Kasus: kekerasan seksual

  • Fadli Zon Jawab Soal ‘Perkosaan Massal’ pada Kerusuhan 13-14 Mei 1998

    Fadli Zon Jawab Soal ‘Perkosaan Massal’ pada Kerusuhan 13-14 Mei 1998

    Jakarta

    Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon menyampaikan apresiasi terhadap publik yang semakin peduli pada sejarah termasuk era transisi reformasi pada Mei 1998. Menurutnya, peristiwa huru hara 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif termasuk ada atau tidak adanya ‘perkosaan massal’. Bahkan liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal ‘massal’ ini.

    Demikian pula, kata Fadli Zon, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri.

    “Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” ungkap Fadli Zon dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).

    “Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” imbuhnya.

    Pernyataan Fadli Zon dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah ‘perkosaan massal’, yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

    Pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

    Istilah ‘massal’ menurutnya juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.

    “Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” jelas Fadli Zon.

    Adapun dalam perkembangan penulisan hingga Mei 2025, pembahasan mengenai gerakan, kontribusi, peran, dan isu-isu perempuan telah diakomodasi secara substansial dalam struktur narasi sejarah. Tema-tema yang dibahas mencakup antara lain: kemunculan organisasi-organisasi perempuan pada masa kebangkitan nasional, termasuk Kongres Perempuan 1928 serta peran organisasi perempuan sebagai ormas; kontribusi perempuan dalam perjuangan diplomasi dan militer; dinamika perempuan dari masa ke masa; penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberdayaan dan kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs).

    Terakhir, Fadli Zon juga mengajak masyarakat untuk terlibat dalam dialog secara sehat dan konstruktif, sebagai bagian dari upaya bersama membangun narasi sejarah Indonesia yang berkeadaban, berkeadilan, reflektif, dan terus berkembang. Ia juga menyatakan kesiapan untuk berdialog secara langsung dengan berbagai kelompok masyarakat, untuk mendengarkan aspirasi dan masukan lebih lanjut.

    “Prinsip keterbukaan, partisipasi publik, profesionalisme dan akuntabilitas tentu tetap menjadi dasar penyusunan sejarah. Kami akan melakukan diskusi publik yang terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil,” ujar Fadli Zon.

    “Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab kita di masa kini dan masa depan. Karena itu, mari kita menjadikannya ruang bersama untuk membangun pembelajaran, empati, dan kekuatan pemersatu,” pungkasnya.

    (ega/ega)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • 8
                    
                        Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998: Salah, Luka, dan Lupa
                        Nasional

    8 Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998: Salah, Luka, dan Lupa Nasional

    Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998: Salah, Luka, dan Lupa
    Odri Prince Agustinus D. Sembiring adalah mahasiswa Magister Ilmu Politik di Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Minat risetnya berfokus pada representasi politik, ekologi politik, dan peran masyarakat sipil dalam mendorong transisi menuju keberlanjutan. Saat ini, ia tengah melakukan penelitian tentang paradoks kebijakan lingkungan di Norwegia dengan menggunakan pendekatan teori representasi deliberatif dan psikoanalisis politik. Untuk memperdalam pemahaman mengenai pembangunan global dan tata kelola sumber daya alam, Odri akan melanjutkan studi di Departemen Geografi, Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Norwegia. Di sana, ia akan mengikuti sejumlah mata kuliah seperti Diskursus Pembangunan dan Globalisasi, Jaringan Produksi Global, Perencanaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Lanskap dan Perencanaan: Konsep, Teori, dan Praktik.
    PERNYATAAN
    yang dilontarkan Menteri Kebudayaan,
    Fadli Zon
    , mengenai kerusuhan Mei 1998 baru-baru ini, telah menyulut kembali bara luka lama yang tak kunjung sembuh.
    Dalam wawancara pada 9 Juni 2025, Fadli dengan tegas menyangkal terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan, khususnya keturunan Tionghoa, menyebutnya sekadar “rumor” belaka.
    Klaim ini, sayangnya, bukan hanya opini, melainkan dusta publik yang secara keji mengoyak perasaan para korban dan keluarga yang telah bertahun-tahun menanggung trauma.
    Koalisi pegiat hak asasi manusia segera mengecam, melihatnya sebagai upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM berat yang mencoreng era Orde Baru.
     
