Tepis Isu Penolakan Penulisan Sejarah Ulang, Fadli Zon: Banyak yang Menyetujui
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Kebudayaan (Menbud) RI
Fadli Zon
menepis isu yang menyebut banyak penolakan terhadap penulisan ulang
sejarah nasional
yang sebentar lagi akan diuji publik.
“Banyak yang menyetujui kok,” kata Fadli Zon, saat ditemui usai acara HUT ke-19 dan Rakernas Punguan Simbolon dohot Boruna se-Indonesia (PSBI) Simbolon (Persatuan Marga Batak), di Jakarta Selatan, Senin (7/7/2025).
Fadli Zon mengatakan,
penulisan ulang sejarah
nasional akan segera diuji publik ke masyarakat.
“Saat ini masih berjalan, sebentar lagi
uji publik
ke masyarakat dan ke sejarawan dan lain-lain,” ucap dia.
Sebelumnya, Fadli Zon pernah menanggapi kritik atas pernyataannya soal istilah ‘perkosaan massal’ dalam penulisan sejarah.
Menurut Fadli, penting untuk melihat sejarah secara jernih, tanpa kehilangan empati dan tidak menanggalkan akal sehat.
“Setiap luka sejarah harus kita hormati. Tapi, sejarah bukan hanya tentang emosi, ia juga tentang kejujuran pada data dan fakta,” kata Fadli Zon, dalam keterangannya, Selasa (17/6/2025).
Fadli memahami bahwa pernyataannya memicu gelombang kekecewaan.
Namun, ia tidak bermaksud untuk menyangkal kekerasan seksual.
“Semua pihak harus berhati-hati agar narasi sejarah tidak jatuh pada simplifikasi yang justru menyulitkan pencarian keadilan sejati,” ucap dia.
Terakhir kali, pemerintah menulis ulang sejarah dilakukan 25 tahun lalu sehingga membutuhkan pembaruan.
Setidaknya, ada 113 ahli yang terlibat dalam penulisan 10 jilid buku sejarah nasional Indonesia.
Proyek ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan 80 tahun negara Indonesia merdeka.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: kekerasan seksual
-
/data/photo/2025/06/12/684a9dab5654b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tepis Isu Penolakan Penulisan Sejarah Ulang, Fadli Zon: Banyak yang Menyetujui
-

Penelitian Ungkap Dugaan Genosida Warga Aborigin oleh Britania di Masa Lalu
Canberra –
Penyelidikan yang dipimpin masyarakat Aborigin menemukan bukti-bukti bahwa penjajah Britania telah melakukan genosida terhadap penduduk asli di Negara Bagian Victoria, Australia.
Dalam laporannya, Yoorrook Justice Commission mengatakan tindak kekerasan dan penyakit membuat populasi masyarakat adat setempat berkurang hingga tiga perempatnya.
Hal ini terjadi dalam kurun 20 tahun setelah negara bagian itu dijajah pada awal 1830-an.
Laporan ini mencakup 100 rekomendasi untuk “memperbaiki” kerugian yang disebabkan “invasi dan pendudukan”.
Meski begitu, sebagian penulis laporan tidak setuju dengan “temuan-temuan utama” yang tidak disebutkan secara spesifik.
Pada tahun 2021, Komisi ini dibentuk sebagai penyelidikan formal pertama di Australia yang “mengungkap kebenaran”.
Komisi itu ditugaskan untuk menelaah “ketidakadilan sistemik” yang diderita oleh masyarakat suku bangsa asli di Victoria, baik pada masa lalu maupun yang masih berlangsung.
Laporan ini adalah bagian dari dorongan nasional yang lebih luas agar Australia terlibat dalam proses rekonsiliasi dengan masyarakat Aborigin dan Penduduk Selat Torres.
Para pemimpin komunitas mengatakan proses ini harus mencakup penyelidikan terhadap sejarah bangsa, pembuatan perjanjian, dan pemberian suara politik yang lebih besar kepada masyarakat Bangsa Pertama.
Selama empat tahun, Komisi Keadilan Yoorrook memberikan kesempatan kepada masyarakat Aborigin dan Penduduk Selat Torres untuk secara formal membagikan kisah dan pengalaman mereka.
Tugas komisi ini mencakup berbagai isu, termasuk hak atas tanah dan air, pelanggaran budaya, pembunuhan dan genosida, serta masalah kesehatan, pendidikan, dan perumahan.
Baca juga:
Laporan tersebut menemukan bahwa sejak tahun 1834, “pembunuhan massal, penyakit, kekerasan seksual, pengucilan, penghancuran bahasa (linguicide), penghapusan budaya, degradasi lingkungan, pencabutan anak”, serta asimilasi, telah berkontribusi pada “kehancuran fisik yang nyaris total” komunitas suku bangsa asli Victoria.
Akibatnya, populasi mereka turun drastis dari 60.000 menjadi 15.000 jiwa pada tahun 1851.
“Ini adalah genosida,” bunyi laporan tersebut.
Laporan yang disusun berdasarkan lebih dari dua bulan dengar pendapat publik dan lebih dari 1.300 masukan ini menyerukan “ganti rugi” untuk mengakui serangkaian pelanggaran hak asasi manusia, termasuk reparasi.
