Kasus: kekerasan seksual

  • DKI susun revisi Perda Perlindungan Perempuan dan Anak

    DKI susun revisi Perda Perlindungan Perempuan dan Anak

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sedang menyusun revisi peraturan daerah (Perda) soal perlindungan perempuan dan anak untuk mencegah kekerasan di Jakarta.

    “Kita sedang menyusun revisi perda itu. Perda 8/2011 akan menjadi dua Perda, yaitu Perda Perlindungan Perempuan dan Perda Penyelenggaraan Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA),” kata Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) Provinsi DKI Jakarta Iin Mutmainnah di Jakarta Selatan, Rabu.

    Iin menjelaskan, revisi ini juga bagian dari menjawab keprihatinan terhadap kasus penculikan dan pembunuhan anak laki-laki di Jakarta Selatan, bernama Alvaro Kiano Nugroho (6) oleh tersangka Alex Iskandar (49).

    Dia menambahkan revisi itu akan masuk dalam pembahasan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) pada 2026.

    “Substansi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga sudah kami masukkan di dalam revisi perda tersebut,” ucapnya.

    Kemudian di luar dua perda itu, pihaknya juga sedang menyusun dua perda lainnya sebagai langkah untuk optimalisasi ataupun penguatan dari sisi keluarga, yaitu Perda Pembangunan Keluarga dan Perda Perlindungan Penduduk.

    “Jadi, total ada empat perda yang akan kami bahas di Bapemperda pada 2026,” ucapnya.

    Maka itu, revisi perda ini sebagai langkah regulasi untuk payung hukum dalam memberikan perlindungan perempuan dan anak di DKI Jakarta.

    Kemudian, pihaknya juga sedang menyusun Instruksi Gubernur (Ingub) mengenai satuan tugas (Satgas) PPA berbasis masyarakat. Salah satunya menghadirkan relawan pendamping korban kekerasan.

    “Itu, adalah salah satu langkah kami bekerja sama dengan semua pihak, termasuk komponen masyarakat dan nanti akan masuk dalam komponen Satgas PPA berbasis masyarakat tersebut,” ucapnya.

    Berdasarkan data yang dikumpulkan, Dinas PPAPP DKI mencatat telah menangani sebanyak 2.104 kasus kekerasan perempuan dan anak hingga awal Desember 2025.

    Angka itu menunjukkan kenaikan 10 persen dari kasus 2024, namun sisi positifnya terungkap bahwa masyarakat saat ini mulai berani melapor jika melihat maupun mengalami kekerasan.

    Diimbau juga kepada masyarakat untuk segera melaporkan dugaan ke Jakarta Siaga 112 serta Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak 081317617622.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ratusan kasus kekerasan anak dan perempuan terjadi di Jakut pada 2025

    Ratusan kasus kekerasan anak dan perempuan terjadi di Jakut pada 2025

    Jakarta (ANTARA) – Sebanyak 394 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan telah terjadi di Jakarta Utara sepanjang 2025.

    “Kasus kekerasan di Jakarta Utara kurang lebih ada 394 kasus kekerasan, bahkan kerap terjadi pada kekerasan fisik hingga kekerasan seksual,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) Provinsi DKI Jakarta Iin Mutmainnah dalam Kampanye 16 Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (HAKTPA) di Jakarta, Selasa.

    Menurut dia, kekerasan paling banyak terjadi pada anak dan diikuti kekerasan kepada perempuan dan ini adalah masalah yang harus ditindaklanjuti dengan tanggung jawab bersama.

    Iin menambahkan kampanye ini merupakan rangkaian dari peringatan antikekerasan terhadap perempuan dan anak pada November lalu.

    “Kegiatan ini bukan hanya sekadar gerakan seremonial, tetapi menjadi upaya strategi kolaborasi seluruh pihak dalam mencegah terjadinya kekerasan,” kata dia.

    Ia memastikan, pemerintah terus berupaya menyediakan berbagai layanan konsultasi maupun pengaduan dan pada saat ini, di DKI Jakarta sudah ada 44 pos layanan untuk masyarakat.