    Komnas Perempuan bahkan menegaskan bahwa penyangkalan semacam ini, alih-alih menyembuhkan, justru menambah kepedihan dan melanggengkan impunitas bagi para pelaku.
    Ironisnya, sosok Fadli Zon, yang selama ini dikenal sebagai bagian dari aktivis Reformasi 1998, kini justru berbalik mengingkari fakta sejarah kelam yang dulu ia perjuangkan.
    Tragedi kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar meninggalkan catatan hitam berupa kekerasan berbasis etnis dan gender yang tak terhapuskan.
    Sebagai respons terhadap kegelapan itu, pemerintah pada 1998 membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
    Tim ini, dengan kerja kerasnya, berhasil mencatat setidaknya 85 kasus kekerasan seksual. Angka ini merinci 52 kasus perkosaan massal, 14 perkosaan yang disertai penganiayaan, 10 penyerangan seksual, dan 9 pelecehan seksual.
    Fakta-fakta ini, bukan sekadar ‘cerita’ tanpa dasar, didokumentasikan secara rinci di berbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan.
    Banyak dari korban adalah perempuan Indonesia keturunan Tionghoa yang secara sistematis menjadi target kekerasan rasial.
    Laporan TGPF ini kemudian diserahkan langsung kepada Presiden saat itu, B.J. Habibie, yang pada masanya secara terbuka menyesali kekerasan tersebut dan mengesahkan pembentukan Komnas Perempuan sebagai wujud komitmen negara.
    Jelaslah, tragedi pemerkosaan massal pada Mei 1998, adalah fakta sejarah yang tercatat resmi, bukan sekadar bisik-bisik tanpa bukti.
    Era pasca-Reformasi memang membawa angin segar berupa pengakuan formal negara terhadap pelanggaran HAM berat dalam Tragedi 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun, pengakuan ini sayangnya kerap berhenti di atas kertas.
    Lebih dari dua dekade berlalu, ironi keadilan masih nyata: nyaris tak ada satu pun pelaku yang berhasil diseret ke meja hijau, dan para penyintas masih jauh dari kata adil.
    Kekosongan penegakan hukum ini, mau tak mau, membuka ruang bagi narasi revisi sejarah yang berani meragukan, bahkan menyangkal kebenaran.
    Pernyataan Fadli Zon adalah contoh terbaru dari pola penyangkalan institusional yang sebenarnya bukan hal baru dalam perjalanan bangsa ini.
    Pada awal pasca-1998, pernah muncul gelombang penolakan terhadap laporan perkosaan dengan dalih bahwa tak ada korban yang bersedia bersaksi secara terbuka, seolah mengabaikan betapa dalamnya trauma, stigma, dan intimidasi yang membayangi para korban.
    Galuh Wandita, seorang pengamat, mencatat adanya ancaman terhadap saksi dan disinformasi yang terorganisir, yang bertujuan mendiskreditkan laporan.
    Budaya bungkam inilah yang secara kejam membuat korban enggan muncul ke permukaan, yang kemudian dipelintir seolah ketiadaan kesaksian publik berarti ketiadaan kejadian.
    Sebuah paradoks yang menyakitkan dalam penanganan kekerasan seksual: korban terpaksa bungkam demi keamanan, lantas negara seolah-olah berhak untuk abai.
    Pernyataan Fadli Zon ini dengan jelas memperlihatkan betapa rapuhnya ingatan kolektif bangsa ini, yang kini terancam oleh mereka yang memiliki kuasa untuk menyusun narasi sejarah.
    Ia bahkan disinyalir berencana merevisi narasi sejarah nasional menjelang HUT RI ke-80, untuk menonjolkan sisi ‘positif’ semata.
    Pendekatan semacam ini sangat mengkhawatirkan, karena berpotensi besar menghapus fakta kelam demi narasi yang konon ‘menyatukan’.
    Namun, Komnas Perempuan telah mengingatkan dengan tegas: laporan TGPF 1998 adalah dokumen resmi negara; menyangkalnya sama saja dengan mengingkari kerja kolektif bangsa dalam mencari kebenaran dan keadilan yang telah susah payah diupayakan.
    Secara politis dan moral, mengabaikan atau menyangkal kekerasan seksual adalah tindakan yang tidak dapat diterima. Ada beberapa alasan mendasar mengapa kebungkaman dan penyangkalan oleh tokoh berkuasa justru berpihak pada ketidakadilan:
    Pertama, ini memperkuat ketimpangan kuasa. Membungkam suara korban adalah bentuk kontrol sosial yang keji.
    Ketika pejabat menolak mengakui kesaksian korban, itu memperteguh posisi dominan pelaku dan penguasa, sekaligus merampas hak suara korban.
    Seperti dicatat Courtney E. Ahrens (2006), “untuk bisa berbicara dan didengar berarti memiliki kuasa atas hidup sendiri; sebaliknya dibungkam berarti kuasa itu dirampas”.
    Kedua, ini melanggengkan impunitas dan mengirimkan pesan berbahaya kepada pelaku. Ketika pejabat meragukan atau menyangkal kekerasan seksual, pesan yang sampai kepada publik dan, yang lebih berbahaya, kepada para pelaku, adalah bahwa kejahatan mereka tidak serius.
    Institusi negara, yang seharusnya menjadi ‘gatekeeper’ keadilan, justru mengirim sinyal impunitas.
    Akibatnya, para penyintas merasa sia-sia untuk melapor, sementara pelaku mendapat lampu hijau untuk terus berbuat kejahatan. Ini melanggengkan impunitas struktural yang telah lama menjadi borok di negara ini.
    Ketiga, penyangkalan ini memupuk budaya diam yang menguntungkan pelaku. Korban seringkali enggan melapor karena berbagai alasan: malu, trauma yang mendalam, takut disalahkan, atau ketakutan akan pembalasan. Ini adalah lahan subur bagi para pelaku.
    Ketika wakil pemerintah memperkuat budaya diam ini dengan menyangkal peristiwa yang terdokumentasi dengan jelas, ia secara terang-terangan berpihak pada kepentingan pelaku.
    Keempat, hambatan terhadap keadilan adalah kekerasan struktural itu sendiri. Berbagai hambatan yang dialami korban dalam mencari keadilan—seperti ketidakpercayaan, stigma sosial, atau proses hukum yang berbelit—adalah bentuk kekerasan struktural.
    Kegagalan negara melindungi korban dan memproses pelaku adalah bentuk kekerasan tidak langsung. Pengingkaran yang dilakukan pejabat publik adalah bagian integral dari kekerasan struktural itu sendiri.
    Kelima, ini menunjukkan krisis pengakuan dan empati. Teori politik pengakuan menegaskan bahwa keadilan menuntut adanya pengakuan publik atas penderitaan korban.
    Penyangkalan kekerasan seksual adalah penolakan untuk mengakui kemanusiaan dan derita korban, sebuah kegagalan etis yang mendalam dari seorang pejabat publik.
    Seorang menteri seharusnya menjadi teladan empati, melindungi warga, bukan justru membuka kembali trauma lama.
    Singkatnya, ketidaktahuan yang disengaja atau penyangkalan oleh pejabat mengenai kasus kekerasan seksual adalah tindakan politis yang berdampak sistemik dan merusak tatanan keadilan.
    Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih menegaskan bahwa penyangkalan semacam itu hanya akan memperpanjang impunitas pelaku dan mengabaikan jeritan korban.
    Silence is violence
    —diamnya korban adalah akibat kekerasan, dan diamnya penguasa terhadap kebenaran adalah bentuk kekerasan baru yang tak kalah menyakitkan.
    Ironisnya, pernyataan Fadli Zon muncul di tengah upaya Indonesia membangun pijakan hukum yang lebih progresif dalam menangani kekerasan seksual: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
    Undang-undang ini mencakup definisi kekerasan seksual yang lebih luas dan mekanisme perlindungan korban yang kuat.
    Aparat penegak hukum diwajibkan menangani laporan secara sigap, dengan prosedur yang ramah korban.
    UU ini juga menetapkan sanksi pidana tegas dan fokus pada rehabilitasi pelaku. Secara filosofis, UU ini lahir dari pemahaman bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan luar biasa yang merendahkan martabat manusia dan harus ditangani secara serius.
    Namun, hukum yang tertulis, seprogresif apa pun, bergantung sepenuhnya pada mentalitas aparatur dan elite yang mengimplementasikannya.
    Mentalitas lama, yang merupakan warisan era Orde Baru yang menyangkal pelanggaran HAM, masih membayangi.
     
