Kasus: kekerasan seksual

  • ICJR nilai Komisi III DPR berhasil bentuk aturan-aturan progresif

    ICJR nilai Komisi III DPR berhasil bentuk aturan-aturan progresif

    “Saya masih ingat berada di ruangan ini sekitar 2016, kita (ICJR dan Komisi III), menelurkan satu kesepakatan terkait dengan kompensasi tanpa putusan pengadilan,”Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan bahwa Komisi III DPR RI pada periode sebelum-sebelumnya sudah membentuk berbagai aturan progresif, seperti pemberian kompensasi tanpa putusan pengadilan pada revisi Undang-Undang Terorisme.

    “Saya masih ingat berada di ruangan ini sekitar 2016, kita (ICJR dan Komisi III), menelurkan satu kesepakatan terkait dengan kompensasi tanpa putusan pengadilan,” ujar Erasmus dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Kamis.

    Erasmus menjelaskan bahwasanya pada saat itu, banyak korban terorisme yang tidak dapat mengakses kompensasi karena pelaku terorismenya meninggal.

    Akibatnya, para pelaku terorisme tidak dapat diadili, sehingga kompensasi tidak bisa dijatuhkan saat itu.

    “Lalu kemudian DPR mengambil inisiatif melakukan revisi Undang-Undang Terorisme,” ucap dia.

    Saat itu, tuturnya melanjutkan, revisi Undang-Undang Terorisme yang diajukan oleh Pemerintah tidak menyebutkan kata korban. DPR lantas mengambil inisiatif untuk memasukkan mekanisme pemberian kompensasi kepada korban tanpa putusan pengadilan.

    “Hari ini, para korban terorisme akhirnya dapat mengakses kompensasi karena kebijakan yang bapak dan ibu ambil,” kata Erasmus.

    Selain itu, ia juga menyinggung soal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Meskipun undang-undangnya bergulir di Badan Legislasi, kata Erasmus, tetapi beberapa anggota Komisi III DPR RI turut berpartisipasi.

    Adapun aturan progresif yang termaktub dalam UU TPKS, menurut Erasmus, adalah lahirnya mekanisme dana bantuan korban atau victim trust fund.

    “Kalau dulu korban harus kejar-kejaran dengan pelaku, saat ini kalau pelaku tidak mampu membayar restitusi, restitusinya diambil alih oleh negara,” kata dia.

    Langkah tersebut memastikan hadirnya negara dalam sistem peradilan pidana di tanah air.

    “Itu salah satu contoh yang luar biasa,” ujar Erasmus.

    Pewarta: Putu Indah Savitri
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2024

  • Kisah Perempuan Disabilitas Diperkosa Paman: Berjuang Lawan Trauma, Kini Tak Diterima Keluarga
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        5 November 2024

    Kisah Perempuan Disabilitas Diperkosa Paman: Berjuang Lawan Trauma, Kini Tak Diterima Keluarga Regional 5 November 2024