Rekomendasi lainnya adalah perombakan signifikan sistem pendidikan untuk melibatkan lebih banyak masukan dari masyarakat penduduk asli.
Selain itu, permintaan maaf pemerintah Australia untuk tentara Aborigin yang bertugas selama Perang Dunia tetapi dicoret dari skema pemberian tanah saat kembali dari medan perang.
Terkait sistem kesehatan negara bagian, laporan ini menemukan bahwa rasisme bersifat “endemik”. Karena itu, laporan tersebut menyerukan peningkatan dana untuk layanan kesehatan suku asli serta kebijakan untuk mendapatkan lebih banyak staf Aborigin dalam sistem tersebut.
Namun, tiga dari lima komisioner Sue-Anne Hunter, Maggie Walter, dan Anthony North”tidak menyetujui dimasukkannya temuan-temuan utama dalam laporan akhir”, meskipun tidak ada rincian lebih lanjut yang diberikan.
Baca juga:
Menanggapi laporan tersebut, pemerintah Negara Bagian Victoria mengatakan akan “mempertimbangkan dengan cermat” temuan-temuan itu.
Perdana Menteri Jacinta Allan menyatakan bahwa temuan-temuan tersebut “menyoroti kebenaran yang pelik”.
Jill Gallagher, kepala badan utama kesehatan dan kesejahteraan Aborigin di Victoria, menyatakan bahwa temuan genosida itu “tidak terbantahkan”.
“Kami tidak menyalahkan kekejaman ini kepada siapa pun yang saat ini hidup,” katanya kepada ABC.
“Tetapi kita yang hidup saat ini bertanggung jawab untuk menerima kebenaran itu dan semua warga Victoria hari ini harus menerima, mengakui, dan berdamai dengan temuan faktual ini.”
Laporan komisi ini merupakan yang pertama di Australia.
Di negara bagian dan wilayah lain, penyelidikan serupa sedang berlangsung dengan tingkat kemajuan yang bervariasi tergantung partai yang berkuasa.
Sebagai contoh, di Queensland, penyelidikan pengungkapan kebenaran dibatalkan setelah pemerintah Partai Buruh digantikan oleh pemerintahan Liberal-Nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, dialog nasional tentang cara mengakui pemilik tradisional Australia di semua tingkat pemerintahan telah memicu perdebatan sengit.
Pada Oktober 2023, warga Australia menolak referendum bersejarah, menolak perubahan konstitusi yang akan menciptakan Aboriginal and Torres Strait Islander Voice, sebuah badan nasional bagi masyarakat Suku Bangsa Asli untuk memberikan nasihat mengenai undang-undang.
Tonton juga “Greenpeace Gelar Aksi di Depan Kedubes AS, Kecam Genosida Israel” di sini:
(haf/haf)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-

Aktivis Sebut Kritik DPR ke Menbud Perkuat Narasi Pembelaan terhadap Korban Kekerasan Seksual Tragedi 98
JAKARTA – Aktivis perempuan dari Sarinah Institute, Luky Sandra Amalia, mengapresiasi kritik yang disampaikan sejumlah anggota DPR, terutama legislator perempuan, terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal isu pemerkosaan massal dalam tragedi 1998.
Menurutnya, sikap anggota DPR perempuan dalam rapat kerja dengan Menbud Fadli Zon memperkuat narasi pembelaan terhadap korban kekerasan seksual di masa lalu.
Ia juga menyebut, kritik legislator perempuan mencerminkan fungsi utama parlemen, terutama dalam mengawal isu-isu keadilan gender.
“Kritik anggota DPR, terutama anggota DPR perempuan, atas pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang disampaikan secara langsung di tengah rapat kerja patut diapresiasi. Memang itulah fungsi mereka di parlemen,” ujar Amalia, Sabtu, 5 Juli.
“Kritik mereka semakin menguatkan narasi pembelaan terhadap korban kekerasan seksual di masa transisi demokrasi 1998 yang selama ini ramai diteriakkan oleh aktivis perempuan di luar parlemen,” sambungnya.
Seperti diketahui, dua anggota DPR yakni Wakil Ketua Komisi X DPR My Esti Wijayati dan Anggota Komisi X DPR Mercy Chriesty Barends dalam rapat kerja dengan Fadli Zon pada Rabu, 2 Juli, menjadi sorotan publik.
Mercy mengkritik pernyataan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal dalam tragedi ‘98 tidak dapat dibuktikan atau hanya rumor.
Ia juga menuntut Fadli Zon meminta maaf di hadapan publik atas pernyataannya dan menegaskan kasus-kasus pemerkosaan di ‘98 benar-benar terjadi sebab Mercy mengaku menjadi saksi sejarah kelamnya peristiwa saat itu.
Hal senada juga disampaikan My Esti. Bahkan Esti sampai tak kuasa menahan tangisnya karena menganggap klaim Fadli Zon telah melukai korban pemerkosaan yang terjadi di era awal reformasi tersebut.
Adapun pernyataannya soal tak ada pemerkosaan massal di tragedi ‘98 menjadi kontroversi dan muncul dalam kaitan proyek penulisan sejarah ulang yang tengah dilakukan Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan.
