Kasus: kekerasan seksual

  • Menteri PPPA: 1 dari 4 Perempuan Alami Kekerasan Sepanjang Hidupnya

    Menteri PPPA: 1 dari 4 Perempuan Alami Kekerasan Sepanjang Hidupnya

    Menteri PPPA: 1 dari 4 Perempuan Alami Kekerasan Sepanjang Hidupnya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan data terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
    Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya.
    “Ini bukan sekadar angka statistik. Di baliknya ada kisah, trauma, penderitaan, dan dampak serius, baik fisik, psikologis, kesehatan, ekonomi, maupun sosial,” kata Arifah di Jakarta, Sabtu (14/6/2025).
    Arifah juga mengungkapkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR).
    Disebutkan, 1 dari 2 anak mengalami kekerasan emosional, dan 9 dari 100 anak pernah menjadi korban kekerasan seksual.
    Dia menyebutkan, melalui sistem pelaporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (
    SIMPONI PPPA
    ), sejak Januari hingga 12 Juni 2024 tercatat 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
    Jumlah korbannya mencapai 12.604 orang, dengan lebih dari 10.000 di antaranya adalah perempuan.
    “Jenis kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual sebanyak 5.246 kasus. Yang paling sering terjadi justru di lingkungan rumah tangga,” ujar Arifah.
    Ia menekankan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga mandat konstitusi untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial.
    Menurut Arifah, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan isu multidimensi yang memerlukan pendekatan komprehensif dari pencegahan, perlindungan, hingga pemulihan korban.
    Oleh karena itu, kerja sama antar-lembaga dan lintas sektor sangat krusial.
    Arifah menyebut kehadiran paralegal sangat penting dalam mendampingi korban, terutama saat berada dalam kondisi paling rentan.
    Paralegal menjadi jembatan antara korban dan sistem hukum, membantu menyiapkan dokumen dan membuka akses keadilan.
    “Paralegal akan membantu korban dalam menyiapkan dokumen hukum dan informasi hukum lainnya yang diperlukan korban. Saya percaya pelatihan paralegal akan memberikan dampak positif dan menjadi kekuatan dalam kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan khususnya terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mahasiswi Sebut Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Pesan 3 Anak untuk Disetubuhi
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        14 Juni 2025

    Mahasiswi Sebut Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Pesan 3 Anak untuk Disetubuhi Regional 14 Juni 2025

    Mahasiswi Sebut Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Pesan 3 Anak untuk Disetubuhi
    Tim Redaksi
    KUPANG, KOMPAS.com –
    Stefani Heidi Doko Rehi alias Fani (20), mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), resmi ditahan Kejaksaan Negeri Kota Kupang.
    Adapun Stefani telah ditetapkan sebagai tersangka kasus perdagangan orang.
     
    Dia menyediakan anak di bawah umur kepada tersangka kasus kekerasan seksual, eks Kepala Kepolisian Resor Ngada (Kapolres) Ngada Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.
    Kuasa hukum Fani, Melzon Beri menjelaskan, Fani mengenal Fajar melalui pesan WhatsApp. Saat itu, seseorang menghubungi Fani untuk bertemu dengan Fajar.
    Saat bertemu Fani, Fajar mengaku bernama Fandi dan bekerja sebagai polisi.
    Saat itu Fani tidak mengetahui Fajar adalah Kapolres Ngada. Fajar hanya mengaku sebagai anggota polisi.
    “Sesudah pertemuan itu, klien kami mengetahui Fajar ini memiliki ketertarikan terhadap anak-anak di bawah umur,” ungkap Melzon kepada Kompas.com, Sabtu (14/6/2025).
    Ketiganya lalu disetubuhi di salah satu hotel di Kota Kupang.
    Melzon mengatakan, saat diperiksa ulang oleh Jaksa Penuntut Umum di ruang Pidum Kejaksaan Negeri Kota Kupang, Kamis (12/6/2025), Fani memberikan keterangan secara jujur tanpa adanya tekanan atau paksaan selama proses hukum berlangsung.
    Melzon berharap, jaksa penuntut umum segera melimpahkan dakwàan ke Pengadilan Negeri Kupang untuk segera digelar sidang,
    “Apabila dalam persidangan ditemukan fakta baru terkait ada orang lain yang ikut memberi andil dalam perkara ini, kami minta untuk juga dimintakan pertanggungjawaban hukumnya,” ujar dia.
    Untuk diketahui, kasus itu mencuat ke publik, setelah AKBP Fajar ditangkap oleh petugas Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri pada Kamis (20/2/2025).
    Penangkapan ini menyusul laporan otoritas Australia yang menemukan video tidak senonoh terhadap anak di bawah umur di salah satu situs porno.
    Dalam perjalanan, Fani pun terseret dalam kasus itu karena membawa anak-anak untuk disetubuhi Fajar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Usman Hamid Respons Fadli Zon soal Tidak Adanya Perkosaan Mei 1998: Upaya Pemutihan Dosa – Page 3