    Kisah Perempuan Disabilitas Diperkosa Paman: Berjuang Lawan Trauma, Kini Tak Diterima Keluarga
    Tim Redaksi
    SUMBAWA, KOMPAS.com
    – Butuh waktu satu tahun bagi A menjalani rehabilitasi dan pemulihan trauma di
    Sentra Paramitha Mataram
    , Nusa Tenggara Barat (NTB). Perempuan berusia 21 tahun dengan disabilitas daksa ini berusaha melewati masa-masa sulit.
    Perjalanan yang tak mudah karena A menjadi korban pemerkosaan hingga hamil. Kehamilan yang tak diinginkan itu membuatnya putus asa dan sempat ingin mengakhiri hidup.
    Ingatan A pada tindakan pemerkosaan yang dilakukan sang paman masih membekas. Dan akan terus diingat seumur hidupnya. Meski ia berusaha berdamai dengan masa lalu yang kelam.
    Saat kejadian itu, A tidak berani melapor atau menceritakan kekerasan seksual yang menimpanya. Hal itu karena ia diancam akan dibunuh oleh paman.
    Kebetulan saat kejadian, ia tinggal di rumah bibi dan pamannya karena sang ayah bekerja di luar kota.
    Kekerasan seksual yang menimpa A diketahui saat ia sering sakit. A tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya karena ia tidak pernah mendapatkan edukasi bahwa diperkosa bisa membuatnya hamil.
    Ia kerap muntah di pagi hari. A diduga menderita mag akut. Akhirnya bibinya membawanya ke puskesmas untuk mendapatkan penanganan medis.
    Setelah dilakukan cek urine, hasilnya sangat mengejutkan, A dinyatakan positif hamil. Saat itu bibinya menanyakan siapa pelakunya.
    Tetapi saat di puskesmas korban tidak berani mengatakan yang sebenarnya karena ada pamannya.
    Bibi kembali bertanya siapa yang telah melakukan perbuatan bejat itu, hingga akhirnya A bercerita bahwa pamannya yang telah memerkosa dan mengancamnya.
    Peristiwa itu pertama kali terjadi pada Maret 2023 sebelum memasuki bulan Ramadhan, korban diangkat oleh terduga ke depan ruangan keluarga kemudian diperkosa.
    Hingga kasus itu dilaporkan ke Mapolres
    Sumbawa
    . Selama proses litigasi itu, A didampingi oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Sumbawa. HB (51) sebagai terdakwa yang melakukan pemerkosaan dijatuhi vonis 13 tahun penjara.
    Seiring waktu, proses pemulihan dan rehabilitasi terus berjalan lancar. A tak mau terus terpuruk. Ia berjuang melawan trauma. Setiap malam ia dihantui mimpi-mimpi yang menakutkan.
    “Jika ingat lagi masa-masa sulit itu saya tak kuat. Saya masih terguncang,” kata A saat dikonfirmasi, Senin (4/10/2024).
    Selama menjalani rehabilitasi, ia sempat tak mau makan. Ia berdalih tak makan bisa membuat anak dalam kandungannya meninggal. Dia juga berharap akan keguguran saat tak ada asupan makanan. Namun, upaya itu tak pernah membuahkan hasil.
    Sampai A mendapatkan nasihat dari psikolog. Pekerja sosial di Sentra Paramitha langsung menghubungi pendamping dari LPA Sumbawa yang selama ini membantunya melewati masa sulit saat menjalani pemeriksaan litigasi dan non-litigasi.
    “Dari situ saya mulai menerima nasib. Saya berusaha mengisi hari-hari dengan aktivitas yang padat. Sampai tak ada pikiran negatif yang terbesar,” cerita A.
    Sembilan bulan mengandung, A mengalami pembukaan dan tanda-tanda akan melahirkan. Proses persalinan berjalan lancar dan bayi A dalam keadaan selamat dan sehat.
    Setahun berjalan, anak A sudah berusia tujuh bulan. Ia tumbuh menjadi anak yang lucu. A merasa tidak sendiri saat di Paramitha. Ada banyak teman-teman yang memiliki nasib yang sama dengannya.
    “Saat ingin bercerita, ada teman-teman yang siap mendengarkan keluhan kesah,” sebutnya.
    Ada pula psikolog dan ibu panti yang sudah seperti keluarga sendiri. Setiap hari A memiliki jadwal yang teratur. Ada kelas menjahit, olahraga, memasak, makan bersama dan parenting menyusui.
    Hal yang menyenangkan ketika A bisa berinteraksi dengan sang anak di sela-sela menjalani aktivitas rehabilitasi.
    “Saya sering
    video call
    dengan A. Kadang ia menelepon dan bercerita. Ia kangen. Dia panggil saya ibu. Kemarin dia ada nelepon Saya senang melihat dia bisa berangsur pulih dari trauma,” cerita Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) sekaligus pendamping A, Fatriatulrahma saat ditemui, Senin (4/11/2024) sore.
    Perjalanan A penuh liku. Ibu kandungnya sudah meninggal. Sementara ayahnya bekerja menjadi satpam di sekolah internasional yang berada di lingkar tambang Kabupaten Sumbawa Barat.
    A sempat diasuh oleh kakek dan nenek tapi kondisi mereka sudah rentah. Lalu diasuh oleh bibi dan paman hingga terjadi peristiwa kelam itu.
    Kini, A mulai gundah. Pasalnya, waktu A menjalani rehabilitasi sudah diambang batas. Sementara waktu di Sentra Paramitha juga terbatas. Sudah waktunya ia kembali ke keluarga. Namun, ayah dan ibu tiri A tak mau menerimanya kembali. Mereka berdalih seribu alasan.
    “Saya sudah berusaha menelepon dan berbicara berulang kali dengan ayah kandung A. Tapi dia tidak mau mengajaknya tinggal dengan alasan istrinya tak mau menerima A tinggal di situ,” kata Atul, sapaan akrab Fatriatulrahma.
    “Saya juga tegaskan sama ayah A, bahwa istrinya harus terima anaknya. Jangan begitu. Bagaimana pun anak ini tanggung jawab si ayah. Ia harus diterima kembali ke keluarga,” imbuh Atul.
    Persoalan A masih terus dicarikan jalan keluar. Sementara anak A, ada opsi untuk diadopsi negara.
    “Saya marah dengan ayah A. Kenapa dia tidak bertanggung jawab atas nasib anaknya. Satunya jalan jika ia tak ambil anaknya saya akan laporkan ke polisi,” ujar Atul.
    Menurutnya, permasalahan kekerasan seksual kerap berawal dari masalah keluarga yang dipicu persoalan ekonomi, kemiskinan dan sosial.
    Kondisi A tidak bisa membaca. Ia tidak pernah sekolah di bangku formal, tetapi belajar secara otodidak untuk bisa berkomunikasi dan mengenal huruf A sampai G serta bisa mengenal angka 1-10.
    Lebih jauh, A sudah masuk dalam data terpadu kemiskinan sehingga mendapatkan bantuan PKH dan BPJS kesehatan dari Kementerian Sosial.
    Upaya pemenuhan hak dan perlindungan
    korban kekerasan seksual
    terus dilakukan pemerintah daerah melalui penguatan koordinasi lintas sektor dengan stakeholder terkait.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Legislator Ingatkan Polisi Tak Ada Damai di Kasus Kakak-Adik Diperkosa 13 Pria