    Penerapan UU TPKS menghadapi berbagai tantangan: mulai dari kendala pelaporan, hambatan birokrasi, hingga resistensi budaya patriarkal yang masih kuat.
    Proses hukum yang panjang pun berpotensi kembali menimbulkan trauma bagi korban. Pekerjaan rumah penegakan keadilan masih sangat banyak, dan membutuhkan dukungan penuh dari pejabat publik.
    Pernyataan Fadli Zon jelas-jelas bertolak belakang dengan semangat dan jiwa UU TPKS. Alih-alih mendukung langkah maju yang telah diperjuangkan, ia justru memutar balik narasi ke era penyangkalan.
    Sikap ini tidak hanya melukai para penyintas, tetapi juga secara fundamental melemahkan semangat penegakan hukum yang progresif.
    Efektivitas UU TPKS membutuhkan peningkatan pelatihan aparat, perubahan norma sosial, dan mekanisme pelaporan yang lebih mudah diakses.
    Dukungan pimpinan politik menjadi sangat krusial; penyangsian yang datang dari seorang menteri berpotensi besar mengendurkan semangat reformasi dan keadilan yang baru tumbuh.
    Tragedi pemerkosaan massal 1998 bukan hanya sekadar deretan angka statistik; di baliknya ada manusia-manusia yang menanggung trauma mendalam seumur hidup mereka.
    Negara, sebagai pelindung rakyat, semestinya hadir untuk mengakui dan menyembuhkan luka itu, bukan malah menuangkan garam dengan menyangkalnya.
    Berdamai dengan masa lalu hanya mungkin dicapai dengan keterbukaan, kejujuran, dan pertanggungjawaban yang nyata. Penolakan Fadli Zon atas fakta sejarah ini patut dikecam dengan keras.
    Komnas Perempuan telah mengingatkan, menyangkal temuan TGPF 1998 sama saja dengan mengingkari kerja keras bangsa dalam mengejar kebenaran dan keadilan.
    Seluruh upaya advokasi dan pemulihan bagi korban bisa menjadi sia-sia jika ingatan kolektif kita dihapus atau dimanipulasi.
    Di era ketika payung hukum sudah jauh lebih baik dan kesadaran publik tentang kekerasan seksual semakin meningkat, tidak ada ruang lagi bagi penyangkalan semacam ini.
    Fadli Zon—dan siapa pun pemangku kuasa—seharusnya meminta maaf secara tulus dan belajar dari suara korban serta data faktual yang telah tercatat.
    Mengakui kebenaran pahit adalah satu-satunya cara bagi bangsa ini untuk bersatu dan melangkah maju, agar tragedi serupa tak terulang kembali.
    Menyusun sejarah yang ‘positif’ dengan menutupi borok lama hanya akan memperpanjang siklus impunitas dan ketidakpercayaan yang telah lama membelenggu.
    Ketidakpedulian terhadap penderitaan korban adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan dan nilai-nilai reformasi yang dulu diperjuangkan. Suara para penyintas yang sekian lama dibungkam, berhak untuk didengar dan diakui.
    Tugas negara dan kita semua adalah memastikan tidak ada lagi penyangkalan atas kekerasan seksual.
    Sejarah kelam harus diakui apa adanya, sebagai pengingat abadi bahwa kita memiliki pekerjaan moral yang besar untuk memastikan keadilan ditegakkan.
    Dengan mengutuk tegas pernyataan Fadli Zon, kita menegaskan kembali komitmen bersama: kebenaran dan empati kepada korban harus selalu menjadi arus utama dalam setiap kebijakan dan narasi bangsa.
    Negara yang beradab tidak boleh melupakan air mata dan jeritan warganya. Sudah saatnya luka 1998 benar-benar dipulihkan dengan pengungkapan yang jujur, penyesalan tulus, dan tindakan nyata—bukan dengan penyangkalan yang menyesatkan dan melukai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Stefani Heidi Doko, Mahasiswi NTT Sebut Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Pesan 3 Anak untuk Disetubuhi