Terkait hal ini, Amalia menilai pandangan dua legislator perempuan itu mencerminkan sensitivitas gender yang kuat dan dapat menjadi inspirasi.
Menurutnya, dua anggota Komisi X DPR tersebut bisa menjadi contoh yang baik.
“Bagaimana dua legislator perempuan yang tidak kuat menahan tangis ketika menyampaikan pandangannya menunjukkan sensitivitas gender mereka sebagai sesama perempuan,” ucap Amalia.
“Harapannya, mereka bisa menginspirasi lebih banyak lagi legislator perempuan dan aktivis perempuan di luar parlemen untuk ikut mengawal kebijakan pemerintah supaya lebih sensitif gender,” lanjut Peneliti Pusat Riset Politik-BRIN itu.
Amalia pun menekankan kesinambungan antara suara dari luar parlemen dengan sikap para legislator perempuan di dalam gedung DPR yang memang perlu dilakukan.
Ia menilai, para legislator perempuan di DPR memiliki kepekaan terhadap isu perempuan yang menjadi perhatian publik.
“Teriakan aktivis perempuan di luar parlemen memang perlu digaungkan oleh perempuan-perempuan wakil rakyat yang ada di gedung DPR. Sebagai sesama perempuan, legislator perempuan memang sudah seharusnya memiliki sensitivitas gender dengan aktivis perempuan di luar parlemen dan perempuan-perempuan korban kekerasan seksual,” papar Amalia.
Lebih lanjut, Amalia menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara parlemen dan gerakan sipil untuk memperkuat desakan pelurusan sejarah berdasarkan fakta.
Dia menuturkan, soliditas perempuan diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam penulisan ulang sejarah.
“Kritik-kritik yang masih terpecah-pecah ini sudah saatnya disatukan supaya menghasilkan gaung yang lebih kuat supaya bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah,” jelasnya.
“Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi solid antara aktivis-aktivis perempuan di luar parlemen dengan legislator perempuan yang ada di dalam parlemen untuk mendesakkan pelurusan sejarah sesuai faktanya. It is as it is, tanpa perlu embel-embel ‘tone positif’,” imbuh Amalia.
-

Dugaan Pelecehan Seks Penitipan Anak di Melbourne Gemparkan Ribuan Orang Tua
Lebih dari seribu bayi dan anak-anak di Melbourne diminta menjalani pemeriksaan kesehatan, setelah polisi mendakwa seorang pekerja penitipan anak dengan lebih dari 70 pelanggaran yang diduga terkait dengan pusat penitipan anak yang berada di Point Cook.
Peringatan: Berita ini memuat rincian dugaan kekerasan seksual terhadap anak yang bisa membuat Anda tidak nyaman.
Joshua Dale Brown, pria asal Point Cook berusia 26 tahun, ditangkap terkait dugaan pelanggaran seksual dan pelanggaran lainnya terhadap delapan anak di Creative Garden Early Learning Centre antara April 2022 dan Januari 2023.
Mereka mengatakan para korban diduga berusia antara lima bulan dan dua tahun.
“Ini adalah investigasi yang sangat meresahkan dan informasi yang akan kami berikan hari ini sangat mengejutkan, karena melibatkan pelanggaran [yang diduga] dilakukan terhadap beberapa pihak yang rentan di komunitas kita,” kata Wakil Komisaris Wendy Steendam.
Diantara tuduhan yang dihadapi Joshua adalah penetrasi seksual terhadap anak, memproduksi materi pelecehan anak, serta mencemari makanan dengan cairan tubuhnya.
Pihak otoritas kesehatan di Victoria mengatakan mereka mengambil pendekatan “hati-hati” dalam merekomendasikan 1.200 anak untuk dites karena ada kekhawatiran kemungkinan terpapar penyakit menular.
Hasil tes ini bisa memakan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu.
G8 Education, yang mengoperasikan Creative Garden Early Learning Centre di Point Cook, mengatakan tuduhan tersebut sangat meresahkan dan pihaknya sedang fokus menyediakan dukungan terhadap keluarga yang terdampak.
Perusahaan tersebut mengatakan telah melaksanakan semua pemeriksaan pekerjaan dan latar belakang Joshua, yang tidak lagi bekerja di sana.
Kepolisian Victori juga mendakwa seorang pria lainnya dengan pelanggaran serius, termasuk hubungan seks dengan binatang.
Pengadilan Magistrat Melbourne menemukan Michael Simon Wilson, asal Wyndham Vale, menghadapi tuntutan terkait materi pelecehan anak dan pelanggaran seksual terhadap seoang remaja laki-laki di Hoppers Crossing pada 16 Agustus tahun lalu.
Polisi mengatakan Michael bukan pekerja di pusat penitipan anak.
Menurut informasi yang diperoleh ABC, detektif yang memeriksa perangkat milik Michael menemukan materi yang menghubungkannya dengan Joshua.
Michael dan Joshua akan menghadap pengadilan pada bulan September.
Polisi mengatakan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa staf lain di pusat lain terlibat dalam dugaan pelanggaran yang dilakukan Joshua.
Kasus ini terungkap setelah pemerintah negara bagian Victoria mengumumkan akan mempercepat reformasi di sektor pengasuhan anak menyusul dakwaan terhadap Joshua.
