Kasus: kekerasan seksual

  • Perempuan: Penggerak Utama Peringatan May Day dan Perjuangan Buruh

    Perempuan: Penggerak Utama Peringatan May Day dan Perjuangan Buruh

    Perjuangan perempuan buruh di era modern tetap relevan dan terus berlanjut. Mereka masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk kesenjangan upah, kesempatan promosi yang terbatas, dan kekerasan seksual di tempat kerja. May Day menjadi momentum penting untuk menyuarakan tuntutan-tuntutan tersebut.

    Selain itu, perempuan buruh seringkali menghadapi beban ganda, yaitu tanggung jawab domestik di rumah dan pekerjaan di tempat kerja. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi dan ketidakadilan.

    Oleh karena itu, perjuangan mereka juga mencakup tuntutan akan kebijakan yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga, seperti cuti melahirkan yang memadai dan akses terhadap layanan penitipan anak.

    Perempuan buruh aktif terlibat dalam serikat pekerja dan organisasi buruh lainnya untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Mereka menggunakan berbagai strategi advokasi, termasuk litigasi dan non-litigasi, untuk mencapai tujuan mereka.

    Mereka juga menyuarakan isu-isu spesifik yang berkaitan dengan kondisi kerja mereka, seperti bahaya kesehatan dan keselamatan kerja yang terkait dengan jenis pekerjaan tertentu.

    Partisipasi aktif perempuan dalam organisasi buruh menunjukkan komitmen mereka untuk perubahan yang lebih baik. Mereka tidak hanya menjadi anggota pasif, tetapi juga berperan aktif dalam pengambilan keputusan dan strategi perjuangan.

     

    Disclaimer: Artikel ini dibuat menggunakan teknologi AI.

  • Anggota Komisi I: Penyalahgunaan AI untuk Pelecehan Seksual Bentuk Baru Kejahatan, Harus Diperangi – Halaman all

    Anggota Komisi I: Penyalahgunaan AI untuk Pelecehan Seksual Bentuk Baru Kejahatan, Harus Diperangi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PAN Farah Puteri Nahlia, mengecam keras dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud) dengan modus penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mengedit foto-foto perempuan menjadi konten asusila. 

    Sampai saat ini, jumlah korban yang melapor sebanyak 37 mahasiswi.

    “Kasus ini sangat memprihatinkan. Ini membuktikan bahwa pelecehan seksual tidak lagi terbatas pada ruang fisik. Dunia digital kini menjadi medan baru kekerasan terhadap perempuan. Penyalahgunaan AI untuk merendahkan martabat perempuan bukan sekadar pelanggaran teknologi, tapi bentuk baru kejahatan seksual yang tidak bisa dibiarkan,” kata Farah kepada wartawan Rabu (30/4/2025).

    Farah menyoroti bahwa kasus ini terjadi di tengah maraknya isu pelecehan seksual terhadap perempuan di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir, yang menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan seksual masih menjadi tantangan besar.

    “Maraknya kasus pelecehan seksual menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan masih menghadapi tantangan besar, terutama di ruang-ruang yang seharusnya aman. Kita perlu memastikan bahwa setiap individu merasa terlindungi dan dihormati, baik di dunia nyata maupun digital,” ucapnya.

    Farah mengungkapkan bahwa pelecehan seksual dapat meninggalkan luka yang mendalam bagi para korban, baik secara psikologis, fisik, sosial, maupun politik. 

    Menurutnya, dampak traumatis ini dapat menghambat korban untuk berpatisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat.

    “Kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelecehan seksual, juga memiliki implikasi terhadap keamanan nasional, karena menciptakan ketidakstabilan sosial dan menghambat pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas,” ujar Farah.

    Sebagai anggota Komisi I DPR RI yang membidangi urusan pertahanan, keamanan, luar negeri, komunikasi, dan informatika, Farah menegaskan bahwa Komisi I memiliki peran strategis dalam memastikan penyalahgunaan teknologi seperti AI tidak menjadi alat kejahatan, termasuk untuk pelecehan seksual.

    “Penyalahgunaan teknologi, termasuk AI, untuk melakukan pelecehan seksual adalah bentuk kejahatan yang harus diperangi. Saya akan terus mendorong penguatan regulasi dan pengawasan terkait kejahatan siber dan perlindungan data pribadi, termasuk dalam konteks pencegahan pelecehan seksual berbasis teknologi,” ucap Farah.

    Lebih lanjut, Farah menyampaikan dukungan terhadap berbagai program pemerintah dan inisiatif masyarakat sipil dalam meningkatkan literasi digital dan etika bermedia, termasuk Program Prioritas (PP) Tunas dari Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi (Kemkomdigi), serta gerakan nasional literasi digital oleh Siberkreasi, Japelidi, Klinik Digital, dan berbagai komunitas warga lainnya.