    Stefani Heidi Doko, Mahasiswi NTT Sebut Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Pesan 3 Anak untuk Disetubuhi

    GELORA.CO – Stefani Heidi Doko Rehi alias Fani (20), mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), resmi ditahan Kejaksaan Negeri Kota Kupang.

    Adapun Stefani telah ditetapkan sebagai tersangka kasus perdagangan orang.

    Dia menyediakan anak di bawah umur kepada tersangka kasus kekerasan seksual, eks Kepala Kepolisian Resor Ngada (Kapolres) Ngada Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.

    Kuasa hukum Fani, Melzon Beri menjelaskan, Fani mengenal Fajar melalui pesan WhatsApp. Saat itu, seseorang menghubungi Fani untuk bertemu dengan Fajar.

    Saat bertemu Fani, Fajar mengaku bernama Fandi dan bekerja sebagai polisi.

    Saat itu Fani tidak mengetahui Fajar adalah Kapolres Ngada. Fajar hanya mengaku sebagai anggota polisi.

    “Sesudah pertemuan itu, klien kami mengetahui Fajar ini memiliki ketertarikan terhadap anak-anak di bawah umur,” ungkap Melzon kepada Kompas.com, Sabtu (14/6/2025).

    Fani diminta untuk membawa tiga anak. Fani kemudian mencarikan anak di bawah umur yang berusia 6, 13, dan 16 tahun.

    Ketiganya lalu disetubuhi di salah satu hotel di Kota Kupang.

    Melzon mengatakan, saat diperiksa ulang oleh Jaksa Penuntut Umum di ruang Pidum Kejaksaan Negeri Kota Kupang, Kamis (12/6/2025), Fani memberikan keterangan secara jujur tanpa adanya tekanan atau paksaan selama proses hukum berlangsung.

    Melzon berharap, jaksa penuntut umum segera melimpahkan dakwàan ke Pengadilan Negeri Kupang untuk segera digelar sidang,

    “Apabila dalam persidangan ditemukan fakta baru terkait ada orang lain yang ikut memberi andil dalam perkara ini, kami minta untuk juga dimintakan pertanggungjawaban hukumnya,” ujar dia.

    Untuk diketahui, kasus itu mencuat ke publik, setelah AKBP Fajar ditangkap oleh petugas Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri pada Kamis (20/2/2025).