    “Saya juga berharap kepada seluruh peserta yang hadir dapat meneruskan sosialisasi ini ke masyarakat secara langsung sehingga, kita bisa meminimalisir kasus kekerasan, terutama pada anak dan perempuan,” kata dia.

    Sementara Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Wali Kota Jakarta Utara Fredy Setiawan mengatakan kampanye ini sebagai langkah strategis untuk memperkuat komitmen bersama dalam mewujudkan ruang aman bagi perempuan dan anak.

    “Kami terus berkomitmen untuk menjamin perlindungan hak-hak perempuan dan anak,” kata dia.

    Menurut dia, setiap bentuk kekerasan meninggalkan luka yang mendalam pada korban, bahkan berpotensi atau berdampak panjang hingga generasi berikutnya.

    Untuk itu, seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, organisasi masyarakat, maupun dunia usaha perlu terus mendukung upaya pencegahan.

    “Kami tahu kekerasan berbasis gender secara daring adalah permasalahan besar di negara kita. Semoga melalui kampanye ini bisa menjadi titik awal dari banyak aksi yang lebih besar di masa depan,” harapnya.

    Fredy mengajak semua peserta untuk tidak hanya berhenti pada kampanye ini, tetapi menjadikannya gerakan sepanjang tahun demi keadilan dan kesejahteraan bersama.

    “Saya percaya bahwa Jakarta Utara dengan kekuatan komunitas dan keberagaman masyarakatnya akan mampu menjadi teladan menciptakan kota yang lebih ramah, inklusif, serta melindungi, khususnya perempuan dan anak,” kata dia.

    Sebelumnya berdasarkan data Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) menyebutkan, sejak Januari hingga 19 November 2025 terjadi 1.917 kasus kekerasan perempuan dan anak di DKI Jakarta.

    Kasus yang terbanyak adalah anak menjadi korban kekerasan seksual dengan 588 kasus atau 21,9 persen diikuti perempuan korban KDRT dengan 412 kasus atau 15,4 persen.

    Kemudian perempuan jadi korban kekerasan psikis 318 kasus atau 11,9 persen dan perempuan jadi korban kekerasan fisik sebanyak 276 kasus atau 10,3 persen.

    Lokasi kekerasan kepada perempuan dan anak itu paling banyak terjadi di dalam rumah dengan 1.132 kasus atau 56,3 persen diikuti di jalan dengan 135 kasus atau 6,7 persen.

    Lalu di kos-kosan 126 kasus atau 6,3 persen, terjadi di sekolah sebanyak 119 kakus atau 5,9 persen lalu di kontrakan 88 kasus atau 4,4 persen dan di hotel 86 kasus atau 4,3 persen.

    Kemudian untuk terlapor pelaku kekerasan perempuan dan anak paling banyak adalah suami dengan 503 kasus atau sekitar 22,3 persen, kemudian dilakukan oleh teman korban sebanyak 351 orang atau 15, 7 persen, dan orang tidak dikenal sebanyak 281 kasus atau 12,6 persen.

    Kemudian kekerasan yang dilakukan oleh tetangga ada 203 kasus atau 9,1 persen, kekerasan dilakukan ayah kandung ada 197 kasus dengan 8,8 persen, dan pacar dengan 147 kasus atau sekitar 6,6 persen.

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KPAI Soroti Ratusan Kota Belum Punya UPTD PPA

    KPAI Soroti Ratusan Kota Belum Punya UPTD PPA

    Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan data pada Oktober 2025 baru ada 398 Kabupaten/Kota yang memiliki UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) dari 520-an Kabupaten/Kota yang tersebar di Indonesia.

    Terutama Sumba Timur yang memiliki kasus yang tinggi pada kekerasan seksual terhadap anak perempuan, dan sejak 2024 sudah menginisiasi pembangunan UPTD PPA, namun sampai hari ini belum juga selesai. Mengkritisi itu, KPAI berharap komitmen tinggi dari pemerintah daerah, baik kabupaten maupun provinsi untuk memastikan setiap kabupaten di Pulau Sumba memiliki UPTD PPA.