    Legislator Ingatkan Polisi Tak Ada Damai di Kasus Kakak-Adik Diperkosa 13 Pria

    Jakarta

    Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil meminta Polda Jawa Tengah (Jateng) untuk menerapkan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di kasus pemerkosaan kakak dan adik yang dilakukan oleh 13 orang selama satu tahun di Purworejo, Jawa Tengah. Nasir Djamil mengingatkan tidak ada perdamaian terkait kasus pemerkosaan.

    “Dalam kasus yang melibatkan anak di bawah umur dan telah tertunda penyelesaiannya hingga setahun, aparat penegak hukum harus menunjukkan keseriusannya untuk menjamin hak-hak korban terpenuhi,” kata Nasir Djamil, Jumat (1/11/2024).

    “Seharusnya sejak awal APH (aparat penegak hukum) pakai UU TPKS yang mengatur tidak bisa ada perdamaian dalam kasus kekerasan seksual. Sekalipun mungkin kesepakatan akhirnya korban dan pelaku menikah, kasusnya harus tetap jalan,” sambung dia.

    Nasir juga mengingatkan siapa saja yang melakukan pemaksaan pernikahan antara korban dan pelaku dapat dijerat pidana. Hal ini menyusul pengakuan korban yang menyatakan dipaksa menikah siri dengan salah satu pelaku pemerkosaan karena dirinya hamil.

    “Ancaman hukuman bagi mereka yang memaksa korban kekerasan seksual menikah dengan pelaku bisa sampai 9 tahun penjara,” ujar Nasir.

    Adapun aturan mengenai hal itu tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU TPKS, berikut bunyinya:

    Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    a. perkawinan Anak;
    b. pemaksaan perkawinan dengan
    mengatasnamakan praktik budaya; atau
    c. pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.

    Sementara aturan tentang tidak dimungkinkannya ada perdamaian antara korban dan pelaku kekerasan seksual diatur dalam Pasal 23 UU TPKS yang isinya:

    Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

    Nasir menyebut, penerapan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak saja tidak cukup dalam kasus ini. Apalagi korban juga dicekoki miras, diseret, dianiaya dan dipaksa melakukan persetubuhan.

    Ada juga ancaman pelaku untuk menyebarkan video persetubuan mereka sehingga membuat korban merasa takut. Selain itu, korban juga mengaku sempat disekap selama beberapa hari saat diperkosa, hingga dijual oleh pelaku ke pihak lain.

    “Pasal yang bisa diterapkan banyak sekali. Selain TPKS dan perlindungan anak, bisa juga tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), penculikan, ancaman, penganiayaan, dan lain sebagainya,” ujar Nasir.

    Oleh karenanya, anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan penegakan hukum itu meminta Polda Jateng untuk mengevaluasi dan melakukan investigasi secara detil dalam penanganan kasus pemerkosaan kakak-adik itu. Nasir menyatakan, harus ada keadilan bagi kedua korban.

    “Hukum harus berpihak bagi para korban kekerasan seksual. Kita minta keseriusan penegak hukum karena kasusnya juga sudah berlarut-larut lama,” ungkap Legislator dari Dapil Aceh II tersebut.

    “Ditambah lagi kedua korban kurang mendapat dukungan dari lingkungan sekitarnya. Bayangkan betapa besar beban yang harus mereka tanggung. Luka dan traumanya pasti sangat dalam, dan itu yang harus disembuhkan melakukan dampingan psikologis. Dan karena ini menyangkut anak di bawah umur, pendekatan yang dilakukan pastinya berbeda. Kita harapkan ada program rehabilitasi yang memadai dan berkelanjutan kepada kedua korban,” sambung dia.

    Seperti diketahui, kasus dugaan pemerkosaan terhadap kakak dan adik berinisial DSA (15) dan KSH (17) di Kabupaten Purworejo menuai perhatian publik. Keduanya diperkosa oleh 13 pria tetangganya dalam kurun waktu setahun dalam waktu dan kondisi yang berbeda-beda.

