Kasus: kekerasan seksual

  • Awalnya Membantah, Guru SD di Makassar Akhirnya Akui Setubuhi Muridnya sampai Tujuh Kali

    Awalnya Membantah, Guru SD di Makassar Akhirnya Akui Setubuhi Muridnya sampai Tujuh Kali

    Sebagai informasi, kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru PPPK sekaligus wali kelas di SD Inpres Mangga Tiga membuat heboh. Kasus itu kini telah dilaporkan ke polisi oleh kuasa hukum SKA (12), salah seorang siswi yang menjadi korban.

    Peristiwa ini bermula ketika IPT, yang merupakan wali kelas korban, membuka les privat pada Januari hingga Juli 2025 di sebuah rumah kontrakan dekat sekolah. Korban, yang saat itu berusia 11 tahun dan duduk di kelas 5 SD, adalah salah satu siswi yang ikut les.

    Tindak pidana kekerasan seksual itu dimulai sebulan setelah les berjalan, yakni dari Februari hingga Juli 2025, dan terjadi berulang kali.

    Awalnya, kuasa hukum korban hanya mengetahui pelaku meraba dan mengirim pesan mesum. Namun, dalam pemeriksaan penyidik dari kepolisian, terungkap bahwa korban tidak hanya dilecehkan, tetapi juga disetubuhi oleh IPT.

    Parahnya, aksi bejat ini dilakukan berulang kali, diperkirakan antara 3 hingga 7 kali dalam sebulan, di tempat les tersebut. Setiap kali selesai melakukan aksinya, guru tersebut mengancam korban agar tidak menceritakan perbuatannya kepada siapapun, dengan ancaman bahwa masa depan korban akan hancur.

    Korban baru berani bercerita setelah naik ke kelas 6 dan merasa terbebas dari cengkeraman gurunya. Ia menceritakan kejadian yang dialaminya kepada tetangga yang kemudian memberitahu ibunya.

    Ibu korban segera mendatangi pihak sekolah. Sayangnya, Kepala Sekolah awalnya membantah dan tidak percaya dengan tuduhan tersebut. Setelah desakan yang gigih dari orang tua korban, akhirnya diadakan pertemuan mediasi pada malam 28 September 2025 yang melibatkan berbagai pihak, termasuk aparat setempat. Di pertemuan inilah, pelaku IPT akhirnya mengakui perbuatannya.

    Meskipun pelaku memohon agar kasus ini tidak dibawa ke ranah hukum dan dibuat surat kesepakatan perdamaian, di mana orang tua korban juga meminta pelaku dimutasi ke sekolah lain, kuasa hukum korban mendesak agar kasus tetap dilaporkan. Saat kesepakatan damai dibuat, orang tua korban belum mengetahui fakta bahwa anaknya telah disetubuhi berkali-kali.

    Korban akhirnya didampingi untuk membuat laporan resmi ke UPTD PPA Kota Makassar, Dinas Pendidikan Kota, dan terakhir ke Polrestabes. Di Polrestabes, semua fakta termasuk persetubuhan berulang kali terungkap, dan proses visum telah dilakukan. Kasus yang melibatkan guru PPPK berinisial IPT ini kini resmi ditangani pihak berwajib.

     

     

     

  • Pria di Makassar Tega Cabuli Anak Kandung Selama 8 Tahun, Korban Kini Hamil Satu Bulan

    Pria di Makassar Tega Cabuli Anak Kandung Selama 8 Tahun, Korban Kini Hamil Satu Bulan

    Liputan6.com, Jakarta- Kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali terjadi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kali ini, seorang ayah berinisial MA (38), tega mencabuli anak kandung sendiri hingga hamil.

    Pelaku menjadikan anaknya sebagai budak seks selama delapan tahun, sejak korban masih berusia 7 tahun. Kini, putrinya berusia 15 tahun.

    ​Kapolrestabes Makasssar, Kombes Pol Arya Perdana, mengungkapkan bahwa tindakan asusila dan rudapaksa ini telah berlangsung secara berulang sejak korban masih duduk di bangku sekolah dasar.

    ​”Untuk ayah kandung ini melakukan tindakan asusila dengan anak kandungnya sendiri. Sampai korban berusia 15 tahun, sudah haid dan ternyata hamil,” kata Kombes Pol Arya Perdana saat konferensi pers di Aula Mapolrestabes Makassar, Jumat (3/10/2025).

    ​Aksi bejat tersangka terjadi karena pelaku sering tidur berduaan dengan korban. Kondisi itu kemudian diperparah lantaran dia telah lama menjadi duda karena cerai dengan istrinya.

    ​”Jadi dia sudah bercerai, awalnya dia berpisah, jadi dia ikut sama bapaknya. Dia tinggal bersama bapaknya,” jelas Arya.

  • Polisi: Kasus pencabulan anak di Jaksel terjadi sejak Agustus 2025

    Polisi: Kasus pencabulan anak di Jaksel terjadi sejak Agustus 2025

    Jakarta (ANTARA) – Polres Metro Jakarta Selatan menyebutkan kasus pencabulan anak di bawah umur oleh tersangka berinisial HW (39) sudah terjadi sejak bulan Agustus 2025.