    Penangkapan ini menyusul laporan otoritas Australia yang menemukan video tidak senonoh terhadap anak di bawah umur di salah satu situs porno.

    Dalam perjalanan, Fani pun terseret dalam kasus itu karena membawa anak-anak untuk disetubuhi Fajar.

  • Eks Ketua BEM UI Sebut Jokowi Bisa Pakai Cara Brutal Pertahankan Kekuasaan Gibran: Politik Sandera

    Eks Ketua BEM UI Sebut Jokowi Bisa Pakai Cara Brutal Pertahankan Kekuasaan Gibran: Politik Sandera

    GELORA.CO  – Mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Melki Sedek Huang, berkomentar perihal wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

    Pria yang sekarang menjadi politikus muda PDIP itu menyebut bahwa Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) bisa menggunakan cara yang brutal untuk mempertahankan kekuasaan Gibran, seperti dahulu Jokowi mempertahankan kekusaannya.

    Akan tetapi, Melki tak menjelaskan secara rinci cara brutal yang bagaimana yang dilakukan Jokowi.

    Hal ini disampaikan oleh Melki dalam podcast di kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP, Minggu (15/6/2025), seperti dikutip Tribunnews.

    “Kita bisa melihat bagaimana brutalnya mantan presiden Jokowi mempertahankan kekuasaan, bisa jadi dia sebrutal itu mepertahankan kekuasaan anaknya,” kata Melki.

    Menurut Melki, Jokowi juga bisa memakai cara politik sandera, pengguanaan instrumen hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan.

    “Politik sandera pasti akan berlangsung kalau pemainnya Joko Widodo,” ujarnya.

    Melki Sedek Huang menjelaskan bahwa saat ini DPR RI sedang dalam masa reses, sehingga surat pemakzulan Gibran yang telah dikirim oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI harus membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

    Ia menilai saat ini seluruh partai politik mengalami hal bimbang dan sedang membahas persoalan tersebut.

    “Problem utamanya sekarang sedang masa reses, dan surat itu harus diterima pimpinan masuk Bamus dan lain sebagainya,” kata Melki.

    “Sudah pasti semua partai politik sedang membahas bagaimana yang sebaiknya. Pasti ada kegalauan,” tuturnya.

    Menurut Melki, sikap Prabowo yang belum melepas tali persaudaraan dengan Jokowi menjadi ketakutan yang besar bagi sejumlah partai politik.

    Meski begitu, Melki Sedek Huang menegaskan bahwa PDIP akan mengawal proses surat pemakzulan Gibran yang diusulak Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu.

    “Partai politik di parlemen hari ini kalau kita hitung dari komposisi saja hanya PDIP yang di luar pemerintahan,” kata dia.

    “Jadi akan berat, tapi PDIP perjuangan akan mengawal itu terus,” tandasnya.

    Sosok Melki Sedek Huang

    Sosok Melki Sedek Huangpernah menjadi perbincangan publik setelah ia terbukti melakukan kekerasan seksual.

    Melki terbukti lakukan kekerasan seksual diperkuat dengan adanya Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas Indonesia Nomor 49/SK/R/UI/2024, yang ditandatangani Rektor UI Ari Kuncoro, pada 29 Januari 2024.

    Melki tercatat pernah menempuh studi Fakultas Hukum (FH) UI pada 2019.

    Ia mempelajari fokus studi pada Ilmu Hukum Hak Asasi Manusia, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi.

    Jabatan sebagai Ketua BEM UI diembannya sejak Januari 2023.

    Sebelumnya, pada Oktober 2019, Melki magang di BEM Fakultas Hukum UI bagian Bidang Sosial dan Politik.

    Dalam organisasi, ia pernah menjadi Staf Departemen Penelitian Hukum dan Tindakan Strategis pada 2020 hingga 2021.

    Setelah itu berlanjut sebagai Wakil Kepala Departemen Penelitian Hukum dan Tindakan Strategis BEM FH UI pada 2021-2022.

    Kemudian dilanjutkan menjadi Koordinator Bidang Sosial dan Politik BEM UI pada Januari 2022-2023.

    Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, Melki pernah magang di LBH Jakarta selama 4 bulan, sejak Agustus hingga November 2021.

    Pada Agustus 2022 hingga Februari 2023, ia juga pernah magang di Tampubolon, Tjoe, and Partners.

    Melki juga pernah aktif sebagai sukarelawan di Rumah Belajar Matalangi pada Oktober hingga November 2019.

    Saat terjerat kasus pelecehan, Melki disanksi administratif oleh pihak Rektorat UI berupa skorsing akademik selama satu semester.

    Adapun selama masa skorsing tersebut, Melki dilarang menghubungi, melakukan pendekatan, berada dalam lokasi berdekatan, dan/atau mendatangi korban.

