Kasus: kekerasan seksual

  • Komisi X DPR Bakal Panggil Fadli Zon soal Ucapan Terkait Pemerkosaan Massal ’98

    Komisi X DPR Bakal Panggil Fadli Zon soal Ucapan Terkait Pemerkosaan Massal ’98

    Jakarta

    Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menuai kecaman karena menyatakan tidak ada bukti dalam pemerkosaan massal Mei 1998. Komisi X DPR RI akan memanggil Fadli Zon untuk klarifikasi.

    “Pernyataan Menteri Kebudayaan yang menyebut bahwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanya sebatas rumor, perlu secara resmi diklarifikasi. Komisi X DPR RI tentu akan meminta penjelasan lebih lanjut terkait pernyataannya tersebut,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, kepada wartawan, Selasa (17/6/2025).

    “Tentu Masa Sidang IV yang akan dimulai pada 24 Juni atau minggu depan, kami akan mengagendakan Raker/RDP dengan seluruh mitra Komisi X, termasuk Kementerian Kebudayaan,” sambungnya.

    Lalu menerangkan Fadli Zon harus mengklarifikasi pernyataannya mengingat permasalahan sejarah kekerasan seksual di Indonesia sangat sensitif bagi bangsa. Dia menyebut pernyataan Fadli Zon meragukan temuan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) yang bisa melukai dan mencederai penegakan HAM.

    “Hal ini penting dilakukan mengingat, permasalahan sejarah kekerasan seksual di Indonesia, adalah yang cukup sensitif bagi bangsa. Meragukan temuan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) tersebut, bisa melukai dan mencederai semangat penegakan HAM dan rekonsiliasi nasional,” ujarnya.

    “Menurut saya pemerintah perlu menunjukkan sikap yang lebih empatik kepada para korban dan keluarganya alih-alih meragukan fakta yang dihimpun TGPF,” imbuhnya.

    “Tragedi Mei 1998 tetap harus masuk dalam narasi sejarah nasional, termasuk dalam kurikulum dan kebijakan kebudayaan. Hal ini penting untuk memastikan keadilan memori dan menghindari penghapusan sejarah (historical denialism),” lanjutnya.

    Legislator PKB ini mengatakan pihaknya mendorong pemerintah untuk memperkuat komitmen terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kerusuhan Mei 1998. Komisi X, kata Lalu, mempunyai andil untuk memperjuangkan keadilan bagi korban serta memastikan tragedi serupa tidak terulang di masa depan.

    “Kami Komisi X DPR-RI sangat berkepentingan untuk menjaga kebenaran sejarah, memperjuangkan keadilan bagi korban, serta memastikan bahwa tragedi serupa tidak terulang di masa depan,” tambahnya.

    Pernyataan Fadli Zon Dikecam

    Diberitakan sebelumnya, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait pemerkosaan massal 1998 menuai kritik luas hingga didesak minta maaf. Fadli Zon menjawab kritik tersebut.

    Kritik hingga kekecewaan terhadap Fadli Zon disampaikan oleh sederet aktivis. Pernyataan Fadli Zon dalam sebuah wawancara itu dinilai keliru.

    Komnas Perempuan menyebut penyintas tragedi ini telah lama memikul beban. Oleh karenanya, pernyataan Fadli Zon itu dinilai menyakitkan dan memperpanjang impunitas.

    “Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih kepada wartawan, Minggu (15/6).

    Sementara itu, dalam klarifikasinya, Fadli Zon mengapresiasi terhadap publik yang semakin peduli pada sejarah, termasuk era transisi reformasi pada Mei 1998. Fadli Zon mengatakan peristiwa huru hara pada 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk ada atau tidak adanya perkosaan massal. Bahkan, kata dia, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal ‘massal’ ini.

    Demikian pula, kata Fadli, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah, dia menyebut perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

    “Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” kata Fadli dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).

    “Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” imbuhnya.