    “Kita tidak bisa hanya mengandalkan regulasi. Perlu ada gerakan bersama untuk membangun kesadaran kritis masyarakat agar mampu menggunakan teknologi secara etis, bijak, dan bertanggung jawab. Literasi digital harus menjadi benteng utama dalam melindungi masyarakat, terutama perempuan dan anak, dari kejahatan siber,” kata Farah.

    Farah berharap kasus di Universitas Udayana ini menjadi momentum bagi seluruh pihak—pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, media, dan masyarakat—untuk bekerja sama membangun ruang digital yang aman, inklusif, dan manusiawi bagi semua.

     

     

     

  • 9
                    
                        Rektor UP Dicopot, Diduga karena Bela Korban Pelecehan Seksual
                        Nasional

    9 Rektor UP Dicopot, Diduga karena Bela Korban Pelecehan Seksual Nasional

    Rektor UP Dicopot, Diduga karena Bela Korban Pelecehan Seksual
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Profesor
    Marsudi Wahyu Kisworo
    dicopot dari jabatannya sebagai Rektor
    Universitas Pancasila
    (UP) oleh Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila (YPP-UP).
    Pencopotan itu berdasarkan Surat Keputusan (SK) Ketua Pembina YPP-UP nomor: 04/KEP/KA.PEMB/YPP-UP/IV/2025 yang ditandatangani Ir Suswono Yudo Husodo pada 24 April 2025.
    “Memutuskan, menetapkan memberhentikan Prof Dr Ir Marsudi Wahyu Kisworo dari jabatannya sebagai Rektor Universitas Pancasila terhitung 30 April 2025,” demikian isi SK yang diterima
    Kompas.com
    , dikutip pada Selasa (29/4/2025).
    Saat dikonfirmasi, Marsudi membenarkan bahwa dirinya dicopot dari jabatannya sebagai Rektor UP secara sepihak tanpa ada pemberitahuan.
    “Benar (dicopot dari jabatan),” kata Marsudi.
    Marsudi menduga, alasan dirinya dicopot dari jabatan karena ada hubungannya dengan kasus eks Rektor UP berinisial ETH yang terlibat kasus
    kekerasan seksual
    .
    “Ada hubungannya dengan kasus ETH sehingga terjadi tekanan dan intimidasi terhadap beberapa pejabat, termasuk yang sudah diberhentikan secara sewenang-wenang oleh YPP-UP tanpa kesalahan dan tanpa membela diri,” ucapnya.
    Marsudi mengatakan, dia dan pejabat UP yang telah diberhentikan dianggap aktif membela korban ETH.
    “Selama ini dianggap aktif melakukan advokasi kepada korban kasus ETH,” imbuhnya.
    Marsudi menuturkan, selama menjabat sebagai Rektor UP, dia berusaha memulihkan hak-hak korban dan menolak mengaktifkan ETH pada Oktober.
    Namun, ancaman lisan melalui pesan singkat dari oknum di YPP-UP menyampaikan bahwa dirinya dapat dievaluasi karena dianggap tidak patuh terhadap arahan yayasan.
    Padahal, dia menegakkan Undang-Undang Penanggulangan
    Kekerasan Seksual
    dan Peraturan Menteri tentang hal tersebut serta memperhatikan pendapat dari LLDikti3.
    “Atas arahan LLDikti3, yaitu memulihkan hak-hak korban kembali seperti semula, (tetapi) mendapatkan teguran dari oknum YPP-UP,” ucap dia.
    Sebelumnya diberitakan, terdapat dua korban yakni AIR dan AM, yang sudah memberikan keterangan kepada penyidik di Mabes Polri.
    Korban merupakan pegawai swasta yang perusahaannya dahulu pernah bekerja sama dengan Universitas Pancasila.
    Saat itu, ETH diduga menyalahgunakan kewenangannya dan melakukan
    pelecehan seksual
    kepada kedua korban, masing-masing dalam kesempatan yang berbeda.
    Atas tindakannya, ETH dilaporkan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
    Laporan mereka juga sudah diterima dari penyidik dan tercatat dengan nomor STTL/196/IV/2025/BARESKRIM.
    Sebelum dilaporkan ke Bareskrim Polri, ETH sudah dilaporkan lebih dahulu ke Polda Metro Jaya pada Januari 2024 oleh dua orang korban, yaitu RZ dan DF.
    Hingga saat ini, Polda Metro Jaya belum menetapkan satu pun tersangka dalam kasus ini.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Oknum Petugas Satpol PP di Maluku Cabuli Anak Kandung di Penginapan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        28 April 2025

    Oknum Petugas Satpol PP di Maluku Cabuli Anak Kandung di Penginapan Regional 28 April 2025

