Kasus: kekerasan seksual

  • Nasib Aiptu LC Terancam Dipecat Setelah Perkosa Tahanan Asal Jawa Tengah 3 Hari Berturut-turut

    Nasib Aiptu LC Terancam Dipecat Setelah Perkosa Tahanan Asal Jawa Tengah 3 Hari Berturut-turut

    TRIBUNJATENG.COM, SURABAYA – Nasib oknum polisi berinisial Aiptu LC terancam  pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). 

    Diketahui personel Polres Pacitan tersebut melakukan pemerkosaan terhadap PW tahanan wanita asal Jawa Tengah berulangkali.

    Saat ini tersangka juga sudah ditahan dan dinonaktifkan dari jabatannya.

    “Yang bersangkutan terancam sanksi berupa PTDH,” ungkap Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast, pada Senin (21/4/2025).

    Polda Jatim telah menonaktifkan LC dari tugas kepolisian sejak sepekan lalu dan saat ini pelaku ditahan di sel khusus.

    “Seminggu ke belakang sudah dilakukan penahanan dan saat ini berada di tahanan khusus Bidpropam Polda Jatim,” ujarnya.

    Tindakan ini diambil sebagai langkah tindak lanjut terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh salah seorang anggotanya. 

    “Tentu ini menjadi evaluasi kami, khususnya Polda Jatim, dan menjadi atensi Bapak Kapolda untuk segera memproses,” tambahnya.

    Kasus ini mencuat setelah korban melaporkan langsung insiden yang dialaminya kepada pihak internal kepolisian.

    Pelaku diduga telah memperkosa tahanan wanita (PW) di ruang tahanan Mapolres Pacitan. 

    Tindak kekerasan seksual yang dilakukan Aiptu LC diduga berlangsung selama tiga hari berturut-turut, yakni Jumat (4/4/2025) hingga Minggu (6/4/2025). 

    PW yang merupakan warga Jawa Tengah tersebut ditahan karena terlibat dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).  

    Berdasarkan hasil penyelidikan awal, PW diduga berperan sebagai mucikari yang memperdagangkan anak di bawah umur di sebuah hotel di wilayah Kabupaten Pacitan. (*)

     

  • Viral Laporan Testis Peserta PPDS di Unsri Ditendang Konsulen, Kemenkes Buka Suara

    Viral Laporan Testis Peserta PPDS di Unsri Ditendang Konsulen, Kemenkes Buka Suara

    Jakarta

    Viral lagi laporan kekerasan seksual yang terjadi di lingkup Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Narasi yang beredar menyebut korban adalah peserta PPDS anestesi di Universitas Sriwijaya.

    Terduga korban disebut mengalami luka perdarahan di bagian testis lantaran ditendang oleh konsulen di bagian tersebut. Korban juga disebut berakhir dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD).

    Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Aji Muhawarman membenarkan laporan tersebut. Pihaknya disebut sudah menerima laporan terkait dan masih mendalami kemungkinan korban dan pelaku.

    “Kami sudah menerima bahwa betul laporannya di sana. Untuk selanjutnya kami masih mendalami kasus ini, kita pastikan dulu pelaku dan korbannya,” tandas dia saat ditemui detikcom di kawasan Jakarta Selatan, Senin (21/4/2025).

    “Benar laporannya di RSUP Muhammad Hoesin Palembang,” lanjutnya.

    Bila terbukti demikian, ada kemungkinan penangguhan surat tanda registrasi (STR) dokter juga diberlakukan, seperti yang sudah diterapkan pada kasus kekerasan seks sebelumnya.

    “Kronologi masih kita cari tahu, tapi baru dapat informasi demikian (menendang testis sampai berdarah), nanti untuk sanksi kita tunggu kepolisian,” lanjut dia.

    “Sanksi bisa juga berupa penon-aktifan sementara STR,” pungkasnya.

