Kasus: kekerasan seksual

  • Dosen UNM Blak-blakan Mengaku Dapat Tekanan Usai Laporkan Rektor Terkait Dugaan Pelecehan

    Dosen UNM Blak-blakan Mengaku Dapat Tekanan Usai Laporkan Rektor Terkait Dugaan Pelecehan

    Liputan6.com, Jakarta Dosen Universitas Negeri Makassar (UNM) berinisial QDB (51) mengaku mendapat tekanan setelah melaporkan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh rektor Karta Jayadi, ke Itjen Kemendikbudristek dan Polda Sulsel.

    QDB menuturkan, sejak kasus ini mencuat, dia merasakan adanya upaya intervensi dari pihak tertentu yang datang menemui maupun menghubunginya. Bahkan, menurutnya, ada orang yang tiba-tiba datang ke rumah tanpa pernah berkomunikasi sebelumnya.

    “Jelas ada tekanan. Misalnya ada yang sudah lama tidak komunikasi, tiba-tiba datang ke rumah. Saya tidak tahu apakah itu inisiatif pribadi atau suruhan,” kata QDB saat diwawancarai Liputan6.com, Senin (25/8/2025).

    Dalam pertemuan tersebut, orang yang dimaksud oleh QDB melontarkan kata-kata yang membuat dirinya tidak nyaman. Termasuk penilaian bahwa dirinya dan rektor terlihat sangat akrab.

    “Di rumah kan saya memang pajang foto di ruang tamu. Katanya kalau dilihat di foto, saya sama Pak Rektor baik-baik saja. Saya bilang jangan dilihat dari foto. Saya tarik kesimpulan sebenarnya tujuan dia datang apa?,” ucapnya.

    Dia juga menuturkan bahwa sejak kasus ini mencuat, kini dia berada dalam pengawasan keluarga. QDB pun mengaku hanya menerima telepon dari orang-orang yang ia kenal, namun sayangnya beberapa di antaranya justru berusaha membujuk agar kasus ini diselesaikan secara damai.

    “Yang saya sayangkan, ada orang yang saya kenal membujuk saya damai, bahkan iming-iming jabatan saya dikembalikan. Tapi saya bilang, ini bukan soal jabatan, ini soal harga diri. Terlalu murah kalau saya berhenti lalu jabatannya dikembalikan, seolah saya cari sensasi. Tidak begitu!” tegasnya.

    QDB menegaskan dirinya tidak akan mencabut laporan. Ia mengaku sudah cukup secara materi dan tidak mengejar jabatan, melainkan menuntut keadilan serta reformasi dalam pencegahan kekerasan seksual di kampus.

    “Saya pastikan akan tetap berharap rektor diproses sesuai aturan. Intinya saya berharap ada reformasi kampus di bidang kekerasan seksual. Jangan predator seksual berkeliaran. Bagaimana anak cucu kita nanti?” pungkasnya.

    QDB juga menilai tudingan bahwa dirinya ingin merusak nama baik lembaga tidak tepat. Ia meminta publik melihat substansi persoalan, bukan sekadar citra.

    “Jadi aneh kalau ada yang menganggap saya menjelekkan lembaga. Lihat dulu substansinya,” tambahnya.

    Saat ditanya terkait somasi yang dilayangkan oleh Prof Karta, ia menilai upaya tersebut dilakukan untuk menekan dirinya agar menarik laporannya terkait dugaan pelecehan seksual yang ia alami.

    “Dia (rektor) juga mengirim somasi menakut-nakuti saya untuk meminta maaf kepada rektor dan media selama 3 hari berturut-turut. Inikan menggunakan powernya dia sebagai rektor padahal belum ada keputusan dari pihak berwajib,” akunya.

  • Nestapa ABG di Gunungkidul Diperkosa Tetangga lalu Hamil, Orang Tua Dipaksa Berdamai dan Dijauhi Warga

    Nestapa ABG di Gunungkidul Diperkosa Tetangga lalu Hamil, Orang Tua Dipaksa Berdamai dan Dijauhi Warga

    Kasus ini pun mendapat perhatian dari Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati, yang datang langsung menjenguk korban di Pugeran. Ia menekankan bahwa kasus ini adalah pemerkosaan, bukan “pacaran kebablasan” sebagaimana sering digiring oleh sebagian orang.

    “Masyarakat harus paham, ini bukan soal pacaran. Ini jelas pemerkosaan, dan pelaku harus diberi efek jera sesuai hukum yang berlaku. Menikahkan korban dengan pelaku bukan solusi, justru akan semakin merugikan korban dan keluarganya,” tegas Esti.