    Oknum Petugas Satpol PP di Maluku Cabuli Anak Kandung di Penginapan
    Tim Redaksi
    AMBON, KOMPAS.com
    – AT, seorang oknum aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku ditangkap polisi karena mencabuli putri kandungnya sendiri. 
    Oknum petugas Satpol PP ini ditangkap setelah terpergok sedang mencabuli putri kandungnya di sebuah penginapan di Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Jumat (25/4/2025).
    Kepala Bidang Humas Polda Maluku Kombes Pol Aries Aminullah mengatakan penangkapan AT dilakukan saat tim Resmob Polda Maluku menggelar razia di penginapan tersebut pada pukul 18.00 WIT.
    “Dia (AT) ditangkap tim Resmob saat sedang mencabuli seorang anak di bawah umur di dalam kamar penginapan,” kata Aries kepada Kompas.com, Senin (28/4/2025).
    Aries mengakui bahwa korban pencabulan merupakan putri kandung sang pelaku.
    “Hubungan pasangan tersebut adalah ayah dan anak kandung, jadi dari bukti yang ada telah terjadi tindak pidana kekerasan seksual,” ujarnya.
    Aries menambahkan setelah ditangkap dalam razia tersebut, tim Resmob langsung membawa AT ke markas Direktorat Kriminal Umum Polda Maluku untuk menjalani pemeriksaan.
    “Dia langsung dibawa ke Dit Reskrimum untun menjalani pemeriksaan,” ujarnya.
    Aries tidak menjelaskan secara rinci sudah berapa kali AT mencabuli putri kandungnya tersebut.
    Menurutnya, saat ini AT telah berstatus sebagai tersangka dan ditahan di sel tahanan Polda Maluku.
    Saat disinggung soal apakah perbuatan AT dilakukan karena pengaruh narkoba, Aries membantahnya.
    Ia mengaku AT melakukan tindakan tidak senonoh tersebut terhadap putrinya dalam keadaan sadar.
    “Bukan karena pengaruh narkoba,” katanya.
    Atas perbuatan bejat tersebut, oknum ASN itu terancam dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak dengan ancaman humuman 15 tahun penjara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 54 Kasus Pelecehan Seksual Dilakukan Penyelenggara Pemilu pada 2023, KPU RI Jadi Contoh Buruk
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 April 2025

    54 Kasus Pelecehan Seksual Dilakukan Penyelenggara Pemilu pada 2023, KPU RI Jadi Contoh Buruk Nasional 28 April 2025

    54 Kasus Pelecehan Seksual Dilakukan Penyelenggara Pemilu pada 2023, KPU RI Jadi Contoh Buruk
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Peneliti firma hukum Themis Indonesia,
    Feri Amsari
    , mengungkapkan, terjadi 54 kasus
    pelecehan seksual
    yang dilakukan oleh
    penyelenggara pemilu
    di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2023.
    “Sebagai sebuah gambaran, penyelenggara pemilu kita di tahun 2023 melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan di 54 kasus,” ujar Feri dalam acara diskusi di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (28/4/2025).
    Dia tidak menjabarkan secara perinci daerah mana saja yang terjadi kasus pelecehan seksual. Namun Feri mengatakan, angka ini menjadi bukti ketidaprofesionalan penyelenggara pemilu.
    Menurut Feri, kasus kekerasan seksual yang marak ini terjadi karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat yang menjadi episentrum justru memberikan contoh tindakan pelecehan seksual.
    “Kalau kelakuan
    KPU RI
    -nya begitu, di bawahnya juga akan begitu,” ujarnya.
    Untuk diketahui, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dipecat karena skandal pelecehan seksual kepada anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda.
    Atas puluhan peristiwa pelecehan seksual ini, Feri menilai harus ada proses seleksi yang lebih ketat untuk menentukan penyelenggara pemilu yang lebih baik.
    Termasuk bentuk manipulasi para penyelenggara yang memiliki rekam jejak kasus kejahatan seksual, namun memanipulasi data pribadi agar bisa lolos seleksi.
    “Terutama misalnya istrinya dua, dibilang satu. Itu yang kemudian mempertegas bahwa orang-orang seperti ini disengaja juga untuk dipilih sebagai bagian untuk mengatur kepentingan-kepentingan politik,” ucapnya.
    “Jadi penyelenggaranya punya rekam jejak buruk bukan untuk tidak dipilih, tapi untuk dipilih sebagai bargaining politik kepentingan partai,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 9 Poin ‘Problematik’ RUU KUHAP 2025, Perlindungan HAM Rakyat yang Sia-sia

    9 Poin ‘Problematik’ RUU KUHAP 2025, Perlindungan HAM Rakyat yang Sia-sia

    PIKIRAN RAKYAT – Koalisi Masyarakat Sipil merilis analisis kritis terhadap draf terbaru Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) versi 20 Maret 2025.