    (naf/up)

  • 24 Tahun Mengabdi di Unit PPA Polrestabes Bandung, AIPTU Kania Dewi Ceritakan Pengalaman Menangani Kasus Kekerasan Seksual

    24 Tahun Mengabdi di Unit PPA Polrestabes Bandung, AIPTU Kania Dewi Ceritakan Pengalaman Menangani Kasus Kekerasan Seksual

    JABAR EKSPRES  – AIPTU Kania Dewi, seorang polisi wanita (polwan) yang telah mengabdi selama 24 tahun di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Bandung, berbagi cerita tentang pengalamannya menangani berbagai kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak-anak.

    Sebagai sosok senior di Polrestabes Bandung, AIPTU Kania Dewi mengungkapkan bahwa menangani kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak memerlukan pendekatan khusus. “Salah satunya adalah menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Kami harus memiliki teknik yang tepat dalam mendampingi mereka,” ujarnya saat ditemui di Mapolrestabes Bandung pada Senin (21/4).

    Menurut AIPTU Kania Dewi, salah satu kunci utama dalam penanganan kasus-kasus semacam ini adalah memberikan pendampingan psikologis dan pendekatan yang penuh empati. “Sering kali, saat pemeriksaan dilakukan, banyak korban yang enggan berbicara tentang kejadian yang sebenarnya. Itu karena mereka masih ketakutan atau belum siap mengungkapkan perasaan mereka,” jelasnya.

    Untuk itu, ia menerapkan model pemeriksaan yang bersifat hati ke hati dan penuh empati. “Kami berusaha memahami kondisi psikologis mereka agar mereka bisa lebih terbuka. Karena, pada akhirnya, kebenaran bergantung pada kesediaan korban untuk berbicara,” tambahnya.

    Sebagai seorang ibu, AIPTU Kania Dewi juga menyebutkan bahwa pengalaman menangani kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak-anak, sangat membekas baginya. Ia menceritakan salah satu kasus yang terjadi di daerah Gedebage, di mana korban yang tidak bisa berjalan mengalami kekerasan seksual oleh pelaku yang ternyata merupakan tetangga mereka. “Kami harus bekerja keras agar kasus ini bisa terungkap. Setelah melalui tes DNA, ternyata pelaku adalah tetangga korban, dan kasus ini berhasil diselesaikan,” ujar AIPTU Kania Dewi.

    Dia juga berbagi pengalaman dalam menangani kasus yang cukup besar dan memakan waktu tiga hari dalam pengungkapannya. “Ada kasus yang sempat viral di mana seorang anak SMP menjadi korban perkosaan oleh sepuluh orang. Saya hampir tiga hari tanpa pulang untuk menangani kasus ini. Bahkan, anak saya pun membawa baju untuk saya ke kantor,” kenangnya.

    Selama 24 tahun bertugas di Unit PPA, AIPTU Kania Dewi telah meraih berbagai penghargaan, baik dari Kapolri maupun Polrestabes Bandung. “Tahun lalu adalah tahun yang luar biasa bagi saya. Saya mendapatkan penghargaan berturut-turut, mulai dari Kapolres, Kapolda, hingga Kapolri,” ungkapnya.

  • Hadiri Peluncuran Puspa Daya, Keluarga Korban Kekerasan Seksual Akui Advokasi Perindo Gratis

    Hadiri Peluncuran Puspa Daya, Keluarga Korban Kekerasan Seksual Akui Advokasi Perindo Gratis

    loading…

    Ristiani, perwakilan keluarga korban pelecehan seksual, memberikan keterangan kepada media usai menghadiri peluncuran organisasi sayap Partai Perindo, Puspa Daya di Kantor DPP Partai Perindo, Senin (21/4/2025). FOTO/ACHMAD AL FIQRI

    JAKARTA Partai Perindo resmi meluncurkan Pusat Layanan Perlindungan Perempuan, Anak, Disabilitas, dan Pemberdayaan ( Puspa Daya ) di Hari Kartini, Senin (21/4/2025) siang. Sejumlah korban kekerasan seksual menyambut positif peluncuran tersebut.

    Ristiani, misalnya, perwakilan keluarga korban pelecehan seksual. Anaknya, sempat mendapat bantuan advokasi atas kasus pelecehan seksual dari Partai Perindo.

    Ia berterima kasih pada Perindo lantaran telah mengadvokasi perkara anaknya.