    (whn/aud)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • 3 Tahun Buron Usai Hamili Gadis Banten, Pria Ini Ditangkap di Malaysia
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        17 Juni 2025

    3 Tahun Buron Usai Hamili Gadis Banten, Pria Ini Ditangkap di Malaysia Bandung 17 Juni 2025

    3 Tahun Buron Usai Hamili Gadis Banten, Pria Ini Ditangkap di Malaysia
    Tim Redaksi

    SERANG, KOMPAS.com
    – Polisi menangkap HS (23), tersangka kasus
    kekerasan seksual
    terhadap pacarnya, usai tiga tahun buron dan sempat bekerja di Malaysia.
    “Selama dalam pelarian, tersangka mengaku bersembunyi-sembunyi di kampung halamannya, lalu kabur ke Malaysia,” kata Kapolres Serang AKBP Condro Sasongko kepada wartawan melalui pesan WhatsApp, Senin (16/6/2025).
    HS ditangkap di rumahnya di Pahang, Kecamatan Datuk Bandar, Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada Rabu (11/6/2025) malam. Selama berada di Malaysia, HS bekerja sebagai koki di sebuah restoran untuk mencukupi kebutuhannya.
    Setelah beberapa bulan, HS kembali ke kampungnya dan menikahi perempuan lain. Mereka kini telah dikaruniai satu anak.
    Padahal, menurut Condro, HS pernah berjanji akan bertanggung jawab atas kehamilan pacarnya yang berasal dari Cikande, Kabupaten Serang. Janji itu disampaikan pada 2022 lalu.
    “Selama berpacaran pelaku dan korban kerap melakukan hubungan intim hingga akhirnya korban hamil,” ujar Condro.
    Hubungan tersebut dilakukan di rumah bibi pelaku pada April 2022. Saat korban diketahui hamil, keluarga meminta HS menikahinya. HS menjanjikan akan menikahi korban setelah menyelesaikan kuliah, tetapi kemudian melarikan diri.
    Pada 26 April 2022, keluarga korban melaporkan peristiwa itu ke Polres Serang. Polisi langsung melakukan pencarian, namun pelaku tidak ditemukan. Beberapa lokasi disisir, hingga akhirnya Polres Serang menetapkan HS dalam daftar pencarian orang (
    DPO
    ).
    “Sejumlah lokasi yang diduga dijadikan tempat persembunyian sudah kami sasar namun pelaku tidak berhasil ditemukan,” kata Condro.
    Pelarian HS berakhir setelah penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Serang bekerja sama dengan personel Satreskrim Polres Tanjung Balai menangkapnya.
    “Saat ini tersangka HS ditahan di Mapolres Serang untuk diproses sesuai hukum yang berlaku,” ujar Condro.
    HS dijerat Pasal 81 Ayat (1) Jo Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
    “Ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara,” tambah Kasat Reskrim Polres Serang AKP Andi Kurniady.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98