    Mereka menilai ada sembilan masalah serius yang bisa melemahkan akuntabilitas aparat hukum, mengurangi pengawasan peradilan, dan mengancam perlindungan hak asasi manusia (HAM).

    Menurut koalisi, RUU ini belum menjawab kebutuhan reformasi hukum acara pidana yang menghormati prinsip due process of law dan perlindungan HAM. Padahal, KUHAP ini akan menjadi landasan hukum pidana Indonesia ke depan.

    Berikut sembilan masalah utama yang mereka temukan:

    1. Masyarakat Melapor, Polisi Bisa Abaikan

    Koalisi mencatat RUU KUHAP 2025 melemahkan mekanisme akuntabilitas penyidik dalam menanggapi laporan masyarakat.

    Jika dulu dalam draf 2012 ada jalur pengawasan sampai ke penuntut umum, kini laporan hanya dikendalikan atasan penyidik internal saja (Pasal 23), tanpa batas waktu dan jaminan ditindaklanjuti.

    Akibatnya, korban, terutama korban kekerasan seksual, berisiko tidak mendapat keadilan.

    2. Pengawasan Pengadilan Lemah, Warga Sulit Komplain

    Satu-satunya jalur kontrol, yaitu praperadilan (Pasal 149-153), masih punya banyak kelemahan: hanya memeriksa secara formal, waktunya sempit, dan mudah digugurkan.

    RUU KUHAP bahkan mempersempit objek praperadilan (Pasal 149(1)a) dan menghapus konsep Hakim Komisaris yang dulu pernah diajukan di draf 2012. Artinya, peluang warga menggugat tindakan sewenang-wenang aparat makin kecil.

    3. Aturan Penangkapan dan Penahanan Rentan Disalahgunakan

    RUU KUHAP tidak memperketat aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan:

    Penangkapan: Tak perlu izin hakim kecuali tertangkap tangan (Pasal 89); bisa diperpanjang tanpa kejelasan (Pasal 90(2)); tidak wajib membawa tersangka ke hakim dalam 48 jam (Pasal 90(3)). Penahanan: Alasan diperluas hingga 9 macam (Pasal 93(5)), banyak yang sifatnya subjektif seperti “tidak kooperatif”. Penggeledahan dan Penyitaan: Definisi keadaan mendesak (Pasal 106(4), 112(2)) kabur, dan tidak jelas kapan harus lapor ke pengadilan. Penyadapan: Tidak dibatasi untuk kejahatan berat tertentu saja, rawan disalahgunakan. Pemeriksaan Surat: Tidak wajib izin pengadilan.

    Semua ini membuka celah tindakan sewenang-wenang.

    4. Advokat Diperlemah, Bantuan Hukum Setengah Hati

    Peran advokat dalam pembelaan dipersempit. Saat mendampingi tersangka, advokat hanya boleh melihat dan mendengar tanpa boleh mencatat dalam BAP (Pasal 33).

    Di persidangan, hak advokat menyanggah bukti dibatasi (Pasal 197(10)), dan dilarang memberi pendapat di luar pengadilan (Pasal 142(3)b), bertentangan dengan kebebasan advokat.

    RUU ini juga memperbolehkan tersangka/terdakwa menolak bantuan hukum hanya dengan membuat berita acara (Pasal 146 ayat (4) dan (5)), padahal rentan dipaksakan.

    Bahkan, “Pemberi Bantuan Hukum” didefinisikan sempit hanya untuk Advokat (Pasal 1 angka 21, Pasal 142(2)), tidak mengakui peran paralegal, dosen, atau mahasiswa hukum.

    5. Teknik Investigasi Khusus Tanpa Batasan

    Teknik seperti pembelian terselubung dan penyerahan diawasi masuk dalam RUU (Pasal 16) untuk penyelidikan, tapi tanpa syarat ketat, tanpa izin hakim, dan tanpa jalur pengaduan.

    Koalisi mengingatkan ini berpotensi menjadi modus penjebakan yang sering terjadi, khususnya di kasus narkotika.

    6. Aturan soal Bukti Masih Kabur

    RUU KUHAP belum mengatur standar bukti secara ketat:

    Tidak ada definisi bukti relevan. Standar “bukti yang cukup” (Pasal 166) hanya dilihat dari jumlah alat bukti, bukan kualitas. Tidak jelas siapa yang harus membuktikan dalam kasus pelanggaran hak seperti penyiksaan. Pengelolaan bukti, termasuk bukti biologis, belum diatur rinci.

    Akibatnya, proses pembuktian rentan manipulasi.

    7. Sidang Online Belum Punya Aturan Jelas

    RUU KUHAP memang mengakomodasi sidang elektronik (Pasal 191(2)), tapi tidak mengatur syarat-syarat ketatnya.