    Dua dari 13 pelaku sempat digerebek warga ketika hendak memperkosa korban.Walau sudah tertangkap tangan, tapi pelaku tidak dihukum usai memperkosa kakak adik di Purworejo.

    Akibat rangkaian pemerkosaan ini, DSA akhirnya hamil dan kini telah melahirkan. Kasus tersebut sempat tidak ditangani oleh Polres Purworejo karena keluarga korban dan pelaku menyelesaikan perkara tersebut secara kekeluargaan dengan difasilitasi pemerintah desa setempat.

    Setelah kasus ini viral, Polda Jateng akhirnya mengambil alih kasus dan kini telah melakukan pemeriksaan kepada para saksi namun belum menetapkan tersangka. Nasir berharap aparat penegak hukum bisa serius mengusut kasus tersebut.

    (maa/maa)

  • Polisi Tangkap 2 Pelaku Pemerkosa Remaja Disabilitas di Lampung, Begini Kronologinya

    Polisi Tangkap 2 Pelaku Pemerkosa Remaja Disabilitas di Lampung, Begini Kronologinya

    Bandar Lampung, Beritasatu.com –  Polisi menangkap 2 pemuda pelaku pemerkosaan remaja putri disabilitas berusia 14 tahun di Bandar Lampung, Lampung. Kedua pelaku berinisial LF (18) dan FN (21), warga Way Hui, Kabupaten Lampung Selatan. 

    Kedua pelaku diduga merudapaksa korban berinisial DN selama 2 tahun. Kasus yang ditangani Polsek Sukarame, Bandar Lampung ini terungkap dari surat kaleng yang dikirimkan pelaku ke rumah korban. 

    Dalam surat kaleng itu, kedua pelaku mengancam akan menyebarkan video asusila bersama pelaku ke media sosial (medsos). Surat kaleng tersebut ditemukan oleh tante korban di samping pintu rumah orang tua korban.

    Setelah dilakukan pendekatan, korban kemudian menceritakan kekerasan yang dialami kepada tantenya. Tante korban kemudian melaporkan kedua pelaku ke Polsek Sukarame.

    Dari penyelidikan, polisi kemudian menangkap kedua pelaku di lokasi berbeda di wilayah Bandar Lampung dan Lampung Selatan pada Sabtu (2/11/2024).

    Dari hasil pemeriksaan terungkap, kedua pelaku merudapaksa korban yang saat itu masih kelas 6 sekolah dasar (SD). Pelaku merekam perbuatan bejatnya, lalu menjadikan video tersebut untuk mengancam korban agar mau berhubungan badan dengan pelaku. Karena takut, ND terus mengalami pemerkosaan hingga korban duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah pertama (SMP).

    Kedua orang tua ND merupakan penyandang tunanetra sehingga aktivitas korban sering tidak terawasi. 

    Akibat kekerasan seksual yang dialami selama 2 tahun terakhir, korban mengalami trauma berat.

    Dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan kedua pelaku, polisi menyita barang bukti berupa hasil visum dari rumah sakit dan surat kaleng yang dikirim kedua pelaku.

    Kapolsek Sukarame, Kompol M Rohmawan mengatakan bahwa kedua pelaku merudapaksa korban secara bergantian dalam kurun waktu 2 tahun terakhir.

    “Pelaku LF mengajak rekannya FN untuk merudapaksa korban secara bergantian. Pelaku utama dari kasus pemerkosaan yang dialami korban yakni pelaku LF,” kata Rohmawan saat konferensi pers, Minggu (3/11/2024).

  • Penuturan Korban Kekerasan Seksual Mohamed Al Fayed di Inggris

    Penuturan Korban Kekerasan Seksual Mohamed Al Fayed di Inggris

    London

    Korban kekerasan seksual Mohamed Al Fayed di Inggris menyampaikan hal yang mereka alami. Mendiang Al Fayed adalah konglomerat pemilik Harrods Departement Store, hotel Ritz Paris, juga dikenal punya klub sepakbola Fulham.

    Kasus kekerasan seksual ini mencuat ke publik Inggris (dan internasional) belakangan ini setelah BBC menayangkan produk dokumenter dan podcast bertajuk ‘Al Fayed: Predator at Harrods’. Lebih dari 400 terduga korban telah mengontak pengacara kasus ini.

    Dilansir AFP, Senin (4/11/2024), dua korban kekerasan seksual tersebut adalah Jen dan Cheska Hill-Wood.