    Usman Hamid Respons Fadli Zon soal Tidak Adanya Perkosaan Mei 1998: Upaya Pemutihan Dosa – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menyatakan, dirinya bersama Koalisi Masyarakat Sipil berdiri bersama mengecam pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyebut tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998.

    “Kekerasan seksual Mei 1998 bukan rumor belaka, lawan upaya culas negara dalam memutihkan dosa Orde Baru,” tutur Usman dalam pesan singkatnya, Sabtu (14/6/2025).

    Usman mengatakan, pernyataan Fadli Zon menunjukan sikap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama. Hal itu pun dinilai sebagai upaya mendiskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah melakukan penyelidikan atas peristiwa Mei 1998, dengan kekerasan seksual sebagai bagian di dalamnya.

    “Jelas keliru ucapan yang bilang perkosaan massal saat kerusuhan rasial 13-15 Mei 1998 adalah rumor dan tidak ada buktinya. Rumor adalah cerita atau laporan yang beredar luas di masyarakat tapi kebenarannya diragukan karena tidak ada otoritas yang mengetahui kebenarannya. Padahal waktu itu ada otoritas yang mengetahui kebenarannya, yaitu Tim Gabungan Pencari Fakta, yang dibentuk Presiden BJ Habibie selaku Kepala Negara,” jelas dia.

    Usman mengulas, TGPF pada 23 Juli 1998 dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung.

    Tim Gabungan itu bekerja dalam rangka menemukan dan mengungkap fakta, pelaku, dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei 1998. Mereka terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya.

    Sebagian rekomendasi TGPF pun dipenuhi Habibie, dengan membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan alias Komnas Perempuan. Presiden dan DPR RI saat itu juga meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, serta mengupayakan program perlindungan saksi dan korban melalui UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

  • 7
                    
                        Fadli Zon Terbantahkan Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban Pemerkosaan '98
                        Nasional