    Istilah “keadaan tertentu” yang memungkinkan sidang online tidak dijelaskan. Ini berpotensi mengulangi kekacauan sidang daring yang terjadi selama pandemi: jaringan bermasalah, sulit diakses publik, dan tidak transparan.

    8. Polisi Bisa Main Hakim Sendiri

    Konsep Restorative Justice dalam RUU (Pasal 78-83) dipahami keliru: hanya sebagai jalan untuk menghentikan perkara di luar sidang (diversi), bukan untuk memulihkan korban.

    Parahnya, kewenangan diversi ini diberikan ke penyidik, bahkan sejak tahap penyelidikan, tanpa pengawasan lembaga lain. Ini bisa membuka peluang penyalahgunaan seperti pemerasan atau penyelesaian kasus secara tidak adil.

    9. Hak Korban dan Tersangka Cuma Jadi Formalitas

    RUU memang mencantumkan hak korban, saksi, tersangka, dan kelompok rentan (Pasal 134-139), tapi tidak ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab menegakkannya atau apa sanksinya jika dilanggar.

    Masalah restitusi korban juga belum beres: kalau aset terpidana tidak cukup, korban bisa saja tidak mendapatkan ganti rugi penuh (Pasal 175(7)), padahal sudah ada mekanisme dana abadi (Pasal 168-169) yang juga belum diatur jelas.

    Secara keseluruhan, Koalisi Masyarakat Sipil menilai RUU KUHAP 2025 dalam bentuknya sekarang masih jauh dari ideal.

    Perbaikan besar diperlukan agar sistem peradilan pidana Indonesia lebih adil, transparan, dan menghormati hak asasi manusia. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Oknum Pegawai di NTB Rudapaksa Mahasiswi KKN hingga Hamil & Melahirkan, Modusnya Mengobati Kesurupan – Halaman all

    Oknum Pegawai di NTB Rudapaksa Mahasiswi KKN hingga Hamil & Melahirkan, Modusnya Mengobati Kesurupan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, MATARAM – S (52), oknum pegawai Lembaga Penelitian dan Pengembangan kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Mataram (Unram) ditahan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat (25/4/2025).

    S ditahan terkait kasus dugaan rudapaksa atau pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi Unram.

    Tak hanya sekali, perbuatan bejat itu dilakukan pelaku berulang kali.

    Akibat perbuatan itu, korbannya sang mahasiswi hamil.

    Korban lalu meminta pertanggungjawaban S.

    Meski sempat berjanji akan bertanggung jawab, ternyata S tak juga menepatinya.

    Dia hanya memberikan janji-janji manis dan bujuk rayu hingga korban berulang kali dilecehkan.

    Perbuatan bejat itu terus dilakukan S sampai korban melahirkan.

    Kini sang bayi sudah berusia lebih dari satu tahun.

    Modus Obati Mahasiswi Kesurupan

    Kanit PPA Subdit IV Ditreskrimum Polda NTB Iptu Dewi Sartika mengungkapkan, kejadian pemerkosaan tersebut dilakukan saat korban dalam keadaan kesurupan.

    “Jadi modusnya berpura-pura mengobati korban, lalu melakukan pelecehan,” kata Dewi.

    Sementara itu Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unram Joko Jumadi menjelaskan, pemerkosaan itu terjadi ketika korban baru selesai menjalani Kerja Kuliah Nyata (KKN) di wilayah Lombok Timur.

    “Dia (pelaku) sebagai (pegawai) LPPM dianggap sebagai orang yang bisa menyembuhkan kesurupan, diminta untuk proses penyembuhan,” kata Joko.

    Pelaku mendatangi korban ke lokasi KKN dan membawanya pulang ke kos korban dan diobati. 

    Ketika sembuh, korban dikembalikan lagi ke tempatnya KKN.

    PELAKU RUDAPAKSA – Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati (depan) saat menahan oknum pegawai LPPM Unram berinisial S, yang menjadi tersangka kasus pemerkosaan mahasiswi KKN, Jumat (25/4/2025). (Dok.Istimewa)

    Peristiwa pemerkosaan itu terjadi ketika korban baru seminggu selesai menjalani KKN. 

    Pelaku datang ke kos korban dengan modus akan menyembuhkan korban yang saat itu sedang sakit. 

    Kedua kaki korban tidak bisa digerakkan.

    “Pada saat itu, korban sedang sakit. Kemudian dia (pelaku) menawar akan mengobati. Tapi bukannya mengobati, malah menyetubuhi si korban,” ucapnya.

    Korban tinggal sendiri di kosnya. Pelaku memanfaatkan kondisi korban yang sakit. 

    Pelaku memaksa korban untuk melayaninya.

