual yang melibatkan salah satu mahasiswa kami. Ini adalah hal serius dan harus segera ditindaklanjuti,” ujar Arie.
    Arie menambahkan, pihak kampus masih belum bisa memberikan tanggapan lebih lanjut mengingat kasus ini sedang dalam proses penyelidikan oleh pihak kepolisian.
    “Karena kasus ini masih dalam proses penanganan, kami belum dapat memberikan tanggapan lebih lanjut untuk menjaga privasi semua pihak yang terlibat,” kata Arie.
    “UI berharap kasus ini segera diselesaikan oleh pihak berwenang. Semoga tidak ada lagi kejadian serupa di masa yang akan datang,” tambahnya.
    Dalam beberapa hari terakhir, publik dihebohkan dengan sejumlah laporan pelecehan seksual yang melibatkan tenaga medis di Bandung, Garut, dan Malang.
    Di Bandung, seorang dokter anestesi PPDS Universitas Padjadjaran (Unpad) bernama Priguna Anugerah Pratama yang bertugas di RS Hasan Sadikin diduga memperkosa tiga korban.
    Dalam salah satu kasus yang korbannya adalah keluarga pasien, pelaku melancarkan aksinya dengan modus meminta korban melakukan
    crossmatch
    darah. 
    Priguna kini telah diberhentikan dari PPDS Unpad. Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP)-nya telah dicabut oleh Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).
    Sementara, seorang dokter obgyn di Kabupaten Garut berinisial MFS dilaporkan melakukan pelecehan terhadap pasien ibu hamil saat pemeriksaan USG.
    Ia juga dilaporkan melakukan tindakan serupa terhadap seorang perempuan di kamar indekos dengan modus pembayaran vaksin.
    Kapolres Garut, AKBP Mochamad Fajar Gemilang, menyebut pelaku mengaku sudah melakukan aksi serupa empat kali di lokasi berbeda. Jumlah korban masih berpotensi bertambah.
    “Kami masih mendalami tentu dengan berjalannya waktu dan nanti korban-korban yang akan melaporkan akan memeriksa kembali, berapa korban yang mendapatkan kekerasan seksual ini, baik di fasilitas kesehatan maupun di luar,” terang Fajar dalam konferensi pers di Mapolres Garut.
    Lalu, ada pula dokter AY yang dilaporkan melakukan pelecehan terhadap pasien berinisial QAR di sebuah rumah sakit swasta di Malang pada September 2022.
    Korban baru mengungkapkan kejadian itu tiga tahun kemudian karena trauma dan ketakutan. Saat ini, AY telah dinonaktifkan sementara sambil menunggu proses investigasi rumah sakit.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Semua Profesi Wajib Cek Mental Rutin demi Cegah Kekerasan Seksual

    Semua Profesi Wajib Cek Mental Rutin demi Cegah Kekerasan Seksual

    Jakarta, Beritasatu.com – Meningkatnya kasus kekerasan seksual di Indonesia menjadi alarm keras bagi semua pihak, terutama dalam dunia kerja. Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menegaskan, semua profesi perlu memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang mengatur pemeriksaan kesehatan fisik dan mental secara berkala.

    Dalam dialog di program “Beritasatu Sore”, Sabtu (19/4/2025), Devie mengungkapkan, pemeriksaan mental sama pentingnya dengan fisik, terutama di era kerja yang semakin penuh tekanan. Ia menyoroti fakta gangguan mental kerap diabaikan padahal berpotensi menjadi pemicu kejahatan serius, termasuk kekerasan seksual.

    “Gangguan mental bukan kutukan, ini kondisi medis yang bisa disembuhkan seperti penyakit fisik lainnya,” tegasnya terkait maraknya kasus kekerasan seksual.

    Menurut Devie, sistem kerja yang ideal bukan hanya fokus pada penanganan kasus pascakejadian, tetapi lebih pada upaya pencegahan lewat evaluasi rutin dan pemeriksaan kesehatan menyeluruh. Langkah ini penting agar dunia kerja tetap aman dan profesional, terutama di lingkungan yang berinteraksi langsung dengan publik.

    Devie juga mengingatkan, membangun sumber daya manusia tidak cukup hanya mengasah keterampilan, tetapi juga harus memperhatikan aspek psikologis. Apalagi, kejahatan seksual kini tidak mengenal batas profesi, bahkan bisa muncul di lingkungan akademis maupun medis.