    “Itu tampak seperti pekerjaan impian,” kata Jen, yang berusia 16 tahun saat bergabung dengan Harrods, department store London yang dianggap sebagai puncak kemewahan. Jen bekerja di toko London tersebut sejak tahun 1986, setahun setelah miliarder itu membelinya, hingga tahun 1991.

    Cheska Hill-Wood berusia 19 tahun pada tahun 1994 ketika ia mulai bekerja untuk mantan taipan tersebut, yang meninggal tahun lalu pada usia 94 tahun. Fayed sudah ada di sana sejak mereka diwawancarai, mereka menjelaskan.

    Cheska, yang merupakan mahasiswa seni, yakin tim Fayed melihat fotonya di sebuah majalah sebelum ia dihubungi oleh Harrods.

    “Saya kira wajah saya sesuai dengan persyaratannya. Saya masih muda dan sangat lugu,” katanya.

    “Dokter itu tidak menutup-nutupi fakta bahwa saya diperiksa untuk memastikan bahwa saya bersih,” kata Jen, yang kini berusia 54 tahun.

    “Dan ketika saya bertanya apa maksudnya, dia berkata bahwa dia perlu tahu bahwa saya masih perawan.”

    Korban lalu ketakutan. Fayed menuntut agar Jen tidak pernah punya pacar. “Kami tidak diizinkan untuk melakukan hubungan seksual dengan siapa pun,” jelasnya.

    Selama lima tahun di Harrods, Jen mengatakan dia mengalami “beberapa serangan seksual” dan percobaan pemerkosaan di kantor Fayed dan di kediamannya di Park Lane, London.

    Harrods mengatakan bahwa pihaknya telah dihubungi oleh lebih dari 250 orang yang ingin menegosiasikan penyelesaian di luar pengadilan. Polisi London mengatakan pihaknya telah dihubungi oleh 60 orang, dengan tuduhan yang sudah ada sejak tahun 1979.

    Jen mengatakan dia “malu” dan “terlalu takut” untuk memberi tahu rekan kerja atau keluarganya tentang serangan tersebut pada saat itu.

    Jen menceritakan ada penyadapan telepon dan kamera di kantor. Ketika dia memiliki hubungan romantis rahasia, Fayed memanggilnya dan memberinya daftar tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama, yang membenarkan ketakutannya akan dibuntuti.

    “Itu membuatku sadar bahwa itu bukan paranoia, itu benar-benar terjadi,” ujar Jen.

    “Aku berharap aku satu-satunya orang yang seperti itu,” kata Jen, seraya menambahkan bahwa dia ‘ngeri’ oleh banyaknya orang yang datang dan mengaku senasib yakni menjadi korban kekerasan seksual oleh Fayed.

    Setelah penayangan tersebut, Harrods, yang diambil alih oleh perusahaan Qatar pada tahun 2010, ‘mengecam’ perilaku mantan pemiliknya dan meminta maaf karena menelantarkan ‘korban’.

    Jen, yang meminta agar nama belakangnya tidak disebutkan, menunggu hingga sehari setelah dokumenter tersebut ditayangkan untuk menceritakan pengalamannya di Harrods kepada suami dan orang tuanya.

    Cheska Hill-Wood langsung memberi tahu ibunya tentang serangan yang dialaminya. Ia adalah seorang calon aktris dan Fayed telah menawarkan diri untuk memperkenalkannya kepada putranya, Dodi, seorang produser.

    Fayed mengajaknya ke kamarnya suatu malam setelah bekerja dan mengaudisinya untuk sebuah film tentang Peter Pan. Ia dipaksa mengenakan pakaian renang di depan kamera dan melafalkan kalimat-kalimat dalam naskah “bawa aku, bawa aku, kumohon”.

    Pria yang saat itu berusia 60 tahun tersebut mencengkeram dan menciumnya dengan kuat, kata Cheska. Ia berhasil melarikan diri dan tidak pernah menginjakkan kaki di kantor atau Harrods lagi.

    Kedua wanita itu berbicara kepada media tak lama setelah itu. Jen menceritakan kisahnya di majalah Vanity Fair pada tahun 1990-an dengan syarat identitasnya dirahasiakan, tetapi seorang petugas keamanan Harrods menghubunginya untuk mengancamnya dan keluarganya.

    Fayed menggugat majalah tersebut atas pencemaran nama baik dan penyelesaian dicapai “sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ayah yang berduka” setelah putranya, Dodi, meninggal bersama Putri Diana dalam kecelakaan mobil di Paris pada tahun 1997.

    Cheska berbicara pada tahun 1990-an untuk sebuah film dokumenter yang tidak pernah disiarkan. Ia berbicara lagi pada tahun 2017, dengan wajah terbuka, untuk stasiun televisi Inggris Channel Four.