‘Sangat menyedihkan’ bagi keluarga
Pejabat Komandan Janet Stevenson dari Kepolisian Victoria mengatakan Joshua tidak dikenal oleh polisi sebelum penyelidikan dimulai pada bulan Mei tahun ini.
Joshua juga diketahui memiliki Izin Bekerja dengan Anak-anak yang sah.
Polisi mengatakan penyelidikan dimulai setelah detektif diduga menemukan materi pelecehan anak dan kemudian meminta surat perintah penggeledahan di rumah Joshua di Point Cook.
Janet mengatakan keluarga dari delapan korban yang diduga terkait kasus ini sudah diberitahu minggu lalu.
“Seperti yang dapat Anda bayangkan, hal ini sangat menyedihkan bagi keluarga untuk mendengarnya,” katanya.
Ia mengatakan Kepolisian Victoria dan Departemen Kesehatan Victoria sudah mengirimkan surat kepada semua keluarga yang memiliki anak yang terdaftar di tempat-tempat penitipan anak, di mana Joshua pernah bekerja.
Tapi ia mengatakan tidak ada dugaan pelanggaran terjadi di semua pusat tersebut.
“Saya memahami informasi ini akan sangat memprihatinkan dan akan menjadi kejutan besar bagi sebagian warga,” katanya.
Polisi mengatakan Joshua telah bekerja di 20 pusat penitipan anak antara Januari 2017 dan Mei 2025, dan mereka terus menyelidiki tuduhan pelanggaran di sebuah pusat di Essendon.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan setelah tuduhan diselidiki
Departemen Kesehatan Victoria langsung mengambil langkah menyusul tuduhan tersebut.
Kepala Petugas Kesehatan Christian McGrath tidak mengungkap apakah Joshua dinyatakan positif mengidap penyakit seksual yang menular, tapi mengatakan pelanggaran yang dituduhkan kepadanya menyebabkan beberapa anak mungkin direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan penyakit menular.
“Ini adalah masalah yang sangat rumit dan menyedihkan, dan prioritas utama kami adalah kesehatan dan kesejahteraan anak-anak dan keluarga,” kata Dr. McGrath.
Dr McGrath mengatakan 2.600 keluarga yang telah mendatangi pusat penitipan anak terkait telah dihubungi mengenai pemeriksaan kesehatan yang direkomendasikan.
Meski kabar ini menambah kekhawatiran para orang tua, tapi ia mengatakan pemeriksaan harus dilakukan sebagai tindakan pencegahan.
“Kami yakin ini berisiko rendah, tetapi kami ingin menawarkan ini untuk memberikan jaminan kepada orang tua mengenai kesehatan dan kesejahteraan anak-anak mereka.”
Ia mengatakan infeksi yang mungkin dialami anak-anak dapat diobati dengan antibiotik.
Pemerintah negara bagian juga telah membuka pembayaran sebesar AU$5.000 (Rp50 juta) bagi orang tua yang anaknya dirujuk untuk menjalani pemeriksaan pencegahan atau mendatangi pusat Point Cook atau Essendon dalam tanggal tertentu.
Pembayaran dimaksudkan untuk membantu orang tua menanggung biaya pengaturan perawatan alternatif, potensi kehilangan pendapatan, dan janji temu medis atau konseling.
Pusat penitipan anak lain yang tercantum
ABC telah menyusun daftar pusat dan tanggal yang dirilis oleh polisi.
Dalam email yang dikirim ke keluarga di salah satu pusat yang tercantum, Terapi Okupasi untuk Anak-anak D.O.T.S mengonfirmasi Joshua bekerja selama “total 26 hari sebelum diberhentikan.”
“Ia tidak bekerja secara langsung dengan anak-anak,” bunyi email tersebut.
“Dalam tenggat waktu ini, ia berada di bawah pengawasan dan hanya beberapa hari bekerja di meja depan tanpa anggota tim lain.”
Disebutkan kontraknya dihentikan karena ia “tidak cocok untuk praktik kami” dan menekankan pusat penitipan anak tersebut “belum dihubungi oleh Kepolisian Victoria” pada saat mengirim email tersebut.
“Kami menganggap keselamatan dan kesejahteraan setiap anak dan keluarga yang kami asuh dengan sangat serius, dan kami sangat terpukul dengan tuduhan ini,” katanya.
Seorang orang tua dengan seorang anak yang bersekolah di Creative Garden mengatakan bahwa ia baru mendengar berita tersebut dari media di luar pusat tersebut pagi ini.
“Sebenarnya, ini menakutkan,” katanya.
“Saya merasa agak mual.”
Respons pemerintah Victoria
Kepala negara bagian atau Premier di Victoria, Jacinta Allan, mengumumkan akan membuat daftar pekerja pengasuhan anak “sesegera mungkin” untuk memberikan pengawasan ekstra.
“Kami akan mulai menyusun daftar Victoria untuk memberi keluarga lapisan pemeriksaan dan keseimbangan ekstra sesegera mungkin,” kata Jacinta.
Pemerintah Victoria telah membuat halaman web dengan informasi untuk keluarga yang terdampak. Informasi, termasuk rincian hotline khusus pemerintah, dapat ditemukan di sini.