    7 Fadli Zon Terbantahkan Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban Pemerkosaan '98 Nasional

    Fadli Zon Terbantahkan Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban Pemerkosaan 98
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS,com
    – Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    dalam beberapa waktu terakhir dikecam atas pernyataannya yang menyebut tidak adanya pemerkosaan pada
    kerusuhan Mei 1998
    .
    Fadli Zon mengatakan, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Namun, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkata lain dengan pernyataan Fadli Zon.
    Sebagai informasi, TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dibentuk berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara PEranan Wanita, dan Jaksa Agung.
    Adapun anggota TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya.
    Dalam laporan tersebut, TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan 1998.
    Bentuk kekerasan seksual dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).
    “Selain korban-korban kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei, TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan Mei. Kasus-kasus kekerasan seksual ini ada kaitannya dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan,” bunyi laporan tersebut.
    Berdasarkan hasil analisis TGPF, kekerasan seksual telah terjadi selama kerusuhan dan merupakan satu bentuk serangan terhadap martabat manusia yang telah menimbulkan penderitaan yang dalam dan rasa takut dan trauma yang luas.
    “Kekerasan seksual terjadi karena adanya niat tertentu, peluang, serta pembentukan psikologi massa yang seolah-olah membolehkan tindakan tersebut dilakukan sehingga melipatgandakan terjadinya perbuatan tersebut,” bunyi laporan TGPF.
    Laporan itu juga menjelaskan, adanya kesimpangsiuran terkait jumlah korban pemerkosaan jika mengacu pada hukum yang mensyaratkan adanya laporan korban, ada/tidaknya tanda-tanda persetubuhan, dan/atau tanda-tanda kekerasan serta saksi dan petunjuk.
    “Di pihak lain, keadaan traumatis, rasa takut yang mendalam serta aib yang dialami oleh korban dan keluarganya, membuat mereka tidak dapat mengungkapkan segala hal yang mereka alami,” bunyi laporan itu.
    Sejarawan dan aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia menilai, pernyataan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan pada kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah dusta.
    Ita yang pernah menjadi Tim Relawan Kemanusiaan yang digagas Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bercerita bahwa ia dan relawan lainnya sampai kewalahan menangani banyaknya pemerkosaan di Jakarta pada Mei 1998.
    “Jadi apa yang disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, itu adalah sebuah dusta,” kata Ita dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Jumat (13/6/2025).
    Ita menuturkan, seorang menteri semestinya mengembalikan memori atau ingatan sebagai reparasi untuk menyembuhkan trauma bangsa ini.
    “Untuk menyembuhkan trauma dari kaum perempuan yang menjadi korban. Tetapi justru dia menegasikan, menyangkal tentang peristiwa perkosaan Mei 1998,” tegas Ita.
    Oleh karena itu, Ita menuntut Fadli Zon untuk menyampaikan permintaan maaf kepada korban karena sampai saat ini masih tertekan dengan kasus pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Rudapaksa Ibu Muda, Ini Tipu Muslihat Dukun Palsu di Serang

    Rudapaksa Ibu Muda, Ini Tipu Muslihat Dukun Palsu di Serang

    Liputan6.com, Serang – Seorang ibu muda berinisial RLS (20) jadi korban rudapaksa dukun palsu. Berdalih bisa membersihkan aura negatif dan melancarkan rezeki, warga Kota Serang, Banten itu dirudapaksa saat akan menjalani ritual pembersihan oleh pelaku DAS (20), yang kesehariannya berprofesi sebagai tukang urut tradisional. “Pelaku dipergoki oleh warga ketika akan melakukan ritual kedua terhadap korban, selanjutnya personel mengamankan pelaku dan membawa ke kantor Satreskrim Polresta Serang Kota untuk dilakukan proses lebih lanjut,” ujar Kapolresta Serkot, Kombes Pol Yudha Satria, Kamis, (12/6/2025).

    RLS bersama suaminya, MZZ (21) bertemu dengan pelaku dan mengaku bisa membersihkan aura negatif serta melancarkan rezeki, namun harus mengikuti ritual yang akan dilaksanakan. Keduanya kemudian membeli bahan untuk melakukan ritual, diantaranya bawang merah, kunyit dan asam jawa. Hingga proses itu dilakukan pada Kamis (22/5/2025) sekitar pukul 05.00 WIB di rumah pelaku, di Kecamatan Walantaka, Kota Serang, Banten. “Kemudian pada saat melakukan ritual pelaku menyuruh korban untuk melepaskan pakaian dan diganti menggunakan sarung,” terangnya.

    Merasa ritual pertama berhasil, pelaku DAS mengajak korbannya melakukan proses yang kedua, dengan alasan untuk penyempurnaan. Hingga pada Kamis (5/6/2025), sekitar pukul 01.30 WIB, ritual itu akan dilaksanakan, namun terpergok warga dan melaporkannya ke Polsek Walantaka dan dibawa ke Polresta Serkot.