    “Saya berterima kasih sekali pada Partai Perindo, kasus saya sudah selesai, pelaku dihukum 9 tahun atas kasus pelecehan seksual kepada anak,” kata Ristiani saat ditemui di Kantor DPP Partai Perindo, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).

    Apalagi, kata Ristiani, dukungan advokasi Partai Perindo tak dipungut biaya. “Proses hukum semua sampai persidangan hingga putusan, semua gratis dari Partai Perindo,” ucapnya.

    Kendati demikian, Ristiani berharap, Partai Perindo semakin sukses dalam mengadvokasi kekerasan terhadap perempuan, anak dan disabilitas.

    “Semoga makin maju lagi, makin sukses dalam (pendampingan) kasus anak, perempuan dan disabilitas,” pungkasnya.

    Sementara itu, Kamaludin selaku perwakilan keluarga korban pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur juga berharap, Perindo bisa membantu korban kekerasan seksual lainnya.

    “Kami berharap pada Partai Perindo khususnya Puspa Daya lebih banyak membantu korban seperti kami ini agar kami mendapat keadilan,” kata Kamaludin.

    (abd)

  • Menkes Singgung Ada Pihak yang Tak Ingin Tes Kejiwaan PPDS Dilakukan

    Menkes Singgung Ada Pihak yang Tak Ingin Tes Kejiwaan PPDS Dilakukan

    Jakarta

    Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI akan mewajibkan calon peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) melakukan pemeriksaan kejiwaan sebelum melaksanakan pendidikan. Hal ini menyusul terungkapnya kejadian kekerasan seksual oleh dokter residen di RS Hasan Sadikin, Bandung.

    Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan pihaknya sudah berkomunikasi dengan kolegium dokter jiwa atau psikiater untuk ke depannya menyiapkan tes kejiwaan bagi calon dokter spesialis dan dokter residen yang sedang menjalani pendidikan.

    “Banyak pihak yang tidak ingin dilakukan (tes kejiwaan), ya ini kejadiannya karena itu, karena tidak pernah dilakukan. Kondisi mental PPDS tidak diketahui, makanya kejadian seperti ini,” ucap Menkes dalam konferensi pers Penanganan Kasus Pelanggaran Etik dan Disiplin Tenaga Medis, Senin (21/4/2025).

    Kata Menkes, pemeriksaan kejiwaan dokter residen dan calon PPDS sudah lumrah dilakukan di luar negeri. Ke depannya, Kemenkes akan menyiapkan tes kepribadian Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) dalam proses seleksi calon dokter.

    Tes ini bertujuan untuk menyaring potensi gangguan psikologis yang tidak sesuai dengan karakter profesi medis.

    “Jadi kalau “Pak, ini ujiannya nggak ada, nggak efisien,” ini ada kok di luar negeri. PPDS ini kan sudah puluhan tahun ada dan ini divalidasi oleh ahli-ahli yang ada di kedokteran jiwa,” ucap Menkes.

    (kna/kna)

  • Peringatan Hari Kartini, Perindo Dorong Perempuan Berani Bersuara

    Peringatan Hari Kartini, Perindo Dorong Perempuan Berani Bersuara

    loading…

    Ketua Umum Kartini Perindo Liliana Tanoesoedibjo memberikan sambutan dalam peringatan Hari Kartini di Kantor DPP Partai Perindo, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025). FOTO/ACHMAD AL FIQRI

    JAKARTA – Peringatan Hari Kartini menjadi momentum bagi perempuan untuk berani bersuara ketika menjadi korban kekerasan seksual. Hal itu disampaikan Ketua Umum Kartini Perindo Liliana Tanoesoedibjo bagi para kaum hawa yang merayakan Hari Kartini, Senin (21/4/2025).

    “Ya tentunya kepada para perempuan Indonesia, kita tidak bisa, maksudnya pada saat mengalami kekerasan apalagi ya, jangan silent, jangan diam saja, tetapi berbicaralah,” kata Liliana saat ditemui di Kantor DPP Partai Perindo, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).

    Dengan bersuara, Liliana menilai perempuan akan bisa menyelamatkan diri sendiri. Selain itu, ia menilai, bersuara atas kekerasan seksual juga menyelamatkan korban lain yang masih takut atau trauma.