    “Waktu kejadiannya ini sudah dari Agustus 2025 sampai tanggal 23 September 2025. TKP-nya itu berada di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan,” kata Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly saat konferensi pers di Jakarta, Rabu.

    Nicolas menyebutkan kasus ini berawal saat tersangka mengajak ketemuan dengan seorang anak berinisial SQ (12) yang sebelumnya keduanya telah mengenal karena tinggal satu bangunan di apartemen.

    “Selanjutnya mengajak korban ke kamar apartemennya dan memperlihatkan video-video terkait dengan kegiatan-kegiatan layaknya orang dewasa,” katanya.

    Tersangka mengiming-imingi korban akan memberikan ponsel dan juga uang jika mau diajak ke kamarnya.

    “Selanjutnya setelah memperlihatkan video tersebut, tersangka melakukan kegiatan-kegiatan untuk menambah gairah daripada anak tersebut dan akhirnya terjadi persetubuhan dan pencabulan terhadap korban tersebut,” ucap Nicolas.

    Ia juga menyebutkan pihaknya telah mengamankan barang bukti seperti pakaian korban, CCTV, PC dan monitor, ponsel dan bed cover.

    “Kami sudah melakukan penahanan terhadap tersangka dan kami akan melakukan pendalaman lagi terkait bukti-bukti forensik yang dapat kami sita,” katanya.

    Pihaknya juga bakal berkoordinasi dengan laboratorium forensik untuk melakukan pendalaman dan penyelidikan lebih lanjut terkait dengan aktivitas yang bersangkutan dari ponsel yang telah disita tersebut.

    Kemudian untuk pasal yang dilanggar adalah pasal 76E juncto pasal 82 ayat 1 dan 2 Undang-Undang RI nomor 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan atau pasal 6 Undang-Undang RI nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual.

    “Untuk ancaman hukuman yaitu paling singkat 5 tahun penjara dan paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar,” kata Nicolas.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mantan Kasat Tahti Polres Pacitan Divonis 5 Tahun Penjara atas Kasus Pemerkosaan Tahanan

    Mantan Kasat Tahti Polres Pacitan Divonis 5 Tahun Penjara atas Kasus Pemerkosaan Tahanan

    Pacitan (beritajatim.com) – Pengadilan Negeri Pacitan menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada Aiptu Lilik Cahyadi, mantan Pejabat Sementara (PJ) Kepala Satuan Tahanan dan Barang Bukti (Kasat Tahti) Polres Pacitan, Rabu (1/10/2025). Vonis ini terkait dengan kasus pemerkosaan terhadap seorang tahanan wanita yang terjadi antara Maret hingga awal April 2025.

    Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Pacitan yang sebelumnya menuntut hukuman 7 tahun penjara. Selain dijatuhi hukuman penjara, Lilik juga diwajibkan untuk membayar denda sebesar Rp100 juta. Apabila denda tersebut tidak dibayar, ia akan diganti dengan hukuman penjara tambahan selama 4 bulan.

    Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Pacitan, Nurhadi, menyatakan bahwa terdakwa terbukti melanggar Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. “Perbuatan ini merupakan pelanggaran berat yang mencoreng institusi penegak hukum,” kata Nurhadi dalam keterangan persnya setelah putusan dibacakan.

    Kasus ini bermula dari laporan korban, yang diidentifikasi dengan inisial PW. Korban mengaku dicabuli sebanyak empat kali oleh Lilik di ruang jemur tahanan wanita. Setelah laporan tersebut, Propam Polda Jatim melakukan penyelidikan internal yang kemudian berujung pada penetapan Lilik sebagai tersangka pada 21 April 2025. Dua hari setelahnya, Lilik dipecat secara tidak hormat (PTDH) oleh Polda Jatim.

    Proses hukum terhadap Lilik berlanjut meskipun ia telah dipecat dari kepolisian. Setelah vonis dijatuhkan, Nurhadi menyatakan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya, mengingat putusan yang lebih rendah dari tuntutan Jaksa. [tri/suf]

  • Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    SETIAP
    akhir September, perdebatan tentang G30S selalu kembali: siapa dalang, versi mana yang benar, film mana yang layak diputar?
    Namun, di tengah hiruk-pikuk tafsir dan propaganda, ada satu hal yang sering tercecer: manusia. Nyawa, martabat, dan akal sehat warga biasa—yang terseret, distigma, ditahan, atau dibunuh—sering hanya jadi catatan kaki.
    Menjaga kemanusiaan sejatinya bukan soal membenarkan satu kubu dan menyalahkan kubu lain. Ini soal standar dasar: hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, proses hukum yang adil, dan kebebasan dari stigma kolektif.
    Ketika negara, media, dan lembaga pendidikan mengajarkan sejarah, pertanyaannya bukan sekadar versi mana yang dipilih, melainkan apakah cara kita bercerita memulihkan martabat korban, membuka ruang kebenaran, dan mendorong pertanggungjawaban.
    Refleksi G30S seharusnya mengajak untuk waspada pada tiga hal: betapa mudahnya kebencian dioperasikan, betapa cepatnya hukum bisa disingkirkan atas nama “stabilitas”, dan betapa lamanya luka sosial bertahan jika kebenaran dan pemulihan ditunda.
    Jika kita sepakat bahwa Pancasila berakar pada kemanusiaan yang adil dan beradab, maka pekerjaan rumahnya jelas: menolak kekerasan sebagai alat politik, merawat ingatan yang jujur, serta memastikan keadilan dan pemulihan bagi mereka yang selama ini dibungkam.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah Indonesia modern, bukan hanya karena skala kekerasannya, tetapi juga karena cara negara menutupinya selama puluhan tahun.
    Data yang tersedia memang beragam, tetapi semuanya menunjukkan angka yang mengerikan.
    Komnas HAM dalam laporan hasil Penyelidikan Pro Justisia tahun 2012 menyatakan terdapat sembilan bentuk pelanggaran HAM berat dalam peristiwa ini: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, penganiayaan, serta penghilangan orang secara paksa.
    Jumlah korban jiwa diperkirakan antara 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang (Robinson,
    The Killing Season
    , 2018; Bevins,
    The Jakarta Method
    , 2020).
    Sementara itu, Amnesty International (dalam
    Friend
    , 2005) melaporkan bahwa pada saat itu ada sekitar satu juta kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.
    Tragedi ini bukan hanya pembantaian massal, melainkan juga proses sistematis penghancuran hak-hak sipil.
    Mereka yang selamat dipaksa menjalani kerja paksa, wajib lapor, kehilangan pekerjaan, dilarang mengakses pendidikan tinggi, bahkan hak politiknya dicabut selama puluhan tahun melalui tanda “ET” (eks-tapol) dalam dokumen kependudukan.
    Efek diskriminasi ini menurun hingga ke anak-cucu korban, menjadikannya bentuk
    collective punishment
    yang jelas bertentangan dengan prinsip hukum HAM internasional.
    John Roosa dalam bukunya
    Dalih Pembunuhan Massal
    (2006) menunjukkan bagaimana peristiwa G30S yang berlangsung singkat kemudian dimanipulasi oleh Orde Baru menjadi dalih pembenaran untuk operasi pembasmian massal.
    Roosa menekankan bahwa tidak ada bukti komando jelas dari PKI sebagai partai, melainkan tindakan kelompok kecil yang kemudian dimanfaatkan oleh militer, khususnya Jenderal Soeharto, untuk merebut legitimasi kekuasaan.
    Hal senada ditegaskan oleh Robinson (2018), yang menunjukkan bahwa Angkatan Darat memainkan peran sentral dalam mengorkestrasi pembantaian, sementara negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris memberikan dukungan politik, logistik, hingga daftar nama target.
    Salah satu propaganda paling efektif adalah fitnah terhadap Gerwani, organisasi perempuan progresif kala itu.
    Seperti dicatat oleh Wieringa, Gerwani dijadikan kambing hitam melalui narasi “kebiadaban seksual” di Lubang Buaya—padahal laporan visum resmi menunjukkan tidak ada bukti penyiksaan seperti pencungkilan mata atau pemotongan alat kelamin.
    Namun, kebohongan yang diproduksi oleh militer itu dibiarkan beredar luas di media, menciptakan histeria moral yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembantaian.
    Laporan
    International People’s Tribunal 1965
    (IPT 65) di Den Haag pada 2015, bahkan menegaskan bahwa negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini.
    Majelis hakim IPT menilai negara gagal memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk menyampaikan permintaan maaf resmi, membuka akses arsip, melakukan penyidikan, dan memberi reparasi. Namun, hingga kini, rekomendasi tersebut belum direspons serius.