  • Pria Malaysia Cabuli dan Bunuh Bayi 9 Bulan, Dihukum 30 Tahun Penjara

    Pria Malaysia Cabuli dan Bunuh Bayi 9 Bulan, Dihukum 30 Tahun Penjara

    Jakarta

    Hakim Pengadilan Tinggi Shah Alam, Malaysia, menjatuhkan hukuman 30 tahun penjara kepada M Badruldin (40) atas pembunuhan dan kekerasan seksual yang dilakukannya kepada bayi berusia 9 bulan. Badruldin juga dijatuhi hukuman 13 cambukan.

    Dilansir The Star, Sabtu (29/11/2025), kasus ini terjadi di Lembah Subang, Malaysia, di sebuah rumah rusun pada 27 April 2021 lalu. Bayi 9 bulan itu disodomi kemudian dibunuh oleh Badruldin.

    Hasil autopsi korban ditemukan adanya air mani pelaku di usus besar dan anus korban. Adapun penyebab kematian korban karena dicekik.

    Badruldin merupakan suami dari pengasuh bayi itu. Dia juga telah mengakui aksi jahatnya itu.

    Hingga akhirnya, pengadilan menjatuhkan hukuman 30 tahun penjara dan 12 kali cambuk untuk tindak pidana pembunuhan, serta 10 tahun penjara dan satu kali cambuk untuk dakwaan sodomi, dengan masa hukuman penjara dijalani secara bersamaan sejak tanggal penangkapan pada 29 April 2021.

    Namun, penyebab kematian bayi perempuan ini adalah karena pukulan benda tumpul di kepala hingga membuat tengkorak bayi itu retak.

    Lihat juga Video: Ayah di Gresik Cabuli Anak Kandung, Modusnya Kelewat Bejat

    (zap/dhn)

  • Kakak Tiri Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Gadis Asal Magetan Ditangkap

    Kakak Tiri Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Gadis Asal Magetan Ditangkap

    Magetan (beritajatim.com) – Gadis asal Magetan berinisial L (18), korban kekerasan seksual, kembali mengunggah video dalam akun media sosial miliknya pada Jumat (28/11/2025).

    Dia menyatakan terima kasih kepada Polres Magetan, terutama Unit PPA, serta Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Kabupaten Magetan atas dukungan dan perlindungan yang diberikan.

    Pelaku, yakni D, telah ditangkap dan dibawa ke Polres Magetan pada 27 November 2025. L juga mengucapkan terima kasih kepada publik yang telah memberikan dukungan dan menyebarkan kasusnya untuk mendapatkan keadilan.

    Dalam pernyataannya, L mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukungnya dalam proses ini. “Saya berharap agar kasus ini dapat diproses dengan cepat dan pelaku dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya,” terangnya.

    Kasi Humas Polres Magetan, Ipda Indra Suprihatin, mengatakan bahwa pihak Satreskrim masih melakukan pendalaman terkait kasus tersebut.

    Dia juga menambahkan bahwa proses penyelidikan masih terus dilakukan untuk memastikan bahwa semua bukti dan informasi yang diperlukan telah terkumpul. “Masih ditangani, lebih lanjut nanti akan kami sampaikan,” katanya. [fiq/ian]

  • Polres Bondowoso Amankan Seorang Kakek Diduga Pelaku Pencabulan Anak di Bawah Umur

    Polres Bondowoso Amankan Seorang Kakek Diduga Pelaku Pencabulan Anak di Bawah Umur

    Bondowoso (beritajatim.com) – Polres Bondowoso berhasil menangkap seorang kakek yang diduga melakukan tindakan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Pelaku, Ibrahim (60), warga Desa Pecalongan, Sukosari, ditetapkan sebagai tersangka setelah melakukan kekerasan seksual sebanyak tiga kali.

    Menurut keterangan resmi dari Kasat Reskrim Polres Bondowoso, Iptu Wawan Triono, pelaku mengakui telah melakukan aksinya di tiga tempat berbeda, yaitu di kamar mandi sebuah sekolah, di dalam kelas, dan di areal persawahan.