    “Korban dipaksa, karena kan dalam kondisi tidak berdaya dia (korban). Kakinya itu tidak bisa digerakkan saat kejadian. Mau teriak nggak berani,” katanya.

    Korban awalnya tidak pernah menceritakan peristiwa nahas yang dialaminya. 

    Sekitar dua bulan dari kejadian, korban mengetahui dirinya hamil.

    Karena kebingungan korban mendatangi pelaku dan memberitahu dirinya sedang mengandung.

    Saat itu pelaku bersedia untuk bertanggung jawab.

    Korban sedikit lega mendengar kata pelaku yang akan bertanggung jawab dan bersiap menafkahinya. Sehingga korban mengikuti perkataan pelaku. 

    Di sisi lain, korban juga tidak mau menggugurkan kandungannya, dia hanya ingin pelaku bertanggung jawab.

    Bersembunyi dibalik kata akan bertanggung jawab, pelaku terus memanipulasi korban. 

    Korban yang tidak bisa berbuat banyak hanya bisa mengikuti kemauan pelaku.

    “Korban mengikuti kemauan pelaku dan terjadi lagi persetubuhan hingga korban melahirkan,” ujarnya.

    Joko mengungkapkan, anak yang dilahirkan korban kini berusia 1 tahun lebih. 

    Namun saat anak itu berusia sekitar 6 bulan, pelaku tidak bertanggung jawab untuk menikahi korban.

    Joko mendorong aparat penegak hukum memberikan hukuman berat kepada pelaku, lantaran perbuatannya itu.

    Kini pelaku S harus mendekam di balik jeruji besi Rumah Tahanan (Rutan) Polda NTB.

    “Kita lakukan penahanan terhadap yang bersangkutan 20 hari ke depan,” kata Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati.

    S dijerat pasal 6A Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.

    Penulis: Robby Firmansyah 

  • BRIN Bongkar 4 Alasan Orang Pakai Aplikasi Kencan: Cari Partner Seks

    BRIN Bongkar 4 Alasan Orang Pakai Aplikasi Kencan: Cari Partner Seks

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Aplikasi kencan online kini jadi pilihan banyak muda-mudi Indonesia untuk mencari pasangan, bukan hanya karena praktis, tetapi juga karena alasan yang lebih personal, termasuk mencari partner seks.

    Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yakni Andhika Ajie Baskoro, Sari Kristiana, Desy Nuri Fajarningtiyas, dan Evalina Franciska Hutasoit. Hasil studi mereka dipublikasikan lewat kanal The Conversation, dikutip pada Sabtu (26/4/2025).

    “Penelitian kami mencoba menggali lebih jauh alasan anak muda menggunakan aplikasi kencan,” tulis laporan penelitian tersebut.

    Adapun penelitian ini melibatkan 151 responden muda, mayoritas berusia antara 21-24 tahun. Dari sana, tim BRIN berhasil mengidentifikasi empat alasan utama penggunaan aplikasi kencan di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:

    1. Mencari Pasangan Hidup

    Dari seluruh responden, sebanyak 93 anak muda mengaku menggunakan aplikasi kencan untuk mencari pasangan hidup. Umumnya berasal dari kelompok usia 21-24 tahun.

    Bertambahnya usia diduga menjadi faktor pendorong kelompok umur ini mengharapkan hubungan yang lebih serius. Apalagi ada “norma sosial” mengenai batasan usia ideal untuk menikah di beberapa wilayah Indonesia. Alasan lainnya, mungkin juga karena beberapa orang memiliki keterbatasan waktu dalam mencari pasangan di dunia nyata, sehingga opsi daring menjadi pilihan.

    Data dari Pew Center Research bahkan menunjukkan, 4 dari 10 orang dewasa di Amerika Serikat (AS) merasa aplikasi kencan membantu mereka menemukan pasangan jangka panjang. Di Indonesia, survei Populix mencatat 233 pengguna aplikasi kencan telah berhasil menjalin hubungan serius, bahkan hingga menikah.

    2. Cari Teman Hingga Pacar

    Sementara itu, kelompok remaja berusia 18-20 tahun lebih sering memakai aplikasi kencan untuk menjalin hubungan yang bersifat kasual. Entah itu mencari teman ngobrol, teman nongkrong, atau pacar.

    Sebuah studi awal menunjukkan bahwa bersosialiasi memang menjadi salah satu motivasi terbesar seseorang menggunakan dating apps. Penelitian Pew Center Research pun mengonfirmasi hal ini dengan 530 orang responden mengaku pakai aplikasi kencan untuk mencari teman baru.

    3. Cari Partner Seks

    Salah satu temuan yang paling mengejutkan adalah sebagian anak muda secara terbuka menggunakan aplikasi kencan untuk mencari partner seks.