    2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98

    2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Koalisi Masyarakat Sipil
    Melawan Impunitas mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    yang dinilai menyesatkan dan merendahkan perjuangan para korban kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998.
    “Pertama, ia menyatakan bahwa tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk
    perkosaan massal
    , dalam peristiwa tersebut,” kata Koalisi, dilansir siaran pers di situs web KontraS, Senin (16/6/2025).
    Kecaman tersebut disampaikan dalam pernyataan bersama yang dirilis pada 12 Juni 2025, menanggapi pernyataan Fadli dalam video wawancara bertajuk “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah” yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025.
    Poin kedua yang disoroti Koalisi, Fadli Zon mengeklaim bahwa isu tersebut hanyalah “rumor” dan tidak pernah tercatat dalam buku sejarah.
    Pernyataan ini dinilai merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan.
    Koalisi menilai pernyataan tersebut juga melecehkan kerja-kerja investigatif Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM yang telah mendokumentasikan secara rinci berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998, termasuk perkosaan massal terhadap perempuan, mayoritas dari etnis Tionghoa.
    Menurut laporan akhir TGPF pada 23 Oktober 1998, ditemukan setidaknya 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan disertai penganiayaan, serta puluhan korban serangan dan pelecehan seksual lain di Jakarta, Medan, Surabaya, dan sejumlah wilayah lainnya.
    TGPF juga mencatat bahwa sebagian besar kekerasan seksual yang terjadi adalah “gang rape”, dilakukan oleh beberapa pelaku secara bergantian dan kerap disaksikan orang lain.
    Koalisi menyebut bahwa pernyataan Fadli Zon mengingkari bukti-bukti tersebut dan berpotensi memperkuat budaya impunitas atas pelanggaran berat HAM masa lalu.
    Lebih dari itu, sikap tersebut juga dianggap sebagai upaya sistematis untuk menghapus narasi kekerasan seksual Mei 1998 dari sejarah resmi Indonesia.
    “Pernyataan Fadli Zon mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dengan cara meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi,” ungkap koalisi.
    Negara pun disebut mengalami kemunduran dalam menjamin perlindungan kepada perempuan jika sepakat dengan pernyataan Fadli Zon.
    Koalisi juga mengkritik peran Fadli Zon yang saat ini memimpin proyek revisi penulisan sejarah nasional dan menjabat sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK).
    Jabatan strategis ini dinilai memberi Fadli ruang untuk mengarahkan narasi sejarah nasional, termasuk potensi rehabilitasi politik terhadap figur-figur kontroversial dari era Orde Baru.
    Salah satu kekhawatiran Koalisi adalah menguatnya kembali wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto.
    Padahal, Soeharto dinilai sebagai tokoh sentral dalam berbagai pelanggaran HAM berat dan praktik korupsi selama masa kepemimpinannya.
    “Fadli Zon secara terbuka pernah menyatakan bahwa Soeharto layak mendapat gelar pahlawan. Ini jelas bertolak belakang dengan fakta sejarah dan menyinggung rasa keadilan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu,” tutur koalisi.
    Dalam pernyataan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menyampaikan sejumlah tuntutan:
    1. Menuntut Fadli Zon mencabut pernyataannya dan meminta maaf secara terbuka kepada para korban kekerasan seksual Mei 1998.
    2. Mendesak pembatalan pengangkatan Fadli Zon sebagai Ketua GTK (Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan -red)
    3. Meminta Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan sejarah nasional yang dinilai tidak partisipatif dan berpotensi ahistoris.
    4. Menolak segala bentuk upaya rehabilitasi politik terhadap tokoh-tokoh bermasalah dari Orde Baru, termasuk wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
    5. Mendesak Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM sesuai UU Pengadilan HAM.
    6. Menegaskan pentingnya menjaga hasil kerja TGPF, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan sebagai pijakan sejarah bangsa yang adil dan bermartabat.
    Sebelumnya, banyak pihak mengecam pernyataan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998 lalu.
    Dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
    Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PDI-P Akan Tulis Sejarah Sebagai Pembanding Versi Pemerintah