Jacinta juga mengumumkan pihaknya akan melarang penggunaan perangkat pribadi dari pusat pengasuhan anak mulai 26 September.
Ia mengatakan larangan tersebut dapat menjadi syarat lisensi dan dapat membuat pusat tersebut didenda hingga AU$50.000 (Rp500 juta) jika dilanggar.
Pemerintah Victoria juga mendesak adanya peninjauan yang akan selesai dalam waktu sekitar enam minggu.
Peninjauan tersebut akan mempertimbangkan apakah CCTV harus dipasang di pusat penitipan anak.
Jacinta mengatakan orang tua yang dihubungi tentang penyelidikan tersebut akan “menderita rasa sakit dan ketidakpastian yang tak tertahankan.”
Diproduksi oleh Natasya Salim untuk ABC Indonesia dari artikel ini dan ini
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5271304/original/073534100_1751499524-WhatsApp_Image_2025-07-03_at_05.49.16.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menbud Fadli Zon Tegaskan Komitmen Keterbukaan dalam Penulisan Sejarah Nasional – Page 3
Liputan6.com, Jakarta Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, menegaskan komitmen Kementerian Kebudayaan untuk memastikan proses penulisan sejarah nasional dilakukan secara terbuka, ilmiah, dan inklusif.
Hal ini disampaikan saat menghadiri Rapat Kerja bersama Komisi X DPR RI di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (2/7/2025).
“Dalam waktu dekat, tentu akan kita lakukan uji publik karena penulisan sejarah ini sangat terbuka untuk didiskusikan,” ujar Menteri Kebudayaan.
Fadli Zon menekankan bahwa program penulisan sejarah bukan merupakan inisiatif baru, melainkan kelanjutan dari upaya penyempurnaan narasi sejarah nasional yang telah lama tidak diperbarui.
“Saya ingin menegaskan bahwa penulisan sejarah ini bukan sebuah program baru tapi kelanjutan. Memang ada beberapa buku sejarah yang pernah diterbitkan, namun masih terdapat beberapa kekurangan dan sudah terlampau cukup lama tidak diperbaharui. Terakhir sejarah kita ditulis pada era Habibie, sehingga sudah 26 tahun tidak ada sejarah yang diperbaharui kembali. Inilah yang menjadi landasan penulisan sejarah tersebut,” jelasnya.
Menurut Fadli Zon, sejarah memiliki arti penting sebagai identitas bangsa dan menjadi momentum strategis untuk mendidik generasi muda agar tidak melupakan jati diri di tengah derasnya arus globalisasi.
“Sejarah ini penting dan merupakan identitas bangsa dan penulisan sejarah ini menjadi momentum yang tepat untuk mengedukasi generasi muda supaya jangan lupa akan sejarah, dan sejarah sebagai jati diri bangsa di tengah arus globalisasi yang kuat,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa penulisan sejarah nasional akan menggunakan perspektif Indonesia sentris dengan tujuan memperkuat kepentingan nasional.
“Sejarah ini tentu ditulis dengan perspektif Indonesia sentris untuk kepentingan nasional,” ujar Fadli Zon.
Dalam masa kolonialisme, misalnya, ia menguraikan, kepentingan nasional kita adalah aspek perjuangan melawan penjajah, bukan lama penjajahannya. Selain itu, Menteri Kebudayaan juga mengungkapkan niat untuk memperkaya narasi sejarah dengan memasukkan temuan-temuan arkeologi terbaru yang menunjukkan betapa panjangnya sejarah peradaban nusantara.
“Awal sejarah peradaban Indonesia dan berbagai temuan arkeologis terbaru juga ingin kita masukkan ke dalam penulisan sejarah ini yang dimulai dari 1,8 juta tahun lalu dengan berdasarkan pada artefak-artefak yang ditemukan di Indonesia. Sehingga kita bisa menjadi salah satu peradaban tertua di dunia yang memang diakui oleh dunia internasional,” jelasnya.
Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, lagi-lagi jadi sorotan. Ia mengklaim bahwa kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998 hanyalah rumor tanpa bukti. Sejumlah aktivis perempuan dan HAM pun menuntutnya meminta maaf, pasalnya laporan TGPF kasus kerusuhan…
-
/data/photo/2025/07/02/6864c35f58525.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Silat Lidah Fadli Zon Bantah Pemerkosaan Massal 1998, Sampai Bikin Anggota DPR Nangis
Silat Lidah Fadli Zon Bantah Pemerkosaan Massal 1998, Sampai Bikin Anggota DPR Nangis
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Kebudayaan
Fadli Zon
menjelaskan pandangannya mengenai
pemerkosaan massal 1998
yang menjadi sorotan beberapa waktu belakangan ini.
Di hadapan anggota DPR, dia menegaskan tidak menyangkal pemerkosaannya. Namun dia meragukan tragedi itu berlangsung massal.
Dia mempertanyakan penggunaan diksi “massal” yang menurutnya mengandung makna terstruktur dan sistematis.
“Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis. Di Nanjing, korbannya diperkirakan 100.000 sampai 200.000, di Bosnia itu antara 30.000 sampai 50.000. Nah, di kita, saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi, dan saya mengutuk dengan keras,” ujar Fadli dalam rapat kerja bersama Komisi X di Gedung DPR RI, Rabu (3/7/2025).