    Akibat perbuatannya, pelaku DAS dikenakan Pasal 6 Huruf c Undang-undang (UU) Republik Indonesia nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dan Pasal 2 ayat (1) UU Republik Indonesia nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam. “Kita menyita sejumlah alat ritual, pakaian serta satu bilah pisau. Pelaku terancam penjara paling lama 12 tahun,” jelasnya.

  • Oknum Polisi Diduga Lecehkan Korban, Kementerian PPPA Ambil Tindakan

    Oknum Polisi Diduga Lecehkan Korban, Kementerian PPPA Ambil Tindakan

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menegaskan komitmennya untuk mengawal proses hukum kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami seorang perempuan berinisial MML.

    Kasus ini melibatkan oknum anggota kepolisian, Aipda PS, yang bertugas di Polsek Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur.

    Menteri PPPA Arifah Fauzi menyatakan keprihatinannya atas kejadian tersebut dan menyesalkan bahwa dugaan kekerasan justru terjadi di lingkungan institusi penegak hukum.

    “Kami sangat menyayangkan terjadinya dugaan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat,” ujar Menteri Arifah di Jakarta, Kamis (12/6/2025) dikutip dari Antara.

    Pihak kementerian telah melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di tingkat provinsi dan kabupaten untuk memberikan pendampingan kepada korban, baik dari sisi psikologis maupun hukum. Pendampingan ini juga dilakukan melalui layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.

    Menteri Arifah menegaskan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan harus diproses secara hukum.

    Ia juga menyerukan agar seluruh pihak, termasuk lembaga pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, turut serta menciptakan lingkungan layanan publik yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.

    Peristiwa tersebut terjadi pada 2 Maret 2025 sekitar pukul 21.00 Wita. Saat itu, korban mendatangi Polsek Wewewa Selatan untuk melaporkan kasus pemerkosaan yang dialaminya di Desa Mandungo. Namun, dalam proses pemeriksaan, korban justru diduga mengalami pelecehan oleh petugas yang memeriksanya.

    Saat ini, Aipda PS telah diperiksa oleh pihak Propam dan sedang menjalani proses hukum internal, termasuk penahanan khusus. “Kasus ini saat ini dalam penanganan Propam Polres Sumba Barat Daya,” tambah Menteri Arifah.

  • Komnas Perempuan Kecam Tindakan Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan di NTT

    Komnas Perempuan Kecam Tindakan Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan di NTT