    Luka sejarah ini belum sembuh karena ada tiga alasan mendasar. Pertama, narasi resmi Orde Baru yang menyederhanakan G30S menjadi sekadar “pengkhianatan PKI” masih terus direproduksi, baik melalui buku pelajaran maupun film.
    Kedua, ketiadaan mekanisme akuntabilitas: Kejaksaan Agung berkali-kali menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM dengan alasan “kurang bukti”, padahal bukti-bukti primer dan kesaksian korban berlimpah.
    Ketiga, politik impunitas yang masih kuat: banyak aktor militer dan sipil yang terlibat dalam pembantaian tetap berada dalam lingkaran kekuasaan selama puluhan tahun, membuat pengungkapan kebenaran menjadi tabu.
    Jika refleksi G30S ingin bermakna, maka ini harus berangkat dari nilai kemanusiaan yang universal. Tidak ada ideologi, dalih politik, ataupun alasan stabilitas yang bisa membenarkan pembunuhan massal, penyiksaan, atau diskriminasi lintas generasi.
    Mengakui kebenaran, mendengar suara korban, dan membuka jalan menuju keadilan bukanlah ancaman bagi bangsa ini—justru itu fondasi untuk membangun demokrasi yang sehat.
    Tanpa keberanian menghadapi masa lalu, kita hanya akan terus mewariskan trauma, kebisuan, dan politik kebencian bagi generasi berikutnya.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya tidak hanya soal pembunuhan massal, tetapi juga bagaimana sejarah dijadikan instrumen politik untuk mengontrol masyarakat.
    Sejak awal Orde Baru, narasi resmi dibangun dengan satu tujuan: melegitimasi kekuasaan yang lahir dari darah.
    Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan tayang setiap tahun, buku pelajaran sejarah yang menyederhanakan peristiwa, hingga sensor terhadap karya akademis, semuanya merupakan bagian dari proyek indoktrinasi negara.
    Indoktrinasi sejarah ini juga memelihara stigma. Anak-anak korban, yang bahkan lahir setelah peristiwa, tetap mendapat label “ET” (eks-tapol) dalam KTP orangtuanya. Mereka kesulitan masuk sekolah negeri, dilarang menjadi PNS atau tentara, dan sering diawasi intel.
    Dengan kata lain, sejarah dipakai bukan untuk membangun ingatan kolektif yang sehat, melainkan sebagai senjata diskriminasi lintas generasi.
    Inilah yang disebut Geoffrey Robinson (2018) sebagai “politik kebisuan” (
    politics of silence
    ). Dengan menghapus atau memelintir fakta, negara mencegah masyarakat untuk memahami bahwa tragedi 1965 adalah pelanggaran HAM berat.
    Tanpa kesadaran kritis, publik mudah diarahkan untuk melihat kekerasan massal sebagai sesuatu yang “patriotik” atau “terpaksa”.
    Padahal, justru manipulasi sejarah inilah yang membuat luka kolektif bangsa terus terbuka, karena korban dipaksa bungkam, sementara pelaku tetap bebas tanpa akuntabilitas.
    Maka, refleksi G30S bukan hanya soal membuka fakta kekerasan, melainkan juga membongkar konstruksi sejarah yang menindas.
    Sejarah harus dipulihkan sebagai ruang kebenaran, bukan alat propaganda. Selama narasi resmi dibiarkan mendominasi tanpa koreksi, bangsa ini akan terus hidup dengan warisan ingatan palsu—yang membuat demokrasi rapuh dan nilai kemanusiaan mudah dikorbankan.
    Refleksi atas G30S kehilangan makna apabila nyawa manusia hanya ditempatkan sebagai alat legitimasi politik.
    Di balik jargon ideologi dan klaim stabilitas, terdapat fakta gamblang: ratusan ribu hingga jutaan orang dibunuh tanpa proses hukum, jutaan lainnya dipaksa menjalani penahanan, kerja paksa, penyiksaan, pemerkosaan, hingga pengucilan sosial yang diwariskan lintas generasi.
    Semua ini terjadi bukan karena “kekacauan” semata, melainkan karena negara secara sadar mengabaikan prinsip dasar kemanusiaan.
    Hukum HAM internasional menegaskan hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan hak atas pengadilan yang adil adalah hak
    non-derogable
    —hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
    Amnesty International (2012) mengingatkan bahwa penundaan penyidikan hanya memperpanjang penderitaan korban.
    International People’s Tribunal 1965 di Den Haag (2015) menegaskan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa impunitas telah menjadi norma, sementara korban terus dipaksa menanggung stigma dan diskriminasi.
    Narasi resmi yang terus direproduksi menunjukkan betapa mudahnya sejarah dipelintir untuk mengaburkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
    Manipulasi semacam ini berfungsi sebagai perpanjangan dari kekerasan itu sendiri: membungkam suara korban, menghapus kesaksian, dan menormalisasi pembantaian sebagai sesuatu yang “wajar”.
     