    Selain mendukung penegakan hukum, Esti juga memastikan akan membantu pendidikan korban. Ia menyebut, jika trauma masih berat, maka pola pendidikan alternatif seperti home schooling bisa dipertimbangkan.

    “Kami akan berkoordinasi dengan Bupati Gunungkidul karena beliau juga memiliki kepedulian. Bahkan di rumah dinasnya sudah disiapkan rumah aman untuk korban kekerasan seksual,” tambahnya.

     

  • Kemenkes Terima 733 Kasus Laporan Bullying di PPDS, Terbanyak di RS-Prodi Ini

    Kemenkes Terima 733 Kasus Laporan Bullying di PPDS, Terbanyak di RS-Prodi Ini

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, terdapat 733 kasus perundungan yang dialami peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Indonesia. Angka itu merupakan hasil verifikasi dari 2.920 laporan yang masuk ke kanal pengaduan Kementerian Kesehatan hingga 15 Agustus 2025.

    “Dari total laporan yang kami terima, setelah disortir dan diverifikasi, ada 733 laporan yang termasuk kategori perundungan,” ujar Menkes dalam seminar nasional Pencegahan Perundungan, Gratifikasi, Korupsi & Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat (22/8/2025).

    Menurut data Kemenkes, mayoritas kasus berasal dari fasilitas dan institusi di bawah naungan kementerian, yakni 433 kasus. Laporan lain datang dari rumah sakit non-Kemenkes (84 kasus), fakultas kedokteran (84 kasus), serta laporan tanpa identitas institusi (34 kasus).

    Di tingkat rumah sakit pusat, RSUP Prof Dr Kandou Manado tercatat sebagai lingkup PPDS dengan laporan terbanyak, yakni 84 kasus sepanjang 2023 hingga 2025. Disusul RS Hasan Sadikin Bandung (83 kasus), RSUP IGN Ngoerah Bali (43), RSUP Dr Sardjito Yogyakarta (39), dan RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta (37).

    Sementara di RSUD, kasus terbanyak dilaporkan dari RSUD Zainal Abidin Banda Aceh (31 kasus), RSUD Dr Moewardi Surakarta (21), RSUD Saiful Anwar Malang (18), RSUD Dr Soetomo Surabaya (12), dan RSUD Arifin Achmad Riau (9).

    Tekanan Berat hingga Ingin Bunuh Diri

    Menkes menegaskan, dampak perundungan terhadap peserta PPDS tidak bisa dianggap sepele. Survei internal Kemenkes menunjukkan banyak peserta pendidikan yang mengalami tekanan berat, bahkan sampai muncul keinginan untuk mengakhiri hidup.

    “Masalah ini harus diperbaiki secara serius. Dibutuhkan program spesifik untuk melindungi kesehatan mental para peserta didik,” kata Menkes.

    Perundungan tercatat paling banyak di 24 program studi kedokteran spesialis, dengan lima terbesar yakni penyakit dalam (86 kasus), bedah (55), obstetri dan ginekologi (29), anestesi (28), serta ilmu kesehatan anak (25).

    Sejauh ini, Kemenkes telah menangani 124 dari 433 kasus perundungan yang berada di bawah kewenangannya. Sebanyak 98 pelaku terbukti terlibat dan dijatuhi sanksi, termasuk 11 pejabat direksi rumah sakit Kemenkes, 10 di antaranya mendapat teguran, sementara satu pelaksana tugas diberhentikan.

    Di kalangan peserta PPDS, 60 orang dikenai sanksi berupa pengembalian ke fakultas kedokteran asal, skorsing, hingga teguran tertulis.

    (naf/kna)

  • Diperkosa Tetangga hingga Hamil, Remaja 15 Tahun di Gunungkidul Dipaksa Teken Surat Damai
                
                    
                        
                            Yogyakarta
                        
                        22 Agustus 2025

    Diperkosa Tetangga hingga Hamil, Remaja 15 Tahun di Gunungkidul Dipaksa Teken Surat Damai Yogyakarta 22 Agustus 2025

    Diperkosa Tetangga hingga Hamil, Remaja 15 Tahun di Gunungkidul Dipaksa Teken Surat Damai
    Tim Redaksi
     
     
     