Fadli mengaku telah mengikuti perdebatan mengenai isu ini selama lebih dari 20 tahun, termasuk berdiskusi secara terbuka di berbagai forum.
Dia pun menyatakan siap berdialog sebagai sejarawan, bukan semata sebagai menteri.
“Saya siap sebagai seorang sejarawan dan peneliti untuk mendiskusikan ini. Tidak ada denial sama sekali,” ujarnya.
Meski begitu, politikus Gerindra itu mengaku tetap memiliki sejumlah keraguan terhadap pendokumentasian peristiwa pemerkosaan massal 1998.
Dia pun menyinggung laporan awal Majalah Tempo dan pernyataan aktivis hak asasi manusia Sidney Jones, yang disebutnya kesulitan menemukan korban secara langsung dalam investigasi.
“Ini Majalah Tempo yang baru terbit pada waktu itu tahun ’98, dibaca di sini dan bisa dikutip bagaimana mereka juga melakukan (investigasi),” ucap Fadli sambil mengangkat Majalah Tempo.
“Kalau tidak salah seorang wartawannya mengatakan investigasi tiga bulan soal perkosaan massal itu, ada kesulitan. Sidney Jones mengatakan tidak ketemu satu orang pun korban,” sambungnya.
Suasana rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Fadli Zon berubah menjadi emosional ketika orang kepercayaan Presiden Prabowo Subianto itu bersikeras tidak ada pemerkosaan massal.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P My Esti Wijayati dan Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P Mercy Chriesty Barends, menangis saat mendengar Fadli tetap mempertanyakan penggunaan diksi “massal” dalam kasus pemerkosaan 1998.
Air mata My Esti tumpah saat menginterupsi penjelasan Fadli yang meragukan data dan informasi soal pemerkosaan massal 1998, hingga membandingkannya dengan kasus kekerasan seksual massal di Nanjing dan Bosnia.
“(Mendengar) Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan. Mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini, Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta, sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari,” kata My Esti, dengan suara bergetar.
Menurut My Esti, penjelasan Fadli yang teoretis dan tak menunjukkan kepekaan justru menambah luka bagi mereka yang menyaksikan dan mengalami langsung situasi mencekam pada masa itu.
“Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban pemerkosaan. Sehingga menurut saya, penjelasan Bapak yang sangat teori seperti ini, dengan mengatakan Bapak juga aktivis pada saat itu, itu justru akan semakin membuat luka dalam,” ujar dia.
Fadli pun menyela pernyataan Esti dan menegaskan bahwa dirinya tidak menyangkal peristiwa tersebut.
“Terjadi, Bu. Saya mengakui,” ucap Fadli.
Namun, respons itu tidak cukup meredam emosi My Esti, yang kembali menegaskan bahwa penjelasan Fadli justru mengesankan keraguan penderitaan para korban.
“Itu yang kemudian Bapak seolah-olah mengatakan…,” ucap My Esti, sebelum kembali terdiam karena emosi.
Setelahnya, Mercy pun ikut bersuara sambil menangis.
Dia menyampaikan betapa menyakitkannya menyaksikan negara seolah kesulitan mengakui sejarah kelam, padahal data dan testimoni korban sudah dikumpulkan sejak awal Reformasi.
“Pak, saya ingin kita mengingat sejarah kasus Tribunal Court Jugun Ianfu. Begitu banyak perempuan Indonesia yang diperkosa dan menjadi rampasan perang pada saat Jepang. Pada saat dibawa ke Tribunal Court ada kasus, tapi tidak semua, apa yang terjadi? Pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua,” tutur Mercy.
Rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Fadli Zon di Gedung DPR RI juga diwarnai aksi protes dari Koalisi Masyarakat Sipil.
Sejumlah anggota koalisi yang hadir di balkon ruang rapat mendadak membentangkan spanduk dan poster sebagai bentuk penolakan terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional.
Aksi dimulai saat Fadli Zon hendak menyampaikan tanggapan terhadap pertanyaan sejumlah anggota dewan dalam rapat.
Tiba-tiba, koalisi masyarakat sipil membentangkan spanduk bertuliskan tuntutan mereka di pagar balkon ruang rapat.
“Hentikan pemutihan sejarah!” teriak salah satu perwakilan koalisi, yang langsung disambut teriakan serupa dari rekan-rekannya.
“Dengarkan suara korban!” seru lainnya.
Koalisi juga menyerukan agar pemerintah dan DPR RI menghentikan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
“Tolak gelar pahlawan Soeharto!” teriak mereka.
Mendengar seruan tersebut, pimpinan dan anggota Komisi X beserta Fadli Zon dan jajarannya langsung menoleh ke arah balkon tempat aksi berlangsung.
Fadli Zon menanggapi santai aksi Koalisi Masyarakat Sipil yang menolak dan meminta dihentikannya penulisan ulang sejarah oleh pemerintah.
“Ya, biasalah, kita dulu juga begitu,” ujar Fadli Zon.
“Biasa sajalah, aspirasi ya,” sambung dia.
Meski begitu, Fadli mengingatkan semua pihak untuk tidak langsung menghakimi proyek penulisan ulang sejarah yang sedang dilakukan.