    Dengan cara itu, nilai kemanusiaan tidak hanya diabaikan, tetapi juga diinjak-injak secara sistematis.
    Nilai kemanusiaan menuntut akuntabilitas. Tidak ada ideologi, kepentingan politik, atau alasan stabilitas yang dapat membenarkan pembunuhan massal maupun diskriminasi struktural lintas generasi.
    Selama kebenaran ditutup dan pelaku tidak dimintai pertanggungjawaban, luka sosial akan terus terpelihara.
    Tragedi G30S seharusnya menjadi peringatan keras: begitu negara menanggalkan prinsip kemanusiaan, hukum dan moralitas ikut runtuh, dan yang tersisa hanyalah kekerasan yang dilegalkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kakek Kembar Diduga Lecehkan Wanita Disabilitas di Bekasi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        30 September 2025

    Kakek Kembar Diduga Lecehkan Wanita Disabilitas di Bekasi Megapolitan 30 September 2025

    Kakek Kembar Diduga Lecehkan Wanita Disabilitas di Bekasi
    Tim Redaksi
    BEKASI, KOMPAS.com
    – Dua kakek kembar berinisial SAM (64) dan SUM (64), diduga mencabuli wanita berkebutuhan khusus, N (34), di Pos Kali Pengairan, Kaliabang Tengah, Bekasi Utara.
    Kapolres Metro Bekasi Kota, Kombes Wahyu Kusumo Bintoro mengatakan, kedua pelaku sudah melakukan aksinya sebanyak dua kali.
    Pertama pada 16 Agustus 2025 dan yang kedua pada 13 September 2025.
    “Jadi awal mula kejadian bahwasannya korban sedang berjalan, kemudian duduk di bangku, kemudian didekati oleh pelaku, baik itu pelaku pertama ataupun juga pelaku kedua dengan modus yang sama, dirangkul, kemudian satu tangannya meremas payudara korban,” ujar Kusumo ketika konferensi pers di Mapolres Metro Bekasi Kota, Selasa (30/9/2025).
    Aksi bejat itu sempat direkam oleh warga sekitar dan langsung melaporkannya ke polisi.
    “Yang berdasarkan informasi dari video rekaman tersebut, saksi kemudian terus melaporkan kepada kita,” kata Kusumo.
    Dari bukti video itu, polisi langsung bergerak untuk meringkus kedua pelaku.
    “Pasal yang dilanggar adalah tindak pidana kekerasan seksual pasal 281 KUHP atau 290 KUHP dengan ancaman paling lama 7 tahun penjara,” jelasnya.
    Motif dari kedua pelaku melakukan aksi cabul hanya demi kepuasan sendiri.
    “Jadi motifnya ini dari pelaku, ini hanya kepuasan tersendiri setelah melakukan perbuatan tersebut,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 15 Narapidana Kabur dari Lapas Nabire, Gunakan Kayu dan Net Voli

    15 Narapidana Kabur dari Lapas Nabire, Gunakan Kayu dan Net Voli

    Liputan6.com, Jakarta Lima belas warga binaan Kelas IIB Nabire kabur dari penjara, Senin (29/09/2025), sekira pukul 07.00 WIT. Ada dugaan, para narapidana kabur dengan memanjat tembok tahanan menggunakan kayu dan net voli.

    “Dari olah TKP ditemukan sejumlah barang bukti berupa tangga kayu dan net voli yang diduga digunakan oleh para napi untuk kabur,” kata Kapolres Nabire AKBP Samuel D Tatiratu.

    Aparat keamanan gabungan dari Polres Nabire, Polda Papua Tengah dan Brimob terus melakukan pengejaran.

    “Pemeriksaan internal di dalam lapas telah dilakukan, termasuk memeriksa saksi, sipir yang sedang piket. Pemeriksaan masih berlanjut,” terangnya.

    Untuk memperkecil ruang gerak narapidana, Kementerian Imigrasi Dan Pemasyarakatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kantor Wilayah Papua Lapas Kelas IIB Nabire menerbitkan identitas 15 narapidana yang kabur.

    Berikut identitasnya:

    1.⁠ ⁠Adrian Melkisedek Torobi kasus narkotika

    2.⁠ ⁠Refli Bima Langitan kasus narkotika

    3.⁠ ⁠Jhon Mote kasus pemerasan dengan kekerasan

    4.⁠ ⁠Melianus Pigome kasus pencurian dengan kekerasan

    5.⁠ ⁠Meki Morin kasus pengrusakan

    6.⁠ ⁠Jack Daud Puara kasus narkotika

    7.⁠ ⁠Daniel Essue kasus narkotika

    8.⁠ ⁠Raimondus Goo kasus kekerasan seksual

    9.⁠ ⁠Elister Hasibuan kasus narkotika

    10.⁠ ⁠Danus Begal kasus narkotika

    11.⁠ ⁠Yakobus Waine kasus penyelundupan senjata api/senjata tajam

    12.⁠ ⁠Ayub Eyati Edowai kasus narkotika

    13.⁠ Valentino Elvis Mareku kasus pencurian dan pengeroyokan

    14.⁠ ⁠Roi Renhat Pais kasus narkotika

    15.⁠ ⁠Dalton Tamaroba kasus pembunuhan berencana.

  • Kisah Nissi Taruli Felicia, Bangun Ruang Aman untuk Teman Tuli
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 September 2025

    Kisah Nissi Taruli Felicia, Bangun Ruang Aman untuk Teman Tuli Nasional 29 September 2025