    YOGYAKARTA, KOMPAS.com
    – Nasib tragis dialami seorang remaja perempuan berusia 15 tahun, warga Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta.
    Setelah menjadi korban pemerkosaan oleh tetangganya hingga hamil, korban dan keluarganya dipaksa menandatangani surat pernyataan damai.
    Kini, korban dan ibunya harus mengungsi ke sebuah rumah singgah di Pugeran, Kota Yogyakarta, karena trauma.
    “Kalau di sana teringat terus dan rumahnya pelaku dan rumah saya kan sangat dekat. Di sini saja kalau teringat anaknya nangis-nangis,” kata ibu korban, W, saat ditemui wartawan, Jumat (22/8/2025).
    W mengaku tidak tahu sampai kapan mereka akan tinggal di rumah aman tersebut.
    “Rencananya mau sekolah di sini karena di sana tidak nyaman,” ujarnya.
    Menurut W, sang anak seharusnya mulai bersekolah di salah satu SMA, namun harus mencabut berkas akibat kasus ini.
    W mengaku selain tekanan batin, ia juga mendapat tekanan dari warga agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.
    Tokoh masyarakat setempat menyebut W sudah menandatangani surat pernyataan damai yang disaksikan oleh beberapa warga. Namun W menegaskan tidak akan mencabut laporan ke polisi.
    “Saya sama suami kan tidak terima anak saya diperlakukan seperti itu,” kata W.
    “Saya tetap tidak mencabut laporan, karena saya merasakan sakit juga anak saya mendapat perlakuan seperti itu,” ujarnya.
    Kasus ini terungkap ketika korban mengeluh sakit perut pada Juli lalu. Awalnya W mengira sakit lambung, namun setelah diperiksa dokter dan dirujuk ke dokter kandungan, diketahui anaknya hamil.
    “Dia itu sempat tidak mau cerita, tapi akhirnya mau cerita kalau jadi korban kekerasan seksual sejak bulan Februari,” ujarnya.
    Menurut W, pelaku yang berusia 22 tahun mengancam akan menyebarkan video jika korban menolak melayani permintaannya.
    Keluarga akhirnya melaporkan kejadian ini ke Polres Gunungkidul, Selasa (12/8/2025).
    Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati, menegaskan kasus ini merupakan pemerkosaan dan harus ditangani sesuai undang-undang.
    “Kita berharap mendapat efek jera sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kemudian, yang kedua terkait dengan proses hukumnya sudah ada lawyer (kuasa hukum), lawyer ini lawyer gotong royong atas nama kemanusiaan,” kata Esti.
    Ia juga menolak anggapan bahwa pelaku sebaiknya menikahi korban.
    “Saya tidak menyarankan bahwa kemudian pemerkosa harus menikahi, itu menyelesaikan persoalan dengan cara yang sangat tidak baik,” tegasnya.
    Esti menambahkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemkab Gunungkidul agar korban dapat kembali bersekolah setelah trauma pulih.
    “Bupati Gunungkidul memiliki kepedulian mengenai hal ini. Bahkan di rumah dinas, di sebelahnya itu dijadikan rumah aman untuk mereka yang menjadi korban kekerasan,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Demo Lagi, Mahasiswa Unsoed Tuntut Guru Besar Terduga Pelaku Kekerasan Seksual Diproses Hukum
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        22 Agustus 2025

    Demo Lagi, Mahasiswa Unsoed Tuntut Guru Besar Terduga Pelaku Kekerasan Seksual Diproses Hukum Regional 22 Agustus 2025

    Demo Lagi, Mahasiswa Unsoed Tuntut Guru Besar Terduga Pelaku Kekerasan Seksual Diproses Hukum
    Tim Redaksi
    PURWOKERTO, KOMPAS.com
    – Ratusan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, kembali menggelar unjuk rasa di kampus pada Jumat (22/8/2025).
    Mereka menuntut pihak kampus untuk mengusut tuntas kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu guru besar terhadap mahasiswi di fakultas tersebut secara transparan.
    Koordinator aksi, Fahmi Naufaldi, menyatakan bahwa demonstrasi kali ini dilakukan karena tuntutan mereka pada unjuk rasa sebelumnya belum terpenuhi.
    “Kami menuntut dekanat transparan, karena hingga hari ini tidak pernah ada transparansi progress tuntutan yang kami layangkan pada tanggal 28 Juli. Tuntutan kami sudah ditandatangani oleh dekan, namun hingga hari ini tidak pernah ada bukti atau transparansi dari mereka,” ungkap Fahmi di sela-sela aksi.
    Dalam aksi tersebut, Fahmi menegaskan bahwa mahasiswa mendesak rektor untuk memecat seluruh pelaku kekerasan seksual yang pernah terjadi di kampus.