Fadli Zon menyatakan akan tetap melanjutkan penulisan sejarah ulang meski terjadi penolakan atas rencana ini.
Ia meminta masyarakat tidak cepat-cepat menghakimi penulisan sejarah yang belum selesai.
Terlebih, sejarah ulang ini ditulis oleh para sejarawan profesional dari berbagai wilayah.
“Enggak (akan ditunda). Jangan menghakimi apa yang belum ada. Jangan-jangan nanti Anda lebih suka dengan sejarah ini,” kata Fadli Zon.
Fadli juga mengaku heran mengapa masyarakat menuntut agar sejarah ulang tidak ditulis.
Ia mengutip kata-kata Presiden ke-1 RI Soekarno, yang meminta Indonesia jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
“Kok kita sekarang malah menuntut tidak boleh menulis sejarah, itu bagaimana ceritanya? Gitu ya, jadi kita tentu harus menulis sejarah kita,” beber dia.
Lebih lanjut, Fadli menyebut penulisan sejarah diperlukan untuk pembaruan mengisi kekosongan selama 26 tahun.
Kini, sejarah seolah berhenti di presiden-presiden terdahulu, seperti Presiden ke-1 Soekarno, Presiden ke-2 Soeharto, dan Presiden ke-3 B.J. Habibie.
Penulisan sejarah ulang ini juga akan melengkapi temuan-temuan arkeologis dan temuan sejarah lainnya, dengan tone positif sesuai dengan perspektif Indonesia.
“Jadi enggak ada yang aneh-aneh, yang menurut saya, nanti kalau ada di situlah ruang para sejarawan, para intelektual untuk menulis, mengkaji. Dan perspektifnya bisa berbeda-beda, antara sejarawan mungkin dari perguruan tinggi A dengan perguruan tinggi B, bisa beda. Yang kita tulis ini adalah secara umum untuk mengisi kekosongan 26 tahun kita tidak menulis sejarah,” jelasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Mahenda Guru Ngaji Cabul di Tangsel Divonis 20 Tahun, Jaksa Bakal Banding
Tangerang Selatan –
Masih ingat kasus Mahendra (40), guru ngaji yang mencabuli 7 orang muridnya di Ciputat, Tangerang Selatan? Mahendra ternyata sudah disidang dan divonis hukuman 20 tahun penjara.
“Kami dari Kejaksaan Negeri Tangerang Selatan dengan komitmen penuh kami menuntut terdakwa dengan pidana seumur hidup. Dan kami saat ini sedang upaya hukum karena putusan hakim 20 tahun, kami sedang mengajukan upaya hukum banding,” kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Tangerang Selatan Apsari Dewi saat menghadiri konferensi pers kasus kekerasan seksual di Mapolres Tangsel, Rabu (2/7/2025).
Apsari melanjutkan, perkara Mahendra ini telah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Mahendra adalah guru ngaji yang mencabuli 7 orang muridnya dengan modus membuka aura.
“Di mana korbannya 7 orang, 5 orang disetubuhi dan 2 orang dicabuli dengan modus pada saat itu untuk membuka aura,” jelasnya.
Apsari menilai kejahatan Mahendra keji terhadap anak-anak. Sehingga dia ingin upaya banding ini dapat memperberat hukuman terdakwa.
“Dengan adanya putusan pidana penjara 20 tahun kepada terdakwa pelaku asusila ini, Kajari memerintahkan Penuntut Umum untuk melakukan upaya hukum banding dalam upaya memperberat hukuman terdakwa sebagai memberikan efek jera,” tegasnya.
Tak hanya itu, Apsari menegaskan pihaknya tidak akan mentolerir terhadap kejahatan yang berhubungan dengan kekerasan seksual, apalagi kepada anak. Ke depannya, Kejaksaan juga akan membuka identitas pelaku di hadapan publik, selain menuntut hukuman penjara dan denda.
“Apabila ada perkara pelecehan seksual kami akan tuntut pidana tambahan yang berupa pengumuman identitas tersangka atau terdakwa atau terpidana nantinya maupun pengumuman putusan hakim. Sehingga kami berharap ini bisa memberikan efek jera sebagai deteren untuk para pelaku untuk berpikir sebelum melakukan tindakannya ini salah satu komitmen kami,” tegas dia.
Mahendra yang dipercaya para orang tua korban untuk mengajar ngaji anak-anaknya itu, ternyata seorang predator. Sejumlah muridnya satu per satu dia cabuli dengan modus ‘membuka aura dan mata batin’.
Mahendra seolah-olah bisa membuka aura, dengan syarat korban bersedia melakukan tindakan asusila dengannya. Kasus ini kemudian terbongkar setelah salah satu korbannya melapor kepada saksi.
(mea/mea)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-
/data/photo/2025/07/02/6864c35f58525.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Tangis Anggota DPR Pecah Saat Fadli Zon Tetap Ragukan Pemerkosaan Massal 1998 Nasional
Tangis Anggota DPR Pecah Saat Fadli Zon Tetap Ragukan Pemerkosaan Massal 1998
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Suasana rapat kerja
Komisi X DPR RI
bersama Menteri Kebudayaan
Fadli Zon
pada Rabu (2/7/2025), berubah haru dan emosional saat membahas isu
pemerkosaan massal
terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam
Tragedi Mei 1998
.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P My Esti Wijayati, dan Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P Mercy Chriesty Barends, menangis saat mendengar Fadli tetap mempertanyakan penggunaan diksi “massal” dalam kasus pemerkosaan 1998.