    “Pemeriksaan mental dan fisik harus jadi sistem berkelanjutan di tempat kerja, untuk mencegah potensi penyimpangan sejak dini,” tutupnya terkait maraknya kasus kekerasan seksual.

  • Pelaku Kekerasan Seksual Bisa Ramah, Mengayomi, dan Tepercaya

    Pelaku Kekerasan Seksual Bisa Ramah, Mengayomi, dan Tepercaya

    Jakarta, Beritasatu.com – Indonesia tengah menghadapi situasi darurat kekerasan seksual yang kian mengkhawatirkan. Bukan hanya jumlah kasus yang melonjak, karakter para pelaku pun semakin sulit dikenali, bahkan kerap bersembunyi di balik wajah ramah dan sosok yang dipercaya.

    Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI)) Devie Rahmawati menegaskan, pelaku kekerasan seksual masa kini tidak lagi tampil menyeramkan seperti bayangan publik. Sebaliknya, mereka hadir sebagai orang yang dipercaya, dikagumi, bahkan dianggap sebagai figur pengayom oleh korban maupun lingkungan sosialnya.

    “Pelaku tidak lagi tampil seperti monster. Justru mereka hadir bak malaikat, bisa sebagai sahabat, orang tua, atau sosok penyayang yang membuat korban merasa aman dan bergantung,” ungkap Devie dalam program “Beritasatu Sore”, Sabtu (19/4/2025).

    Devie menyoroti, para pelaku kekerasan seksual kerap memanfaatkan kedekatan emosional dan relasi kuasa, terutama terhadap anak-anak yang rentan dan belum memahami manipulasi hubungan semacam ini. Ironisnya, banyak pelaku justru memiliki citra baik di masyarakat, bahkan menyandang gelar akademik atau jabatan publik.

    “Kita baru saja dikejutkan oleh kasus pelaku berstatus doktor dan guru besar yang melakukan kekerasan seksual. Masyarakat sulit percaya karena citra pelaku sangat baik,” ujar Devie.

    Fenomena ini membuat posisi korban makin terpojok, terutama saat lingkungan sosial meragukan kesaksiannya. Devie menekankan pentingnya edukasi sejak dini, agar anak-anak mengenali relasi yang tidak sehat dan memahami hak atas tubuh mereka.

    “Orang dewasa wajib menyosialisasikan tidak semua orang yang tampak baik itu aman,” tegasnya.

    Devie juga mengingatkan fenomena serupa terjadi di berbagai negara, termasuk negara maju seperti Amerika. Oleh karena itu, sistem perlindungan yang edukatif, responsif, dan berpihak pada korban harus segera dibangun, untuk menghadapi situasi kekerasan seksual yang semakin kompleks.

  • Semua Profesi Wajib Cek Mental Rutin demi Cegah Kekerasan Seksual

    Trauma dan Pornografi Picu Kekerasan Seksual

    Jakarta, Beritasatu.com – Kasus kekerasan seksual di Indonesia terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, terutama terhadap perempuan, anak, dan kelompok rentan. Menyoroti fenomena ini, pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengungkap sejumlah faktor pemicu yang kerap melatarbelakangi pelaku kekerasan seksual.

    Menurut Devie, tidak ada satu penyebab tunggal yang bisa disamaratakan. Namun, riset selama lebih dari 50 tahun menunjukkan banyak pelaku kejahatan seksual ternyata pernah menjadi korban kekerasan serupa pada masa lalu.

    “Biasanya pelaku memiliki pengalaman traumatis pada masa kecil. Mereka tidak serta-merta punya kecenderungan melakukan hal tidak bermoral tanpa latar belakang yang memengaruhi mental mereka,” ungkap Devie Rahmawati dalam program “Beritasatu Sore”, Sabtu (19/4/2025).

    Selain trauma masa kecil, Devie menyoroti peran paparan konten pornografi sebagai salah satu faktor yang memperburuk kondisi mental hingga membentuk kepribadian yang tidak bermoral. Akses mudah terhadap pornografi melalui media sosial dan internet membuat angka kekerasan seksual sulit ditekan, bahkan diprediksi akan terus meningkat.

    “Bisnis pornografi ini sangat besar, perputaran uangnya bisa mencapai ratusan triliun rupiah secara global. Produsennya serius memasarkan produk ini sehingga dampaknya luas, terutama bagi anak-anak yang belum memahami batasan moral,” jelasnya.