    “Kami menuntut dekan untuk mendesak rektor agar mengeluarkan seluruh pelaku kekerasan seksual yang ada di Unsoed, tidak hanya kasus ini saja,” ujarnya.
    Mahasiswa juga menuntut agar kasus tersebut diselesaikan tidak hanya di lingkungan kampus, tetapi juga melalui jalur hukum sesuai dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
    “Perjuangan kami bukan hanya sebatas menuntut kepada dekanat, melainkan mengadili pelaku seadil-adilnya hingga dipidana,” tegas Fahmi.
    Selain itu, mahasiswa juga meminta pihak kampus untuk menciptakan ruang aman bagi seluruh mahasiswa.
    Sebelumnya, kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan guru besar tersebut telah memicu gelombang protes dari mahasiswa dan sejumlah kelompok sipil di Purwokerto.
    Aksi protes pertama kali dilakukan oleh beberapa mahasiswa di depan rektorat pada Rabu (23/7/2025).
    Selanjutnya, aksi serupa juga digelar oleh kelompok Bhinneka Ceria bersama mahasiswa dan aktivis isu gender di depan kampus pada Jumat (25/7/2025) sore, dan diikuti oleh aksi mahasiswa FISIP pada Senin (28/7/2025).
    Kasus ini juga mendapatkan perhatian dari Ikatan Alumni Ilmu Politik (Ikapol) Unsoed.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dinas PPAPP: banyak korban takut laporkan tindak kekerasan seksual

    Dinas PPAPP: banyak korban takut laporkan tindak kekerasan seksual

    Jakarta (ANTARA) – Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mengatakan saat ini masih banyak korban yang takut atau tidak berani melaporkan tindak kekerasan seksual yang mereka alami.

    Menurut Kepala Dinas PPAPP DKI Jakarta Iin Mutmainah hal itu disebabkan sebagian besar warga menganggap tindak kekerasan seksual merupakan aib bagi korban yang mengalaminya.

    “Keberanian, memang hari ini kalau disebut fenomena gunung es. Karena ketika bicara soal kekerasan perempuan atau anak, soal TPPO (tindak pidana perdagangan orang) dan yang lainnya, orang sebagian besar masih menganggap ini aib,” kata Iin setelah menghadiri diskusi soal TPPO anak di kantor Wali Kota Jakarta Barat, Jumat.

    Dia menilai kecenderungan korban untuk tidak melapor biasanya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran laporan itu akan menjadi masalah baru, yakni aib yang harus ditanggung.

    “Kekhawatiran mereka aibnya terbongkar dan itu menjadi sebuah masalah baru,” ujar Iin.

    Dia juga memaparkan anak-anak yang terlibat atau menjadi korban TPPO sebagian besar putus sekolah atau tidak mengenyam pendidikan lanjut.

    Oleh karena itu, sambung dia, pendidikan menjadi faktor penting agar anak tidak terjerumus TPPO.

    “Makanya, orang tua harus utamakan pendidikan anaknya. Masyarakat juga harus peka terhadap anak-anak di lingkungan, yang tidak lagi sekolah,” ucap Iin.

    Terkait pendidikan, dia menuturkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyediakan fasilitas pendidikan gratis melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP).

    “Semua orang tua wajib, ya, memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, dan dari ini, Pemprov DKI Jakarta sangat konsen terhadap pendidikan untuk anak. Ada KJP, bahkan ada pemutihan ijazah,” jelas Iin.

    Lebih lanjut, dia mengungkapkan anak yang berpendidikan biasanya memiliki keberanian untuk melaporkan tindak kekerasan seksual atau upaya TPPO.

    “Jadi, pendidikan itu modal kita bersama untuk mencegah atau menanggulangi kekerasan seksual dan TPPO,” tutur Iin.

    Sepanjang 2024, Dinas PPAPP DKI telah menangani sebanyak 68 kasus anak korban eksploitasi seksual, 29 kasus anak korban eksploitasi ekonomi, dan 27 kasus anak korban TPPO yang terjadi di Jakarta.

    “Secara eksplisit, data itu memang terjadi pelandaian, trennya menurun untuk TPPO khususnya. Tapi ini kan menjadi hal yang harus kita upayakan secara preventif,” pungkas Iin.