    “Namun tidak terjadi apa-apa setelah itu. Polisi tidak mengejar” Fayed, katanya, seraya menambahkan bahwa cobaan itu membuatnya putus asa.

    Keduanya berbicara tentang ‘kemarahan’ mereka setelah kematiannya tahun lalu. “Monster yang sangat kejam ini telah jatuh ke tanah, tidak dituntut. Kemarahannya sangat besar,” kata Cheska, yang kini berusia 50 tahun.

    Dia sekarang berharap bahwa “banyak orang yang melakukan pekerjaan kotornya”, seperti mengatur janji temu medis dan merekrut wanita, akan diadili.

    (dnu/yld)

  • Kakak-Adik Diperkosa di Purworejo, DPR Sebut Tak Boleh Ada Perdamaian
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 November 2024

    Kakak-Adik Diperkosa di Purworejo, DPR Sebut Tak Boleh Ada Perdamaian Nasional 2 November 2024

    Kakak-Adik Diperkosa di Purworejo, DPR Sebut Tak Boleh Ada Perdamaian
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota
    Komisi III
    DPR RI Nasir Djamil mendorong agar kasus pemerkosaan kakak dan adik oleh 13 tetangganya yang terjadi di Purworejo, Jawa Tengah, tidak diselesaikan dengan damai.
    Ia menekankan, saat ini Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
    Dalam aturan itu, tidak ada kata perdamaian untuk tindak pidana kekerasan seksual. Semua kasus yang terjadi mesti diselesaikan secara hukum.
    “Seharusnya sejak awal aparat penegak hukum pakai
    UU TPKS
    yang mengatur tidak bisa ada perdamaian dalam kasus kekerasan seksual. Sekalipun mungkin kesepakatan akhirnya korban dan pelaku menikah, kasusnya harus tetap jalan,” ujar Nasir dalam keterangan, Sabtu (2/11/2024).
    Nasir pun menyesalkan lambatnya tindakan aparat penegak hukum dalam memproses perkara ini.
    Pasalnya, kekerasan seksual itu sudah terjadi dalam waktu satu tahun dan yang menjadi korban adalah kakak beradik yang masih berusia 17 tahun dan 15 tahun.
    Ia pun meminta agar aparat kepolisian memiliki perspektif untuk melindungi korban. Sehingga perkara kekerasan seksual itu harus segera diusut tuntas.
    “Dalam kasus yang melibatkan anak di bawah umur dan telah tertunda penyelesaiannya hingga setahun, aparat penegak hukum harus menunjukkan keseriusan untuk menjamin hak-hak korban terpenuhi,” tuturnya.
    Terakhir, Nasir juga mengingatkan bahwa pihak-pihak yang memaksa korban untuk menikah dengan pelaku bisa dikenai hukuman penjara. Hal itu juga sudah tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU TPKS.
    “Ancaman hukuman bagi mereka yang memaksa korban kekerasan seksual menikah dengan pelaku bisa sampai 9 tahun penjara,” imbuh dia.
    Diketahui kakak beradik berinisial KSH (17) dan DSA (15) sampai meminta bantuan hukum pada Hotman Paris.
    Pasalnya, kasus yang dilaporkan pada Juni 2024 ke Polres Purworejo itu jalan di tempat.
    Sementara itu, Polda Jateng akhirnya mengambil alih kasus tersebut dari Polres Purworejo.
    Kabid Humas Polda Jateng, Kombes (Pol) Artanto mengatakan pihaknya tengah melakukan penyelidikan dan berhati-hati dalam proses pemeriksaan karena harus tetap menerapkan asas praduga tak bersalah.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Salah Sebut Nomor Urut, Calon Wali Kota Batam Amsakar Achmad Buat Pendukung Riuh
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        1 November 2024

    Salah Sebut Nomor Urut, Calon Wali Kota Batam Amsakar Achmad Buat Pendukung Riuh Regional 1 November 2024