    Untuk membujuk korban agar tidak menceritakan perbuatannya, tersangka memberikan uang sebesar Rp 5 ribu setiap kali melakukan tindakan tersebut. “Pelaku sudah kami tahan untuk pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Wawan Triono saat dikonfirmasi di Mapolres Bondowoso, Kamis (27/11/2025).

    Polisi juga telah mengamankan sejumlah barang bukti dan memintai keterangan dari beberapa saksi terkait kejadian tersebut.

    Berdasarkan hasil penyelidikan, tersangka akan dikenai pasal berlapis, yaitu Pasal 81 ayat 2, jo Pasal 76D subs Pasal 82 ayat 1, jo Pasal 76E UU No 35 Tahun 2014 dan/atau Pasal 6 huruf a, b, dan c UU No 12 Tahun 2022. Ancaman hukuman bagi pelaku maksimal mencapai 15 tahun penjara.

    Kasat Reskrim menegaskan bahwa pihaknya akan terus melakukan pendalaman kasus ini demi memastikan keadilan dan perlindungan terhadap korban. Hingga berita ini diturunkan, proses hukum terhadap Ibrahim masih berlangsung dan pelaku masih dalam tahanan polisi. (awi/kun)

  • Sempat Dilaporkan Hilang, Gadis Asal Magetan Muncul Mengaku Korban Kekerasan Seksual

    Sempat Dilaporkan Hilang, Gadis Asal Magetan Muncul Mengaku Korban Kekerasan Seksual

    Magetan (beritajatim.com) – Seorang gadis asal Kabupaten Magetan berinisial L (18) sempat dikabarkan hilang pada 20 November 2025 lalu. Namun, pada Rabu (26/11/2025), L muncul dalam akun media sosial, dan dia mengunggah rekaman video berdurasi 3 menit 58 detik berisi klarifikasi soal laporan orang hilang oleh DN, seseorang yang sempat tinggal serumah dengannya.

    Dalam video itu, L juga menerangkan jika dirinya merupakan korban kekerasan seksual dan perdagangan seksual, Dalam pernyataan yang dibagikan melalui akun media sosialnya, L mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada masyarakat yang telah peduli dan memberikan dukungan.

    L menjelaskan bahwa ia mengalami kekerasan seksual dan perdagangan seksual saat berusia 15 tahun oleh DN. Ia tidak memiliki tempat untuk meminta bantuan dan tidak ada yang mendukungnya untuk melaporkannya.

    “Terima kasih atas bantuannya dari salah satu dosen Universitas *** (menyebutkan nama salah satu universitas di Jawa Timur) ,” katanya.

    L juga mengungkapkan bahwa ia mengalami kekerasan fisik dan mental dari DN, yang membuatnya merasa tidak aman dan terpaksa meninggalkan rumah. Ia juga dipaksa meninggalkan perangkat pribadinya dan dilarang membawanya.

    DN juga dilaporkan telah mencemarkan nama baik dosen yang menolongnya dan keluarganya di tempat kerjanya.

    L telah melaporkan kasus ini ke pihak berwajib dan didampingi oleh penasihat hukumnya.

    “Mohon doa dan support-nya saja ya,” kata Laila Jan.

    Kasus ini masih dalam penanganan pihak berwajib dan L berharap agar masyarakat dapat memberikan dukungan dan doa untuknya. [fiq/ian]

  • Kelakuan Bejat Pria di Jakbar Pamer Kelamin Saat VC dengan Wanita

    Kelakuan Bejat Pria di Jakbar Pamer Kelamin Saat VC dengan Wanita

    Jakarta

    S (31) sudah kehabisan kesabaran karena benar-benar terganggu ulah bejat MR (25). Wanita tersebut melapor ke polisi setelah menjadi korban pelecehan seksual.

    MR secara terang-terangan melakukan tindakan ekshibisionisme, bahkan hingga merekam video saat korban mandi.