    Kisah Nissi Taruli Felicia, Bangun Ruang Aman untuk Teman Tuli
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Diskriminasi dan kekerasan masih dialami oleh anak, terutama penyandang disabilitas. Padahal, konstitusi Indonesia, yakni Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, telah mengamanatkan untuk memberikan perlindungan.
    Diskriminasi terhadap anak dengan penyandang disabilitas paling kentara terlihat dalam hal pendidikan.
    Berdasarkan Survei Kesejahteraan Indonesia (SKI) 2024, jumlah anak penyandang disabilitas sebesar 1 juta dari total populasi anak yang mencapai 83 juta jiwa.
    Dikutip dari Statistik Pendidikan 2024 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 4,51 persen anak dengan disabilitas tidak pernah sekolah; 12,04 persen tidak tamat SD; 31,66 persen memiliki ijazah SD atau sederajat; 24,03 persen berijazah SMP atau sederajat; 22,17 persen tamat SMA atau sederajat; dan 5,58 persen lulus perguruan tinggi.
    Biaya,
    learned helplessness
    , dan penolakan dari sekolah menjadi penyebab anak dengan disabilitas tidak menempuh pendidikan.
    Selain diskriminasi, anak penyandang disabilitas juga rentan terhadap kekerasan. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada 2021 mengungkap bahwa terdapat 1.025 kasus kekerasan terhadap anak dengan disabilitas.
    Rinciannya adalah kekerasan fisik (2,6 persen dari seluruh laporan kekerasan anak, baik penyandang disabilitas maupun non-penyandang disabilitas), kekerasan emosional (2,3 persen), kekerasan seksual (5,7 persen), eksploitasi (1,5 persen), perdagangan orang (2,6 persen), penelantaran (2,3 persen), dan lain-lain (3,7 persen).
    Kondisi tersebut menjadi perhatian serius Co-Founder dan sekaligus Direktur Eksekutif FeminisThemis Nissi Taruli Felicia, penyandang Tuli yang sejak kecil telah merasakan stigma negatif.
    Terpilih sebagai salah satu anak muda dalam program Every U Does Good Heroes Unilever Indonesia pada 2021, ia aktif menyuarakan serta memperjuangkan hak-hak perempuan Tuli melalui kanal digital dan berbagai program.
    Sejak kecil, ia harus berjuang keras agar bisa belajar di sekolah umum. Ia lahir di keluarga yang bisa mendengar dan baru saat duduk di kelas 1 SD, guru wali kelasnya menyadari Nissi tidak merespons suara sebagaimana teman-temannya. Kenangan masa kecilnya itu masih lekat di ingatan.
    “Saya baru tahu tidak bisa mendengar ketika usia 7 tahun. Waktu itu saya diperiksa di rumah sakit besar di Jakarta dan baru mendapat diagnosis,” ujar Nissi kepada Kompas.com, Rabu (24/9/2025).
    Nissi melanjutkan, kala itu, dokter bahkan menyarankan Nissi agar pindah ke sekolah luar biasa (SLB). Meski begitu, ibunya kukuh menyekolahkan dirinya di sekolah umum.
    “Mama saya bilang, ‘Saya yakin anak saya bisa mengikuti pembelajaran di sekolah umum’,” tutur Nissi.
    Pilihan itu membuat Nissi tetap bersekolah di sekolah umum Katolik, meski menghadapi banyak tantangan. Ia sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman sebaya. Namun, kata-kata ibunya menjadi penyemangat.
    “Mama pernah bilang, ‘Kamu tunjukkan prestasi, jangan pikirkan orang-orang yang mau menjatuhkan kamu’. Itu dorongan saya sampai sekarang untuk terus berkarya,” ujarnya.
    Sehari-hari Nissi menggunakan alat bantu dengar dan mengikuti terapi wicara sepulang sekolah. Ia belajar memahami dunia lewat cerita dan visual dari orang tuanya, tanpa pernah diajari bahasa isyarat.
    Setelah dewasa, Nissi menyadari arti identitas sebagai Tuli. Kala itu, ia bertemu dengan teman-teman yang memiliki pengalaman serupa. Perjumpaan pertama itu merupakan momen penting bagi hidupnya.
    “Baru di usia 21 tahun saya bertemu dengan teman-teman Tuli. Pada 2019 saya mulai memahami arti identitas Tuli dan mulai belajar Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Dari situ, saya merasa keresahan saya terjawab: (ternyata) saya tidak sendirian,” katanya.
    Sejak saat itu, perspektifnya berubah. Ia melihat pengalaman masa kecilnya sebagai proses panjang yang membentuk panggilan hidupnya.
    Dari pengalaman pribadinya itu, Nissi pun terdorong untuk menciptakan ruang aman bagi orang-orang yang mengalami keterbatasan seperti dirinya.
    Bersama dua teman lain yang juga penyandang Tuli, Nissi mendirikan FeminisThemis pada 2021, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional.
    “Awalnya, kami berdiskusi saat pandemi 2020. Kami resah karena konten edukasi pandemi tidak aksesibel, apalagi edukasi kesehatan reproduksi dan isu kekerasan seksual,” terang Nissi.
    Mulanya, FeminisThemis hanya akun Instagram yang menyajikan informasi sederhana. Kini, komunitas tersebut berkembang menjadi wadah edukasi, kampanye, dan kelas-kelas pemberdayaan bagi perempuan penyandang Tuli dan kelompok minoritas gender.
    “Kami ingin semakin banyak perempuan penyandang Tuli berani bersuara, berdaya, dan mengambil ruangnya sendiri,” kata Nissi.
    FeminisThemis juga menginisiasi berbagai program, seperti #TuliBijakBerdigital, #TuliTangguhBencana, hingga kelas bahasa isyarat kolaborasi bersama sektor swasta.