    Selain itu, Melki juga dilarang aktif secara formal maupun informal dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan pada tingkat program studi, fakultas, dan universitas serta berada di lingkungan kampus Universitas Indonesia

  • Komnas Perempuan desak Menbud tarik pernyataan dan minta maaf

    Komnas Perempuan desak Menbud tarik pernyataan dan minta maaf

    Ilustrasi – Warga berdoa di makam korban pelanggaran HAM masa lalu saat mengikuti Napak Reformasi di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Sabtu (17/5/2025). Komnas Perempuan memperingati 27 tahun reformasi melalui kunjungan ke sejumlah situs yang menjadi saksi bisu peristiwa Tragedi Mei 1998 untuk merawat ingatan publik atas peristiwa pelanggaran HAM, khususnya yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/agr

    Komnas Perempuan desak Menbud tarik pernyataan dan minta maaf
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Minggu, 15 Juni 2025 – 15:16 WIB

    Elshinta.com – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk menarik pernyataannya yang menyangkal terjadinya kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998, dan meminta maaf kepada penyintas dan masyarakat.

    “Kami mendorong agar pernyataan tersebut dapat ditarik dan disampaikan permintaan maaf kepada penyintas dan masyarakat sebagai wujud tanggung jawab moral dan komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia,” kata Anggota Komnas Perempuan Yuni Asriyanti di Jakarta, Minggu.

    Menurutnya, pengakuan atas kebenaran merupakan pondasi penting bagi proses pemulihan yang adil dan bermartabat.

    Komnas Perempuan mengingatkan bahwa hasil laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998 mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM, yakni 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan.

    Temuan tersebut telah disampaikan langsung kepada BJ Habibie selaku Presiden RI saat itu dan menjadi dasar pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres Nomor 181 Tahun 1998.

    Komnas Perempuan juga mengingatkan bahwa dokumen TGPF adalah produk resmi negara.

    “Komnas Perempuan menyerukan kepada semua pejabat negara agar menghormati kerja-kerja pendokumentasian resmi, memegang teguh komitmen HAM, dan mendukung pemulihan korban secara adil dan bermartabat,” kata Plt Wakil Ketua Komnas Perempuan Sondang Frishka Simanjuntak.

    Sebelumnya, dalam sebuah wawancara dengan media, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan bahwa pemerkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998 tidak pernah ada.

    Menurut Fadli, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.

    Fadli Zon mengaku pihaknya pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.

    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.

    Saat ini Kementerian Kebudayaan sedang merencanakan penulisan ulang sejarah.

    Menurut dia, penulisan ulang sejarah Indonesia tersebut akan mengedepankan pendekatan positif dan tidak mencari kesalahan pihak-pihak tertentu dalam sejumlah peristiwa sejarah.

    “Jadi kita tentu tone-nya itu adalah dalam sejarah untuk mempersatukan kebenaran bangsa. Untuk apa kita menulis sejarah untuk memecah-belah bangsa,” kata Fadli Zon.

    Sumber : Elshinta.Com

  • Kecam Pernyataan Fadli Zon, Perempuan PKB Tegaskan Pemerkosaan Mei 1998 Tragedi Kemanusiaan Nyata – Page 3

    Kecam Pernyataan Fadli Zon, Perempuan PKB Tegaskan Pemerkosaan Mei 1998 Tragedi Kemanusiaan Nyata – Page 3

    Ninik menambahkan, tragedi Mei 1998 merupakan peristiwa berdarah yang tidak hanya menewaskan banyak warga sipil, tetapi juga menyisakan luka mendalam bagi perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

    “Fakta-fakta tentang pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa telah tercatat dalam laporan Komnas Perempuan, TGPF, dan menjadi perhatian dunia internasional. Mengingkari fakta tersebut sama saja dengan merendahkan martabat para korban dan menutup ruang pemulihan bagi mereka,” pungkasnya.   

    Sebelumnya dalam sebuah wawancara dengan media, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan bahwa pemerkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998 tidak pernah ada.

    Menurut mantan aktivis 98 sekaligus politikus senior Partai Gerindra tersebut, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.

     

  • Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor

    Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor

    Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pada 15 Juli 1998, Presiden Ketiga Republik Indonesia,
    BJ Habibie
    , mengeluarkan pernyataan genting atas peristiwa yang turut menjadi warna kelam sejarah bangsa Indonesia untuk melahirkan era reformasi.
    Pernyataan itu berkaitan dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam bentuk perkosaan yang terjadi dalam proses pergantian rezim saat itu.
    Habibie membacakan selembar kertas pernyataan yang kini diabadikan dalam prasasti yang terpampang di depan pintu masuk kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
    Pernyataan itu dengan jelas memberikan pengakuan dan penyesalan negara atas peristiwa pemerkosaan yang pernah terjadi.
    “Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,”
    kata Habibie.
    Dalam pernyataannya, Habibie atas nama kepala negara saat itu tidak hanya mengakui dan menyesal. Habibie juga menjanjikan pemerintah akan memberikan perlindungan keamanan kepada seluruh masyarakat untuk menghindari terulangnya kasus serupa yang disebut “sangat tidak manusiawi dalam sejarah bangsa Indonesia”.
    Habibie juga meminta agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera jika melihat adanya kekerasan terhadap perempuan di mana pun.
    Di akhir pernyataannya, Habibie kembali menegaskan atas nama pemerintah mengutuk aksi kekerasan dan peristiwa kerusuhan yang terjadi, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
    Pergantian tampuk kepemimpinan negeri ini dari rezim Orde Baru menuju Era Reformasi diawali dengan pembentukan berbagai lembaga baru.
    Kelahiran pertama lembaga baru tersebut adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (
    Komnas Perempuan
    ) yang ditetapkan lewat Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998.
    Karenanya, lembaga yang berkantor di Jalan Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat ini sering dijuluki sebagai “Anak Sulung Reformasi”.
    Mereka kemudian dikuatkan oleh Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 Junto Peraturan Presiden No 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
    Lembaga yang berusia 26 tahun ini ditugaskan untuk menjaga agar peristiwa perkosaan massal tidak terulang lagi.
    Namun, peristiwa yang telah diakui negara itu kini hanya disebut sebagai rumor oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
    Dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
    Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan
    tone
    -nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
    Namun, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkata lain dengan pernyataan Fadli Zon.
    Sebagai informasi, TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dibentuk berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara PEranan Wanita, dan Jaksa Agung.
    Adapun anggota TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya.
    Dalam laporan tersebut, TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan 1998. Bentuk kekerasan seksual dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).
    Hal ini yang menjadi pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keppres No. 181 Tahun 1998.
    Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, mengatakan, sikap Fadli Zon yang menyebut fakta ini sebagai rumor sangat menyakitkan, khususnya bagi para korban.
    “Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” katanya.
    Dia juga mengingatkan, dokumen TGPF dan pengakuan Presiden Habibie adalah produk resmi negara.
    Mengatakan perkosaan sebagai rumor bisa saja menyebut negara membuat sebuah kebohongan di tengah-tengah masyarakat.
    “Oleh karenanya, menyangkal dokumen resmi TGPF berarti mengabaikan jerih payah kolektif bangsa dalam menapaki jalan keadilan. Sikap semacam itu justru menjauhkan kita dari pemulihan yang tulus dan menyeluruh bagi para penyintas,” imbuh Dahlia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • FAMM meminta Fadli Zon minta maaf terkait sikapnya soal tragedi 1998

    FAMM meminta Fadli Zon minta maaf terkait sikapnya soal tragedi 1998

    FOTO ARSIP: Sejumlah massa membakar foto pengusaha Indonesia Sadono Salim dan istrinya di depan kediaman konglomerat yang terletak di kawasan Jalan Gunung Sahari, Jakarta, Kamis (14/5/1998), Setelah massa membakar rumah konglomerat yang kerap dipanggil Om Liem itu. FOTO ARSIP ANTARA FOTO/Oscar Motuloh

    FAMM meminta Fadli Zon minta maaf terkait sikapnya soal tragedi 1998
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Minggu, 15 Juni 2025 – 06:15 WIB

    Elshinta.com – Perwakilan Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Tuba Falopi menilai Menteri Kebudayaan Fadli Zon harus meminta maaf kepada masyarakat Tionghoa di Indonesia lantaran tidak mengakui adanya peristiwa pemerkosaan saat tragedi 1998.

    “Sebagai penyintas, pernyataan Fadli Zon memperparah luka kami. Ini bukti negara mengabaikan penyelesaian pelanggaran HAM,” kata Tuba dalam siaran pers resmi yang dikutip dari ANTARA, Sabtu.

    Menurut Tuba, kekerasan seksual pada saat itu menjadi salah satu instrumen kekuasaan yang brutal, terutama kepada kaum masyarakat Tionghoa.

    Kondisi tersebut harus menjadi perhatian pemerintah saat ini yakni dengan cara memberikan perhatian lebih kepada para korban.

    “Negara gagal melindungi dan memilih menutup mata,” kata Tuba.

    Dalam siaran pers yang sama, Diyah Wara Restiyati dari Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia mengatakan hingga saat ini, masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya tercatat dalam sejarah Indonesia.

    “Mulai dari masa sebelum kemerdekaan sampai reformasi, sejarah masyarakat Tionghoa belum masuk. Ketika Bapak Fadli Zon mengatakan tidak ada kekerasan terhadap perempuan Tionghoa pada Mei 1998, itu melukai kami,” ujarnya.

    Diyah yang juga sebagai korban pada masa itu mengaku merasa sakit hati dengan pernyataan Fadli Zon yang menyebut peristiwa kelam yang dialami warga Tionghoa hanyalah rumor.