    PDI-P Akan Tulis Sejarah Sebagai Pembanding Versi Pemerintah

    PDI-P Akan Tulis Sejarah Sebagai Pembanding Versi Pemerintah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Ketua DPP
    PDI Perjuangan
    Bambang Wuryanto mengatakan, partainya memiliki rencana untuk menulis ulang sejarah guna menjadi pembanding dari hasil proyek penulisan sejarah yang diinisiasi Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    .
    Bambang Pacul
    , sapaan akrabnya, berpandangan bahwa subyektivitas penulis tidak bisa dihindari dalam penulisan sejarah karena setiap pihak memang memiliki pandangan sendiri terhadap sejarah.
    “Terhadap penulisan sejarah ini gimana Pak Pacul? Yang diinisiasi oleh Pak Menteri Kebudayaan, Fadli Zon ini gimana sikap PDI Perjuangan? PDI Perjuangan juga akan menulis sejarah,” ujar Bambang Pacul di Kompleks Parlemen, Senin (16/6/2025).
    Wakil Ketua MPR ini meyakini bahwa dalam proses menulis sejarah, setiap orang pasti membawa nilai dan afeksinya masing-masing.
    Contohnya, ia merasa tidak akan mungkin menulis sisi negatif tentang Soekarno karena ia mengagumi presiden pertama Republik Indonesia itu.
    “Apakah kalau saya yang nulis?
    Podo wae
    . Aku juga punya subjektivitas. Enggak mungkin aku tulis, ada hal kecil soal Bung Karno, saya pasti enggak mau. Oh, aku pecintanya Bung Karno. Kamu misalnya, mau enggak kalau pacarmu yang kamu cintai itu dikritik? Enggak maulah,” kata dia.
    Oleh karena itu, tak menutup kemungkinan PDI-P memilih untuk menulis versinya sendiri daripada terjebak dalam perdebatan panjang karena perbedaan tafsir sejarah.
    “Jadi kalau hanya ngotot-ngototan, ya kita bikin sejarah kita sendiri dengan fakta yang kita punya sendiri.
    Just as simple as that
    . Wo iya toh?
    Simple-simple
    saja.
    Clear
    ya,” kata Bambang Pacul.
    Pernyataan ini juga sekaligus sebagai respons atas pernyataan kontroversial Fadli Zon yang menyatakan, tidak ada bukti peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
    “Bahwa subjektivitas Pak Fadli Zon mau mengambil cara yang berbeda, ya dipersilakan. Nanti kan ditabrakkan dengan ayat, fakta. Kita kan susah hari ini kalau hanya ngotot-ngototan tok,” kata dia.
    Bambang pun menyinggung pernyataan Presiden ke-3 RI B.J. Habibie soal kerusuhan Mei 1998 dan kasus kekerasan seksual yang menyertainya.
    Dia meminta publik untuk membaca kembali apa yang pernah disampaikan Habibie selaku Presiden pada masa itu.
    “Kalau terkait dengan, mohon maaf, tidak ada pemerkosaan, ya silakan dibaca Pak Habibie. Waktu itu Presiden Habibie de jure Presiden, statement-nya apa? Ya silakan dibaca. Saya enggak mau kontradiksikan, lah. Sampeyan baca,” kata Bambang Pacul.
    Diberitakan sebelumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan gagasan untuk melakukan penulisan ulang sejarah bangsa dengan penekanan pada narasi atau nada yang lebih positif.
    Dia mengatakan bahwa salah satu tujuan
    penulisan ulang sejarah Indonesia
    adalah mempersatukan bangsa dan kepentingan nasional.
    “Kita ingin sejarah ini Indonesia-sentris. Mengurangi atau menghapus bias-bias kolonial. Kemudian, terutama untuk mempersatukan bangsa dan kepentingan nasional,” kata Fadli saat ditemui di Cibubur, Depok, Jawa Barat, Minggu (1/6/2025) lalu.
    Fadli juga mengatakan bahwa penulisan sejarah ulang dimaksudkan agar peristiwa di masa lalu bisa relevan untuk generasi saat ini, terutama terkait prestasi dan capaian di masa lalu untuk memberikan semangat generasi penerus dengan belajar dari kesuksesan pendahulu.
    Fadli juga menyebutkan bahwa penulisan sejarah ulang yang dilakukan pemerintah tidak bertujuan untuk mencari-cari kesalahan di masa lalu.

    Tone
    kita adalah
    tone
    yang lebih positif. Karena kalau mau mencari-cari kesalahan, mudah. Pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PDIP Kritik Fadli Zon: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah – Page 3

    PDIP Kritik Fadli Zon: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah – Page 3

    “Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan.” tegas Fadli.

    Pernyataan Fadli dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal,” yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

    Pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

    “Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” imbuhnya.