    Devie menegaskan, paparan konten pornografi pada usia dini bisa membuat anak-anak merasa hal tersebut adalah sesuatu yang biasa. Ketidaktahuan inilah yang kerap dimanfaatkan oleh pelaku dewasa dalam berbagai aksi kekerasan seksual.

    “Anak-anak yang tidak paham bisa mengira hal itu wajar, padahal jelas sebuah kesalahan. Inilah yang membuat mereka semakin rentan menjadi korban,” tutup Devie terkait kasus kekerasan seksual di Indonesia.

  • Gesekkan Anu hingga Chat ‘Mandi Bareng’, Pegawai Wanita Polisikan Anggota Dewan Jakarta Barat

    Gesekkan Anu hingga Chat ‘Mandi Bareng’, Pegawai Wanita Polisikan Anggota Dewan Jakarta Barat

    GELORA.CO – Kalimat “boleh nih mandi bareng” yang dikirim lewat WhatsApp oleh seorang anggota Dewan Kota Jakarta Barat, Nurdin Supriyadi, bukan cuma bikin risih.

    Bagi NF (29), aktivis perempuan jebolan Universitas Trisakti yang kini bekerja sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PJLP), kalimat tersebut menjadi puncak dari rangkaian perlakuan tidak senonoh yang dialaminya langsung di lingkungan DPRD DKI Jakarta.

    NF akhirnya melaporkan Nurdin ke Polda Metro Jaya pada 16 April 2025. Laporan tersebut tak berdiri sendiri.

    Ia didukung oleh pasangannya, G, yang juga seorang PJLP, serta sejumlah pihak yang menilai tindakan Nurdin telah melewati batas sebagai wakil warga Kembangan, Jakarta Barat.

    “Mandi Bareng” Bukan Candaan

    Menurut sumber dekat pelaku, Nurdin berdalih bahwa kalimat “boleh nih mandi bareng” hanyalah guyonan di WhatsApp.

    Namun bagi NF, pesan itu hanya satu dari sekian bentuk pelecehan yang terjadi sejak Februari hingga Maret 2025 di lingkungan kantor DPRD DKI, Gambir.

    Dalam laporan yang diterima polisi, NF menjelaskan bahwa Nurdin beberapa kali melakukan pelecehan fisik: mencoba mencium bibir, menggesekkan alat kelamin ke bahunya, hingga meraba payudaranya. Semua itu terjadi saat mereka bekerja dalam satu lingkungan kantor.

    Dilaporkan dengan UU TPKS

    NF resmi melaporkan Nurdin dengan Pasal 6 dan/atau Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

    Pasal ini mencakup pelecehan seksual fisik maupun verbal, termasuk chat WhatsApp yang mengandung unsur seksual seperti ajakan mandi bareng.

    Ralian Jawalsen, S.Sos, SH.MH dari Pusat Bantuan Hukum Masyarakat menegaskan bahwa kepolisian harus memproses laporan ini secara serius.

    “Ini bukan sekadar teks mesum. Pelaku melakukannya di ruang terhormat seperti DPRD DKI Jakarta, yang harusnya bebas dari segala bentuk kekerasan seksual,” ujarnya.

    Dugaan Intervensi dari Elite DPRD

    Yang bikin kasus ini makin rumit adalah dugaan adanya intervensi politik. Pelaku disebut-sebut masih keponakan Ketua DPRD DKI Jakarta, Khoirudin.

    Saat dikonfirmasi, sumber dari porosjakarta.com menyebutkan sulit menghubungi Khoirudin. “HP-nya mati, susah dihubungi juga,” kata sumber tersebut.

    Amir Hamzah, seorang pengamat yang rutin mengamati aktivitas DPRD, angkat suara.

    Ia mendesak agar pimpinan dewan bertanggung jawab dan tidak tutup mata.

    “Perlu evaluasi terhadap rekrutmen PJLP, terutama yang diduga punya hubungan nepotistik dengan anggota DPRD,” tegasnya.

    Panggilan Moral untuk DPRD dan Penegak Hukum

    Ralian Jawalsen, menegaskan pentingnya tindakan tegas.

    “Jika ada chat mesum dan bukti fisik, Satreskrim PPA Polda Metro Jaya wajib memeriksa pelaku. Jangan ragu hanya karena pelaku punya beking politik.”