    “Ini bukti negara mengabaikan penyelesaian pelanggaran HAM,” jelas dia.

    Sumber : Antara

  • Fadli Zon Sebut Kasus Kekerasan Seksual pada Mei 1998 Tidak Ada Bukti, Kader PKB: Apa Alasan Dia?

    Fadli Zon Sebut Kasus Kekerasan Seksual pada Mei 1998 Tidak Ada Bukti, Kader PKB: Apa Alasan Dia?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Salah satu kader PKB, Umar Hasibuan mempertanyakan pernyataan yang diungkap oleh Fadli Zon.

    Adapun pun pernyataan dari Fadli Zon terkait peristiwa kekerasan seksual yang terjadi pada Mei 1998.

    Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, Umar Hasibuan mempertanyakan alasan Fadli mengungkap pernyaanya itu.

    Bahkan, alasan dibalik pernyataan dari Fadli menjadi pertanyaan besar baginya.

    “Koq bisa fadli zon bicara gini ya?,” tulisnya dikutip Minggu (15/6/2025).

    “Apa alasan dia ges?,” tuturnya.

    Sebelumnya, pernyataan Fadli Zon itu disampaikan dalam wawancara kanal YouTube, 10 Juni 2025. 

    Ia menyebut kekerasan seksual dalam tragedi tersebut sebagai rumor dan tidak tercatat dalam sejarah resmi.

    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon 

    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.

     “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” ujarnya. (Erfyansyah/Fajar)

  • Kejahatan Seksual Jenis Kejahatan Paling Banyak Terjadi di Indonesia

    Kejahatan Seksual Jenis Kejahatan Paling Banyak Terjadi di Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengatakan kekerasan seksual menjadi jenis kejahatan yang paling banyak dilaporkan terjadi di Indonesia.

    Adapun rumah tangga menjadi tempat terjadinya kekerasan yang paling banyak dilaporkan.

    “Kalau dilihat dari jenis kekerasannya maka kekerasan seksual yang menempati posisi paling tinggi dan kalau dilihat dari tempat kejadian dari kekerasan ini yang paling tinggi ada di rumah tangga,” kata Arifah seusai menghadiri pelatihan paralegal nasional Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) di Kementerian Hukum, Jakarta, Sabtu (14/6/2025).

    Hal tersebut, kata dia, sebagaimana data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) dari Januari hingga Juni 2024 mencatat ada 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan, dengan total korban mencapai 12.604 orang.

    “Terbanyak adalah korbannya perempuan 10.000 lebih. Dari jenis kekerasannya, yang terbanyak adalah kekerasan seksual dengan jumlah 5.246, sedangkan tempat kejadian yang paling tinggi adalah di ranah rumah tangga,” katanya saat memberikan pidato sambutan dikutip dari Antara.

    Adapun, lanjut dia, berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menunjukkan satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya.

    Sementara itu, kata dia, sembilan dari 100 anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidupnya.

    Bahkan, dia menyebut dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) yang tak ia sebutkan tahunnya, satu dari dua anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan emosional sepanjang hidupnya.

    “Ini tidak sekedar angka dalam statistik. Ada kisah, ada trauma, ada penderitaan dan juga dampak buruk bagi korban, yaitu penderitaan fisik, psikologi, kesehatan, ekonomi, dan juga sosial,” paparnya.

    Di samping itu, dia menyebut kasus inses oleh anggota keluarga di ranah domestik juga menjadi salah satu kasus kekerasan seksual yang sangat tinggi terjadi di Indonesia.

    “Dan agak sulit untuk melakukan penyelesaian karena ini hubungan yang sangat dekat dalam sebuah keluarga,” katanya.

    Oleh sebab itu, dia menegaskan data tersebut menjadi bukti nyata bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan isu multidimensi yang memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai pihak, mulai dari pencegahan, perlindungan, hingga pemulihan korban.

    “Hal ini menegaskan urgensi untuk implementasi kebijakan, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan memastikan ketersediaan serta aksesibilitas layanan perlindungan yang harus ditingkatkan dan diperkuat baik oleh pemerintah maupun masyarakat,” katanya.

    Dia pun memandang kehadiran paralegal sebagaimana pelatihan yang diberikan kepada ribuan anggota Muslimat NU pada acara tersebut sangatlah penting sebagai jembatan yang menghubungkan korban yang banyak di antaranya perempuan dengan sistem hukum dan keadilan.

    “Selain menjadi pendamping hukum dan mediator, para legal juga membantu korban untuk menjangkau akses bagi korban untuk memperoleh keadilan atas kasus yang dialaminya. Para legal akan membantu korban dalam menyiapkan dokumen hukum dan keadilan hukum lainnya yang diperlukan,” kata dia.