    Mereka aktif menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga masyarakat sipil, seperti KOMPAKS dan API. Nissi juga berupaya memperkuat FeminisThemis lewat berbagai jalur pendanaan dan kemitraan.
    Nissi menjelaskan, dengan berbagai program yang telah memberi dampak bagi sekitar seribu penyandang Tuli, FeminisThemis memiliki potensi untuk berkelanjutan. FeminisThemis diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penyandang Tuli agar lebih berdaya, berani, dan melawan kekerasan seksual di lingkungannya.
    Ia juga menginginkan FeminisThemis menjadi sumber informasi dan mitra diskusi yang kredibel tentang dunia Tuli bagi perusahaan, pemerintah, maupun pemangku kepentingan lain.
    “Kami percaya kolaborasi adalah kunci inklusivitas. Suara kami perlu menggema lebih luas, bukan hanya di lingkup Tuli,” imbuh Nissi.
    Perjuangkan hak dan perlindungan anak Tuli
    Pada momen Hari Bahasa Isyarat Internasional yang diperingati tiap 23 September, Nissi turut menekankan pentingnya pemenuhan hak dan perlindungan bagi anak-anak penyandang Tuli dengan empat prinsip utama, yakni non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan keberlangsungan hidup, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
    Adapun Hari Bahasa Isyarat Internasional menjadi momentum untuk menegaskan perlindungan identitas linguistik dan keragaman budaya bagi penyandang Tuli ataupun pengguna bahasa isyarat lain.
    Menurut Nissi, pengakuan terhadap bahasa isyarat dan cara komunikasi yang berbeda merupakan bagian krusial dari penghargaan terhadap pendapat anak.
    “Anak-anak penyandang Tuli memiliki beragam cara berkomunikasi. Tidak semua menggunakan bahasa isyarat atau berbicara verbal. Karena itu, pendapat mereka tetap harus dihargai, meski cara komunikasinya berbeda,” jelas Nissi.
    Dengan pemahaman ini, Nissi mengingatkan bahwa menghargai suara anak berarti menjunjung prinsip inklusivitas sejak dini.
    Anak dengar ataupun orangtua dengan anak tipikal perlu diajarkan untuk tidak mendiskriminasi teman sebaya yang memiliki keterbatasan pendengaran agar semua anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang adil dan setara.
    Nissi menjelaskan, anak-anak penyandang Tuli memiliki keragaman cara berkomunikasi. Tidak semua dari mereka menggunakan bahasa isyarat atau berbicara secara verbal. Oleh karena itu, menurut dia, pendapat anak, apa pun bentuk komunikasinya, harus tetap dihargai.
    Bagi Nissi, anak dengan disabilitas berhak atas kehidupan, pendidikan, dan pertemanan yang layak.
    Ia juga mendorong pemerintah untuk mengakui bahasa isyarat sebagai bagian dari identitas budaya dan bahasa penyandang Tuli serta memberikan akses pendidikan bagi semua penyandang disabilitas agar potensinya berkembang.
    Hal tersebut sesuai dengan konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities/UNCRPD).
    “Dalam konteks pendidikan, saya berharap, para praktisi menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini dan memastikan anak-anak Tuli memiliki akses terhadap pendidikan yang beragam dan inklusif tanpa diskriminasi,” katanya.
    Menurut Nissi, pemerintah dapat menerapkan praktik pedagogis berbasis bukti serta melibatkan penyandang Tuli dalam penyusunan kebijakan pendidikan. Salah satunya adalah dengan memasukkan bahasa isyarat Indonesia dalam kurikulum nasional.
    Bagi Nissi, bahasa isyarat bukan sekadar alat komunikasi. Ia melihatnya sebagai jembatan keadilan yang akan memudahkan masyarakat memahami keberagaman.
    “Kita harus ingat bahwa bahasa pertama yang kuat berperan penting mendukung kemampuan anak-anak Tuli untuk belajar dan berkembang maksimal. Tanpa akses ini, hak-hak anak-anak Tuli tidak dapat terpenuhi,” ungkapnya.
    Ia pun menyambut baik rencana pemerintah memasukkan bahasa isyarat ke dalam kurikulum nasional dan menjadikannya salah satu syarat seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) atau sekolah kedinasan.
    “Ini terobosan besar untuk layanan publik yang setara dan inklusif. Bayangkan jika layanan publik di bidang kesehatan, pendidikan, hingga darurat bisa berkomunikasi dengan Tuli. Tidak ada lagi hambatan komunikasi yang menghalangi hak dasar mereka. Saya akan terus memantau keseriusan pemerintah,” kata Nissi.
    Ia melanjutkan, bahasa isyarat juga sebaiknya dikenalkan sejak dini agar anak-anak tumbuh dengan empati.
    “Generasi yang terbiasa berinteraksi dengan penyandang Tuli akan lebih mudah membangun masyarakat yang inklusif,” ujarnya.
    Sebagai warga negara, Nissi berharap, Indonesia memandang disabilitas sebagai bagian penting dari keberagaman, bukan obyek belas kasihan.
    Akses pendidikan, kesehatan reproduksi, kesempatan kerja, hingga ruang partisipasi pengambilan keputusan bagi perempuan penyandang Tuli harus diperluas.
    “Inklusivitas bukan hadiah. Akses bukan pilihan. Inklusivitas dan akses adalah hak,” tegasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Biadab, Pria Kedopok Probolinggo Perkosa Tetangga di Rusunawa