    Korban melaporkan ulah bejat MR ke polisi setelah pria tersebut melakukan tindakan pornografi elektronik. Pria itu melakukan pelecehan seksual dengan mempertontonkan alat kelamin kepada korban melalui video call (VC).

    “Saat tersambung, pelaku langsung memperlihatkan alat vitalnya kepada korban. Korban langsung kaget dan merasa dilecehkan, kemudian korban langsung memutus panggilan tersebut,” kata Kanit Reskrim Polsek Grogol Petamburan AKP Alexander Tengbunan, Rabu (26/11/2025).

    Rekam Korban Mandi

    MR berkali-kali melakukan tindakan pelecehan. Selain pamer kelamin saat VC, MR pernah merekam video saat korban mandi.

    Bahkan, MR mengirim video tersebut ke korban melalui aplikasi percakapan di smartphone. Korban kaget dan tak menyangka kembali menjadi korban.

    “Pelaku kemudian mengirimkan sebuah video itu melalui WhatsApp. Saat dibuka, korban terkejut karena video tersebut ternyata berisi rekaman dirinya sendiri ketika sedang mandi,” kata Alexander.

    Korban memang pernah tinggal di satu area kos yang sama dengan korban. MR merekam video secara diam-diam saat korban mandi.

    “Pelaku bisa memiliki video korban karena pelaku sempat ngontrak berdekatan dengan korban. Jadi, pada kamar mandi ada seperti lubang di atas. Jadi, pelaku merekam lewat situ,” kata Alex.

    Ancaman 6 Tahun Penjara

    Atas kasus yang terjadi pada Senin (17/11) itu, korban kemudian melapor ke Polsek Grogol Petamburan pada Selasa (18/11).

    Polisi bergerak menyelidiki kasus dengan mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) dan menangkap MR di Wijaya Kusuma, Grogol Petamburan pada Kamis (20/11) atau dua hari setelah korban membuat laporan resmi.

    Polisi menyita satu unit handphone (HP) merek OPPO A54 warna hitam yang berisi rekaman video sebagai barang bukti.

    Atas perbuatannya, pelaku disangkakan dengan Pasal 35 juncto Undang-Undang (UU) Nomor 44 tentang Pornografi dan Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. MR terancam pidana penjara maksimal enam tahun.

    Halaman 2 dari 3

    (jbr/mei)

  • Begini Cara Kampus di Jember Perangi Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi, Dosen Pun Jadi Sasaran
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        26 November 2025

    Begini Cara Kampus di Jember Perangi Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi, Dosen Pun Jadi Sasaran Surabaya 26 November 2025

    Begini Cara Kampus di Jember Perangi Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi, Dosen Pun Jadi Sasaran
    Tim Redaksi
    JEMBER, KOMPAS.com
    – Potensi dosen menjadi pelaku kekerasan seksual (KS) dengan posisi kuasa yang kuat membuat kampus-kampus di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menciptakan lingkungan aman.
    Universitas PGRI Argopuro (Unipar) Jember menjadi salah satu kampus yang secara terbuka mengakui rekam jejak kelam masa lalu ketika masih bernama IKIP PGRI Jember.
    Kampus swasta tersebut lantas berupaya keras memperbaiki budaya lama melalui
    sosialisasi pencegahan