    “Penelitian kami menemukan, anak muda yang sering menggunakan aplikasi kencan memiliki motivasi lebih besar mencari partner seks dibandingkan dengan mereka yang jarang menggunakan dating apps,” paparnya.

    “Kami menemukan lebih banyak laki-laki yang menggunakan aplikasi kencan untuk mencari partner seks, dibandingkan dengan perempuan. Hal ini diduga karena laki-laki cenderung lebih terbuka dan berani mengambil risiko dalam berhubungan seksual,” tulis laporan penelitian.

    4. Alasan Lainnya: Hiburan hingga Validasi

    Tak semua pengguna aplikasi kencan serius dalam mencari pasangan. Ada juga yang sekadar ingin bersenang-senang, memenuhi rasa penasaran, atau mencari validasi dari orang lain.

    Beberapa pengguna mengaku hanya iseng, seperti melempar gombalan atau ingin tahu siapa yang tertarik dengan mereka.

    Waspadai Risiko dan Gunakan dengan Aman

    Meski praktis dan menjanjikan banyak pilihan, penggunaan aplikasi kencan tetap menyimpan risiko. Penipuan, kekerasan seksual, dan pembocoran identitas adalah beberapa bahaya yang mengintai. Untuk itu, para peneliti memberikan beberapa tips aman saat menggunakan aplikasi kencan:

    Sampaikan tujuan dan batasan dengan jelas sejak awal.

    Jika akan bertemu, beri tahu lokasi kepada orang terpercaya dan aktifkan live location.

    Pada akhirnya, aplikasi kencan hanyalah alat. Cara penggunaannya, termasuk niat di baliknya, sangat menentukan apakah pengalaman yang kamu dapatkan akan membawa kebahagiaan, atau justru membawa risiko.

    (dce/dce)

  • Sadar Ditipu Usai Nonton Walid di Serial Bidaah

    Sadar Ditipu Usai Nonton Walid di Serial Bidaah

    PIKIRAN RAKYAT – Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang ustaz berinisial AF di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengguncang dunia pendidikan pesantren.

    Modus operandi yang dilakukan oleh AF, yang juga menjabat sebagai ketua yayasan Pondok Pesantren (Ponpes), melibatkan manipulasi agama untuk melakukan tindakan tidak senonoh terhadap santriwatinya.

    Peristiwa ini terungkap setelah beberapa santriwati berani mengungkapkan pengalaman mereka setelah menonton serial drama Malaysia berjudul Bidaah Walid.

    Drama ini menggambarkan tokoh fiktif, Walid Muhammad Mahdi Ilman, yang mengaku sebagai Imam Mahdi dan menggunakan klaim agama untuk memanipulasi pengikutnya, termasuk melakukan tindakan pelecehan seksual.

    Para santriwati yang menjadi korban merasa pengalaman yang digambarkan dalam serial tersebut sangat mirip dengan tindakan yang mereka alami di pondok pesantren yang dipimpin oleh AF.

    Modus Operandi: Manipulasi dengan Alasan Agama

    Sejak tahun 2015 hingga 2021, AF diduga telah melakukan perbuatan cabul dan persetubuhan terhadap santriwati di pondok pesantren yang ia kelola. Dalam pengakuannya, AF menjelaskan bahwa ia menyebut aksinya sebagai “mengijazahkan” kepada para santriwati. 

    Dia mengklaim bahwa tujuan perbuatannya adalah untuk mengajarkan doa dengan harapan para santriwati bisa mendapatkan pasangan dan keturunan yang baik.

    “Untuk mengajarkan doa kepada santriwati, sederhananya ‘mengijazahkan’, dengan harapan mereka kemudian bisa mendapatkan pasangan yang baik, dan keturunan yang baik,” tutur AF saat diperiksa oleh penyidik.

    Namun, pengakuan ini jelas bertentangan dengan hukum dan ajaran agama. AF bahkan mengakui bahwa perbuatannya adalah sebuah kekhilafan yang tidak bisa dibenarkan.

    Kasus Terungkap Setelah Menonton Bidaah Walid

    Peristiwa ini mulai terungkap ketika para santriwati merasa terinspirasi untuk berbicara setelah menonton Bidaah Walid. Serial tersebut menampilkan karakter Walid, yang mengaku sebagai seorang pemimpin sekte sesat dan memperdaya para pengikutnya dengan klaim agama untuk melakukan tindakan tidak bermoral.

    Kesamaan antara karakter dalam drama tersebut dengan pengalaman mereka di pesantren membuat para santriwati akhirnya berani melaporkan kejadian tersebut ke polisi.

    Joko Jumadi, perwakilan dari Koalisi Stop Kekerasan Seksual NTB, yang memberikan pendampingan kepada para korban, menjelaskan bahwa meskipun korban pertama kali melapor pada tahun 2023, kekerasan seksual yang dilakukan oleh AF sudah berlangsung sejak 2016.