    “Karena dengan Anda berbicara, Anda bisa menyelematakan diri sendiri, juga menyelamatkan orang-orang yang belum mampu untuk berbicara,” ujar Liliana.

    Sekadar informasi, searah Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, peringatan itu ditujukan untuk mengenang jasa dan perjuangan seorang pahlawan nasional, Raden Ajeng Kartini, dalam memperjuangkan emansipasi wanita dan pendidikan bagi kaum perempuan.

    Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, dan dikenal sebagai sosok yang berani melawan tradisi dan norma masyarakat pada zamannya yang membatasi perempuan dalam hal pendidikan dan kebebasan.

    Meskipun dilahirkan dalam keluarga bangsawan, Kartini tetap berjuang untuk mendapatkan hak-hak yang sama dengan laki-laki, terutama dalam hal pendidikan.

    (abd)

  • Polemik Kasus Seksual, Ini 5 Langkah Kemenkes Tertibkan PPDS

    Polemik Kasus Seksual, Ini 5 Langkah Kemenkes Tertibkan PPDS

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin akhirnya menyatakan sikap resmi mereka menanggapi polemik kasus asusila mulai dari kekerasan seksual hingga pelecehan seksual oleh para dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang saat ini ramai jadi isu nasional.

    Setelah kasus dokter Obgyn di Garut, dokter umum di Malang hingga dokter PPDS Anestesi di Bandung, teranyar ada lagi kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum peserta PPDS Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKG UI). Melihat kondisi di lapangan, Menkes Budi tak menampik kalau harus segera dilakukan perbaikan serius terkait para dokter PPDS.

    “Kami merasa harus ada perbaikan yang serius, sistematis dan konkret bagi PPDS,” ungkap Budi dalam konferensi pers Kemenkes, “Upaya Bersama Pembenahan PPDS di RSUP Hasan Sadikin dan Universitas Padjajaran”, Senin (21/4/2025).

    Lebih lanjut ia menerangkan, ke depannya Kemenkes akan menerapkan beberapa langkah konkrit tak hanya untuk mencegah kasus serupa terulang kembali di masa mendatang, namun juga untuk meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Berikut lima langkah Kemenkes untuk menertibkan para dokter PPDS, seperti yang dijelaskan Budi.

    Wajib tes psikologi: Mewajibkan calon peserta PPDS untuk mengikuti tes psikologis. nantinya tes psikologi ini akan dilakukan setiap 6 bulan sekali. Tujuannya sebagai pengawasan secara berkala dan monitoring rutin. Transparasi rekrutmen PPDS: proses rekrutmen para calon peserta PPDS harus dilakukan terbuka, Budi menegaskan tidak boleh lagi ada preferensi khusus. “Transparansi dari proses rekrutmen ini dilakukan dengan baik, sehingga tidak ada lagi preferensi-preferensi khusus yang mengakibatkan kita akan salah pilih dari peserta PPDS ini,” tegasnya.

  • Menkes Budi: Dokter PPDS Wajib Tes Psikologi 6 Bulan Sekali

    Menkes Budi: Dokter PPDS Wajib Tes Psikologi 6 Bulan Sekali

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Kesehatan Budi Gunaidi Sadikin menyoroti maraknya sejumlah kasus pelecehan hingga kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) belakangan ini. Sebagai salah satu upaya untuk memerangi polemik masalah ini,  Menkes Budi mengungkap Kemenkes nantinya akan melakukan tes psikologi kepada dokter PPDS.

    “Beberapa hal yang saya titipkan agar benar-benar harus dilakukan, yang pertama adalah pada saat rekrutmen dari calon peserta pendidikan dokter spesialis, itu diwajibkan untuk mengikuti tes psikologis,” ungkap Budi dalam acara konferensi pers di Kantor Kemenkes secara daring pada Senin (21/4/2025).

    Budi menambahkan,  mewajibkan dokter PPDS untuk mengikuti tes psikologi ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi kejiwaan menyimpang dan akan dinilai apakah dokter yang bersangkutan mampu menjalankan pendidikan tersebut atau tidak. 