    Istilah ‘massal’, menurutnya juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik. “Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif.” ucap dia.

  • Fadli Zon Sebut Pemerkosaan 1998 Hanya Rumor, Soe Tjen Marching: Ada Bukti dan Korban Nyata

    Fadli Zon Sebut Pemerkosaan 1998 Hanya Rumor, Soe Tjen Marching: Ada Bukti dan Korban Nyata

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Penulis dan pengajar di SOAS University Of London, Soe Tjen Marching merespon pernyataan dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

    Sebelumnya, pernyataan kontroversi disampaikan Fadly Zon dalam wawancara kanal YouTube, 10 Juni 2025. 

    Ia menyebut kekerasan seksual dalam tragedi 1998 tersebut sebagai rumor dan tidak tercatat dalam sejarah resmi.

    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon 

    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.

     “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” ujarnya.

    Merespon hal ini, Soe Tjen Marching mengungkap fakta menarik sekaligus membantah pernyataan dari Fadli Zon.

    Ia menyebut ada beberapa penelitian yang menyebut ada banyak korban yang jumlahnya bahkan hingga ratusan.

    Korban-korban ini disebut tidak ingin membuat laporan karena adanya stigma dan teror yang diduga dari pelaku.

    “Beberapa penelitian menyatakan korban pemerkosaan mungkin mencapai ratusan, karena masih banyak korban pemerkosaan yang tidak mau melapor karena adanya stigma & teror,” tulis Soe Tjen Marching di media sosial X pribadinya dikutip Senin (16/6/2025).

  • 10
                    
                        Fadli Zon Angkat Bicara Setelah Dikritik soal Pernyataan Terkait Pemerkosaan Mei 1998
                        Nasional

    10 Fadli Zon Angkat Bicara Setelah Dikritik soal Pernyataan Terkait Pemerkosaan Mei 1998 Nasional

    Fadli Zon Angkat Bicara Setelah Dikritik soal Pernyataan Terkait Pemerkosaan Mei 1998
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    menyatakan, peristiwa huru-hara 13-14 Mei 1998 telah menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk ada atau tidak adanya
    perkosaan massal
    .
    Hal ini disampaikan Fadli setelah dirinya menghadapi kecaman publik, lantaran mengatakan tidak ada perkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998.
    “Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan
    kekerasan seksual
    pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini,” kata Fadli, dalam keterangan tertulis, Senin (13/6/2025).
    “Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru-hara 13-14 Mei 1998,” ucap dia.
    Fadli mengatakan, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal “massal” ini.
    Bahkan, sebut Fadli, laporan tim gabungan pencari fakta (TGPF) ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid, baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian, atau pelaku.
    Menurut dia, perlu kehati-hatian dan ketelitian dalam menyampaikan sejarah lantaran menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.
    Ia khawatir ketidakakuratan fakta malah dapat mempermalukan nama bangsa sendiri.
    “Segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” tegas Fadli.
    Fadli mengeklaim pernyataannya dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”, yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.
    Dia bilang, pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.
    “Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” kata Fadli.
    Dia menyebut, istilah ‘massal’ juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.
    “Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun, terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” kata Fadli.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tulis Ulang Sejarah, Kesaksian TPGF-Korban Tragedi 98 Harus Didengar

    Tulis Ulang Sejarah, Kesaksian TPGF-Korban Tragedi 98 Harus Didengar

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah disarankan untuk meminta masukan dari mantan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kerusuhan Mei 1998 dan korban dari Tragedi 1998 saat menyusun penulisan ulang sejarah nasional.

    Akademisi dan pemerhati sosial kemasyarakatan Serian Wijatno mengatakan hal itu perlu dilakukan guna merespons pernyataan kasus pemerkosaan dalam kerusuhan itu hanyalah rumor. Dengan begitu, persoalan-persoalan yang ada dalam peristiwa itu bisa terjawab.