    Sejauh ini, telah ada 20 santriwati yang mengaku menjadi korban, dengan 7 di antaranya telah diperiksa oleh pihak kepolisian.

    Korban Mengungkapkan Pengalaman Mereka

    Menurut keterangan para korban, modus yang dilakukan oleh AF adalah dengan menjanjikan bahwa mereka akan disucikan atau diberkahi secara agama jika melakukan apa yang diminta oleh sang ustaz.

    Beberapa korban mengungkapkan bahwa mereka dicabuli, sementara yang lainnya disetubuhi dengan dalih keagamaan yang dipaksakan.

    “AF menjanjikan kepada korban bahwa rahim mereka akan disucikan dan mereka akan melahirkan anak yang menjadi wali,” kata Joko Jumadi.

    Dia mengungkapkan bahwa sebagian korban yang tidak setuju ditinggalkan dalam kondisi tercabuli.

    Kekerasan seksual ini terjadi di malam hari di dalam ruang yang telah dipersiapkan oleh AF, dan tidak ada kriteria khusus dalam pemilihan korban—semuanya dilakukan secara spontan sesuai dengan kehendak pelaku.

    Penanganan Polisi dan Tindak Lanjut Kasus

    Penyidik Satreskrim Polresta Mataram telah menetapkan AF sebagai tersangka kasus pelecehan seksual dengan kategori pencabulan dan persetubuhan. Berdasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan pada 23 April 2025, AF akhirnya ditahan di Rutan Polresta Mataram.

    Penahanan ini dilakukan setelah adanya laporan dari mantan santriwati yang menjadi korban.

    Seiring dengan proses hukum yang berjalan, Koalisi Stop Kekerasan Seksual NTB terus memberikan pendampingan kepada para korban untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan proses hukum berjalan dengan adil.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Perkembangan Kasus Eks Kapolres Ngada, Berkas Perkara Dikembalikan Jaksa ke Polisi
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        26 April 2025

    Perkembangan Kasus Eks Kapolres Ngada, Berkas Perkara Dikembalikan Jaksa ke Polisi Regional 26 April 2025

    Perkembangan Kasus Eks Kapolres Ngada, Berkas Perkara Dikembalikan Jaksa ke Polisi
    Tim Redaksi
    KUPANG, KOMPAS.com
    – Aparat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) mengembalikan
    berkas perkara
    mantan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres)
    Ngada
    , Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, ke penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditkrimum) Kepolisian Daerah (Polda) NTT.
    “Berkas perkaranya eks Kapolres Ngada, dikembalikan oleh jaksa peneliti sebelum Lebaran itu,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati NTT, Anak Agung Raka Putra Dharmana, kepada
    Kompas.com
    , Sabtu (26/4/2025).
    Raka menjelaskan, setelah jaksa peneliti meneliti berkas perkara itu, ada syarat formal dan syarat materiil yang belum terpenuhi, sehingga dikembalikan ke polisi.
    Raka memerinci, syarat formal itu terkait surat-suratnya. Sedangkan syarat materiil, terkait unsur pasal yang disangkakan belum terpenuhi.
    Meski sempat dikembalikan, polisi akhirnya melengkapi berkas perkara itu dan dikembalikan lagi ke jaksa.
    “Jadi, saat ini jaksa peneliti sedang meneliti berkas yang dikembalikan itu, apakah petunjuk sudah dipenuhi atau belum,” ujar Raka.
    Sebelumnya diberitakan, penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Dirkrimum) Kepolisian Daerah (Polda) NTT melimpahkan berkas perkara AKBP Fajar ke Jaksa Penuntut Umum
    Kejaksaan Tinggi NTT
    .
    “Kemarin sudah dilakukan pelimpahan tahap 1 untuk berkas kasus
    tindak pidana kekerasan seksual
    yang dilakukan oleh AKBP Fajar,” kata Direktur Krimum Polda NTT Kombes Patar Silalahi kepada sejumlah wartawan di Markas Polda NTT, Jumat (21/3/2025).
    Setelah menyerahkan berkas perkara, kata Patar, pihaknya masih menunggu hasil koordinasi dan penelitian berkas perkara oleh jaksa.
    Petunjuk dari jaksa itu tujuannya untuk penyempurnaan berkas perkara sehingga menjadi lengkap.
    Dia menyebut, AKBP Fajar saat ini menjadi tahanan Polda NTT, tetapi penahanannya di Markas Besar Polri.
    AKBP Fajar ditangkap oleh petugas Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri pada Kamis (20/2/2025).
    Penangkapan ini menyusul laporan otoritas Australia yang menemukan video tidak senonoh anak di bawah umur di salah satu situs porno.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.