    Komnas Perempuan Kecam Tindakan Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan di NTT
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisioner
    Komnas Perempuan
    , Yuni Asriyanti, mengecam tindakan anggota polisi yang memerkosa korban pemerkosaan di
    Polsek Wewewa Selatan
    ,
    Nusa Tenggara Timur
    (NTT).
    “Komnas Perempuan mengecam tindakan
    kekerasan seksual
    yang dilakukan oleh polisi kepada seorang perempuan korban perkosaan yang melaporkan kasusnya,” ujar Yuni saat dihubungi Kompas.com, Rabu (11/6/2025).
    Yuni mengatakan, tindakan ini merupakan pelanggaran serius yang menyangkut hak atas rasa aman dan keadilan.
    Semestinya, kata Yuni, hak merasa aman dan adil harus dijamin oleh negara kepada setiap warga negara, terlebih kepada korban yang diduga adalah korban perkosaan.
    “Lembaga Kepolisian dan aparatnya yang merupakan penegak hukum, seharusnya menjadi tempat yang aman,” ucapnya.
    Dengan begitu, setiap warga bisa melapor dan menggunakan hak mereka untuk mendapat keadilan, bukan justru menjadi tempat di mana kekerasan dan pelanggaran terjadi.
    “Peristiwa yang terjadi di Sumba Barat Daya ini menambah rentetan kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat kepolisian di kantor mereka, setelah sebelumnya terjadi di Kupang dan Pacitan,” tuturnya.
    Maka dari itu, KPAI mendorong agar pemerintah dan lembaga layanan setempat dapat mengambil langkah-langkah cepat untuk upaya perlindungan dan pemulihan bagi korban. 
    Hal ini sesuai UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
    Kekerasan Seksual
    (UU TPKS) mengenai hak-hak korban kekerasan seksual.
    Di antaranya meliputi hak atas penanganan, perlindungan, pemulihan, restitusi, kompensasi, hak untuk didampingi, dan hak untuk tidak disalahkan serta distigma.
    Oleh karenanya, perlu dipastikan layanan korban untuk hak-haknya dapat diakses.
    Sebelumnya, seorang anggota Polsek Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, berinisial Aipda PS, resmi ditahan oleh Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Sumba Barat Daya.
    Penahanan dilakukan setelah yang bersangkutan diduga melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap seorang korban pemerkosaan yang melapor ke kantor polisi.
    Adapun peristiwa ini mencuat ke publik usai sebuah unggahan viral di media sosial Facebook pada Kamis (5/6/2025).
    Unggahan tersebut menyebutkan bahwa seorang perempuan berinisial MML (25) menjadi korban dugaan pelecehan seksual oleh anggota polisi saat melapor sebagai korban pemerkosaan ke Polsek Wewewa Selatan.
    Kapolres Sumba Barat Daya, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Harianto Rantesalu, membenarkan adanya laporan dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri tersebut.
    Ia menyatakan bahwa Aipda PS kini telah menjalani penahanan khusus selama 30 hari ke depan sambil menunggu proses selanjutnya.
    “Aipda PS telah dikenakan penahanan khusus oleh Seksi Propam Polres Sumba Barat Daya terhitung sejak hari ini, untuk jangka waktu 30 hari ke depan, sambil menunggu proses sidang Kode Etik Profesi Polri,” kata Harianto saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (8/6/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komnas Perempuan Kecam Tindakan Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan di NTT

    Polisi di NTT Lecehkan Korban Pemerkosaan, LBH Apik: Tak Pantas Berseragam Cokelat Lagi

    Polisi di NTT Lecehkan Korban Pemerkosaan, LBH Apik: Tak Pantas Berseragam Cokelat Lagi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Kupang, Ansy Damaris, mengatakan, polisi
    Aipda PS
    yang mencabuli korban pemerkosaan harus bertanggung jawab secara pidana.
    Aipda PS harus segera dipecat dari institusi kepolisian dan menjalani proses pidana atas perlakuan kejinya tersebut.
    “Tersangka polisi di Sumba yang melakukan
    kekerasan seksual
    tidak pantas berseragam cokelat lagi alias harus dipecat dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana,” ucap Ansy kepada Kompas.com, Rabu (11/6/2025).
    Dia mengatakan, Aipda PS juga harus mendapat hukuman maksimal karena ada unsur pemberat sebagai seorang penegak hukum.
    LBH APIK
    juga mendesak agar
    Kapolda NTT
    bisa bertindak tegas atas kasus yang melibatkan anak buahnya tersebut.
    Ansy juga meminta agar Polda NTT membuka kanal pengajuan masyarakat agar semua kasus pelecehan yang dilakukan kepolisian bisa terungkap dengan terang.
    “Mari bersama-sama kita bunyikan Alarm NTT darurat kekerasan seksual agar semua pihak bisa berbenah,” imbuhnya.
    Dia juga berharap agar tindakan tegas dengan pertanggungjawaban pidana bisa mengubah kepolisian di NTT menjadi tempat melapor yang aman.
    Ansy tidak ingin kepolisian yang seharusnya menjadi tempat melaporkan peristiwa kejahatan justru menjadi sarang predator yang memangsa pelapor sehingga menjadi korban ganda.
    “Mereka seperti memasuki sarang predator seksual, terus kepada siapa masyarakat berlindung. Polda NTT harus gerak cepat berbenah,” tandasnya.
    Sebelumnya, Aipda PS resmi ditahan oleh Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Sumba Barat Daya.
    Penahanan dilakukan setelah yang bersangkutan diduga melakukan tindak pelecehan seksual terhadap seorang korban pemerkosaan yang melapor ke kantor polisi.
    Peristiwa ini mencuat ke publik usai sebuah unggahan viral di media sosial Facebook pada Kamis (5/6/2025).
    Unggahan tersebut menyebutkan bahwa seorang perempuan berinisial MML (25) menjadi korban dugaan pelecehan seksual oleh anggota polisi saat melapor sebagai korban pemerkosaan ke Polsek Wewewa Selatan.
    Kapolres Sumba Barat Daya, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Harianto Rantesalu, membenarkan adanya laporan dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri tersebut.
    Ia menyatakan bahwa Aipda PS kini telah menjalani penahanan khusus selama 30 hari ke depan sambil menunggu proses selanjutnya.
    “Aipda PS telah dikenakan penahanan khusus oleh Seksi Propam Polres Sumba Barat Daya terhitung sejak hari ini, untuk jangka waktu 30 hari ke depan, sambil menunggu proses sidang Kode Etik Profesi Polri,” kata Harianto saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (8/6/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pimpinan MPR: Kurangnya pemahaman jadi tantangan implementasi UU TPKS