Air mata My Esti tumpah saat menginterupsi penjelasan Fadli yang meragukan data dan informasi soal
pemerkosaan massal 1998
, hingga membandingkannya dengan kasus kekerasan seksual massal di Nanjing dan Bosnia.
“(Mendengar) Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan. Mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini, Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta, sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari,” kata My Esti, dengan suara bergetar, Rabu.
Menurut My Esti, penjelasan Fadli yang teoretis dan tak menunjukkan kepekaan justru menambah luka bagi mereka yang menyaksikan dan mengalami langsung situasi mencekam pada masa itu.
“Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban pemerkosaan. Sehingga menurut saya, penjelasan Bapak yang sangat teori seperti ini, dengan mengatakan Bapak juga aktivis pada saat itu, itu justru akan semakin membuat luka dalam,” ujar dia.
Fadli pun menyela pernyataan Esti dan menegaskan bahwa dirinya tidak menyangkal peristiwa tersebut.
“Terjadi, Bu. Saya mengakui,” ucap Fadli.
Namun, respons itu tidak cukup meredam emosi My Esti, yang kembali menegaskan bahwa penjelasan Fadli justru mengesankan keraguan penderitaan para korban.
“Itu yang kemudian Bapak seolah-olah mengatakan…” ucap My Esti, sebelum kembali terdiam karena emosi.
Wakil Ketua Komisi X dari Fraksi PKB Lalu Hadrian Irfani, mencoba menengahi perdebatan dengan menjelaskan bahwa Fadli mengakui adanya peristiwa pemerkosaan, namun mempertanyakan istilah “massal”.
“Jadi, tadi Pak Fadli Zon sudah menjelaskan bahwa beliau sebenarnya mengakui perkosaan itu ada, tetapi ada diksi ‘massal’ itu yang beliau pertanyakan,” kata Lalu.
Setelahnya, Mercy pun ikut bersuara sambil menangis.
Dia menyampaikan betapa menyakitkannya menyaksikan negara seolah kesulitan mengakui sejarah kelam, padahal data dan testimoni korban sudah dikumpulkan sejak awal Reformasi.
“Pak, saya ingin kita mengingat sejarah kasus Tribunal Court Jugun Ianfu. Begitu banyak perempuan Indonesia yang diperkosa dan menjadi rampasan perang pada saat Jepang. Pada saat dibawa ke Tribunal Court ada kasus, tapi tidak semua, apa yang terjadi? Pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua,” tutur Mercy.
“Ini pemerintah Jepang, duta besarnya itu sampai begini terhadap kasus Jugun Ianfu. Kita paksa sendiri. Kenapa begitu berat menerima ini? Ini kalau saya bicara, ini kita sakit, Pak. Saya termasuk bagian juga yang ikut mendata itu testimoni, testimoni sangat menyakitkan kita bawa itu testimoni dalam desingan peluru,” sambung dia.
Mercy juga menyinggung kesaksian para korban kekerasan seksual dari Maluku, Papua, dan Aceh yang didokumentasikan setelah 1998.
Menurut dia, pengakuan atas peristiwa-peristiwa itu tidak bisa dibatasi pada perdebatan definisi atau diksi semata.
“Bapak bilang TSM (terstruktur, sistematis, dan masif). Bapak bilang tidak terima yang massal. Pak, kebetulan sebagian besar itu satu etnis. Kita tidak ingin membuka sejarah kelam, tapi ini satu etnis,” tegas Mercy.
“Bapak bisa baca itu testimoni yang kami bawa. Ini minta maaf sekali, sangat terganggu, apa susahnya menyampaikan? Satu kasus saja sudah banyak, lebih dari satu kasus tidak manusiawi. Minta maaf!” seru Mercy.
Mendengar luapan emosi tersebut, Fadli pun menyampaikan permintaan maaf jika penjelasannya dianggap tidak sensitif.
“Saya minta maaf kalau ini terkait dengan insensitivitas, dianggap insensitif. Tapi saya, sekali lagi, dalam posisi yang mengutuk dan mengecam itu juga,” ucap Fadli.
Dia menegaskan tidak bermaksud mereduksi atau menegasikan peristiwa kekerasan seksual pada 1998.
Namun, dia menekankan pentingnya pendokumentasian yang akurat dan ketelitian dalam penggunaan istilah massal.
“Saya kira tidak ada maksud-maksud lain dan tidak sama sekali mengucilkan atau mereduksi, apalagi menegasikannya,” kata Fadli.
Diberitakan sebelumnya, pernyataan Fadli Zon yang meragukan peristiwa pemerkosaan 1998 berlangsung secara massal menuai gelombang kritik dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR dan aktivis masyarakat sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil bahkan mendesak Fadli meminta maaf kepada para korban dan menghentikan proyek penulisan ulang sejarah yang dinilai berpotensi menyingkirkan kebenaran sejarah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

/data/photo/2025/04/30/6811ade9efe0d.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)