    kekerasan seksual
    yang menyasar seluruh unsur civitas akademika, tak hanya mahasiswa tapi juga pimpinan hingga dosen.
    Banyak perilaku kekerasan yang dinormalisasi bahkan tak dianggap sebagai KS, menunjukkan bahwa pemahaman terhadap bentuk-bentuk KS masih minim.
    Ketua Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT) Unipar, Fanatus Syamsiyah, mengatakan bahwa pengakuan atas masa lalu ini bukan untuk membuka luka lama.
    Hal tersebut menjadi pengingat penting mengapa pencegahan harus menyeluruh dan tidak berhenti pada mahasiswa.
    “Banyak orang menganggap cat calling atau menjawil tubuh mahasiswa itu bukan kekerasan, padahal itu jelas bentuk kekerasan,” tegasnya, Rabu (26/11/2025).
    Dikatakan, baru tahun ini pimpinan yayasan, rektorat, para dekan, kaprodi, seluruh dosen, serta tenaga kependidikan mendapatkan pelatihan langsung soal KS di lingkungan kampus.
    Fana menegaskan bahwa pencegahan tidak akan efektif jika hanya membidik mahasiswa, sebab struktur relasi kuasa di kampus membuat dosen dan pimpinan justru memiliki potensi lebih besar menjadi pelaku.
    “Pimpinan dan dosen harus menjadi teladan, karena apa yang dilihat mahasiswa jauh lebih berdampak daripada teori,” ujarnya.
    Ia menambahkan, masih banyak tindakan kekerasan yang dianggap wajar karena telah dinormalisasi sejak lama di lingkungan sosial maupun akademik.
    Karena itu, menurutnya, seluruh civitas akademika wajib paham bentuk-bentuk kekerasan agar tidak ada lagi pembenaran atau dalih ketidaktahuan.
    “Dengan sosialisasi ini, tidak ada lagi alasan tidak tahu,” kata Fanatus.
    Dalam penanganan kasus, Unipar mengacu pada Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 yang memungkinkan penerapan sanksi mulai dari teguran tertulis hingga pencopotan jabatan struktural, jika direkomendasikan oleh Satgas.
    “Sebagus apa pun Satgasnya kalau tidak didukung keberpihakan pimpinan, sama saja percuma,” ucapnya.
    Di luar sistem internal, Unipar juga menggandeng Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember serta LBH Jentera Perempuan Indonesia untuk pendampingan korban.
    Kolaborasi ini memastikan korban dapat memilih jalur nonlitigasi maupun litigasi.
    “Kami memastikan korban mendapatkan pendampingan sesuai keinginannya,” tutur Fana.
    Sementara itu, dosen Prodi PAUD Unipar, Hendri Siswono, mengakui baru pertama kali mendapatkan pelatihan tentang KS.
    Menurutnya, sosialisasi yang didapatkan membuka mata banyak dosen bahwa KS tidak selalu berbentuk kontak fisik, tetapi bisa juga melalui relasi kuasa, ancaman, hingga media sosial.
    “Dengan sosialisasi ini kami jadi tahu apa saja yang termasuk kekerasan dan bagaimana menyikapinya,” kata Hendri.
    Ia juga mengakui bahwa pengetahuannya tentang kekerasan nonfisik selama ini sangat terbatas.
    “Cat calling itu apa, saya belum tahu,” ungkapnya.
    Hendri menilai diseminasi informasi kepada dosen sangat penting karena dosen berinteraksi intens setiap hari dengan mahasiswa dan berpotensi menjadi pihak yang tidak hanya mencegah tetapi juga tanpa disadari jadi pelaku.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Iptu Yanti Bicara Pemulihan Anak Korban Kekerasan Seks, Perkuat Sinergi Instansi

    Iptu Yanti Bicara Pemulihan Anak Korban Kekerasan Seks, Perkuat Sinergi Instansi

    Jakarta

    Ps. Panit Subdit IV Ditreskrimum Polda Kepulauan Riau (Kepri) Iptu Yanti Harefa menekankan bahwa penanganan anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus dilakukan secara tuntas. Dia mengungkap perlunya pemulihan korban secara sepenuhnya.

    Iptu Yanti bercerita mengenai cara menangani anak korban kekerasan seksual dalam program Hoegeng Corner detikPagi, Selasa (25/11/2025). Dia menyebut butuh pendekatan khusus agar korban bisa terbuka tentang apa yang dialami.

    “Saya rasa ini panggilan saya, pembina fungsi gitu kan, care, karena itu menjadi penyidik yang empati, simpati, ngerti terhadap korban, karena korban ini kadang dia merasa dirinya bukan korban, ini memang tekniknya, triknya, memang kayak harus sabar, harus bisa pendekatan itu tadi, gimana pendekatan biar dia terbuka,” kata Iptu Yanti.