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tukang Jahit di Solo Diringkus Usai Cabuli 8 Teman Anaknya 
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        20 Agustus 2025

    Tukang Jahit di Solo Diringkus Usai Cabuli 8 Teman Anaknya Regional 20 Agustus 2025

    Tukang Jahit di Solo Diringkus Usai Cabuli 8 Teman Anaknya
    Tim Redaksi
    SOLO, KOMPAS.com
    – Seorang pria berinisial AI (48) yang bekerja sebagai tukang jahit di Solo, Jawa Tengah, ditangkap terkait dugaan pencabulan terhadap delapan anak perempuan.  
    Dugaan pelecehan itu terbongkar saat seorang korban mengadu ke ibunya kemudian Sang Ibu melapor ke Kepolisian Resor Kota (Polresta) Solo
    “Pelaku memberikan iming-iming kepada korban. Jika boleh bermain di rumah pelaku dengan banyak mainan,” kata Wakapolresta Solo, AKBP Sigit, pada Rabu (20/8/2025).
    Pencabulan tersebut di rumah pelaku, saat korban bermain.
    “Anak tersangka seumuran dengan korban. Pada saat korban berada di rumah para korban diarahkan untuk bermain di ruang jahit. Dan kemudian tersangka melakukan pencabulan terhadap korban,” katanya.
    Delapan korban merupakan tetangga dan teman anak korban di wilayah Kecamatan Banjarsari, Kota Solo.

    Pelaku dijerat dengan pasal 82 UU RI Nomor 17 Tahun 2016, yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.
    “Dengan ancaman hukuman paling singkat 5 tahun, paling lama 15 tahun,” tegasnya.
    Polisi juga mendalami dugaan kelainan seksual pada pelaku dan gangguan kejiwaan. 
    “Kita masih melakukan pendalaman diperiksa gangguan jiwa,” jelasnya
    Sementara itu, tersangka pelaku mengaku melakukan aksinya karena suka anak kecil dan sering menonton video porno.
    “Lihat video porno dari hp, teman anak saya, karena suka. Pegang-pegang, sudah sepuluh taunan,” kata tersangka.
    Barang bukti yang diamankan yakni satu celana pendek berwarna pink, satu dalam berwarna cream, satu Kaos dalam berwarna putih dan baju kaos berwarna pink.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bocah 11 Tahun Asal Manggarai Timur Dicabuli Orang Saat Sendirian di Rumah Kakek

    Bocah 11 Tahun Asal Manggarai Timur Dicabuli Orang Saat Sendirian di Rumah Kakek

    Liputan6.com, Jakarta Nasib malang dialami KAM alias G, bocah berusia 11 tahun di Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Dia mengalami pelecehan dan kekerasan seksual oleh orang tidak dikenal (OTK).

    Siswi kelas VI sekolah dasar ini mengalami pelecehan pada Senin (18/8/2025) malam di rumah kakeknya, Kabupaten Manggarai Timur.

    Saat itu kakek dan nenek korban sedang berada di rumah anak sulung mereka. Korban dan adiknya yang berusia delapan tahun ditinggal sendirian di rumah.

    Sekitar pukul 20.00 WITA, korban dan adiknya tertidur pulas dalam kamar dengan lampu rumah padam. Saat itulah, korban dilecehkan orang yang tidak diketahui. Korban mengalami pendarahan hebat usai dilecehkan pelaku.

    “Pelaku tidak diketahui karena saat kejadian korban sedang tertidur dan lampu rumah tidak menyala,” ujar Kasat Reskrim Polres Manggarai Timur Iptu Ahmad Zacky Shodri, Rabu (20/8).

    Kepada polisi, korban mengungkapkan saat kejadian pelaku membekap mulutnya, sedangkan tangan lainnya dimasukan ke kemaluan korban hingga terjadi pendarahan.

    Dalam situasi gelap, korban berusaha melakukan perlawanan dengan menggigit tangan pelaku dan berhasil kabur ke rumah tetangga.

    “Korban sempat menggigit tangan pelaku dan berhasil kabur ke tetangga,” ungkapnya.

    “Pelakunya langsung kabur saat rumah didatangi warga,” sambungnya.

    Hingga saat ini korban sedang dirawat di RSUD Borong, Kabupaten Manggarai Timur. Korban membutuhkan penanganan psikologis berupa pendampingan untuk menyembuhkan trauma psikologis.

    “Korban mengalami trauma berat, sering ketakutan, tatapan kosong dan hampa,” beber Kasat Reskrim.