     “Sehingga dengan demikian, kita bisa mengetahui kondisi kejiwaan dari peserta untuk bisa melakukan pendidikan ini,” imbuhnya. 

    Teknisnya sendiri, nantinya tes psikologi ini akan dilakukan setiap 6 bulan sekali. Hal ini dilakukan bentuk pengawasan secara berkala dan monitoring rutin.

  • Awal Mula Terungkapnya Kasus Pelecehan Seksual 6 Murid oleh Oknum Guru Karate di Pontianak Kalbar – Halaman all

    Awal Mula Terungkapnya Kasus Pelecehan Seksual 6 Murid oleh Oknum Guru Karate di Pontianak Kalbar – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK – JU (58), oknum guru karate di Kota Pontianak, Kalimantan Barat diduga melakukan pelecehan seksual terhadap enam muridnya yang masih berusia belasan tahun.

    Enam korbannya berinisial A (13), F (14), S (14), R (11), A (13), dan T (12). 

    Dugaan pelecehan seksual terjadi di lingkungan sekolah dalam kegiatan esktrakurikuler karate.

    Kabid Humas Polda Kalbar Kombes Pol Bayu Suseno mengatakan peristiwa pencabulan berlangsung sejak 2024 hingga Februari 2025.

    Sang guru karate kerap melakukan aksi bejatnya itu saat sesi latihan karate sekitar pukul 15.00 WIB.

    Kasus ini awalnya terungkap setelah F (14), salah satu korban bercerita kepada orang tua korban A (13) pada 14-15 Februari 2025.

    Kemudian orang tua korban langsung mengkonfirmasi cerita tersebut dengan memanggil para korban untuk mendalami informasi yang ada. 

    Upaya ini menjadi awal terbongkarnya rangkaian pelecehan yang dialami para korban.

    Orang tua korban lalu melaporkannya ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kalimantan Barat pada pertengahan April 2025.

    Saat ini pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan/atau Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

    Ancaman Hukumannya adalah maksimal 15 tahun penjara. 

    Kombes Pol Bayu Suseno menegaskan pihak kepolisian akan bertindak tegas terhadap segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak. 

    PELAKU KEKERASAN SEKSUAL – Pria berinisial EH (berbaju oranye) menjadi pelaku kekerasan seksual kepada dua anak kandungnya. Pelau kini telah ditangkap Polres Metro Bekasi. (DOK: Polres Metro Bekasi) (Dok Polres Metro Bekasi)

    “Polda Kalbar menegaskan komitmennya untuk menindak tegas setiap bentuk kekerasan seksual terhadap anak. Masyarakat diimbau untuk aktif melaporkan bila mengetahui atau mengalami tindak kekerasan serupa, khususnya di lingkungan pendidikan dan kegiatan olahraga,” tegas Kombes Bayu.

    DPRD Kota Pontianak Minta Kasus Ditangani Tuntas

    Menanggapi hal itu, Anggota DPRD Kota Pontianak, Husin mengaku sangat prihatin atas kejadian tersebut.

    “Tentunya kita sangat prihatin atas kejadian ini,” kata Husin kepada Tribunpontianak.co.id saat dihubungi, Minggu (20/4/2025).

    Dirinya berharap agar kasus-kasus semacam ini dapat ditangani dengan tuntas dan terduga pelaku mendapatkan tindakan tegas dari pihak terkait.

    “Menurut saya oknum guru ini harus dihukum berat sehingga bisa menjadi efek jera kepada oknum lain,” harapnya.

    Saat ini, kasus tersebut telah ditangani oleh Direktorat reserse kriminal umum Polda Kalbar, dan terduga pelaku telah diamankan guna proses hukum lebih lanjut.