    “Sayangnya, dalam rencana penulisan ulang sejarah inilah poin transparansi seperti terlupakan, khususnya ketika membahas tentang peristiwa menjelang era reformasi yang meninggalkan catatan buruk sejarah perjalanan negeri ini,” kata Serlan dikutip dari Antara, Senin (16/6/2025).

    Dia menjelaskan Tragedi Mei 1998 merupakan salah satu titik gelap dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kerusuhan yang melanda berbagai kota besar bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan ekonomi, tetapi juga trauma sosial yang mendalam.

    Di tengah kekacauan itu, kata dia, terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan. Peristiwa sedih itu tercatat dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk bersama pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie.

    Selain mengandalkan sejarawan, menurut dia, tim penyusun dan pemerintah bisa melibatkan atau meminta masukan juga dari tokoh-tokoh yang duduk dalam TGPF Tragedi Mei 1998, seperti KH Said Aqil Siradj, Bambang Wijayanto, Dai Bachtiar, dan tokoh lainnya.

    Bahkan tak sedikit penyintasnya yang masih hidup untuk diambil kesaksiannya sehingga akan memperkaya perspektif.

    Menurut dia, upaya itu perlu dilakukan semata-mata demi penulisan sejarah yang benar-benar transparan, karena bagian sejarah Indonesia harus dipahami generasi muda

    “Justru kalau ini tidak dibuka secara transparan malah akan menimbulkan kecurigaan, sementara peristiwanya sendiri sudah mendunia,” katanya.

    Secara pribadi, dia tidak menginginkan bahwa sejarah dijadikan medan tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek. Dengan sejarah yang transparan, menurut dia, kebenaran tidak boleh disangkal hanya karena tidak nyaman.

    “Itu adalah bentuk tanggung jawab moral untuk membuka ruang penyembuhan bagi mereka yang telah lama diam karena takut dan terluka,” katanya.

  • Strategi Baru Anti-Pelecehan Seksual di Kereta: CCTV hingga Sanksi Blacklist

    Strategi Baru Anti-Pelecehan Seksual di Kereta: CCTV hingga Sanksi Blacklist

    Liputan6.com, Jember – Upaya pencegahan terjadinya pelecehan seksual di ruang publik terus digalakkan berbagai pihak. Terbaru, PT Kereta Api Indonesia (KAI) meluncurkan fitur terbaru ‘Female Seatmap’ untuk memberi rasa aman dan mencegah terjadinya pelecehan seksual di kereta. 

    Melalui fitur ini, calon penumpang perempuan mendapat ‘kekhususan’ yakni boleh memilih kursi di dalam kereta yang berdekatan dengan sesama perempuan. Hal ini diharapkan bisa mencegah terjadinya pelecehan seksual selama perjalanan di dalam kereta api. “Jadi penumpang wanita dapat memilih tempat duduk yang bersebelahan dengan sesama wanita. Ini bisa diakses di website KAI, agar dalam perjalan lebih aman dan nyaman,” tutur Manager Hukum dan Humas Daop 9 Jember, Cahyo Widiantoro, Kamis (12/6/2025).

    Selain itu, PT KAI juga telah menyiapkan kamera CCTV di setiap stasiun dan juga di dalam kereta api. Hal ini sebagai strategi pencegahan sekaligus alat bukti jika terjadi pelecehan seksual, baik di stasiun maupun di dalam kereta api. “Kami juga mendorong masyarakat yang tahu atau mengalami pelecehan seksual, agar melapor. Kami siap memberi pendampingan hukum dalam penanganan pelecean seksual kepada aparat penegak hukum. Kita juga sudah siagakan Polsuska (Polisi Khusus Kereta Api) di setiap stasiun maupun rangkaian kereta api,” sambungnya. 

    Setiap orang yang kedapatan melakukan pelecehan seksual, akan dilarang naik kereta api atau masuk ke stasiun. “Dan penumpang yang ketahuan (melakukan pelecegan seksual) akan kami black list,” sambungnya tanpa menjelaskan lama masa black list tersebut. 