    Polisi masih berusaha mencari terduga pelaku guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.

  • Geger “Surat Cinta” Melania Trump untuk Putin Diduga Ditulis AI

    Geger “Surat Cinta” Melania Trump untuk Putin Diduga Ditulis AI

    Jakarta, CNBC Indonesia – Surat pribadi Melania Trump kepada Presiden Rusia Vladimir Putin yang disebut sebagai surat perdamaian memicu perdebatan publik tentang kemungkinan pembuatannya menggunakan kecerdasan buatan (AI).

    Dalam unggahan di media sosial resminya, ibu negara AS itu menyerukan agar Putin dapat “seorang diri mengembalikan tawa melodi anak-anak” yang telah lama hilang akibat perang besar yang berlangsung lebih dari tiga tahun di Ukraina. Surat tersebut kemudian diserahkan langsung oleh Presiden Donald Trump kepada Putin dalam pertemuan puncak di Alaska, Jumat lalu, menurut laporan Reuters yang mengutip dua pejabat Gedung Putih.

    Di balik pesan penuh harapan dari Melania Trump itu, spekulasi lain muncul. Sejumlah komentator mempertanyakan apakah surat tersebut benar-benar ditulis langsung oleh sang ibu negara atau dihasilkan oleh AI.

    Keith Edwards, seorang strategi Demokrat, menulis di platform X bahwa surat itu “mengatakan banyak hal tanpa makna konkret” dan “mungkin ditulis oleh AI.” Chris Jackson, pendukung lama Joe Biden sekaligus aktivis Demokrat, mengeklaim dirinya telah menjalankan surat itu melalui perangkat AI yang menyimpulkan pesan ke Kremlin tersebut dihasilkan mesin.

    Perusahaan xAI milik Elon Musk, lewat sistem analisis Grok, menyatakan surat itu “menunjukkan tanda-tanda kuat sebagai hasil generasi AI dengan sedikit penyuntingan manusia untuk nada.”

    Meski begitu, tidak ada bukti konkret bahwa surat tersebut memang dibuat menggunakan AI. Pakar AI yang dimintai tanggapan menyebut gaya tulisan surat itu cenderung idealistis dan abstrak.

    “Kata-kata seperti kemurnian, kepolosan, kemanusiaan, cinta, kemungkinan, dan martabat ditumpuk rapat tanpa rincian kebijakan nyata. Model AI cenderung menggunakan nilai universal semacam ini ketika diminta menulis dengan nada inspirasional,” kata salah satu analisis, dilansir Newsweek, Senin (18/8/2025).

    Namun pakar itu juga mencatat surat tersebut tidak memperlihatkan perubahan nada atau frasa janggal khas konten buatan AI.

    Adapun isu AI bukan hal baru bagi Melania Trump. Baru-baru ini ia merilis audiobook berdurasi tujuh jam yang dipasarkan sebagai karya dengan teknologi audio AI sepenuhnya, menggunakan “suara resmi AI Melania Trump” sebagai narator.

    Selain itu, pada 2016, Melania pernah dituduh menjiplak pidato Michelle Obama dalam Konvensi Nasional Partai Republik. Saat itu tim Trump membela diri dengan menyatakan ia hanya menggunakan “kata-kata umum” dan tidak menyalin pidato ibu negara AS sebelumnya.

    Respons Ukraina

    Meski dipenuhi kontroversi, surat Melania Trump ternyata mendapat apresiasi dari Ukraina. Menteri Luar Negeri Andrii Sybiha menyampaikan bahwa Presiden Volodymyr Zelensky berterima kasih kepada Donald Trump atas “perhatian tulus” ibu negara terhadap nasib anak-anak Ukraina.

    Namun, versi surat yang dipublikasikan Melania di Instagram tidak secara eksplisit menyinggung tentang anak-anak Ukraina yang dideportasi ke Rusia.

    Sejak awal invasi skala penuh, Kyiv menuduh Moskow menculik ribuan anak dan memindahkan mereka ke wilayah Rusia atau daerah yang dikuasai pasukan Kremlin. Ukraina menyebut tindakan itu sebagai kejahatan perang.

    Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada Maret 2023 mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Putin dan Maria Lvova-Belova, komisaris anak Rusia, karena diduga bertanggung jawab atas deportasi ilegal anak-anak dari Ukraina ke Rusia.