  • Negara dan Perempuan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        21 April 2025

    Negara dan Perempuan Nasional 21 April 2025

    Negara dan Perempuan
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    SETIAP
    21 April, kita merayakan nama
    Kartini
    . Sekolah-sekolah penuh kebaya. Kantor-kantor menggelar lomba menghias tumpeng. Pidato-pidato menyebut
    perempuan
    sebagai tiang bangsa, penyangga keluarga, pejuang ganda yang tabah.
    Namun Kartini, jika bisa hadir sejenak hari ini, mungkin tak akan tersenyum. Ia akan bertanya: “Sudahkah negara benar-benar berpihak kepada perempuan?”
    Karena peringatan bukan soal bunga dan busana. Ia soal warisan pemikiran. Kartini bukan selebrasi, tapi protes yang ditulis dalam surat. Bukan simbol, tapi suara dari yang dibungkam.
    Dan jika kita ingin sungguh-sungguh menghormatinya, maka kita harus melihat hubungan perempuan dan negara dengan mata yang jujur.
    Setiap kali negara berbicara tentang perempuan, yang terdengar bukan suara, tapi gema. Gema dari ruang-ruang sidang yang disterilkan dari pengalaman perempuan.
    Gema dari podium seremonial yang gemar memuji perempuan sebagai “pilar bangsa”, tetapi tak pernah menanyakan bagaimana rasanya menjadi pilar yang terus retak karena beban struktural.
    Dalam pidato-pidato resmi, perempuan dipanggil dengan kata hormat: ibu, bunda,
    kartini
    , srikandi. Namun dalam kebijakan dan hukum, suara mereka tereduksi menjadi angka, program, dan indikator.
    Negara mencintai perempuan dalam bentuk simbolik, tetapi gagal mencintai mereka sebagai subjek yang hidup dalam tubuh dan luka.
    Perempuan
    di republik ini telah lama tahu: negara bisa hadir, tapi tak selalu berpihak.
    Kita hidup di negara yang rajin menyusun strategi kesetaraan gender—mulai dari RPJMN, Renstra Kementerian PPPA, hingga SDG’s Goal 5. Namun, perempuan tetap saja menjadi kelompok yang paling sering dilupakan dalam pengambilan keputusan.
    Lihat bagaimana penyusunan UU penting seperti Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan tanpa melibatkan buruh perempuan yang terdampak langsung oleh deregulasi.
    Lihat bagaimana revisi KUHP diloloskan dengan pasal-pasal kesusilaan yang bisa menghukum korban, bukannya pelaku. Lihat bagaimana RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dibiarkan menggantung selama dua dekade.
    Negara bicara dalam bahasa birokrasi. Perempuan bicara dari perut yang lapar, rahim yang dilecehkan, tubuh yang dijadikan instrumen politik moral. Dan dua bahasa ini tak pernah sungguh-sungguh disambungkan.
    Setiap tahun Komnas Perempuan merilis Catatan Tahunan. Angka kekerasan seksual naik. Kekerasan dalam rumah tangga tetap tinggi.
    Kasus perkawinan anak merayap di bawah karpet adat. Namun, negara tak bergerak secepat data. Ia sibuk menyusun rencana aksi, menyusun forum lintas kementerian, menyusun draft, draft, dan draft.
    Kita tahu negara tak buta. Ia punya semua alat—BPS, KemenPPPA, LSM, bahkan teknologi big data. Namun, masalahnya bukan pada ketidaktahuan. Masalahnya pada ketidakpedulian.
    Karena bagi negara, perempuan sering hanya dihitung saat dibutuhkan. Dalam pemilu sebagai pemilih. Dalam statistik sebagai penerima bansos. Dalam pembangunan sebagai target, bukan subjek.
    Dari total 48 menteri dalam kabinet pemerintahan saat ini, hanya 5 yang perempuan. Dari 481 kepala daerah hasil Pilkada terakhir, hanya 43 yang perempuan.
    Dan di DPR RI, dari 580 anggota, hanya 127 yang perempuan—itu pun sebagian besar berasal dari lingkaran politik dinasti atau keluarga elite partai.
    Di negeri dengan lebih dari separuh penduduknya adalah perempuan, keterwakilan dalam pengambilan keputusan masih tersandera sistem patriarkis dan pragmatisme politik elektoral.
    Dalam sistem politik yang maskulin, kebijakan menjadi bias maskulin. Perempuan masuk dalam kategori “penerima manfaat”, tapi jarang dilibatkan dalam proses perumusan. Mereka dicatat, tapi tak pernah diajak bicara.