    Pimpinan MPR: Kurangnya pemahaman jadi tantangan implementasi UU TPKS

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai kurangnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi salah satu tantangan dalam mengimplementasikan aturan tersebut sebagai payung hukum bagi korban kekerasan seksual di Tanah Air.

    “Kurangnya pemahaman terhadap undang-undang ini sendiri, termasuk dari aparat penegakan hukum,” kata Rerie, sapaan karibnya, dalam diskusi daring bertema “Tantangan Penegakan Hukum UU TPKS” yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, Jakarta, Rabu.

    Hal tersebut, kata dia, menyebabkan urgensi perlindungan korban yang menjadi nafas dan substansi dari UU TPKS itu menjadi tidak terejawantahkan.

    “Membuat korban tidak sepenuhnya bisa menggunakan undang-undang ini sebagai dasar dari perlindungan yang harus atau selayaknya mereka dapatkan,” ucapnya.

    Padahal, lanjut dia, UU TPKS mengajak semua pihak untuk mengubah perspektif berpikir dan menempatkan korban dalam konteks yang memang selayaknya mendapatkan perlakuan, serta tidak bisa disamakan dengan sebuah tindak kriminal biasa.

    Untuk itu, dia memandang pembenahan mutlak diperlukan agar UU TPKS dapat diimplementasikan secara efektif bagi korban kekerasan seksual di Indonesia.

    “Mulai dari, pemahaman bahwa ini bukan sekedar undang-undang biasa, bukan sekedar pengetahuan, dan semua elemen yang terkait, baik pemerintah, swasta, masyarakat, dan seluruh individu harus betul-betul memahami substansi dari undang-undang ini sendiri,” tuturnya.

    Dia lantas berkata, “Edukasi menyeluruh dari semua pihak, termasuk di sini keluarga, perlu diperkuat. Dengan demikian, kita bisa memahami dan yang paling penting kehormatan pada martabat manusia diutamakan di dalam kehidupan sosial.”

    Selain pemahaman, dia juga memandang agar UU TPKS dapat berlaku efektif maka diperlukan komitmen kuat dari negara untuk melindungi segenap warga negara dari segala bentuk kekerasan, tak terkecuali kekerasan seksual.

    “Ini adalah amanat dari konstitusi kita, amanat dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, amanat dari dasar negara, dan tentu menjadi apa yang kita citakan oleh founding fathers kita,” katanya.

    Dia pun berharap UU TPKS tidak hanya menjadi produk hukum di atas kertas belaka, tetapi menjadi instrumen nyata dalam menegakkan keadilan dan melindungi hak korban kekerasan seksual.

    Rerie menambahkan implementasi UU TPKS harus bebas pula dari semua unsur yang melemahkan, termasuk dari perspektif budaya itu sendiri ataupun hal-hal lainnya yang memberatkan korban kekerasan seksual.