    Sejauh ini, selama tahun 2025, belum pernah lagi terjadi laporan terjadinya pelecehan seksual di seluruh unit kerja atau kereta api yang ada di Daop 9 Jember yang meliputi Probolinggo hingga Banyuwangi. “Kalau di tahun 2024, ada satu kasus dan sudah kita dampingi melapor ke aparat penegak hukum, dan pelakunya kita black list,” pungkas Cahyo. 

    Sementara itu, Wakil Bupati Jember, Djoko Susanto yang turut hadir dalam kegiatan di Stasiun Jember mengapresiasi upaya PT KAI dalam mencegah terjadinya pelecehan seksual di ruang publik. “Kita akan berupaya untuk memperluas area pencegahan pelecehan seksual di ruang publik. Nanti kita akan libatkan juga aparat seperti polisi dan TNI. Keamanan dan kenyamanan serta pencegahan kekerasan seksual adalah tugas kita bersama,” kata Djoko.

  • Akademisi sarankan pemerintah dengar TGPF 98 saat tulis ulang sejarah

    Akademisi sarankan pemerintah dengar TGPF 98 saat tulis ulang sejarah

    Akademisi dan pemerhati sosial kemasyarakatan Dr. Serian Wijatno. ANTARA

    Akademisi sarankan pemerintah dengar TGPF 98 saat tulis ulang sejarah
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Senin, 16 Juni 2025 – 08:34 WIB

    Elshinta.com – Akademisi dan pemerhati sosial kemasyarakatan Dr. Serian Wijatno menyarankan pemerintah meminta masukan dari mantan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kerusuhan Mei 1998 dan penyintas kasus kerusuhan tersebut saat menyusun penulisan ulang sejarah nasional.

    Dia mengemukakan hal itu guna merespons pernyataan bahwa kasus pemerkosaan dalam kerusuhan itu hanyalah rumor. Dengan begitu, persoalan-persoalan yang ada dalam peristiwa itu bisa terjawab

    “Sayangnya, dalam rencana penulisan ulang sejarah inilah poin transparansi seperti terlupakan, khususnya ketika membahas tentang peristiwa menjelang era reformasi yang meninggalkan catatan buruk sejarah perjalanan negeri ini,” kata Serlan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

    Dia menjelaskan bahwa Tragedi Mei 1998 merupakan salah satu titik gelap dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kerusuhan yang melanda berbagai kota besar bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan ekonomi, tetapi juga trauma sosial yang mendalam.

    Di tengah kekacauan itu, kata dia, terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan. Peristiwa sedih itu tercatat dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk bersama pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie.

    Selain mengandalkan sejarawan, menurut dia, tim penyusun dan pemerintah bisa melibatkan atau meminta masukan juga dari tokoh-tokoh yang duduk dalam TGPF Tragedi Mei 1998, seperti K.H. Said Aqil Siradj, Bambang Wijayanto, Dai Bachtiar, dan tokoh lainnya.

    Bahkan tak sedikit penyintasnya yang masih hidup untuk diambil kesaksiannya sehingga akan memperkaya perspektif.

    Menurut dia, upaya itu perlu dilakukan semata-mata demi penulisan sejarah yang benar-benar transparan, karena bagian sejarah Indonesia harus dipahami generasi muda

    “Justru kalau ini tidak dibuka secara transparan malah akan menimbulkan kecurigaan, sementara peristiwanya sendiri sudah mendunia,” katanya.

    Secara pribadi, dia tidak menginginkan bahwa sejarah dijadikan medan tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek. Dengan sejarah yang transparan, menurut dia, kebenaran tidak boleh disangkal hanya karena tidak nyaman.

    “Itu adalah bentuk tanggung jawab moral untuk membuka ruang penyembuhan bagi mereka yang telah lama diam karena takut dan terluka,” katanya.

    Sumber : Antara