    Negara senang mengatur tubuh perempuan—dari cara berpakaian hingga urusan moral—tapi enggan melindungi tubuh yang disakiti.
    Kekerasan terhadap perempuan bukan sekadar tindakan individual. Ia adalah bentuk kegagalan negara melindungi warganya. Ia adalah cermin sistemik dari relasi kuasa yang timpang.
    Ketika seorang perempuan diperkosa di rumah, dan aparat menyuruhnya “memaafkan demi keluarga”—itu adalah kekerasan negara.
    Ketika seorang PRT dianiaya majikan, dan negara tidak memiliki payung hukum untuk membelanya—itu adalah kekerasan negara.
    Ketika seorang mahasiswi dilecehkan dosen, dan kampus bungkam karena pelaku adalah guru besar—itu adalah kekerasan negara.
    Karena negara yang membiarkan, sama saja dengan negara yang melakukan.
    UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah langkah penting. Namun, satu undang-undang tak cukup jika sistem hukum dan budaya aparatnya masih misoginis. UU TPKS adalah jendela, tapi dinding ruang keadilan masih gelap.
    Kita menyaksikan, bahkan setelah UU TPKS disahkan, proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual masih lambat, berbelit, dan sering menjatuhkan korban dalam reviktimisasi.
    Seolah korban harus membuktikan bukan hanya ia disakiti, tetapi bahwa ia layak untuk diselamatkan.
    Negara hadir lewat undang-undang. Perempuan butuh negara yang hadir lewat pendampingan, perlindungan, dan keberpihakan di ruang sidang.
    Di banyak tempat, negara justru hadir untuk mengatur tubuh perempuan—bukan melindunginya. Kita lihat itu dalam regulasi berpakaian, pengawasan moral terhadap konten perempuan, bahkan dalam pembatasan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi.
    Tubuh perempuan dianggap “milik bersama”. Negara merasa berhak ikut mengatur, mengawasi, bahkan menghakimi. Namun, saat tubuh itu dilukai, negara sering lambat, kaku, dan diam.
    Perempuan yang ingin aborsi karena pemerkosaan, harus menghadapi prosedur medis dan hukum yang panjang. Sementara pelaku pemerkosaan bisa bebas karena “tidak cukup alat bukti”. Negara seolah lebih khawatir pada moral publik daripada pada penderitaan warganya.
    Kita tak sedang menuntut negara menjadi feminis. Tapi kita menuntut negara belajar mendengar. Bukan dengan menyusun program dari balik meja, tetapi dengan turun, menyelami, dan mengakui bahwa luka perempuan adalah luka bangsa.
    Negara yang setara gender bukan negara yang menambah kuota perempuan, lalu merasa selesai. Namun, negara yang mengubah cara kerja: dari vertikal menjadi partisipatif, dari prosedural menjadi empatik.
    Negara yang adil gender bukan negara yang memuji perempuan sebagai ibu, tetapi memperlakukan mereka sebagai warga negara seutuhnya: dengan hak, suara, dan agensi.
    Kartini, jika hidup hari ini, mungkin tidak bangga. Karena namanya dijadikan simbol, tapi pemikirannya tidak dijalankan.
    Ia menulis tentang kesetaraan, tapi negara masih bicara soal kodrat. Ia menulis tentang pendidikan dan kebebasan, tapi negara masih mengatur pakaian dan perilaku perempuan.
    Kartini tidak meminta perempuan disayangi. Ia meminta mereka dihormati. Dan penghormatan itu tidak lahir dari bunga di pundak, tapi dari perlindungan yang nyata.
    Kesetaraan gender bukan soal pilihan politik. Ia adalah mandat konstitusi. Negara yang abai pada perempuan adalah negara yang melanggar keadilan sosial.
    Karena itu, negara tak boleh netral. Dalam dunia yang timpang, netralitas adalah keberpihakan pada yang kuat.
    Perempuan telah berjalan jauh tanpa negara. Kini saatnya negara berjalan bersama mereka. Bukan di depan, bukan di belakang—tapi di samping. Dengan telinga terbuka dan hati yang bersedia berubah.
    Karena perempuan tidak butuh pujian. Mereka butuh negara yang hadir dan berpihak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.