    Terakhir, dia mengajak pula segenap elemen bangsa untuk bersama-sama mengawal dan memastikan UU TPKS dapat terimplementasi dengan baik dan efektif dalam menghadirkan keadilan bagi korban kekerasan seksual.

    “Tanpa kesadaran kebangsaan dari semua pihak, terutama dari para penyelenggaraan negara untuk melindungi setiap warga negara, tentunya implementasi undang-undang ini akan semakin jauh dan rasanya semakin sulit untuk dilaksanakan,” kata dia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Siswi SD di Lombok Hamil hingga Melahirkan Usai Dijual Kakak Kandungnya ke Seorang Pengusaha

    Siswi SD di Lombok Hamil hingga Melahirkan Usai Dijual Kakak Kandungnya ke Seorang Pengusaha

    GELORA.CO – Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) menetapkan dua tersangka terkait tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak. 

    Korban yang masih berusia 13 tahun dan masih duduk di bangku kelas 6 SD, diduga dijual oleh kakak kandungnya sendiri hingga korban hamil dan melahirkan. 

    Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati menyebutkan, polisi menetapkan dua tersangka yaitu ES (22) yang merupakan kakak korban dan MAA (51) seorang pengusaha di Mataram. 

    Puja menjelaskan, kejadian berawal sekitar bulan Juni 2024 saat tersangka memberi iming-iming hadiah kepada korban.

    Tersangka ES lalu mengajak korban berganti baju di Mataram Mall lalu mengajak korban ke salah satu hotel bintang empat di Mataram.

    Sampai di hotel, tersangka ES mengajak korban masuk ke sebuah kamar hotel. Namun ternyata, di dalam kamar hotel tersebut sudah ada tersangka MAA.

    Setelah ketiganya bertemu, tersangka ES meninggalkan korban di kamar hotel bersama tersangka MAA.

    “ES dan tersangka MAA mempertemukan dengan adiknya atau korban, di sanalah korban mengalami eksploitasi dalam bentuk kekerasan seksual dan pelecehan seksual,” ujar Puja di Mapolda NTB, Selasa (10/6/2025).

    Setelah kejadian tersebut, tersangka MAA memberikan uang Rp 8 juta kepada tersangka ES sebagai bayaran.

    Dari hasil penyidikan sementara, peristiwa tersebut berulang kali terjadi hingga empat kali dengan jumlah nominal pembayaran berbeda-beda.

    Saat ini, kasus dugaan eksploitasi seksual terhadap anak ini sudah masuk dalam proses penyidikan di Ditreskrimum Polda NTB.

    Polisi telah melakukan serangkaian penyidikan dengan melakukan BAP terhadap beberapa saksi dan menyita dokumen terkait status anak korban.

    Polisi juga sudah melakukan penyitaan terhadap Hp, untuk dapat membuktikan rekam digital yang mengungkap fakta peristiwa tersebut.

    Puja mengatakan, modus yang digunakan tersangka ES dengan memberi iming-iming hadiah kepada korban dan mengajak adiknya bertemu dengan tersangka MAA dan menjanjikan akan diberikan hadiah handphone.

    Atas kejadian ini, tersangka ES diduga telah melakukan eksploitasi seksual ekonomi terhadap anak.

    “Hari ini di tanggal 10 Juni 2025 kami meningkatkan status ES dari saksi menjadi tersangka termasuk meningkatkan status MAA dari saksi menjadi tersangka,” ujar Puja.

    Tersangka ES terancam dijerat dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) atau Pasal 88 Juncto Pasal 76i Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.

    Tersangka terancam dijerat dengan hukuman pidana penjara maksimal 12 tahun dan denda maksimal Rp 300 juta.

    Diberitakan sebelumnya, siswi SD menjadi korban prostitusi open BO hingga melahirkan anak.

    Ironisnya, korban dijual oleh kakak kandungnya sendiri yang juga pernah menjadi korban prostitusi.