    Salah Sebut Nomor Urut, Calon Wali Kota Batam Amsakar Achmad Buat Pendukung Riuh
    Tim Redaksi
    BATAM, KOMPAS.com
    – Pelaksanaan debat calon wali kota dan wakil wali kota
    Batam
    diwarnai momen lucu saat salah satu calon, Amsakar Achmad, salah menyebut nomor urut paslon.
    Debat yang mempertemukan pasangan nomor urut 01, Nuryanto-Hardi Hood, dan nomor urut 02, Amsakar Achmad-Li Claudia Chandra, berlangsung di AP Premiere Hotel, Jumat (1/11/2024) malam.
    Kesalahan penyebutan terjadi ketika Amsakar, calon wali kota nomor urut 02, menjawab pertanyaan panelis tentang masalah keamanan, khususnya upaya mengatasi kekerasan seksual dan potensi femisida di Batam.
    “Kami paslon 01, untuk menyelesaikan masalah kekerasan perempuan dan anak akan melakukan penguatan di OPD Pemko Batam, terutama Dinas Perempuan dan Sosial,” ucap Amsakar.
    Pernyataan ini langsung disambut riuh pendukung paslon 01 yang tertawa mendengar kesalahan tersebut.
    Amsakar segera menyadari kekeliruannya dan memperbaiki sebutan nomor urut setelah selesai berbicara.
    Sementara itu, pasangan Nuryanto-Hardi Hood tampak tersenyum kecil menanggapi momen itu dari podium.
    Menanggapi isu yang dibahas, Nuryanto dari paslon nomor urut 01 mempertanyakan langkah konkret yang akan dilakukan paslon nomor urut 02 untuk mendukung korban kekerasan seksual.
    Amsakar, sebagai calon petahana, menyebut Dinas Perempuan dan Anak serta Dinas Sosial Batam masih membutuhkan dukungan anggaran lebih untuk mendampingi korban kekerasan seksual dan kejahatan lainnya.
    Dia menyatakan akan mengusulkan penambahan anggaran bagi kedua dinas tersebut.
    “Selain itu, kami akan menyediakan anggaran khusus untuk mendukung kemitraan dengan organisasi yang peduli pada perempuan dan anak, serta bekerja sama dengan aktivis dan psikolog untuk membantu pemulihan korban. Kami juga akan membangun shelter khusus agar mereka merasa aman dan nyaman selama proses pemulihan,” ujar Amsakar.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MPR dorong perempuan korban kekerasan seksual untuk berani melapor

    MPR dorong perempuan korban kekerasan seksual untuk berani melapor

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Edhie Baskoro Yudhoyono mendorong kaum perempuan untuk berani melapor atau speek up jika mengalami ataupun mengetahui adanya tindakan kekerasan seksual.

    Keberanian para korban untuk berbicara sangat diperlukan guna membantu aparat penegak hukum dan pemerintah menindak tegas pelaku kekerasan seksual di tengah masyarakat.

    “Selain peran negara dan keamanan dalam setiap ruang publik dan privat maka kita semua juga harus bisa speak up, waspada, dan berani melapor,” kata pria yang akrab disapa Ibas dalam keterangannya saat menjadi narasumber pada webinar bersama Kongres Wanita Indonesia (Kowani) di Jakarta, Jumat.

    Menurut Ibas, para korban kekerasan seksual tidak perlu khawatir untuk mengungkap kasusnya karena negara dipastikan akan memberikan perlindungan.

    Dia menjelaskan perlindungan korban dan penindakan aksi kekerasan seksual itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

    Tidak hanya menjamin keamanan pelapor, Ibas menegaskan pemerintah juga harus memperhatikan kaum perempuan dari sisi konsep Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan.

    Dalam konsep SGDs ini, tambah Ibas, salah satu yang harus diperhatikan pemerintah adalah kemakmuran dan kesetaraan hak dalam kehidupan.

    Masyarakat, terkhusus kaum perempuan, bisa menggunakan konsep SGDs ini untuk mendorong pemerintah memberikan pemenuhan hak terhadap perempuan.

    Dengan terpenuhinya kesetaraan hak perempuan di Indonesia. Ibas yakin secara perlahan kasus kekerasan seksual dapat berkurang.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2024

  • Otopsi Mayat Tanpa Kepala di Muara Baru Belum Selesai, Polisi Dalami Dugaan Kekerasan Seksual
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        31 Oktober 2024

    Otopsi Mayat Tanpa Kepala di Muara Baru Belum Selesai, Polisi Dalami Dugaan Kekerasan Seksual Megapolitan 31 Oktober 2024