    Ia juga menekankan, jika ada pimpinan DPRD yang justru membela pelaku, maka Dewan Kehormatan harus bergerak dan menjatuhkan sanksi tegas.***

  • Polisi Berpangkat Aipda di Buton Utara Diduga Rudapaksa Mertua, Bopong Korban Dari Dapur ke Kamar – Halaman all

    Polisi Berpangkat Aipda di Buton Utara Diduga Rudapaksa Mertua, Bopong Korban Dari Dapur ke Kamar – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Aipda AD, anggota polisi yang bertugas di Polres Buton Utara, Sulawesi Tenggara diduga melakukan aksi rudapaksa terhadap mertuanya.

    Peristiwa tersebut terungkap setelah keluarga korban melaporkan aksi bejat Aipda AD ke Polres Buton Utara.

    Atas perbuatannya, kini Aipda AD dijatuhi sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) atau dipecat dari kepolisian.

    Aipda AD pun melakukan perlawanan atas putusan sidang kode etik tersebut dengan mengajukan banding.

    Setelah, proses etiknya selesai, Aipda AD pun harus bersiap menjalani proses pidananya.

    Kronologi Aipda AD Diduga Rudapaksa Mertua

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, aksi bejat Aipda AD terhadap mertuanya terjadi pada Rabu, 16 Januari 2025.

    Peristiwa terjadi di rumah korban di Buton Utara.

    Saat itu, suasana rumah sepi, karena suami korban sedang tak berada di rumah.

    Korban awalnya sedang berada di dapur sibuk memasak.

    Tiba-tiba, Aipda AD memanggil ibu mertuanya ke kamar.

    Saat itu, Aipda AD berdalih bila dirinya ingin mengobrol dengan ibu mertuanya.

    Namun, karena ibu mertua sedang sibuk di dapur, akhirnya permintaan Aipda AD pun ditolak.

    Entah apa yang ada di benak pelaku, bukannya menunggu, Aipda AD justru bergegas dari dalam kamarnya dan langsung memeluk mertuanya dari belakang.

    Lalu ia membopong ibu mertuanya ke dalam kamar hingga terjadi aksi kekerasan seksual.

    Lantas, korban pun menceritakan apa yang dialaminya kepada suaminya.

    Mendengar pengakuan tersebut, suami korban pun tak terima hingga akhirnya melaporkan aksi bejat Aipda AD ke Polres Buton Utara.

    Hingga akhirnya polisi melakukan pemeriksaan terhadap Aipda AD dan saksi-saksi.

    Hingga akhirnya yang bersangkutan pun dijatuhi sanksi PTDH.

    “Sidang kode etik telah dilaksanakan dan diputuskan PTDH. Seluruh tahapan administratif telah dijalani di Polres Buton Utara,” kata Kapolres Buton Utara AKBP Totok Budi, Sabtu (19/4/2025).

    Aipda AD Lakukan Perlawanan

    Menyikapi sanksi PTDH, Aipda AD pun melakukan upaya perlawan dengan mengajukan banding ke Polda Sultra.

    Bahkan, Aipda AD pun membuat rumor kepada keluarga korban bila dirinya akan bebas dan tak akan dipecat.

    Menyikapi Rumor tersebut, Totok Budi menegaskan pihaknya bakal terus mengawal kasus tersebut.

    “Memang benar yang bersangkutan mengajukan banding. Namun, perkembangan lanjutnya belum kami terima. Kami akan telusuri,” ujar Totok.

    Totok berkomitmen akan menindak tegas terhadap anggotanya yang terbukti melakukan pelanggaran.

    “Kami tidak akan mentolerir pelanggaran apa pun, apalagi yang mencoreng nama baik institusi,” ujarnya.

    Ia pun mengingatkan kepada jajaranya untuk senantiasa menjunjung tinggi integritas dan disiplin.

    “Saya selalu menekankan kepada anggota agar menjunjung tinggi integritas dan disiplin,” ucap Totok Budi.

    Kepolisian, kata dia harus menjadi contoh penegakan hukum yang bersih dan transparan, termasuk apabila pelanggar berasal dari internal.

    “Komitmen ini sekaligus menjadi pesan bahwa institusi Polri siap bertindak tegas terhadap pelanggaran etik dan pidana yang dilakukan oleh personelnya, tanpa pandang bulu,” ucap Totok Budi.

    (Tribunnews.com/ tribunjateng.com/ rival al manaf)

    Sebagian dari artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Pengakuan Aipda AD Polisi Pemerkosa Mertua, Ngaku Kebal Hukum Karena Punya Beking