    Biadab, Pria Kedopok Probolinggo Perkosa Tetangga di Rusunawa

    Probolinggo (beritajatim.com) – Seorang pria berinisial SS (26), warga Kecamatan Kedopok, Kota Probolinggo, ditangkap polisi setelah diduga memperkosa tetangganya. Perbuatan biadab itu terjadi di rumah susun sewa (rusunawa) kawasan Kecamatan Kademangan pada Minggu (7/9/2025) dini hari.

    Kasi Humas Polres Probolinggo Kota, Iptu Zainullah, menjelaskan bahwa kejadian berlangsung sekitar pukul 05.00 WIB. Korban adalah perempuan berusia 24 tahun yang tinggal bersama suaminya di unit rusunawa tersebut.

    “Pelaku masuk ke kamar korban saat korban tertidur. Dia membuka paksa celana korban lalu melakukan persetubuhan,” ujar Iptu Zainullah, Sabtu (27/9/2025).

    Usai melancarkan aksinya, SS bahkan sempat mengancam akan kembali lagi. Merasa ketakutan, korban langsung melaporkan kejadian itu ke Polres Probolinggo Kota.

    Tak butuh waktu lama, polisi berhasil membekuk pelaku sekitar pukul 15.00 WIB di hari yang sama. SS kemudian digelandang ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan.

    Dari hasil penyelidikan, diketahui baik pelaku maupun korban sudah berumah tangga. Hubungan keduanya hanya sebatas tetangga yang baru dua bulan tinggal berdekatan.

    “Pelaku mengaku timbul ketertarikan karena sering melihat korban memakai daster. Saat kejadian, tersangka juga dalam pengaruh minuman keras,” jelas Zainullah.

    Polisi menegaskan bahwa tindakan pelaku tidak bisa ditoleransi. Meski berstatus tetangga, tindakannya tetap dikategorikan sebagai kejahatan seksual.

    “Kasus ini murni tindak pidana. Korban jelas mengalami kekerasan seksual, sehingga kami proses sesuai hukum yang berlaku,” tambahnya.

    Atas perbuatannya, SS dijerat Pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan. Ancaman hukuman maksimal yang menantinya adalah 12 tahun penjara. (ada/ian)

  • Aktivis Perempuan Demo di Polres Sampang, Desak Kasus Pencabulan Anak Ditangani Serius

    Aktivis Perempuan Demo di Polres Sampang, Desak Kasus Pencabulan Anak Ditangani Serius

    Sampang (beritajatim.com) – Ratusan aktivis perempuan dari berbagai organisasi menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Polres Sampang, Rabu (24/9/2025). Mereka menuntut kepolisian agar serius menangani kasus dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang.

    Dalam orasinya, demonstran menuding Polres Sampang tidak menunjukkan keseriusan dalam menindaklanjuti laporan warga. Mereka juga menilai aparat cenderung lamban dalam menangani kasus kekerasan seksual.

    “Jika dalam waktu dekat tidak ada progres nyata, kami akan datang lagi dengan massa yang lebih besar,” tegas Juhairiyah, salah satu orator aksi.

    Pendemo mencurigai adanya permainan internal di tubuh kepolisian yang membuat kasus jalan di tempat. Mereka menilai aparat baru bertindak ketika kasus sudah viral di media sosial. “Lebih dari dua bulan kasus ini seperti jalan di tempat. Kami khawatir ada permainan,” ujarnya.

    Kekecewaan juga diungkapkan Mistiyah (55), nenek dari salah satu korban pencabulan. Ia merasa kehilangan kepercayaan terhadap penanganan kasus yang menimpa cucunya. “Selama dua bulan ini tidak ada kabar apa-apa. Saya minta tolong kepada Pak Polisi, tangkap pelaku yang sudah berbuat tidak senonoh terhadap cucu saya,” pintanya.

    Menanggapi aksi massa, Kapolres Sampang AKBP Hartono membantah anggapan bahwa pihaknya tidak serius menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ia menegaskan semua laporan tetap dipantau dan ditangani sesuai prosedur.

    Namun, Hartono mengakui ada kendala teknis dalam proses penyelidikan, salah satunya laporan yang sering baru masuk setelah kasus viral sehingga pelaku keburu melarikan diri.

    “Kalau memang ada anggota yang bermain-main atau menghalangi penanganan kasus, silakan dilaporkan. Saya pastikan akan ditindak. Tidak ada yang akan saya lindungi,” tandasnya. [sar/beq]