    Otopsi Mayat Tanpa Kepala di Muara Baru Belum Selesai, Polisi Dalami Dugaan Kekerasan Seksual
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Proses otopsi dan visum terhadap mayat tanpa kepala berinisial SH (40), yang ditemukan di dermaga belakang Jalan Tuna, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, masih berlangsung di RS Polri Kramatjati, Jakarta Timur, hingga Kamis (31/10/2024).
    “Proses otopsi dan visum masih terus berjalan hingga kini,” ujar Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Tanjung Priok, AKP I Gusti Ngurah Putu Krishna Narayana, saat diwawancarai di kantornya, Rabu (30/10/2024) malam.
    I Gusti menambahkan, pihak kepolisian juga sedang mendalami penyebab kematian SH dan menelusuri kemungkinan adanya
    kekerasan seksual
    , mengingat korban ditemukan dalam kondisi setengah telanjang, hanya mengenakan kaus hitam dan
    bra
    .
    “Tentunya ini menjadi petunjuk apakah ini bisa menjadi motif atas hilangnya nyawa korban tersebut,” ungkapnya.
    Hingga saat ini, polisi masih menunggu hasil visum dan otopsi dari dokter forensik RS Polri Kramatjati untuk memastikan penyebab kematian.
    I Gusti berjanji akan menyampaikan perkembangan lebih lanjut setelah hasil pemeriksaan keluar.
    “Tentunya nanti akan kami sampaikan lagi apabila dokter forensik bersama dokter lain sudah mengeluarkan hasil visum dan otopsinya,” ucapnya.
    Diberitakan sebelumnya, jasad wanita tanpa kepala tersebut ditemukan di dalam karung di dermaga kapal belakang sebuah pom bensin di Jalan Tuna, Muara Baru, Jakarta Utara, pada Selasa (29/10/2024) pukul 10.29 WIB.
    Keberadaan mayat ini pertama kali diketahui oleh seorang buruh kapal pencari ikan.
    “(Si buruh) mau bongkaran ikan, mau
    ngopi
    , terus
    ngadem
    di sini melihat ke arah air, (dia lihat) ada buntalan mencurigakan di pinggir, terus lapor ke saya,” kata Denni Zaelani (34), petugas SPBU yang menerima laporan, saat ditemui di lokasi.
    Denni, yang penasaran, mengangkat buntalan karung yang mengambang di air ke daratan tetapi tidak berani membukanya dan segera menghubungi polisi.
     
    “Setelah ada polisi baru dibuka, pas dibuka (mayat wanita) kepalanya enggak ada. Tapi, badannya utuh,” ujarnya.
    Mayat tersebut ditemukan terbungkus dalam lima lapisan, mulai dari kardus, karung, hingga kasur.
    Denni menyebut bahwa saat bungkusan dibuka, jasad mengeluarkan bau tak sedap meski tidak terlalu menyengat, dan darah pada tubuh korban terlihat masih segar.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tuduhan Baru Sean “Diddy” Combs Diduga Melakukan Rudapaksa pada Anak 10 Tahun

    Tuduhan Baru Sean “Diddy” Combs Diduga Melakukan Rudapaksa pada Anak 10 Tahun

    Jakarta, Beritasatu.com – Sean “Diddy” Combs kembali menjadi sorotan setelah dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dalam pengaduan baru yang merupakan bagian dari rangkaian tuntutan hukum yang diajukan terhadapnya.

    Dikutip dari Variety, Selasa (29/10/2024), gugatan yang diajukan di Mahkamah Agung Negara Bagian New York ini adalah yang terbaru dari pengacara Tony Buzbee. Ia juga telah mengumumkan rencana untuk mengajukan 120 tuntutan hukum baru terhadap Combs dalam beberapa bulan ke depan.

    Gugatan ini adalah salah satu dari dua tuntutan hukum yang diajukan di New York pada hari yang sama, seorang penggugat lain juga mengeklaim dirinya mengalami kekerasan seksual oleh Combs pada 2008 saat mengikuti audisi untuk “Making the Band” pada usia 17 tahun.

    Dalam gugatan pertama yang dilaporkan oleh Variety, seorang pria yang disebut John Doe dan kini tinggal di California mengeklaim insiden kekerasan tersebut terjadi pada 2005.

    Pada saat itu, anak laki-laki tersebut masih berusia 10 tahun dan memiliki cita-cita untuk menjadi aktor atau rapper.

    Untuk mendukung impian karier putra mereka, orang tua anak tersebut menyewa seorang konsultan industri yang menyarankan mereka untuk terbang dari Los Angeles ke New York untuk bertemu dengan tokoh-tokoh di dunia musik.

    Selama perjalanan tersebut, konsultan mengatur agar Combs bertemu dengan anak laki-laki itu untuk ikut audisi.  Selanjutnya, meminta agar pertemuan itu berlangsung secara pribadi sebelum bertemu keluarganya.

    Lebih lanjut, konsultan tersebut kemudian meninggalkan anak laki-laki itu sendirian di kamar hotel Combs.

    Anak itu membawakan beberapa lagu rap untuk Combs, yang memberi tahu bahwa ia dapat menjadikannya seorang bintang dan menanyakan seberapa besar keinginannya.

    Setelah itu, orang lain yang ada di ruangan memberikan soda kepada anak laki-laki tersebut untuk kemudian diminumnya.

    Tak lama kemudian, anak tersebut mulai merasa tidak enak badan. Menurut pengacara penggugat, hal itu disebabkan oleh minuman tersebut yang diduga dicampur dengan obat-obatan, seperti ekstasi.

    Setelah meminum soda itu, Combs diduga melakukan tindakan melawan hukum terhadap anak tersebut, yakni melakukan pelecehan yang sebelumnya korban dibuat tidak sadarkan diri.