    Moskow menolak tuduhan tersebut, dengan alasan bahwa anak-anak dipindahkan demi melindungi mereka dari bahaya konflik. Namun laporan PBB menunjukkan kenyataan yang lebih suram: anak-anak di wilayah Ukraina yang dianeksasi Rusia mengalami eksekusi singkat, penahanan sewenang-wenang, kekerasan seksual terkait konflik, hingga penyiksaan.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 Agustus 2025

    Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal Nasional 15 Agustus 2025

    Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal
    Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
    DI TENGAH
    gegap gempita menyambut hari kemerdekaan ke 80 tahun Indonesia, sayup-sayup terdengar rintihan lirih anak-anak usia di bawah lima tahun (balita). Hingga kini jutaan balita masih harus berjuang melepaskan diri dari status stunting.
    Retorika pembangunan dan ambisi besar bangsa seperti kehilangan makna ketika tubuh-tubuh kecil itu terus tumbuh dalam kekurangan gizi, dan perlahan masa depannya terampas.
    Jika ulang tahun kemerdekaan adalah momentum reflektif, maka pertanyaan yang layak diajukan bukanlah seberapa jauh kita melangkah, melainkan siapa saja yang tertinggal dalam perjalanan panjang republik ini.
    Target ambisius pemerintah untuk menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada 2024 resmi meleset.
    Data dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional turun dari 21,5 persen di tahun 2023 menjadi 19,8 persen atau setara dengan sekitar 4,48 juta balita, dengan sekitar 377.000 kasus baru berhasil dicegah.
    Meski demikian, pemerintah membungkus penurunan stunting dari tahun ke tahun dengan retorika statistik.
    Penurunan diglorifikasi sebagai keberhasilan, meski tak sesuai target dan menyamarkan realitas lambatnya kerja di bawah kendali birokrasi.
    Kegagalan memenuhi target ini sudah dapat diduga. Pada 2023, penurunan stunting hanya 0,1 persen dari tahun sebelumnya.
    Atas dasar itu pencapaian penurunan di 2024 oleh pemerintah dianggap sebagai keberhasilan, meski hanya turun 1,7 persen.
    Sementara dana yang digelontorkan untuk isu tersebut pada tahun 2024, lebih dari Rp 186,4 triliun (APBN, 2024).
    Artinya, anggaran yang tergolong besar tersebut belum mampu membuat program percepatan penurunan stunting memutus siklus kegagalan pertumbuhan anak secara signifikan.
    Ironis memang, di tengah jargon “Indonesia Emas 2045”, masalah stunting masih bergerak seperti antrean panjang tanpa ujung yang jelas.
    Anak-anak dengan tinggi badan yang tak sesuai usia karena kekurangan gizi kronis—baik sejak dalam kandungan maupun dua tahun pertama kehidupan, lalu terganggu perkembangan kognitifnya—seolah dipaksa menjadi penumpang gelap dalam perjalanan menuju cita-cita besar bangsa.
    Jika menelisik akar masalah lambannya penanganan stunting, dua batu sandungan utama tampak nyata: birokrasi yang kaku dan ketergantungan pada pendanaan negara yang tidak selalu tersedia tepat waktu.
    Banyak program penanganan stunting di daerah harus menunggu pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau instruksi vertikal dari kementerian teknis, sementara kebutuhan di lapangan mendesak dan tidak bisa ditunda.
    Pola tersebut membuat kader-kader posyandu yang menjadi garda terdepan dalam penanganan stunting, kerap mengelus dada karena tidak mampu berbuat maksimal di tengah realitas masalah yang mereka pahami.
    Stunting bukan sekadar soal fisik, tetapi tentang peluang hidup anak di masa depan—dan setiap hari yang terlewat tanpa penanganan adalah kerugian bersama sebagai bangsa.
    Lebih jauh, pelibatan masyarakat dalam program ini minim. Padahal, kunci keberhasilan program berbasis perubahan perilaku—seperti pola makan, sanitasi, dan pemantauan kehamilan—tidak bisa hanya bertumpu pada intervensi pemerintah.
    Pengalaman di isu lain menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan dalam identifikasi masalah dan solusi, hasilnya lebih berdampak dan berkelanjutan.
    Salah satu fase krusial yang kurang menjadi perhatian adalah masa remaja. Padahal, inilah jembatan penentu generasi berikutnya. Remaja putri yang mengalami anemia karena pola makan buruk berisiko tinggi melahirkan anak stunting.
