Surabaya (beritajatim.com) – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak menghadirkan dua orang saksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan kekerasan seksual dengan terdakwa Liem Tjie Sen alias Sentosa Liem di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Sidang yang digelar secara tertutup ini beragendakan pembuktian dari pihak penuntut.
JPU Renanda Kusumastuti mendatangkan Rizkia Febrianti, yang merupakan teman korban, serta Sriati, resepsionis Hotel Mini Pantai Ria Surabaya. Keterangan kedua saksi ini diharapkan jaksa dapat memperkuat dakwaan terkait pelanggaran Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Kendati demikian, kehadiran dua saksi tersebut mendapat tanggapan keras dari kubu pembela. Usai persidangan, kuasa hukum terdakwa, Dr. Johan Widjaja, SH, MH, menilai keterangan yang disampaikan kedua saksi di hadapan majelis hakim tidak memiliki nilai pembuktian yang kuat karena tidak melihat peristiwa secara langsung.
Terkait saksi Rizkia, Dr. Johan menyebut keterangannya masuk dalam kategori testimonium de auditu. Rizkia diketahui hanya mendengar cerita dari korban EP mengenai dugaan pemerkosaan yang terjadi di mobil dan hotel, serta melihat korban yang mengaku telah “kotor”.
“Masalahnya, saksi ini tidak pernah bertemu langsung dengan terdakwa. Semua keterangannya hanya berdasarkan cerita korban. Itu testimonium de auditu, bukan fakta yang dilihat atau didengar sendiri,” ujar Dr. Johan.
Pihak pembela juga menyoroti konsistensi saksi Rizkia. Dr. Johan mengungkapkan bahwa saat dicecar pertanyaan mengenai logika peristiwa di dalam mobil, keyakinan saksi yang awalnya 100 persen mulai menurun.
“Saksi akhirnya tidak bisa memastikan. Persentase keyakinannya turun dan mengambang. Ini menunjukkan keterangannya tidak konsisten,” tegas Dr. Johan.
Sementara untuk saksi Sriati dari pihak hotel, pembela menilai kesaksiannya tidak membuktikan adanya tindak pidana. Sriati membenarkan terdakwa melakukan check-in pada 15 Mei 2024 menggunakan KTP, namun ia menegaskan tidak mengetahui siapa yang bersama terdakwa di kamar, serta tidak mendengar adanya keributan atau teriakan minta tolong.
“Saksi tidak tahu apakah terdakwa bersama korban. Tidak mendengar teriakan minta tolong, tidak ada keributan, tidak ada laporan perkosaan. Jadi apa yang mau dikuatkan?” kata Dr. Johan.
Dr. Johan menambahkan, ketiadaan tanda-tanda kegaduhan di hotel justru memunculkan tafsir bahwa hubungan tersebut kemungkinan dilakukan atas dasar suka sama suka. Ia juga meragukan narasi teknis pemerkosaan di dalam mobil yang melibatkan jari dan alat vital terdakwa karena dinilai tidak logis.
Di sisi lain, pembela juga menyinggung latar belakang hubungan pribadi korban. “Korban sudah beberapa kali berpacaran dalam waktu lama dan posisi Terdakwa ini adalah pacar yang terakhir. Jangan-jangan dia sudah jebol duluan sama mantan sebelumnya,” pungkas Dr. Johan Widjaja.
Kasus ini sendiri bermula dari perkenalan korban EP dan terdakwa Liem Tjie Sen lewat aplikasi pencarian jodoh pada 19 Februari 2024. Hubungan yang berlanjut ke ranah pribadi tersebut kemudian berujung pada laporan dugaan kekerasan seksual dengan locus delicti di Pantai Ria Kenjeran, hotel, hingga area parkir RS Mitra Keluarga Sidoarjo. [uci/beq]

/data/photo/2025/12/17/6942a7ddaf0d0.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)




/data/photo/2025/12/13/693d33158c20e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