    Iptu Yanti berujar, terkadang korban tidak terbuka dengan apa yang terjadi sebenarnya. Karena itu, dia melakukan teknis khusus agar korban bisa diselamatkan dan memiliki masa depan yang baik.

    “Mungkin di saya anak ini hanya mengaku dengan satu orang dalam satu malam di hotel, ternyata udah dia dengan 2 orang, udah 8 kali, seorang anak yang awalnya dia kekerasan sekarang dia menikmati. Ini anak-anak penerus bangsa gimana, mau kita biarkan? Kita tindak aja pelakunya? Korban ini gimana, anak ini gimana, masa depannya, kalau nggak kita selamatkan bagaimana? Nggak kita rehabilitasi, tidak kita reintegrasi dia, suatu saat bisa jadi pelaku,” tutur dia.

    “Mungkin saya merasa ini passion saya, ini panggilan saya, mungkin ini Tuhan tempatkan saya di sini bukan karena kebetulan sehingga menjadi pembina fungsi ke Polres, Polsek jajaran. Kita ini Kepri kepulauan, jadi nggak hanya daratan, kita ada 5 Polri di Pulau terluar, ada Anambas, Natuna, Lingga,” ucap dia.

    “Nah keterbatasan tadi, sebagai pembina fungsi, nah saya berpikir ini panggilan Tuhan menempatkan saya di sini. Saya sudah tahu di awal, kalau bukan saya yang mengerjakan tu siapa lagi, ini di awal-awal pindah di PPA, di 2009, September,” imbuhnya.

    “Dari awal itu sampai sekarang, kita udah punya jejaring, sudah jadi pembina fungsi. Saya berpikir, kalau perwira muda perempuan, kalau nangani perempuan dan anak itu aslinya sebenarnya seru, tapi kita menghadapi dumas, keluhan masyarakat,” sebutnya.

    Dalam pengungkapan kasus perempuan dan anak ini, Iptu Yanti dan tim tidak hanya menindak pelaku. Dia juga memastikan pemulihan hak korban.

    “Kita bisa menempatkan diri, ketika kita berhadapan dengan korban maka dalam hal penangan perempuan dan anak kita tidak bisa sembarangan, nggak bisa menstigma mereka, melabel, menjudge, korban yang awalnya tertutup, karena tidak semua korban merasa dirinya korban, mereka malu, mereka tertutup,” ucap dia.

    Iptu Yanti mengungkap bahaya jika korban tidak dipulihkan secara sepenuhnya. Dia menyebut korban bisa saja nantinya menjadi pelaku jika tidak segara dipulihkan.

    “Karena jangan salah lho, awalnya mereka korban, suatu saat mereka akan jadi pelaku, karena setiap pelaku yang saya tanya latar belakang, dulunya mereka korban, kenapa mereka melakukan kekerasan terhadap anak, kenapa mereka mengeksploitasi anak, karena mereka dulunya korban yang tidak direhabilitasi, yang tidak diperhatikan. Kita perlu perlukan pemulihan terhadap anak, makanya kita harus kolaborasi yang kuat dengan instansi terkait, dan lembaga terkait,” imbuhnya.

    Iptu Yanti senantiasa menggandeng psikolog dalam penanganan korban. Salah satunya, kata dia, dalam menangani kasus balita yang menjadi korban kekerasan.

    “Untuk konseling kita butuh psikologi, waktu itu saya pernah meriksa anak 1 tahun 8 bulan. Gimana caranya meriksa anak perempuan yang belum paham sekali, 1 tahun 8 bulan, waktu itu saya nggak kehilangan akal, saya libatkan psikolog, saya bertanya ke psikolog, nanti psikolog bertanya kepada anak,” ucap Iptu Yanti.

    “Termasuk bagaimana pembuktian terhadap kekerasan seksual yang tidak ada saksi, saat itu TPKS belum keluar, gimana ya caranya, berarti ini saya harus rujuk ke psikolog, karena tidak ada saksi. Untuk pembuktian ya itu, bagaimana sulitnya karena saksi tidak ada,” pungkasnya.

    (lir/knv)