    Di banyak daerah, praktik perkawinan dini masih berlangsung karena tekanan adat dan kemiskinan struktural. Tubuh remaja yang belum matang secara biologis maupun psikis dipaksa mengandung dan membesarkan anak, dengan konsekuensi buruk bagi tumbuh kembang anak tersebut.
    Lebih dari itu, banyak remaja korban kekerasan seksual, pernikahan paksa, hingga penyalahgunaan narkoba—semuanya berdampak langsung pada kesehatan reproduksi, kondisi mental, dan masa depan mereka sebagai calon orangtua.
    Tanpa intervensi serius pada fase ini, kita justru memperkuat mata rantai kegagalan tumbuh dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka, memperkuat remaja hari ini adalah fondasi penting bagi anak-anak bebas stunting di masa depan.
    Salah satu ironi terbesar dalam narasi penurunan stunting nasional adalah kenyataan bahwa penurunan angka tidak selalu berbanding lurus dengan perbaikan kondisi anak.
    Anak-anak yang melewati usia lima tahun secara otomatis tidak lagi masuk dalam kategori pengukuran stunting, walaupun mereka tetap mengalami dampak jangka panjang akibat pertumbuhan yang terganggu.
    Statistik nasional pun “kehilangan” mereka, dan ini yang membuat keberhasilan semu dari penurunan angka stunting.
    Penurunan ini, jika ditelusuri lebih lanjut, bukan karena keberhasilan pelayanan gizi atau perubahan perilaku di tingkat keluarga.
    Sebaliknya, banyak terjadi karena perpindahan usia—anak yang dulunya teridentifikasi stunting, kini tidak tercatat lagi karena melewati usia 59 bulan. Pemerintah tidak memiliki data yang memadai untuk konteks tersebut.
    Namun, penulis menemui fakta lapangan di berbagai daerah, bahwa pergantian umur menjadi faktor yang determinan dari penurunan angka stunting.
    Jika hal ini berlaku umum, maka muncul pertanyaan mendalam: apakah kita benar-benar menyelesaikan masalah, atau hanya memindahkannya dari satu kategori statistik ke kategori tak terlihat?
    Laporan UNICEF dan WHO secara konsisten menekankan bahwa dampak stunting bersifat jangka panjang—menurunnya kecerdasan, produktivitas, dan meningkatnya risiko penyakit kronis di usia dewasa.
    Tanpa strategi komprehensif berkelanjutan, kita bukan hanya kehilangan satu generasi, tetapi mewariskan kelemahan struktural pada generasi berikutnya.
    Jika pemerintah benar-benar serius menuju “Generasi Emas 2045”, maka pendekatan dalam penanganan stunting harus berubah drastis.
    Kita membutuhkan desentralisasi kendali, pelibatan aktif masyarakat sipil, dan pembiayaan fleksibel yang bisa merespons kebutuhan cepat.
    Pemerintah daerah hingga di tingkat desa harus diberi ruang untuk berinovasi tanpa terbelenggu oleh sistem keuangan yang terjeda.
    Lebih penting lagi, indikator keberhasilan tidak boleh semata-mata berdasarkan penurunan angka di atas kertas, melainkan perubahan nyata dalam kualitas hidup anak-anak.
    Sistem pemantauan perlu diperluas hingga usia sekolah dasar agar anak-anak yang pernah stunting tetap menjadi bagian dari intervensi, bukan sekadar bayang-bayang statistik.
    Langkah lain yang mendesak adalah memperkuat kolaborasi lintas sektor—pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga perlindungan sosial.
    Sebab stunting bukan masalah gizi semata, tapi cerminan dari ketimpangan akses terhadap sumber daya dasar: makanan bergizi, air bersih, sanitasi, dan informasi kesehatan.
    Sudah saatnya pemerintah berhenti dengan berbagai jargon populis tanpa peta jalan yang rasional dan komprehensif. Jargon-jargon populis tidak akan membuat antrean panjang menuju stunting berhenti.
    Jumlah anak-anak stunting bukan sekadar data, tetapi mereka berhak menjadi calon-calon pemimpin masa depan. Hak itulah yang direnggut secara sistemik akibat kegagalan pembangunan.
    Generasi emas tak akan lahir dari tubuh yang lemah dan pikiran yang tertinggal. Kita tidak bisa membangun Indonesia 2045 dengan mengabaikan anak-anak hari ini.
    Menangani stunting harus menjadi panggilan moral, bukan sekadar proyek tahunan. Karena dalam setiap tubuh kecil yang gagal tumbuh, tersimpan dosa sejarah: masa lalu, saat ini, dan masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.